Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.6K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

45. Tranquility

6.4K 759 50
By Cassigatha19

Rasanya nyaman sekali. Sepertinya belum lama waktu terlewat sejak sekujur tubuhnya menggigil akibat basah kuyup. Ciuman laki-laki itu seketika memberikan gelenyar kehangatan yang tidak terlupakan. Tubuhnya mengurung, menaungi, serta melindunginya, dalam artian sesungguhnya ataupun tersirat. Pada akhirnya saat tautan bibir mereka terlepas, Var memeluk Silvana yang lemas. Gadis itu bahkan tidak bisa menahan rasa kantuk yang menyerang akibat kedinginan.

Silvana menggeliat. Bajunya terasa agak lembab, namun hangat. Ah, bukan. Silvana tidak lagi mengenakan gaun luarnya, dia hanya mengenakan gaun dalam yang berwarna putih dan tipis. Matanya terbuka, mendapati tubuhnya diselimuti kain lain yang tebal. Kepalanya pun kini tengah bersandar pada seseorang.

Mereka duduk di depan perapian, entah rumah siapa itu. Silvana berjengit memandang Var. laki-laki itu sedang terlelap. Silvana sedikit menarik diri lalu memindahkan selimutnya ke tubuh Var. tidak disangkanya, Var mendesah. Mata kelam itu pun menumbuk tepat pada mata safir Silvana.

"Lama sekali kau tertidur," komentar laki-laki itu pelan.

"Aku pikir kau juga tertidur." Tangan Silvana yang mulanya hendak menaikkan garis selimut ke dagu Var kemudian beringsut turun. Karena tertarik, selimut yang menutupi tubuhnya sendiri pun melorot, menampakkan lengannya yang telanjang. "Di mana ini?"

"Rumah kosong."

"Apa mantelku juga basah kuyup?"

Var ganti menoleh pada gantungan tali yang dikaitkan dekat perapian. Gaun luar dan mantel Silvana disampirkan di sana. Melihat talinya sampai melengkung karena menahan berat, mereka tahu jika tidak ada harapan kainnya akan cepat kering.

Seingatnya, langit masih cerah saat mereka berada di luar tadi. Silvana menengok ke luar jendela, melihat warna hitam telah menguasai langit.

"Ayahmu pasti sedang mencarimu sekarang. Apa kau kabur?"

Silvana menggeleng. Var tidak tahu jika dirinya ada di Gihon beberapa hari ini, haruskah dia memberitahu laki-laki itu? Mungkin tidak sekarang.

"Var," panggil Silvana dan mata kelam itu kembali menatapnya. "Var.."

"Kenapa?" Kening laki-laki itu berkerut aneh. Silvana yang melihatnya hanya tersenyum.

Saat dia kembali ke tubuh aslinya, Silvana tidak pernah bertanya-tanya mengapa dirinya selalu merasa aneh tiap melihat sosok Var. Rumpang dalam hatinya diselimuti bisikan samar. Bisikan yang hangat. Ke mana pun laki-laki itu bergerak, Silvana akan secara alamiah mengikuti, atau minimal memperhatikannya. Kerinduannya yang koyak akan Mikhail pelan-pelan tersambung kembali. Silvana bagaikan melihat aurora di tengah dataran es yang memakunya.

Namun sekarang setelah Silvana mengetahui alasan kenapa dia begitu mudah mendekat pada Var, batinnya dirayapi kegetiran. Juga perasaan bersalah. Quon yang dulu Var kenal, bukan hanya Silvana, namun juga Sira. Berbeda dengannya, Sira memiliki karakter yang kuat. Kacau namun menyenangkan. Hangat sekaligus menggebu-gebu.

Silvana mungkin hanya menyumbangkan sifat pesimistis dan kesedihan yang kadang menyelimuti jiwa Sira.

Sira—gadis itu ... apakah sedang beristirahat dengan tenang?

"Var.." Tanpa memedulikan ekspresi kesal laki-laki itu, Silvana masih menyebut namanya. Dia melihat laki-laki itu beranjak berdiri, hendak menghampiri jendela. "Panggil namaku."

Var berbalik. Lagi-lagi dia memandang Silvana aneh. Var tidak terlalu menganggap serius permintaan gadis itu. Yang dia lakukan selanjutnya adalah memakaikan jubahnya ke tubuh Silvana lantas menaikkan tudung hingga kepalanya tertutup. Saat Var tidak lagi menatapnya, Silvana tersenyum masam.

"Kita harus segera pergi," katanya. Lengan Var yang padat merengkuh Silvana lalu melompat keluar—tidak peduli ketinggian yang membentang di hadapan mereka.

Laki-laki itu masih tidak banyak bicara. Bahkan dia lebih banyak diam. Silvana tidak bisa menebak apakah ini karena Quon atau tidak. Yang pasti sekarang, Var menjadi lebih sulit diraih. Karang es sepertinya tidak akan mudah meleleh. Meski beberapa kali Silvana merasakan hembusan hangat Var saat bibir mereka menyatu, bisa berarti itu bukan apa-apa.

"Var," panggil Silvana lagi. Tapi laki-laki itu hanya diam. Tubuhnya membelakangi Silvana saat menyusuri rumah-rumah dengan penerangan redup lampion. Sekali dua kali, bahkan tiga kali Silvana memanggilnya, namun tidak mendapat respon. "Var! Var!" Akhirnya dia mencoba lagi—lebih keras.

Barulah laki-laki itu menoleh. Silvana lagi-lagi harus menelan ludah saat mata tajam itu menusuknya.

"Aku lapar," ucap Silvana pelan lalu merunduk.

Memutar bola mata, Var lalu menariknya ke sebuah kedai tidak jauh dari sana. Mereka duduk berhadapan. Var menopang dagu. Beberapa saat lalu Silvana menatapnya dalam ketika menyebut namanya berulang kali. Namun kini dia lebih sering memalingkan wajah. Apa memang sifatnya selalu berubah-ubah seperti ini?

Seorang pelayan menyajikan sepotong besar ayam panggang untuk Silvana, sementara Var merasa cukup dengan segelas bir—bukan bir yang diminum para pemabuk. Bir yang disajikan lebih mirip koktail, campuran perasan jeruk, jahe, molases dan sedikit rum. Minuman itu akan langsung menghangatkan tubuhnya.

"Kau tidak makan?" Silvana mengunyah seiris daging ayam lambat.

"Apa kau kabur dari rumah?" Bukannya menjawab, Var justru mengalihkan topik.

"Kalau aku kabur, semua prajurit Vighę akan berpencar untuk menemukanku," jawab Silvana. Gadis itu memutuskan tidak membiarkan Var makin bertanya-tanya. "Sekarang setelah kekuatanku tersegel, aku bisa ke mana pun yang aku mau. Tentu saja selalu ada orang yang akan mengawasiku."

Hening. Var melekatkan punggungnya pada sandaran kursi sambil menyilangkan tangan.

"Dan siapa pun itu, dia tidak merasa keberatan membiarkanmu bersamaku," simpulnya. Silvana pun terdiam canggung. "Apa kau tahu apa yang dikatakan orang-orang Vighę mengenai orang Kith? Apa ayahmu tidak mencoba menghalangimu bertemu denganku lagi?"

"Kau tidak perlu memikirkan apa yang mereka katakan soal dirimu. Setidaknya aku.. bukan orang seperti itu."

"Seperti apa? Curiga kalau-kalau aku terlibat dengan pembunuhan Pangeran Vighę—tunanganmu?"

Kenapa Var harus memancing luka Silvana? Lidah gadis itu mendadak kelu. Sungguh, dia ingin sekali membantah sindiran Var namun pada akhirnya dia hanya terdiam. Sikapnya yang blak-blakan mungkin sesuai dengan perangai Sira, namun bukan untuk Silvana. Bagaimana sebaiknya Silvana menanggapi tuduhan laki-laki itu.

"Tolong jangan.. menyudutkan aku," kata Silvana pelan. Dia lagi-lagi menunduk sambil meremas bawah jubahnya. "Aku tidak terlalu pintar menghadapi orang-orang. Hampir seumur hidupku sampai sekarang kuhabiskan dalam kurungan. Aku dibelenggu terus-terusan dan dijauhkan dari dunia luar.. Apa kau tahu itu sangat.. menyakitkan untukku?"

"Luka adalah tempaan," balas Var yang lantas mengundang Silvana lagi untuk menatapnya. "Kau tidak akan pernah bertambah kuat tanpa terluka. Dunia tidak menyesuaikan diri denganmu. Kau yang harus menyesuaikan diri dengan ini semua."

Silvana tersenyum sekilas—senyum keragu-raguan.

"Ke mana arah pembicaraan ini?" tanya gadis itu kaku.

"Aku membicarakan soal dirimu, juga semua hal yang menopang di belakangmu." Var menatap Silvana lekat. Nyaris tidak ada kelembutan di sana. "Mereka—orang-orang Vighę menyebutmu sebagai pelindung mereka. Keturunan raja terputus. Perdana Menteri Burö tidak diragukan lagi akan mendudukkanmu di atas tahta. Tapi kau.. masih belum mencoba keluar dari kurunganmu."

Apa laki-laki itu tengah mendiktenya sekarang? Hanya Argent yang senantiasa mengajarkan segala sesuatu pada Silvana, itupun dengan penuh kelemahlembutan hingga Silvana bisa menyerap seluruhnya. Tapi didikan yang keras? Silvana belum pernah mencernanya.

"Apa kau tahu artinya menjadi seorang penguasa?" tanya Var selanjutnya. "Raja ataupun Ratu—adalah nyawa bagi negerinya. Mereka tidak boleh menunjukkan kelemahan, karena figurnyalah yang akan menjadi gambaran untuk negeri lain. Apakah kita bisa menguasai negeri itu? Sebesar apa resiko yang harus kita ambil demi menjajahnya? Apakah penguasanya hanya sebuah boneka, atau justru naga yang tertidur? Pikiran-pikiran seperti itu akan selalu ada pada masing-masing penguasa—tidak peduli kau mencoba menyangkalnya atau tidak."

Ada semburat rasa marah yang terselip pada hati Var. Keadaannya tidak akan seperti ini jika Silvana bukanlah Gadis Perak yang dibicarakan orang-orang. Silvana terlalu rentan—amat rentan. Var tidak mengerti firasatnya yang menganggap gadis itu mirip dengan Quon. Baginya, Silvana dan Quon memiliki kepribadian yang bertolak belakang. Quon memang lemah, tapi dia tidak sebegitunya membuat Var gemas. Dalam sisi emosional, Quon lebih bisa diandalkan.

Dan terlebih lagi, Silvana terlalu mudah memberikan hatinya—sesuatu yang mungkin tidak bisa Var balas.

"Jangan pernah tundukkan kepalamu, jangan merendahkan diri untuk orang yang belum kau sungguh-sungguh percayai. Segala langkah yang kau ambil, akan berimbas langsung pada negerimu. Namun kau.. seorang putri yang bahkan tidak kenal dunia.. harus berhadapan dengan lima penguasa lain di hadapanmu. Pilih salah satu: tetap pada statusmu dan memberikan diri ditempa, atau melepas semuanya dan melihat kehancuran negeri yang ditinggalkan tunanganmu—Pangeran Mikhail."

Gerak Silvana hampir-hampir terkunci, begitu pun dengan pandangan matanya yang terantai pada Var. Goresan menyakitkan terasa lagi di ulu hatinya saat mendengar laki-laki itu menyebut nama Mikhail. Selama ini Silvana merasa dirinyalah yang paling terluka. Namun di luar itu, dia tidak memikirkan nasib dari seluruh rakyat Vighę yang menderita. Sampai-sampai untuk menutupi luka tersebut, mereka berputus asa dengan saling menyalahkan.

"Kau punya kekuatan besar untuk melindungi mereka," kata Var lagi. "Apakah dengan membiarkan kekuatan itu tersegel rapat, kau menghindar dari harapan-harapan di sekelilingmu?"

"Aku.." Kata harapan langsung mengingatkan Silvana akan sosok Sira. Kalau saja dirinya tidak dikurung.. kalau saja bukan hanya rohnya yang bergerak di hutan Tiberi waktu itu..

"Kau tidak bisa mengharapkan orang lain untuk selalu berjaga dengan setia di dekatmu. Sama halnya denganku."

Apa maksudnya itu?

Merasa tidak nyaman dengan kalimat terakhir yang dilontarkan Var, Silvana tiba-tiba menyambar gelas bir laki-laki itu. Var mengerjap kaget. Dia hanya bisa melebarkan mata melihat Silvana langsung menenggak bir tersebut sampai tandas. Saat meletakkan gelasnya lagi ke atas meja, rongga dadanya naik turun. Tubuhnya serasa dirambati angin musim panas yang membuat gerah.

Var menghela napas. Raut datarnya kembali. Di saat yang sama, Silvana tengah menata ulang emosinya. Menghirup udara dalam-dalam, Silvana menatap lurus pada Var. Keberaniannya muncul, namun kecanggungannya masih ada.

"Aku sudah kenyang," katanya.

Var melirik ke piring gadis itu. Oh yang benar saja, sejak kapan dia memakan ayam panggang itu hingga tersisa hanya tulangnya?

Mereka berbarengan keluar dari kedai. Silvana mendahului Var. Kali ini dia yang berjalan di depan. Pundak gadis itu naik turun, menunjukkan kegusarannya. Var tidak berkata apa-apa lagi dan hanya diam mengamati gerak Silvana yang berkali-kali oleng.

Sial, harusnya Var tidak membiarkan gadis itu meminum birnya.

Mendadak tubuh Silvana berbalik. Saking tiba-tibanya hingga Var mengerjap kaget. Mata Silvana menyipit sambil telunjuknya terangkat ke arah Var.

"Kau kejam," gumam gadis itu lalu menghela napas panjang sambil mendongak ke langit. "Ini kali pertama aku berkeliaran di luar paviliunku saat malam hari, dan kau tiba-tiba memberitahuku.. bahwa aku akan jadi seorang Ratu."

Var diam. Gadis itu sedang meracau sekarang. Tadi pasti kali pertamanya meminum bir, meski sebenarnya kadar alkoholnya tidak seberapa. Var pun jadi bertanya-tanya berapa sebenarnya umur gadis itu.

"Apa kau tahu.." Silvana menggumam lagi. Pandangannya menerawang. "Aku sangat.. sangat sangaaat sedih karena dia meninggalkanku. Tapi berkatmu, aku sedikit terhibur mengetahui dia ternyata meninggalkan miliknya yang berharga.. untukku."

"Apa itu?" Alis Var terangkat.

Silvana mengerang. Baru saja dia melahap makan malamnya ditambah segelas bir, dan sekarang dia diserang kantuk lagi? Gadis itu mengucek-ngucek kepalanya sebentar. Kala dia membuka matanya, warna biru safir itu berpendar, hanya saja dengan bulatan kehitaman yang membesar. Silvana tersenyum.

"Vighę," jawabnya. "Aku akan.. menjadi Ratu Vighę—apa pun yang terjadi."

Nada keraguan yang biasanya menghias di tiap lontaran kalimat Silvana kali ini menguar habis. Entah karena pengaruh bir atau sebagai hasil dikte dari Var, gadis itu mengucapkannya dengan penuh penekanan.

Silvana melangkah mendekati Var. Tubuhnya hampir menyentuh dada bidang laki-laki itu. Tatapan Silvana seolah menghipnotisnya. Fokus Var terkunci pada iris biru Silvana. Dia pun bergeming saat Silvana menarik tengkuknya, memaksa Var merunduk hingga gadis itu bisa mengecup bibirnya pelan.

"Terimakasih, Var..," ucap Silvana setengah berbisik. Gadis itu lalu menarik diri kemudian melangkah, mengambil arah berlawanan dari tujuan mereka semula.

Var buru-buru menahan lengan Silvana.

"Mau ke mana kau?"

Silvana menepis tangan laki-laki itu. Dia tersenyum penuh makna.

"Aku harus ke suatu tempat."

"Besok saja. Ini sudah malam." Var mungkin tidak bisa mengantar Silvana kembali ke kediaman Burö, tapi setidaknya Var bisa menahan gadis itu di penginapan hingga dia bisa memberitahu Cyde atau Kia.

"Kia akan mengantarku," balas Silvana. "Kia!"

Hanya dalam satu panggilan, Var melihat sosok laki-laki itu keluar dari salah satu gang sempit di antara rumah-rumah kayu. Sejak kapan dia ada di situ?

"Sampai nanti, Var," ucap Silvana sebelum akhirnya Kia membawa gadis itu pergi.

***

Kia menggendong Silvana di punggungnya sementara dia bergerak cepat ke selatan. Lengan Silvana melingkar di leher Kia dan gadis itu memejamkan matanya.

"Aku tidak mabuk—jika kau ingin menanyakannya," kata Silvana. "Ternyata tidak sulit berpura-pura agar aku bisa mengucapkannya dengan mudah pada laki-laki menjengkelkan seperti dia." Senyumnya tersungging samar. "Aku hanya merasa.. ringan."

Selang tidak berapa lama kemudian, mereka sampai di sebuah tempat, yang sekilas mirip gazebo kecil yang indah. Ada dua prajurit yang berjaga di sana, namun Kia langsung membuat mereka jatuh tertidur.

Gazebo tersebut rupanya didirikan di sebuah ruang bawah tanah yang luas. Silvana masuk ke dalam, melewati lorongnya yang minim penerangan. Ketika sampai di ujung lorong itulah, serpihan pertahanan Silvana pelan-pelan luruh melihat gundukan raksasa di ruangan yang megah.

Makam Mikhail Irridu-Hăgil I—Putra Mahkota Vighę.

Silvana melangkah mengitar gundukan tanah makam lalu beralih menghampiri lukisan besar yang terpasang di tengah-tengah dinding. Gadis itu tersenyum, di saat yang sama saat satu bulir air matanya menetes.

Kia tiba-tiba berjengit, merasakan ada orang selain mereka yang datang ke sana. Mengenali gelombang kekuatannya, Kia memilih menyingkir pergi.

Langkah kakinya terdengar semakin dekat. Silvana masih bergeming memandang lukisan Mikhail sampai akhirnya sosok itu berhenti tepat di belakangnya. Silvana menoleh. Rautnya sayu. Detik selanjutnya gadis itu merendahkan tubuhnya, bertelut tanpa berani memandang penguasa Vighę tersebut.

"Berdirilah, Nak," kata Thadurin II namun Silvana bergeming. "Setidaknya biarkan aku melihat wajahmu."

Silvana tidak bisa melakukannya. Tahu-tahu tangisnya tumpah tanpa bisa dicegah.

"Yang Mulia.. saya ke sini untuk.. minta maaf." Nadanya bergetar sampai-sampai dia tidak bisa mengucapkannya dengan benar.

Tidak ada awan kehitaman dengan petir menggelegar. Tidak ada kilatan-kilatan kehancuran. Tidak juga pendaran cahaya yang membutakan.

"Maafkan karena baru sekarang menjenguk Mikhail ..."

Tidak terhitung berapa kali dia ingin bersama laki-laki itu meski untuk terakhir kalinya. Meski pun tidak lagi bisa menyentuh, menggenggam tangan serta memberikan senyum manisnya untuk Mikhail, Silvana pikir semua sudah cukup hanya dengan berdiam sebentar di sisinya. Tapi setiap dia menguatkan hatinya untuk datang, jantungnya selalu tersayat menyakitkan. Silvana selalu saja kalah dengan rasa sakit pada bekas lukanya yang masih segar.

"Maaf karena telah melukai Yang Mulia ..."

Kemarahan membuat monster dalam dirinya lepas kendali, dan Thadurin II adalah salah satu orang yang berusaha meredam ledakan dalam tubuh Silvana. Raja Vighę—nyawa negerinya sampai-sampai terancam. Silvana bisa saja membunuhnya.

"Maaf karena menempatkan Vighę dalam bahaya ..."

Dan apa yang ditinggalkan Mikhail untuknya..

"Saya minta maaf.. untuk semuanya.. maafkan karena baru sekarang... memberanikan diri untuk meminta maaf dari Yang Mulia..!"

Ada sesuatu yang berbeda dari Silvana—sesuatu yang langsung bisa ditangkap oleh Thadurin II. Bukan suatu kebetulan dirinya datang ke makam Mikhail, apalagi saat ini sudah larut. Silvana sendiri yang mengirimkan pesan untuknya di malam sebelumnya. Butuh keberanian yang teramat besar untuk merunduk dan merendahkan diri seperti yang dilakukannya kini. Dia tidak mencoba membela diri, bahkan tidak berani menatap Thadurin II.

Kematian putranya sudah cukup mengerikan. Tangis gadis itu semakin mencabik hati Thadurin.

"Ini perintah," kata Thadurin II yang langsung membuat tubuh Silvana menegang. "Angkat wajahmu!"

Silvana terpaksa menurut. Dia mencoba meredam tangisannya, tapi tidak berhasil. Air mata yang keluar justru semakin banyak. Matanya tidak bisa membuka dengan benar. Hidungnya memerah. Jantungnya bergolak liar. Suara tangisnya pun semakin kencang.

Thadurin II lantas memeluknya. Dia menepuk-nepuk punggung Silvana, sembari membisikkan ucapan-ucapan demi menghibur gadis itu. Ternyata butuh waktu sangat lama hingga Silvana benar-benar berangsur tenang.

"Saya akan menjaga Vighę, bersama Yang Mulia demi Mikhail," katanya sambil menatap lekat pada Thadurin II. "Bimbing aku.. tempa aku.. hingga menjadi Ratu terbaik yang pernah menguasai Oltra."

.

.

.

"I am not afraid anymore

Standing in the eye of the storm

Ready to face this, dying to taste this, sick sweet warmth."


*Extra chapter: Charas II updated

Song: Calum Scott - Dancing on My Own

Continue Reading

You'll Also Like

2.7K 398 50
[THE CHILDREN OF GODDESS #2] Kelanjutan Daughter of Naterliva Mendamaikan manusia dan naga hanyalah awal dari segala sesuatu. | • | Kabar kesuksesan...
13.5K 2.1K 41
Bagaimana jika sebuah buku diary tua yang sangat kusam menyedotmu masuk ke dalamnya? |•| [The Lost Series; Book 1 : Indonesia] Caya tidak mengerti me...
121K 23 1
"Aku kira ceritanya ga bagus... tapi setelah baca, aku suka banget! ... dan aku jadi suka sejarah setelah baca cerita ini (Testimoni pembaca)". Alea...
9K 2K 72
Amazing cover by @hayylaaa Kehidupan masa lalu masih belumlah berakhir. Malah kini menghampiri dalam wujud mimpi demi mimpi, menyampaikan pesan. Yan...