Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.6K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

40. Autumn

6.4K 723 19
By Cassigatha19

Setelah merasa cukup beristirahat, Var berniat melanjutkan perjalanan mereka ke Taruhi. Dia pun membungkuk supaya Silvana bisa naik punggungnya. Sebelum Var melompat, gadis itu bertanya mereka akan pergi ke mana. Sialnya, Var yang tidak peka menyebut Taruhi. Kontan hal itu membuat Silvana melonjak-lonjak bahkan menghujamkan kuku tangannya ke punggung Var yang luka.

Jadilah pertengkaran kali ini tidak terhindarkan.

"Kenapa kau membawaku ke Taruhi?!"

"Kau tidak bisa terus-terusan ada di benteng! Apa kau tahu apa yang akan terjadi kalau aku tidak membawamu pergi?!"

"Apanya yang jauh lebih buruk dari dikurung selama waktu yang tidak pasti di tempat penyegelan macam itu?!"

"Itu kalimat ucapan terimakasih setelah percobaan bunuh dirimu tadi? Diam saja sudah lebih dari cukup dan kau tidak perlu menyusahkan siapa pun lagi!"

"Menyusahkan?!" Silvana membalas tidak kalah sengit. "Siapa yang menolak mendengarkan sewaktu aku memperingatkanmu tidak pergi ke pulau kecil itu semalam?!"

Var mengusap wajahnya—frustasi. Didera kekesalan yang mencapai ubun-ubun, Silvana berbalik lalu menjauh dari Var dengan kaki yang sengaja dihentakkan. Dia juga sengaja mengeraskan gerutuan hingga Var bisa mendengar.

"Berhenti!" suruh Var tapi tentu saja tidak digubris. Menghela napas, dia pun terpaksa mengikuti gadis itu saat melewati ilalang juga sulur-sulur yang menggantung. Belum memasuki hutan Am saja mereka sudah susah bergerak.

Ikatan rambut Silvana hampir tidak berbentuk. Dia terkesiap saat sebatang ranting tidak sengaja membuat beberapa helaiannya tersangkut. Ikatannya terlepas, menggeraikan rambut hitamnya yang legam hingga menjuntai hampir menyentuh permukaan tanah. Silvana panik. Dia mencoba menarik-narik rambutnya, namun itu justru memberikan efek buruk bagi luka di leher. Lagi-lagi garis-garis darah merembes ke pembalut luka itu.

Var terdiam. Setelah sempat menghentikan langkah, dia pun mendekati Silvana. Gadis itu masih memberikan rona cemberut. Akan tetapi dia menurut saat Var memutar bahunya ke depan supaya bisa melepaskan helaian kusut rambutnya dari ranting.

"Duduk," perintah Var setelah menggiring Silvana ke akar salah satu pohon yang melesak tinggi di atas tanah. Laki-laki itu dengan sabar mengumpulkan helaian rambut panjang Silvana dalam genggaman kemudian menggulung serta mengikatnya. Teksturnya yang halus dan jatuh membuat Var lebih mudah merapikannya biarpun hanya disisir jari.

"Var.." Silvana memanggilnya dengan sedikit mendongak.

"Apa?"

"Aku lapar."

Hening. Var juga mengakui dalam hati jika perutnya terasa perih. Mereka tidak makan apa pun sejak semalam.

"Aku tetap tidak akan ke Taruhi.. ataupun kembali ke Vighę," kata gadis itu pelan. Var tidak perlu menghadapnya untuk tahu jika pandangan Silvana menerawang sedih. "Bertahun-tahun aku tumbuh dan dibesarkan dalam paviliun, tidak sekali pun aku mengeluh. Tapi sekarang setelah kekuatanku tersegel.. aku ingin pergi ke mana pun tanpa takut akan melukai orang lain."

Silvana memutar tubuhnya hingga dia bisa mendongak memandang Var.

"Apa kau takut padaku, ataukah.. khawatir terjadi sesuatu pada negerimu karena aku ada di sini?" tanyanya. "Apa dengan mengirimku ke Taruhi kau bisa tenang? Aku tahu akulah yang telah mengarahkanmu ke pulau itu.. meskipun aku telah berusaha menghentikanmu."

Var berjongkok supaya bisa menatap Silvana dalam satu garis lurus. Kedua tangannya menangkup wajah gadis itu, juga merasakan tekstur pembebat yang membalut lehernya. Silvana berkedip pelan. Dia menunduk lalu memejamkan mata.

"Kau tetap tidak bisa terus-terusan berada di sini," kata Var yang langsung mendorong Silvana membuka matanya lagi. Warna iris keduanya yang kontras saling bertumbukan. "Raja Kith menginginkanmu. Karena itulah dia membunuh permaisuri. Masalah yang kami hadapi soal pulau yang menyembunyikan perompak itu.. aku curiga ada hubungannya dengan Pangeran Hurdu. Kita tidak pernah tahu apakah keduanya saling bersekongkol atau tidak. Yang pasti, aku tidak bisa membiarkanmu jatuh ke tangan yang salah."

"Kalau begitu bawa aku. Di mana pun tidak masalah. Asalkan bersamamu-.."

"Vighę akan terus-terusan memberi masalah pada kerajaan lain kalau kau tidak kunjung ditemukan."

"Kia akan mengatasinya," ucap Silvana. "Dia hanya perlu memberitahu soal diriku pada ayahku.. Kabar dariku sudah cukup dibanding aku harus kembali."

Var mengernyit. "Darimana kau mengenal Kia?"

"Bertahun-tahun lalu..," jawab Silvana. "Karena akulah yang menyegel kekuatannya serta mencabut suara yang dia punya. Dia juga teman yang paling aku sayangi."

Var hendak mengajukan pertanyaan selanjutnya ketika mendadak bunyi perut menyela. Silvana mengerjap. Dia langsung merangkul perutnya sendiri. Pipinya merona. Var menghela. Dia bangkit berdiri kemudian melepaskan jubahnya. Jubah itu lalu membalut tubuh gadis itu. Tidak lupa Var juga memasangkan tudung besarnya hingga wajah Silvana seakan tenggelam—hanya menyisakan bibir ranumnya serta dagu.

Var mengangkat tubuhnya lalu melompat tinggi ke udara. Mereka mengarah ke Hăerz. Setelah melihat posisi yang aman untuk mendarat, Var pun menurunkan Silvana. Gadis itu tampak meringis sambil mengusap-usap leher. Wajahnya juga agak memucat. Var merobek sedikit bagian bawah bajunya lalu memasangkannya ke leher Silvana. Laki-laki itu lantas menggandengnya ke suatu tempat.

Silvana mengingat tempat itu. Dia pernah ke sana sebelumnya dengan Var dan Rife. Kedua laki-laki itu memberi pelajaran pada si Pandai besi—Bugu dengan menyita jimatnya sebagai jaminan.

Var dan Silvana masuk ke dalam, mendapati Bugu tengah tertidur seraya mendengkur. Var mendekat dan tanpa aba-aba menendang keras kaki kursi yang diduduki Bugu. Kontan pria itu terperanjat dan gelagapan melihat tubuh Var yang menjulang tinggi di hadapannya.

"Tu-tuan Var!" seru Bugu seperti melihat hantu. "Bu-bukannya senjatanya sudah diambil kemarin? Apa sekarang rusak lagi?"

"Belikan kami makanan. Aku lupa tidak membawa uang."

"Hah?"

Var hanya mengernyit menanggapi reaksi pria tua itu. Menelan ludah, Bugu pun cepat-cepat mengangguk.

"Apa yang ingin kau makan?" tanyanya.

"Apa saja. Dan jangan coba-coba bilang pada siapa pun kalau aku ada di sini."

Sebelum Bugu keluar, Silvana membuka tudungnya dan meraih lengan Bugu. Bugu tentu saja kaget, terlebih saat Silvana memojokkannya ke dinding.

"Aku pernah melihat roti yang dikukus berisi daging di sini..," kata gadis itu. Pancaran matanya berkilat antusias. "Bentuknya bulat dan sebesar ini." Dia menunjukkan kepalan tangannya pada Bugu.

"Roti kukus?" Bugu mengerutkan kening.

Silvana mengangguk.

"Baiklah." Pandangan Bugu beralih pada Var yang seenaknya duduk di kursi kesayangannya. Laki-laki itu tetap saja menakutkan biarpun tengah membawa seorang gadis kali ini.

Bukannya dari yang terakhir Bugu dengar, Var punya tunangan? Belum-belum dia berencana memiliki gundik?

***

Berpasang-pasang mata terarah padanya. Helaian rambut keemasan gadis itu memantulkan terang. Ditambah lagi gaun merahnya membelah lorong Emerald, di mana seluruh siswanya mengenakan jubah hijau. Setelah Cyde dan Dalga pergi, dia menjadi satu-satunya kepala asrama yang bisa diandalkan—karena kesehatan Ren yang memburuk.

Tanpa sungkan, Cushrinada El-Lilac mendatangi asrama Emerald untuk siswa laki-laki. Kedua tangannya menopang nampan dengan semangkuk bubur hangat yang tertutup rapat. Gadis itu berhenti di muka pintu kamar yang memiliki ruang paling luas. Seorang siswa buru-buru membukakan pintu untuknya, karena beberapa hari ini telah sering datang.

Ren tidak menoleh saat Lilac masuk. Meski duduk di atas ranjangnya, ditopang tumpukan bantal besar sebagai sandaran, Ren rupanya tetap menyibukkan diri dengan membaca. Meja lipat di depannya menyangga beberapa buku besar. Lilac tersenyum lalu meletakkan nampan yang dibawanya ke atas meja laci sebelah ranjang Ren.

"Aku sudah bilang kau tidak perlu ke sini lagi," kata Ren tanpa mengalihkan perhatian.

"Ancamanmu ditujukan pada orang yang salah," balas Lilac tidak kalah cuek. "Habiskan makan siangmu. Baru setelah itu aku tidak akan mengganggumu membaca."

Ren membalik satu lembar buku yang dia baca. Keningnya berkerut, berniat tidak ingin meladeni gadis itu. Lilac menghela napas. Dia tidak menyerah. Kemudian tanpa menunggu persetujuan Ren, dia mengambil mangkuk bubur yang dibawanya. Lilac duduk di tepian ranjang Ren. Tutup mangkuk dia buka sehingga langsung melepaskan uap samar yang memuat harum bubur. Lilac lalu mengaduknya.

"Keluarlah. Pelayan yang akan mengantar makan siangku." Ren masih keras kepala.

Lilac menoleh. "Aku tidak membawa apa pun dari Ruby. Ini dari dapur Emerald. Aku memintanya langsung pada tukang masak yang khusus membuatkan makanan untukmu."

Mereka saling bersitatap. Ren melihat iris merah Lilac bagaikan biji kesumba—warna yang sama dengan bibir ranumnya yang merekah indah serta gaun yang dia kenakan. Gadis itu menyendok sedikit bubur lalu menyorongkannya ke mulut Ren. Tanpa melepas tatapannya, Ren membuka mulut, merasakan hangat bubur itu meleleh di lidahnya.

Lilac tersenyum.

"Seharusnya banyak pekerjaan menunggumu di Ruby, Zaffir dan Cith," ujar Ren lalu membalikkan lagi halaman buku.

"Aku tahu. Keterlaluan sekali ya?" Gadis itu justru terkekeh. "Mereka bocah tidak tahu diuntung—membebankan semua hal di sini padaku."

"Kepala sekolah tidak akan menyukainya jika kau justru memaksa mengambil waktu luang."

"Simpan saja kekhawatiranmu sampai beliau benar-benar mengetahuinya." Lilac menyendok sedikit bubur. Sambil menadahkannya dengan tangan kiri, ujung sendok tersebut dia sodorkan ke mulut Ren. "Berhenti menggerutu dan habiskan ini."

"Aku bisa makan sendiri," tolak Ren yang mengernyit tidak suka.

"Jadi kau setuju memakannya?"

Lagi-lagi Ren terdiam. Namun bukannya menarik sendoknya, Lilac masih menjulurkan sendok pada Ren. Mata gadis itu pun tidak lepas menatap Ren. Beberapa detik mereka bertahan pada posisi itu—Lilac yang keras kepala dan Ren yang tampak kesal. Lilac mengangkat alis saat Ren akhirnya membuka mulutnya sedikit. Sesendok bubur pun masuk ke mulut laki-laki itu.

Senyum yang menghiasi pipi Lilac membuat Ren enggan memandangnya lagi. Bukan lagi karena dirinya gusar pada keberadaan gadis itu. Lilac sudah terlalu sering mencoba ikut campur dalam urusannya—meski dia juga melakukannya pada Cyde dan Dalga. Untuk Ren, Lilac juga seakan berusaha masuk ke kehidupannya. Tidak terhitung berapa kali Ren memberi gadis itu bentakan kemarahan yang meluap-luap, namun Lilac menganggapnya angin lalu—seolah yang dihadapinya bukan Ren sang Kepala asrama Emerald, melainkan seorang bocah kecil yang labil.

"Kau nyaris tidak pernah sakit sebelumnya, Ren," ujar Lilac. Kepalanya menunduk sambil mengaduk-aduk bubur lagi. "Mereka pasti menggunjingkanmu. Kenapa seorang yang ahli dalam obat-obatan sampai jatuh sakit? Mungkin saja seseorang telah meneluhmu."

Bahkan sampai sekarang Ren pun tidak mengerti kenapa kondisi kesehatannya terus menerus menurun. Belum lagi bisikan-bisikan yang sering menerornya. Sesuatu dalam dirinya mendorong Ren untuk melakukan kejahatan. Ketika masih di Hurdu beberapa waktu lalu, Ren telah membunuh dua pelayan serta tukang kebun manornya. Tanpa siapa pun tahu, Ren pun juga melenyapkan seseorang di Gihon dengan status sebatang kara, sehingga tidak akan ada yang mengorek sebab dia meninggal. Semua ini gara-gara percobaannya yang tidak kunjung berhasil. Ren tahu apa yang diperbuatnya harus dihentikan sebelum terlambat.

"Cepatlah sembuh, Ren," ucap Lilac. "Aku tidak memiliki teman untuk berdebat. Dan juga.."

Bunuh dia..

Ren mengerjap saat bisikan itu datang lagi. Sembari mendengarnya, Ren menatap iris merah Lilac yang meredup.

"Karena aku menunggumu ..." Gadis itu berkata pelan penuh harap. Betapa Lilac ingin selalu berada di dekatnya, karena dia merindukan pertengkaran-pertengkaran yang lalu. Ren yang dingin bagaikan dinding yang sukar ditembus.

Lilac mencintainya. Dia bertanya-tanya masihkah mereka akan tetap berhubungan ketika lulus dari Gihon nanti. Ren harus kembali ke Hurdu dan dia pun harus pulang ke Larөa.

"Apakah kau sebegitu putus asanya karena Cyde pergi?" Sebisa mungkin Ren menahan keresahan karena bisikan tadi terus terngiang dalam benak.

Lilac terkekeh. "Aku dan Cyde hanya berteman. Untuk beberapa hal, kami memang tim yang serasi." Senyum Lilac lalu berganti dengan ekspresi kaku. Kembali dia menatap Ren dengan keraguannya. "Apa itu yang membuatmu menjaga jarak denganku?"

Bunuh dia..

Ren makin mengetatkan rahang, merasakan jantungnya yang bergolak menyesakkan. Lilac yang kentara menyodorkan diri membuat bisikan di dalam Ren semakin liar. Kalut dengan pikirannya yang berdebat, Ren sampai-sampai tidak sadar Lilac perlahan mendekatkan wajahnya. Kelengahan Ren dimanfaatkan dengan baik oleh Lilac yang mencuri satu ciuman singkat.

"Anggap itu imbalan untukku," kata gadis itu yang lantas menarik diri. Dia meletakkan mangkuk bubur Ren ke meja lalu beranjak pergi dari sana tanpa menoleh.

Lilac bersandar setelah menutup pintu kamar Ren. Jantungnya bertalu-talu karena dua alasan.

"Nona, kita harus segera ke Zaffir. Sebentar lagi uji pertarungan akan dimulai." Seorang siswa berseragam biru memberitahunya. Lilac sebagai pengganti Cyde harus memberikan sambutan singkat sebelum acara tersebut diselenggarakan. Siswa itu menghampirinya di titik yang tidak jauh dari pintu kamar Ren.

Lilac tidak menyahut. Dia hanya membalas dengan anggukan kepala. Keringat dinginnya mengucur dengan pandangan yang sedikit berkabut.

"Apa anda baik-baik saja?"

Kenapa.. Batin Lilac bertanya. Aku selalu merasa aneh tiap keluar dari kamar itu?

Lilac tidak berkata apa pun selama siswa tadi menyertainya menuju Zaffir. Kehadiran gadis itu langsung membuat siswa-siswa Zaffir yang menyemut bersorak-sorai. Lilac naik ke podium. Tangannya melambai sambil melemparkan senyum lebar. Tiap akhir kalimatnya selalu disusul tepuk tangan riuh. Calon-calon ksatria itu pun menghentak-hentakkan kaki saat Lilac menyelesaikan sambutannya hingga bangku penonton bergetar.

Lilac menghadap ke samping, hendak melangkah menuju tempat duduk yang disediakan khusus untuknya. Gadis itu menelan ludah. Pusingnya kian bertambah. Baru satu langkah dia bergerak, tubuhnya limbung dan jatuh. Kontan semua orang di sana didera kepanikan.

Sementara para siswa di bawahnya heboh, seseorang di atap duduk dengan santainya. Dagunya menumpu pada lutut yang ditekuk menyilang.

Seorang laki-laki dengan cape putih dan bros berlian tersemat di selangka kirinya.

Dia akan mati, gumamnya memasang wajah tidak peduli. Cepat atau lambat.

.

.

.

"Someday I'll change too

But in front of you, everyday

I won't make it typical

You know, I've promised

Even after a thousand years

I'll only love you."

.
.
.
Lilac sudah ditambahkan ke Bab Charas II

Continue Reading

You'll Also Like

336K 30.7K 42
I. Chapter One Cara Nicole hanyalah gadis biasa yang menjadi kunci kedamaian Dixie Mirror. Dunia Cermin itu terhubung dengannya melalui cermin yang...
196K 12.4K 19
Keira Hanirasya adalah gadis Jakarta yang cukup berandalan di sekolahnya. Ketika seorang temannya mengatakan jika ia mirip dengan seseorang, Keira ta...
17.8K 3.7K 90
Gadis itu tak bersalah, tetapi darah penyihir dalam tubuhnya secara tidak langsung memaksanya bersembunyi bak buronan demi bertahan hidup. Berawal d...
13.5K 2.1K 41
Bagaimana jika sebuah buku diary tua yang sangat kusam menyedotmu masuk ke dalamnya? |•| [The Lost Series; Book 1 : Indonesia] Caya tidak mengerti me...