Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.6K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds
Wind in Laroa: White

39. Wounds Heal

6.1K 784 45
By Cassigatha19

Birthday gift 😘

*

Angin fajar bertiup. Punggung Var miring, bersandar pada kursi di ujung ranjang tempat Rife berbaring. Kelopak matanya berkedip lelah. Dia menoleh, mendapati keadaan Rife tidak berubah. Kondisi laki-laki itu benar-benar tidak mengalami perubahan. Helaan napasnya melambat. Tidak terhitung berapa kali Var merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa berbuat apa pun, sementara Rife telah memberikan banyak hal bagi Var.

Var tidak memiliki air mata. Semuanya telah habis tidak tersisa, sama ketika Var juga kehilangan Quon. Kali ini pun laki-laki itu tidak menangis-tepatnya tidak bisa. Kematian telah mengambil banyak hal darinya.

Kepala Var berdenyut menyakitkan. Dia memejamkan mata rapat-rapat, lalu membukanya kembali. Tirai jendela kamar tersebut meliuk lembut. Perhatiannya mendadak beralih saat terdengar bunyi pintu berderit. Var menoleh.

Apakah pintu itu memang tidak tertutup sedari awal?

Dirambati perasaan aneh, Var beranjak. Beberapa detik bayangannya menimpa daun pintu itu sebelum menarik membukanya. Tubuhnya seketika membeku melihat seseorang yang berbaring menyamping. Leher dan kepalanya tenggelam dalam genangan darahnya.

"Qu-.." Bagaikan dejavu, Var dipaksa lagi melihat pemandangan yang mati-matian ingin dia lupakan. Nyaris saja dia menyerukan nama Quon. Tubuhnya condong pada gadis itu, dan sepersekian detik tangannya mengambang.

Var mengetatkan rahang, tidak membiarkan kekalutan menguasainya. Buru-buru karena diserang kepanikan tiba-tiba, laki-laki itu mengangkat tubuh Silvana. Teriakannya nyaring, memerintahkan prajurit terdekat untuk segera memanggil tabib.

Kemudian di saat yang sama, Kia menyelinap masuk ke kamar tadi. Dari balik jubahnya dia mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan merah yang kental-darah. Kia membuka mulut Rife, selanjutnya menuangkan darah Silvana ke dalam. Dia tidak beranjak sebelum memastikan Rife menelan darah yang dia bawa sampai tetes terakhir.

***

Suasana yang tadinya berubah tenang kini kembali menegang. Cyde dan Fiona seakan dibangunkan tiba-tiba karena keributan yang terjadi. Cyde pun terkejut bukan main saat mendapati Silvana tidak lagi berada di ranjang. Cyde dan Fiona sempat bertukar pandang sebelum bersama-sama keluar ruangan-mencari Silvana sekaligus untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Mereka mengikuti beberapa orang yang berlarian, beberapa wanita pelayan yang berwajah resah. Kekhawatiran Cyde makin bertambah sesampainya dia di satu ruang, di mana beberapa prajurit berkerumun di ambang pintu. Kasar, laki-laki itu meringsek masuk tanpa bisa dicegah. Var menoleh padanya dengan mata melebar. Tiba-tiba Cyde mencengkeram kerah Var.

"Apa maksudnya ini?" tanya Cyde yang sudah terlanjur emosi melihat tabib dan seorang pelayan selesai membebat leher Silvana dengan amat hati-hati. Raut gadis itu sepucat kertas. "Dia baik-baik saja saat tertidur tadi!"

Var juga memiliki pertanyaan yang sama. Dia pun tidak punya jawaban pada pertanyaan Cyde. Alhasil laki-laki itu hanya bisa mematung diam. Kemarahan Cyde kian menjadi melihat ekspresi keruh Var. Tabib dan pelayan yang melihat pun sampai menahan napas melihat Kepala Asrama Zaffir itu semakin mengetatkan cengkeramannya.

"Seseorang melukainya?" tanya Cyde lagi. "Kau memberi tahu semua orang soal siapa sebenarnya dia?!"

"Tuan Cyde.." Fiona berusaha memisahkan keduanya. "Saya mohon tenanglah dulu."

Cyde menampik Fiona hingga gadis itu terdorong mundur. Satu tangannya melepas cengkeraman pada kerah Var, tapi di saat yang sama tangan itu juga dia gunakan untuk memukul Var. Fiona refleks menjerit melihat Var sampai terjatuh ke belakang karena Cyde memukulnya sangat keras-tepat di rahang.

Dengan bahu yang naik turun, Cyde beralih mendekati tempat Silvana berbaring. Noda kemerahan mengotori bantalan yang jadi alas kepalanya. Tangan Cyde menangkup wajah pucat gadis itu.

"Jelaskan padaku," tuntutnya tajam pada tabib.

Sang Tabib menelan ludah. Wajah menyeramkan Cyde ketika marah hampir mirip dengan Var.

"Lehernya disayat. Lukanya hampir mengenai arteri. Saya sudah berusaha menekan pendarahan. Sekarang kita hanya bisa menunggu. Jika tadi terlambat sedikit saja, dia mungkin sudah mati."

Cyde bangkit berdiri. Dia melemparkan tatapan tajam pada Var, lalu beralih memandang Fiona.

"Dia harus kembali ke Vighę," kata laki-laki itu. Saking kalutnya, dia mungkin akan langsung melontarkan kalimat sumpah serapah jika seseorang berusaha berkompromi, apalagi menentang keputusannya.

Kia hadir di saat yang hampir bersamaan. Raut tanpa ekspresi yang dia miliki, membuat laki-laki itu terkesan tenang. Untungnya Cyde terlalu gusar untuk menyadari reaksi Kia yang aneh padahal mereka bisa melihat kondisi Silvana. Cyde melangkah ke balkon. Dia bersiul nyaring memanggil Didasilė-burung hantu miliknya.

Namun sebelum Cyde menerbangkan Didasilė untuk mengirim pesan, seorang prajurit menerobos masuk dengan tergesa-gesa. Var mengernyit.

"Tuan Varoscar, ini memang bukan kabar resmi tapi.. Yang Mulia Raja sedang dalam perjalanan ke sini."

Seakan disambar petir, Var, Cyde, Kia dan Fiona kontan membelalak. Tentu saja ada kemungkinan jika kedatangan Ghaloth dikarenakan ingin mencari tahu kejadian semalam yang kabarnya menyebar heboh ke mana-mana. Banyak prajurit tewas karena kejadian itu. Meski mereka akhirnya menemukan sarang perompak, Ghaloth tidak akan senang karena jumlah prajurit yang tewas tidak sedikit. Namun terlepas dari masalah itu sekarang...

"Kenapa harus di saat seperti ini?" Fiona menggigit bibir-panik.

"Apa ada kemungkinan dia tahu soal Silvana?" Lagi-lagi pandangan tajam Cyde mengarah ke Var, menyudutkan laki-laki itu. Var memang belum menemukan cara supaya Cyde menerima dalih yang dirinya buat. Tapi demi apa pun, kapan dia akan berhenti menghujami Var dengan tuduhan-tuduhan spontan?

"Putri harus dibawa pergi secepatnya!" kata Fiona.

"Aku akan membawanya dengan kudaku," balas Cyde di detik yang sama. Kepanikan meliputi mereka, tidak terkecuali Kia.

"Tidak."

Mereka kontan menoleh ke arah yang sama di mana Var mendadak berucap tidak setuju. Mata Cyde menyipit, sedangkan Fiona dan Kia memandang laki-laki itu penuh arti.

"Aku bisa membawanya pergi jauh lebih cepat dari kuda mana pun di dunia ini," klaim Var yang seketika memancing kembali emosi Cyde. Dia bahkan bergeming saat Cyde mencengkeram kerahnya lagi.

"Apa yang kau lakukan lebih dari cukup," geram Cyde. Segala hal yang ada pada Var meruntuhkan kepercayaannya tanpa sisa. Tidak disangka-sangka Kia menepuk pundaknya pelan. Mengerjap, Cyde menemukan raut memohon dari Kia. "Apa?" Cyde mengernyit.

"Biarkan Var membawanya."

Mereka dikejutkan lagi oleh satu orang yang hadir. Masih dalam keadaan terluka dan langkah yang bergerak tertatih, dia berusaha untuk berdiri tegap dibantu oleh tangan kirinya yang menumpu pada bingkai pintu. Dilihat sekilas, penampilannya masih kacau balau. Pembebat menutup lukanya di sana-sini. Noda kemerahan pun tercetak jelas menembus pembebat putih di bagian dadanya.

Bukan hanya Var, Cyde dan Fiona pun tercengang. Padahal dengan luka separah itu, seharusnya dia sudah mati! Tabib pun menyerah mengobatinya, jadi bagaimana bisa..

Rife tersenyum meringis-sok-sokan bergaya padahal rahangnya terasa sangat ngilu.

"Aku tidak tahu siapa gadis itu," katanya. "Aku yakin Var pun sama. Kami membiarkannya dirawat di sini lumayan lama. Tidakkah itu cukup membuatmu percaya padanya untuk kali ini saja? Ghaloth sudah dalam perjalanan ke sini. Kalian tidak punya banyak waktu. Lompatan Var bisa disamakan dengan terbang."

Cyde membuka mulutnya, hendak mendebat. Tapi Kia sudah lebih dulu meremas bahunya. Sungguh, baru kali ini Cyde melihat Kia begitu bersikeras. Permohonannya sangat mudah diartikan lewat kedipannya yang pelan dan penuh arti. Lidah Cyde mendadak kelu.

"Dan sementara Var pergi.." Rife menambahkan. Meski merasa tubuhnya jauh lebih baik untuk alasan yang tidak dia mengerti, tapi tetap saja napasnya masih terasa berat. "Aku butuh bantuan di sini. Kalian pasti bisa membantu memikirkan alasan apa yang harus kukatakan pada raja."

Yang lain terdiam. Var memandang Rife dengan berjuta makna terselip di dalamnya. Rife tersenyum sembari menambahkan seringai hambar.

"Pergilah sekarang," dorong Rife mengingatkan.

Sebelum Var menyentuh Silvana untuk menggendongnya, geraknya terhenti saat Cyde berucap penuh penekanan.

"Bawa dia ke Taruhi," kata laki-laki itu tanpa menatap Var. "Aku akan menyusul secepatnya. Dan jika kalian tidak kunjung muncul di sana, aku akan membuat perhitungan denganmu."

Var terdiam melihat Cyde mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia juga tidak menoleh saat Var mendekap Silvana ke dalam pelukannya lalu mengangkat tubuh itu keluar ke balkon. Fiona tiba-tiba menggapai lengan Var. Gadis itu merogoh kantung di balik jubahnya dan mengeluarkan botol kecil.

"Ini penawar lukaku. Memang tidak seampuh herin, tapi itu akan membantu. Buat putri meminumnya sampai habis. Tidak ada reaksi menyakitkan, tapi siapa pun tidak akan suka rasa dan baunya," kata Fiona lalu menyelipkan botol itu ke dalam jubah Var.

Var menatapnya selama beberapa detik sebelum akhirnya menghentakkan kaki. Tubuhnya melambung tinggi, membawa Silvana pergi.

***

Beberapa jam yang lalu, ketukan paruh gagak bermata merah menyala membangunkan Ghaloth. Laki-laki itu turun dari ranjang, membuka jendela hingga gagak tersebut langsung bertengger di jari telunjuknya. Dalam kebisuan Ghaloth mengusap-usap tubuh sang Gagak. Perlahan gambaran yang telah terekam dalam otak gagaknya berhasil tersalurkan.

Senyum Ghaloth mengembang. Sengaja tanpa mengirim prajurit yang mengabarkan kedatangannya, dia bergegas pergi ke benteng pesisir. Dia hanya membawa sedikit pengawal.

Ratraukh dengan cepat menyusulnya. Telinga pria itu memang selalu peka dengan segala hal yang menyangkut Varoscar.

"Yang Mulia cukup memerintahkan saya untuk memeriksa keadaan di sana, kenapa harus turun tangan langsung?" tanya Ratraukh saat keduanya menunggangi kuda secara bersisian.

Ghaloth tidak melihat Salazar. Padahal jika dia tinggal di manor Buriand, kabar mengenai kejadian semalam akan langsung menyita seluruh perhatiannya. Ghaloth bisa membayangkan wajah memerah laki-laki itu saat menahan amarah. Dengan ditemukannya Pulau Phranoa yang menyembunyikan komplotan perompaknya, Salazar pasti paham benar jika rencananya telah hancur lebur.

Ghaloth pun penasaran bagaimana putra Ratraukh itu bisa mengetahui posisi Pulau Phranoa. Namun rasa penasarannya tidak mendekati perhatiannya yang begitu besar menyoal keberadaan seseorang yang rupanya bersembunyi di benteng.

Silvana Burö ada di Kith.

Informasi yang benar-benar tidak ingin dibagikan Ghaloth pada Salazar. Mungkin Ratraukh akan keheranan karena sikap Ghaloth kini terlampau tenang, padahal dia benar-benar menginginkan Silvana ada dalam cengkeramannya. Ghaloth hanya tidak ingin terburu-buru. Mungkin saja seseorang telah membocorkan kedatangannya hingga beberapa orang di benteng diliputi kepanikan. Bahkan mungkin saja mereka telah melarikan Silvana pergi sejauh-jauhnya.

Itu bukan masalah selama mata-mata Ghaloth kini telah tersebar di mana-mana.

"Menurutmu apa yang harus kulakukan, Ratraukh?" tanya Ghaloth dengan senyum kelam seperti biasa. "Memberi mereka hadiah berlimpah, ataukah.. hukuman cambuk?"

***

Tujuh lompatan dengan hampir seluruh energi yang tercurah membuat Var terengah-engah. Terlebih lagi dia membawa Silvana dalam pelukannya. Var pun harus memastikan dia bergerak hati-hati supaya tidak terjadi apa-apa pada gadis itu. Karena degup jantung Var yang bertalu-talu menyakitkan, dia pun terpaksa memilih beristirahat sebentar.

Taruhi masih sangat jauh. Var pun tidak yakin bisa mencapai Shiralun hari ini juga.

Var kemudian mendudukkan Silvana di tengah-tengah akar beringin yang melesak keluar dari tanah. Wajah pucat gadis itu membuat batin Var nyeri.

Tanpa Silvana menyadari, Var telah lebih dulu tahu identitas sebenarnya gadis itu saat pertama kali Silvana memberitahukan namanya. Raveann dan Vighę gempar karena dia menghilang di tengah perjalanannya ke Taruhi. Var mulai bisa mencerna kenapa tubuhnya bisa dengan cepat sembuh setelah pertarungan dengan Clao. Untuk alasan yang sama, dia juga paham sebab Rife lolos dari kematian.

Katakanlah Silvana merupakan sosok setengah dewi yang orang-orang sebut memiliki karakter penuh belas kasih, tapi Var tetap tidak bisa memahaminya dengan mudah. Perlakuan Silvana berbeda untuknya. Dia juga tampak tidak terlalu mengacuhkan orang asing. Bukankah Var juga salah satu orang asing bagi gadis itu? Dan kenapa pula Var merasakan ikatan keduanya saat melihat segala macam ekspresi Silvana.

Kenapa perasaan Var bisa dengan mudah terombang-ambing hanya karena tidak sengaja menemukan gadis itu saat terluka dan tak berdaya?

"Apa kau ingin kembali?"

Silvana menggeleng.

"Kalau begitu jangan pergi. Tetap di sini-tetap di sisiku."

Apakah yang diucapkan Silvana saat itu merupakan kejujuran?

Var menghela napas panjang. Waktu cutinya sebentar lagi habis. Dia dan Rife harus kembali ke Gihon setelah semua persoalan pelik yang merundung mereka usai. Semuanya sudah runyam tanpa perlu ditambah hubungannya yang rumit dengan sosok pelindung Vighę. Dia hanya gadis biasa yang-sialnya-amat mirip dengan Quon.

Silvana mengerang. Tubuhnya menggeliat dan wajahnya meringis menahan sakit. Var kemudian menjulurkan lengannya, memberikan sandaran bagi leher gadis itu. Kepala Silvana lantas menyuruk ke pundak Var. Var mengamati wajahnya. Dia tertegun kala perlahan Silvana membuka mata. Pandangan mereka bertemu.

"Tidak lagi berada dalam dinding yang mengurungku.." Silvana berucap pelan mendapati dia dan Var berada dalam tempat terbuka. "Aku menyukainya."

Tersenyum samar, Silvana merengkuh tubuh Var hingga kehangatan keduanya menjalar. Var tidak membalasnya. Masih banyak pertanyaan yang ingin dia utarakan pada gadis itu.

"Kaukah.. yang menyelamatkan Rife?"

"Aku akan menyelamatkan siapa pun sebisaku," balas Silvana dengan pandangan menerawang. "Sebagai hukuman karena aku tidak bisa menyelamatkan.. seseorang yang begitu berharga."

Var tersenyum pahit.

"Dan karena itu kau.. menjual nyawamu dengan sangat murah?"

Silvana tertegun. Dia menarik diri dan memandang Var lekat. Ada nada kemarahan saat laki-laki itu mengucapkannya barusan. Sorot Silvana berubah sayu. Rongga dadanya naik turun sedih. Padahal Silvana melakukannya supaya Var tidak kehilangan seseorang yang jelas berharga baginya.

Var mendekatkan wajah keduanya. Manik gelap laki-laki itu menyelisik.

Silvana meremang saat Var mengusap pelan pembebat yang membalut lehernya.

"Apa kau masih tetap ingin berada di sisiku?" tanya laki-laki itu berbisik.

Silvana mengangguk tanpa ragu. Kelopak matanya mengerjap cepat dan dia pun menggigit bibir.

"Kalau begitu jangan pernah lagi melakukan hal seperti itu. Bahkan jika kematian berusaha menggapaiku untuk tindakan yang tidak akan pernah kusesali.. Jangan pernah sekali pun mempertaruhkan nyawamu."

Apa itu syarat supaya Var membiarkan Silvana terus di sisinya?

"Tapi bagaimana kalau aku benar-benar kehilanganmu?"

Var benar-benar tidak menyukai ekspresi memprotes dari Silvana. Bibirnya menekan. Air menggenang di pelupuk mata. Dia merengut-kecewa dan merajuk.

"Aku tidak akan ke mana-mana."

Var mencondongkan tubuhnya pada Silvana. Gadis itu memejamkan mata merasakan hembusan hangat napas Var menerpanya begitu dekat. Sesuatu yang lembut kemudian mengusap bibirnya-amat ringan namun berhasil membuat jantung gadis itu memompa lebih banyak darah. Var menarik diri, memberi Silvana waktu untuk memahami gejolak dalam dirinya.

"Sebut namaku..," bisik Var serak.

Silvana membalas tatapan kelam laki-laki itu. Pupil matanya membesar. Lagi-lagi kegelapan teduh yang dimiliki laki-laki itu seperti mengisapnya.

"Var.." Silvana mengucapkannya begitu pelan. Melihat Var bergeming, dia hendak mengucapkannya lagi namun mulutnya sudah lebih dulu dibungkam. Bibir Var mengulum bibirnya dengan tangan kasar laki-laki itu mengusap rahang Silvana.

Tubuh Var mengurung Silvana, membuat gadis itu merasakan nyaman dan terlindungi. Cumbuannya berlaku sebagai sumber penenang Silvana sekarang. Dan ketika Var beralih mencium pipi serta dahinya, ukiran nama Mikhail perlahan memudar-berganti dengan nama Var.

Seolah-olah ikatan keduanya telah terjalin jauh sebelum ini.

.

.

.

"I want to escape from this pain that chains me down

Someone wake me up

From my soul that is filled with scars

The deeply colored night sky

Is filled with you, who won't leave."

Continue Reading

You'll Also Like

45.5K 5.1K 20
III. Chapter Three Semua yang terjadi seperti rantai. Rantai yang berbahaya. Rantai yang sama seperti rantai Angel Mirror yang mencekiknya. Semua ber...
27.6K 2.3K 35
New York adalah salah satu dari beberapa kota yang mengalami hal mengerikan. Invasi makhluk bertangan empat yang datang bersama satelit tak-diketahui...
29.8K 3.2K 40
Sekadar candaan suami istri yang diracik dengan: Bahan bumbu: • 250 gram bubuk baper • 1/2 sdm saus teriyak[i]an ciye-ciye • 3 siung rayuan gombal •...
10K 1.2K 46
"Mereka menembak saudariku, ayahku, ibuku, para pelayan setiaku, dan aku sendiri." Tsarevich Alexei Nikolaevich - [Juli 17, 1918]. . [Fiksi-Sejarah M...