Silvana memiringkan kepala saat Var masuk ke dalam stan. Sosok laki-laki itu langsung menghilang di antara barisan-barisan jubah yang menggantung. Silvana mengerjap sambil merentangkan jubahnya sendiri. Kemudian dengan hati yang menghangat dia mengenakannya, tidak lupa memasang tudung.
Mulanya dia berniat tetap di sana menunggu Var dan Rife keluar. Namun tiba-tiba saja seseorang menubruknya dari samping. Tubuhnya oleng, tidak sampai jatuh. Dia hanya mengernyit sambil mengusap-usap lengan yang terbentur.
"Maaf," ucap seorang gadis lalu memungut sebutir apel yang menggelinding. Dia menegakkan tubuhnya kemudian memandang Silvana. Dan detik itu juga, tatapannya terpaku.
Silvana tidak terlalu peduli. Dia duluan yang memutus kontak mata keduanya dengan mengalihkan perhatian ke stan.
"Quon..?"
Silvana membeliak selanjutnya menoleh pada gadis itu lagi. Wajah yang tidak dia kenal, tapi saat ini justru melemparkan pandangan ragu sekaligus menyelidik. Alisnya terangkat begitu Silvana memperlihatkan reaksi yang memicu dugaannya meningkat. Siapa? Tanpa bisa dicegah, sekujur tubuh Silvana meremang dan jantungnya mempercepat denyut.
Fiona menangkap aura yang sangat dikenalnya dari Silvana. Terlepas dari wajahnya yang berbeda, bagaimana mungkin seseorang punya gelombang roh yang nyaris sama persis dengan orang yang setahunya telah meninggal? Tadinya Fiona hanya mengucapkan nama itu tanpa sadar, tapi secara mengejutkan, Silvana memberikan reaksi karena refleks—seolah-olah dia memang benar pemilik nama tersebut.
Ditambah lagi.. firasat aneh apa ini?
Silvana bergerak mundur. Dia tidak memberi kesempatan Fiona untuk bicara lagi. Fiona pun tersentak melihatnya berlari.
"Tunggu! Berhenti!" seru Fiona yang kontan mengejar. Silvana berlari menerobos barisan kerumunan yang berlalu lalang hingga dia sampai berulang kali menyenggol orang-orang tersebut. Fiona beruntung melihatnya saat berbelok di salah satu gang samping toko. Langkahnya mengerem. Sambil terengah-engah, alisnya bertaut melihat Silvana bergeming.
Tambah mengejutkan lagi mendapati Kia yang entah kenapa muncul di hadapan Silvana.
Silvana tidak bisa lari tanpa memaksa meringsek. Tapi jika dia sampai melakukannya, gerak-geriknya justru akan tambah mencurigakan. Kehadiran Fiona cukup mengejutkannya meski Silvana tidak merasa kenal pada gadis itu. Sekarang situasinya semakin rumit berkat kemunculan Kia. Tentu saja Argent tidak berdiam diri mengetahui Silvana hilang. Silvana telah bersiap jika sewaktu-waktu mereka akan menemukannya. Tapi kenapa harus di saat seperti ini?
Kia melangkah maju. Detik berikutnya dia mengerjap karena di saat yang bersamaan, Silvana mundur. Kelopak mata laki-laki itu berkedut sedih, meski dari caranya menghela napas, Silvana tahu dia dijalari perasaan lega.
"Aku tidak mau kembali..," ucap Silvana lirih.
Fiona berjengit. Dahinya berkerut.
"Aku masih mau di sini...," tambah gadis itu lagi.
Sungguh, Fiona tidak mengerti makna dari ucapannya. Sempat terlintas di benaknya jika Silvana merupakan orang yang mereka cari-cari. Tapi bukankah Gadis Perak punya rambut keperakan yang amat mencolok? Fiona ingat manik matanya saat mereka bersitatap lagi: biru safir yang memukau. Ekspresi Kia yang biasanya tidak terbaca pun, kali ini terlihat amat jelas menunjukkan semburat emosi yang lembut.
Jadi gadis yang mereka apit kini, memang benar Silvana Burö?
Fiona menelan ludah. Dia meremas roknya sebelum memberanikan diri beralih ke hadapannya, hanya dua langkah di depan Kia. Fiona melihat segaris kemilau menghiasi pipi Silvana. Putri pelindung Vighę yang dikabarkan menghilang, tunangan Pangeran Mikhail yang telah wafat, serta dicap sebagai sosok paling berbahaya di Oltra. Dari mendengarkan ceritanya saja, Fiona tahu gadis itu menyimpan beban yang sangat berat.
Melihat rambut hitamnya.. apakah karena disegel?
"Tuan Putri..." Fiona menerima tatapan hati-hati dari Silvana yang sepertinya tengah menciptakan "dinding". Gadis itu lantas menumpukan kedua lututnya di atas tanah sebagai salam yang sopan. "Apa yang terjadi? Anda menghilang saat di Raveann dan kini berada di Kith. Sekarang Vighę dan Raveann bersitegang. Saya yakin kesalahpahaman ini akan selesai jika—.."
"Pergi," bisikan Silvana seketika membuat Fiona mematung. Sorotnya yang nanar beralih pada Kia. "Jangan libatkan aku lagi."
Kia masih bergeming, bahkan ketika Silvana berbalik lalu melangkah pergi. Fiona bangkit berdiri dan terlihat amat kecewa. Mereka telah menemukannya, tapi tidak bisa melakukan apa pun demi membawa gadis itu kembali.
***
"Terima saja, pasti ada gua tersembunyi di lekukan semenanjung di Raveann—atau di mana pun pada garis yang menghadap laut." Rife berkacak pinggang. Sama dengan Var, laki-laki itu juga frustasi. Saat ini mereka masih berada di ruang terbesar dalam kastil di benteng, di mana di tengah-tengahnya terbentang gambaran peta yang luas. "Gua dengan lebar yang memungkinkan bagi sebuah kapal besar untuk masuk. Tapi memang, butuh kerja ekstra untuk bisa menyembunyikannya tanpa diketahui sama sekali."
Mereka tengah bergeming di tengah-tengah jalan buntu, Var akui. Menyerang tanpa melacak sarang sebenarnya dari perompak-perompak itu bukanlah ide yang bagus. Sejauh ini mereka memang berhasil memberangus beberapa kapal, tapi itu tetap tidak ada gunanya jika hasil jarahan tidak bisa didapatkan kembali. Dengan jumlah senjata yang mereka jarah, sangat mungkin mereka akan melenyapkan sebuah negeri—Larөa misalnya.
Masalah ini semakin pelik dan terus berjalan seolah tanpa ada akhir.
Sementara Var dan Rife saling berdebat, memperkirakan kemungkinan-kemungkinan baru, Silvana duduk di atas kursi yang biasa ditempati Var saat berdiskusi dengan kapten kapal. Sekarang sudah sangat larut malam. Mungkin hanya Var dan Rife yang masih betah terjaga—biarpun mata Rife mulai memerah. Silvana menaikkan kakinya pada kursi hingga dia bisa menopang dagu ke atas lutut. Selama Var dan Rife bicara, gadis itu juga menggerakkan bidak-bidak catur semaunya.
Sepulangnya dari Hăerz, Var membiarkan Nii dan kuda Rife dituntun ke istal oleh prajurit yang berjaga. Laki-laki itu tidak membiarkan Silvana kembali ke bangsal, melainkan menariknya ke ruangan mereka berada kini. Saura sempat datang ke sana kira-kira empat jam yang lalu. Var yang gusar terpaksa menemuinya sebentar, meninggalkan Silvana sendiri. Namun dalam waktu singkat, Var pun kembali lagi. Silvana sadar jika kerutan di dahinya selalu bertambah tiap Saura datang.
"Apa kau benar-benar yakin jika Raveann tidak punya andil dalam hal ini?"
Var mengernyit. "Apa maksudmu?"
Rife menghela napas panjang gusar. "Raveann adalah sarang bagi para cenayang. Mereka bisa menyembunyikan sebuah gunung dengan mudah."
Var tidak pernah terang-terangan menolak mengakui Raveann terlibat, namun Rife yakin jika laki-laki itu tetap berpendirian pada dugaannya sendiri. Rife pun tidak ingin ada konflik yang tercetus di antara Raveann dan Kith. Tapi aksi perompak kali ini sudah cukup keterlaluan.
Melihat Var tetap diam, Rife kembali menghela dalam-dalam.
"Salazar menjadwalkan kita mengerahkan semuanya lusa," katanya di puncak rasa lelah. "Kita hanya punya dua pilihan: ikut arus atau.. mendapatkan jalan baru—di mana nama Buriand taruhannya."
Var memejamkan mata. Rife yakin dia mampu meresapi baik-baik apa yang hendak dirinya tekankan. Kemudian tanpa mengucap apa pun lagi, Rife keluar ruangan.
Silvana berjengit mendengar bunyi pintu ditutup. Pandangannya mengarah pada Var yang masih bergeming dekat meja peta. Menimbang sebentar, Silvana akhirnya memutuskan mendekati laki-laki itu. Var tidak bereaksi saat Silvana berdiri tepat di sebelahnya. Melihat wajah lelahnya, Silvana mengusap lengan Var tanpa sadar. Laki-laki itu pun menghela napas panjang.
"Tidak akan ada gunanya jika semua menjadi boneka Salazar," ujar Var dengan pandangan menerawang. "Aku tidak akan membiarkan campur tangan Hurdu di sini."
Bagi orang lain, Var terlihat mengedepankan egonya. Dia keras dan kejam pada prajurit. Namun sebenarnya Silvana tahu Var sangat memikirkan mereka. Tipikal penguasa dengan tangan penempa.
Mendadak tangan Silvana yang dingin dan pucat menangkup wajah Var. Laki-laki itu menoleh padanya, tatapan keduanya bertemu. Silvana mengerjap. Dia mengangkat tangan satunya lalu menangkup wajah Var di sisi yang lain. Manik biru safir miliknya berpendar mencari. Dia melihat bagaimana Var kemudian memegangi pergelangan tangannya juga menutup mata.
"Tanganmu beku..," bisik laki-laki itu. Tanpa bisa dicegah, ingatannya kembali membayangkan sosok Quon. Mungkin jari-jari mereka sama bekunya.
Var menurunkan tangan gadis itu, namun kemudian menggenggamnya. Dahinya menempel ke dahi Silvana. Hembusan hangat menerpa wajah Var. Walaupun pandangannya mengarah kosong ke bawah, dia tahu Silvana masih tetap menatapnya dengan mata biru safir itu. Seketika timbul dorongan dari dalam diri Var untuk menyentuhnya.
Tangan kiri laki-laki itu menarik tengkuknya, mendekatkan wajah Silvana, sementara tangan yang lain melingkar di pinggangnya. Var memutus jarak dengan mengecup pelan bibir Silvana. Gadis itu bergeming. Var menekannya lebih dalam hingga sekujur tubuh Silvana meremang. Degup keduanya berlomba. Silvana tanpa sadar mencengkeram punggung Var.
Silvana merasakan kakinya tidak lagi berpijak. Sebagai gantinya, dia didudukkan ke atas meja dengan Var yang masih memenjarakan tubuhnya. Ciuman laki-laki itu semakin menuntut. Silvana sampai harus mati-matian mencari celah untuk menghirup sepenggal udara. Menyadari napasnya yang terputus, Var menarik wajahnya—hanya menyisakan jarak satu inci.
"Apa yang kau lakukan tadi?" tanya Var, merujuk pada kejadian di Hăerz, di mana dia sempat kalut karena Silvana tiba-tiba menghilang.
"Bertemu seseorang..," jawab Silvana pelan.
"Siapa?" Var mengecup bibirnya lagi.
"Dia berniat membawaku pulang."
Var terdiam selang beberapa detik. Berbeda dengan manik mata Silvana yang memancar terang, manik mata Var berwarna hitam kelam. Bagaikan permukaan laut di atas palung sewaktu malam hari. Begitu dalam, dan seolah mengisap siapa pun.
"Apa kau ingin kembali?" tanya Var lagi.
Silvana menggeleng. Dia menempelkan kening keduanya. Sorot gadis itu terlihat sedih.
"Kalau begitu jangan pergi," bisik Var terdengar serak. "Tetap di sini—tetap di sisiku."
Silvana mengangguk pelan. Var langsung menyambar bibirnya lagi.
Ciuman yang tidak kunjung usai meski dini hari menyingsing.
***
"Malam ini kita harus bersiap lagi." Seorang prajurit melemparkan boots-nya ke tengah-tengah prajurit lain yang berkerumun.
"Bukannya kita baru akan berlayar lusa?"
"Perintah dari anak Jenderal Buriand itu. Sampai sejauh mana sebenarnya dia akan menyiksa kita?"
"Kali ini untuk apa? Jangan bilang kalau kita lagi-lagi disuruhnya menyisir Raveann. Benar-benar tidak ada apa pun di sana."
Seseorang duduk bersandar pada dinding tidak jauh dari mereka. Jubah hitamnya menyembunyikan sosoknya dengan baik, apalagi setelah lewat beberapa hari, warna jubah itu semakin kusam dan kotor. Yang jelas tempat itu bukan di dalam benteng. Penjagaan benteng terlalu ketat untuk bisa diterobos tanpa ketahuan. Dia pun menyelinap ke sisi pesisir yang lain—masih dengan para penjaga yang bersliweran, hanya saja tidak seketat di benteng. Dia juga bisa melihat di antara prajurit-prajurit Kith yang bersliweran itu, terdapat juga prajurit-prajurit Hurdu.
Batinnya pun menyeringai sinis. Memang benar dari segi kelicikan penguasanya, Kith dan Hurdu tidak jauh berbeda. Mengejutkan mereka bisa saling bekerja sama di saat-saat seperti ini.
"Tidak. Dia ingin kita berlayar ke laut lepas."
"Kita menyerang sendiri?! Apa prajurit Hurdu juga ikut?"
"Mungkin tidak, karena ini inisiatifnya sendiri. Dia sendiri juga yang akan menyertai kita."
"Berapa kapal kali ini?"
"Hanya dua."
"Apa dia benar-benar yakin akan bisa menemukan sarang perompak sialan itu?"
Jadi semua ini menyoal perompak yang meneror Kith dan Raveann? Dirinya memang tidak peduli soal Kith ataupun Hurdu. Namun Raveann tidak boleh terus-terusan dipojokkan karena mereka tidak bersalah. Anggap saja ini merupakan bentuk permintaan maafnya pada Dalga.
Cyde diam mengawasi saat salah seorang prajurit menjauh dari kelompoknya yang meriung. Setelah memastikan tidak ada yang mengamati gerak-geriknya, Cyde pun menyusul prajurit tadi. Sesampainya di tempat yang sepi Cyde langsung melumpukannya dalam sekali pukulan ke belakang leher. Laki-laki itu kemudian menyeretnya di balik dinding yang tersembunyi. Tanpa ragu dia melepaskan lapis demi lapis zirah yang prajurit itu kenakan lalu dipakaikannya ke tubuhnya sendiri.
Jika dia belum bisa meraih Raja Kith untuk menyelidiki keberadaan Silvana, Cyde memutuskan untuk memulainya dengan penguasa salah satu benteng. Seorang jenderal tentu mengetahui sedikit banyak soal taktik yang dipakai tuannya. Mendengar pembicaraan prajurit tadi, Cyde langsung mengetahui jika Var rupanya punya campur tangan dalam usaha meredam aksi perompak.
Cyde akan bertemu dengannya cepat atau lambat. Bukan untuk meminta bantuannya, melainkan memaksanya menjabarkan apa yang tengah Kith upayakan di tengah-tengah kekacauan seperti ini.
***
Dalam ruang yang temaram, Clao duduk diam, membiarkan seseorang membersihkan lukanya, kemudian membalut beberapa bagian tubuhnya. Proses penyembuhannya terasa sangat lambat. Clao musti menahannya setiap waktu, dan bersiap jika seandainya Salazar memanggilnya lagi. Ketika bahunya selesai dibebat, Clao pun ditinggalkan sendiri.
Tiba-tiba saja sesosok bayangan mengintip dari celah jendela. Kepalanya menjulur ke bawah. Dia tersenyum, menampilkan deret gigi yang bergerigi tajam.
Aipy-Laém, bocah laki-laki yang sangat mengerikan itu juga monster seperti Clao. Dia senang menertawakan segala sesuatu, termasuk kegagalan Clao untuk membunuh Varoscar Buriand. Aipy senang mengomentari lukanya. Satu-satunya cara dia berhenti tertawa, mungkin jika seseorang berhasil membunuhnya. Entah darimana Salazar memungut bocah itu lalu membuatnya tunduk pada Hurdu.
Senyum kelam Aipy saat ini, sama persis ketika Delaphine tewas setelah Silvana membunuhnya. Baik kawan atau lawan, Aipy senang menyaksikan kematian semacam itu.
"Kau masih berharap sembuh supaya bisa kembali dipakai?" tanya Aipy sembari mengayunkan tubuh. "Kalau aku jadi Salazar, aku akan langsung mengulitimu sekarang juga." Dia mengikik geli.
Clao menoleh dan menatap Aipy tajam.
"Jangan pernah biarkan perisainya lengah. Kau tahu akibatnya jika tempat ini sampai ketahuan," kata Clao dingin.
"Tutup mulutmu yang menjijikkan itu." Masih dengan seringainya, Aipy melontarkan kata-kata ancaman. "Perisaiku tidak akan tertembus oleh apa pun. Tidak akan ada yang tahu jika perompak-perompak hantu yang meneror mereka ada di sini—tersembunyi dengan baik sampai tiba saat pembantaian nanti."
.
.
.
"Sticks and stones they may break these bones
But then I'll be ready
It's the start of us, waking up
Cause now it's time to let them know."