Kie Light #1: Sandekala (TAMA...

By ElCastroo

46.7K 3K 180

Mataku bukanlah mataku. Iblis-iblis itu menginginkan apa yang jadi milik mereka dikembalikan. Dengan tambaha... More

Mozaik 1
Mozaik 2
Mozaik 3
Mozaik 4
Mozaik 5
Mozaik 6
Mozaik 7
Mozaik 8
Mozaik 9
Mozaik 11
Mozaik 12
Mozaik 13
Mozaik 14
Mozaik 15
Mozaik 16
Mozaik 17
Tonton ya
Mozaik 18
Mozaik 19
Mozaik 20
Mozaik 21
Mozaik 22
Mozaik 23
Mozaik 24
Mozaik 25
Mozaik 26
Mozaik 27
Mozaik 28
Mozaik 29
Mozaik 30
Mozaik 31
Mozaik 32
Mozaik 33
Mozaik 34
Ending
Info
sandekala

Mozaik 10

692 80 2
By ElCastroo

Kami pergi dari hutan itu. Kembali menyeberangi sungai menuju rumah Shanty. Mereka pasti terheran-heran melihatku berjalan seserius dan secepat ini.

"Dane, tunggu!" sahut Shanty.

Mereka bertiga segera berlari menyusulku.

"Dane, apa yang terjadi padamu?" tanya Siman.

Aku menghentikan langkahku. Berbalik menatap wajah mereka.

"Man ... ini saatnya. Akan aku ceritakan semua masalahku selama ini padamu. Menceritakan alasan kenapa aku membutuhkan bantuanmu," kataku.

Siman bergeming.

Shanty dan Iza masih kebingungan dengan sikapku.

"Tapi aku ingin membicarakan ini semua bersama nenekmu, Shanty," imbuhku menatap wajah Shanty.

Kami segera menuju rumah Shanty. Ketika Shanty hendak membuka pintu rumahnya, neneknya muncul dari dalam. Dia tersenyum padaku seakan telah mengetahui maksud dari kedatanganku.

"Masuklah."

Aku, Siman, dan Iza duduk di kursi kayu panjang sedangkan Shanty setengah duduk di samping kursi goyang yang diduduki neneknya.

"Nek, Danny mau bicara," ucap Shanty.

Neneknya hanya tersenyum sambil manggut-manggut. Kemudian nenek itu menatapku. Menatap mataku lekat-lekat.

"Ada apa, Nak?" tanyanya.

"Begini, Nek ... beberapa minggu lalu aku sering bermimpi." Aku menarik napas sebelum melanjutkanya. "Dalam mimpiku, aku melihat sebuah desa Di desa dalam mimpiku itu, aku melihat semua saudaraku. Tapi aku heran, kenapa mereka semua termasuk aku masing-masing membawa sebuah senjata tajam? Kemudian aku bermimpi sebuah hutan. Hutan berwarna hitam dan di dalam hutan tersebut aku bertemu dengan seorang gadis. Gadis dengan rambut merah. Aku tidak bisa mengenali wajahnya. Tapi aku yakin gadis itu berasal dari sebuah desa dalam mimpiku karena sebelumnya aku pernah melihat gadis itu berada di tengah saudara-saudaraku yang juga berada di desa itu. Aku bukan hanya bermimpi tentang mereka semua. Aku juga bermimpi sesosok makhluk yang paling ditakuti oleh anak-anak di setiap desa. Aku bermimpi Sandekala ...."

Mereka semua tertegun heran. Hanya nenek itu yang tampak dari tadi berwajah kalem.

"Semenjak aku bermimpi hal itu, aku sering melihat penampakan makhluk itu. Di jalan, di sekolah, di rumah. Dan yang paling membuatku takut adalah saat aku melihatnya di atas pohon beringin di tengah-tengah ladang sayuran di pegunungan Andekhala sana," kataku. "Kalian berdua juga pernah melihatku di bawah pohon beringin itu dan kalian pasti heran ada apa denganku karena aku tak bergerak di bawah pohon tersebut, 'kan?" tanyaku pada Iza dan Siman.

Mereka mengangguk tapi tak sepatah kata pun terucap. Mereka ingin mendengarkan ceritaku lagi. "Ketika aku hendak kembali ke atas. Menuju kalian. Aku tiba-tiba saja tidak bisa bergerak. Seakan-akan makhluk itu mengikatku, memelukku, menjeratku, dan tak mau melepaskanku lagi. Aku tidak mengerti kenapa makhluk itu terus menggangguku. Mengusik kehidupanku. Apa yang diinginkannya dariku?"

Shanty terus menatapku. Entah ekspresi apa yang terlihat dari wajahnya. Aku tak bisa lagi membedakan wajah antara bingung, heran, dan gelisah.

"Menurut seorang paranormal teman sepupuku, aku harus menemukan desa dan gadis berambut merah dalam mimpiku agar aku tahu jawaban kenapa makhluk itu terus menggangguku."

Nenek itu masih memperhatikanku. Mendengarkan ceritaku. Wajahnya yang sedari tadi tenang kini mulai menegang. Matanya tajam. Keriput di wajahnya tampak kaku.

"Dari sebuah situs di internet yang pernah aku baca, dijelaskan bahwa desa bernama Nekalalah desa yang paling banyak dan sering dikunjungi oleh Sandekala. Itu membuatku yakin bahwa desa dalam mimpiku itu bernama Nekala.

"Selama seminggu terakhir ini, aku bersama sepupuku mencari dua belas desa yang bernama Nekala di seantero Vereyon. Dari dua belas desa itu, kami baru menemukan sebelas desa. Dan di kesebelas desa itu tak ada satu pun gadis berambut merah yang aku cari.

"Rencananya siang ini aku dan sepupuku akan mencari desa Nekala yang terakhir. Tapi, sewaktu tadi kami sedang bersantai di hutan, aku menyadari semuanya. Desa Nekala terakhir itu adalah di sini. Desa ini adalah desa Nekala ....

"Yang ingin aku tanyakan pada Nenek adalah, tentang gadis berambut merah itu. Di mana dia?" tanyaku yakin bahwa gadis itu berada di desa ini.

Nenek itu terdiam cukup lama sampai akhirnya dia berkata, "Dia sudah mati. Gadis yang kau cari telah mati sebelas tahun yang lalu."

Aku benar-benar terkejut bukan main. Ingin rasanya menanyakan berbagai hal padanya. Tapi mungkin pertanyaanku itu tak akan ada gunanya karena gadis yang ingin aku mintai jawaban telah mati.

"Nek, memangnya pernah ada gadis berambut merah di sini?" tanya Shanty.

"Ya. Bukan sebelas tahun yang lalu. Tapi, 40 tahun yang lalu. Saat gadis itu seusiamu," jawab neneknya.

Itu malah semakin membuatku terkejut. Ternyata selama ini aku bermimpi seorang gadis dari masa lalu.

"Siapa namanya?" tanya Shanty.

"Shentya."

"Ibu?" heran Shanty.

"Ya. Ibumulah gadis berambut merah itu," ucap neneknya.

Sudah cukup keterkejutanku. Sekarang aku tak bisa mengharapkan apa-apa lagi.

"Kalau begini apa yang harus aku lakukan?" tanyaku bingung. "Apa Nenek bisa membantuku?" pintaku dengan wajah putus asa. "Aku tak ingin makhluk itu menggangguku lagi, Nek."

"Aku tidak bisa membantumu, Nak. Hanya dirimu sendirilah yang bisa. Kau harus hadapi ketakutanmu. Kau harus bicara pada sosok yang selama ini mengganggumu."

"Tapi ... aku ... aku takut, Nek. Katanya makhluk itu bisa keluar dari dunianya dan masuk ke dunia kita sehingga dia bisa menyentuh kita. Itu berarti Sandekala dapat melukai manusia. Bagaimana kalau dia membunuhku?"

"Begini, Nak ...," kata nenek itu berat. "Jika dia selama ini menampakkan dirinya padamu. Berarti dia menginginkan sesuatu darimu. Atau ..."

"Atau apa, Nek?" tanyaku.

"Atau dia menginginkan sesuatu yang jadi miliknya dikembalikan olehmu."

"Tapi apa, Nek? Paranormal yang pernah aku temui, mengatakan bahwa sebagian jiwaku ini bukanlah milikku. Ada sebagian jiwaku yang jahat yang dimiliki oleh makhluk itu."

"Kau harus menemuinya, Nak. Menemui mereka. Senja ini mereka pasti akan datang ke desa ini."

"Apa aku harus menemui mereka sendirian?"

"Yang bisa melihat makhluk itu hanya anak-anak, usia 20 tahun ke bawah atau orang-orang tertentu saja. Hampir semua orang tua di desa ini tidak bisa melihat makhluk itu. Tapi mereka meyakini keberadaannya. Kau bisa saja ditemani orang lain. Tapi oleh siapa? Lagi pula bila kau mengajak orang lain bersamamu, kau hanya akan mencelakakannya," ujar nenek itu.

Aku mencengkeram kuat rambutku dengan kedua tangan.

Takut.

Bingung.

Gelisah.

Khawatir.

Semua aku rasakan saat ini.

Tak pernah aku merasa begini.

Aku bisa saja lari.

Lari dari masalah yang harusnya aku hadapi.

Tapi, bila aku terus lari, makhluk itu akan semakin menggangguku. Membuat hidupku lebih tidak tenang.

"Aku akan menemanimu, Dane," kata Siman.

"Aku juga!" sergah Shanty.

"Iya, Dane. Kalau kita bersama-sama menghadapi mereka, kita tidak akan merasa takut. Aku juga akan menemanimu," ucap Iza.

"Kalian ...."

Sesaat aku merasa terharu mendengarnya. Begitu banyak orang yang bersedia menolongku. Tapi aku sendiri ....

Ketika Siman sakit, aku bahkan tak sempat menengoknya.

Ketika Iza sedih saat kedua orangtuanya pergi, aku bahkan tidak bisa menghiburnya.

Ketika saudara-saudaraku yang lain mempunyai masalah aku tidak pernah membantu mereka.

Aku merasa malu pada diriku sendiri.

"Terima kasih karena kalian mau menemaniku. Tapi ... sebaiknya tidak usah. Aku tidak ingin kalian celaka," kataku sambil menundukkan wajah.

Untuk satu waktu, aku merasa tak pantas dan malu menerima bantuan dari mereka. Meski, aku sangat membutuhkannya.

Hening sejenak.

Aku tahu pasti mereka beranggapan bahwa aku ini egois. Walaupun aku butuh bantuan mereka tapi aku tidak ingin jika mereka sampai celaka.

"Nek, apa Nenek keberatan bila aku menemani Danny?" tanya Shanty.

Sambil menggoyangkan kursinya, dia berkata, "Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan."

Aku mendongak. "Apa Nenek tidak khawatir kalau dia terluka?"

"Rasa khawatir hanya akan membuat hidupmu semakin gelisah," jawabnya.

"Tapi, tadi Nenek bilang bila aku mengajak orang lain bersamaku itu hanya akan mencelakakannya?"

"Ya, itu benar. Sekarang pertanyaannya, apakah orang yang menemanimu itu siap atau tidak untuk segala kemungkinan yang terjadi bila berhadapan dengan makhluk itu?"

Nenek itu memandang wajah kami satu per satu.

Tampak ada keraguan di wajah Iza, tapi dia segera menepisnya.

"Aku siap! Walaupun apa yang terjadi asal bersamamu aku berani menghadapinya," kata Iza.

Siman menimpali, "Iya, Dane. Aku juga siap menemanimu. Bukankah kau sendiri yang pernah meminta bantuan dariku?"

"Kau mau kan ditemani kami?" tanya Shanty.

Kulihat samar-samar Shanty tersenyum tipis padaku. Mungkin mereka semua terlihat menganggap masalahku ini hanyalah masalah kecil. Tapi aku melihat keseriusan dari mereka bertiga.

Aku tidak mau terlihat menjadi orang yang egois. Akhirnya aku mengangguk.

"Apa Nenek bisa melihat makhluk itu?" tanyaku.

"Tentu."

"Apa Nenek akan membantu kami bila terjadi sesuatu?"

"Hanya dari belakang. Bila aku menemani kalian, itu hanya akan membahayakan kalian. Mereka tidak menyukai orang dewasa. Mereka sangat menyukai anak-anak. Entah itu dari segi positif ataupun negatif. Mereka hanya akan membunuhmu bila terpaksa," ujarnya. "Shanty, tolong kau ambilkan kotak persegi hitam di kamar."

Benda itu diambilnya dan diberikan pada neneknya.

Dia membuka kotak kayu hitam itu. Ada sebuah benda seperti pisau di dalamnya. Panjangnya kira-kira 30 cm dengan lebar 4 cm. Bentuknya sangat unik. Pegangannya berbentuk ukiran dengan dihiasi batu-batu alam berwarna-warni.

"Apa itu?" tanya Shanty.

"Ini adalah senjata kemenangan. Namanya Evilis Naifu yang berarti pisau iblis. Ini adalah senjata yang digunakan untuk memusnahkan para Sandekala dari muka bumi," jawab neneknya. "Bawa ini, Shanty. Ini akan melindungi kalian semua. Bila makhluk itu hendak melukai kalian, tusukkan saja Evilis Naifu ini pada makhluk itu. Dengan sekali tusukan, makhluk itu bisa musnah seketika."

Nenek memberikan senjatanya pada Shanty.

"Dari mana Nenek mendapatkan senjata ini?" tanya Shanty penasaran.

"Itu adalah senjata milik ibumu yang dibuat oleh kakekmu."

"Milik Ibu?" heran Shanty.

"Apa aku belum cerita padamu?"

"Cerita apa?"

"Dulu, saat aku atau ibumu seusiamu, pernah bertarung melawan mereka. Para Sandekala."

"Apa?!" kejut Shanty.

"Ya. Aku dan ibumu pernah bertarung mati-matian mengalahkan mereka semua hanya untuk satu tujuan. Menyelamatkan anak-anak dari mereka. Menghilangkan semua ketakutan anak-anak karena keberadaan mereka."

Nenek itu mengusap-usap tongkatnya.

"Keluarga kita seperti telah ditakdirkan untuk melawan mereka dan menyelamatkan kehidupan anak-anak. Sudah beberapa generasi keluarga kita berusaha untuk memusnahkan para Sandekala dari dunia ini. Dunia kita yang seharusnya menjadi milik kita. Bukan milik mereka. Dengan menggunakan senjata itu, ibumu pernah mengalahkan ribuan Sandekala."

"Benarkah?!"

"Shanty, gunakanlah senjata itu sebaik mungkin. Lindungilah teman-temanmu dan orang-orang yang kau sayangi. Dan ... jangan mati karena makhluk itu."

Walau perkataan neneknya terdengar ganjil. Tapi Shanty mengiyakan. Perkataan neneknya tersebut membuatku semakin yakin bahwa Sandekala bukanlah makhluk gaib yang datang hanya untuk sekadar menakutiku saja. Ada alasan lain.

"Mereka datang saat waktu Tunggang gunung," ucap neneknya.

"Apa itu?"

"Kira-kira jam lima sore. Tapi biasanya mereka datang lebih awal," kata Shanty.

Aku melihat jam tanganku. Pukul 15.00.

Shanty dan Siman kembali mengobrol tentang Sandekala dan Evilis Naifu itu.

Iza memainkan ponselnya, menekan-nekan nomor. Sepertinya mencoba menghubungi seseorang. Tapi sedari tadi tak ada yang menjawabnya.

Sementara aku duduk diam sambil sesekali melihat jam tanganku. Aku lihat sedari tadi nenek itu menatap wajahku. Dan membalas senyumanku setiap kali aku tersenyum padanya.

"Wajahmu mengingatkanku pada seseorang," ucapnya. "16 tahun yang lalu ada sepasang warga asing datang kemari. Wajahmu tampak seperti mereka."

Aku hanya tersenyum.

"Oh iya, aku hampir lupa. Tadi siang ada seorang pemuda dan menanyakan juga tentang gadis berambut merah tersebut."

Ian!

Aku lupa kalau ada janji dengannya. Sekarang dia pasti ada di rumah Teny.

Sudah cukup lama kami berada di rumah Shanty. Dari luar rumah samar-samar terdengar teriakan warga. Para orang tua itu berteriak menyebutkan sebuah nama. Bukan nama anak mereka. Melainkan nama sosok yang selama ini menjadi momok bagi anak-anak.

"Sandekala! Sandekala! Anak-anak cepat masuk ke dalam rumah!"

Mungkin para orang tua tidak tahu bagaimana wujud Sandekala itu sendiri. Tapi mereka yakin akan keberadaannya. Walaupun sebagian dari orang tua tak bisa melihat, mereka tahu, anak-anak mereka dapat melihatnya. Dan itu membuat mereka khawatir jika anak-anak sampai diculik apalagi dilukai oleh makhluk tersebut.

"Inilah saatnya," ucap nenek Shanty.

Kami semua keluar dari rumah. Mengedarkan pandangan pada rumah-rumah warga dengan pintu yang tertutup rapat.

Desa tampak mati.

Sunyi.

Tak ada riuh rendah suara anak-anak bermain. Para orang tua mengurung diri di rumahnya masing-masing. Menjaga dan menyembunyikan anak-anak mereka dalam pelukan untuk beberapa jam saja.

Sekonyong-konyong terdengar suara musik Hitoshi Sakimoto A Small Happiness. Ada SMS yang masuk ke ponsel Iza.

"Dane, kakakku mengirim pesan. Menanyakan keberadaan kita. Pesta pernikahan Ronny sudah selesai. Dan sekarang mereka semua hendak pulang. Aku harus balas apa?" tanya Iza.

"Fanze?! Di mana dia?!" tanyaku terkejut.

Kami benar-benar melupakannya.

"Tenang, Dane! Za! Mungkin dia ada di salah satu rumah warga. Ayo kita cari!" sergah Shanty. "Kita datangi rumah warga satu per satu. Kita bagi dua kelompok. Aku dan Siman akan ke timur dan kalian berdua ke barat. Ayo cepat! Mumpung Sandekala belum turun ke desa!"

"Za! Sms kakakmu. Kita ada di desa Nekala. Tolong jemput kami di sini."

Iza mengetiknya dan mengirimkan sms pada kakaknya selagi kami mencari Fanze.

Aku dan Iza mencari ke desa bagian barat. Itu adalah jalan yang menuju ke hutan. Satu per satu pintu rumah warga kami ketuk tapi tidak ada Fanze di sana.

Dari kejauhan, aku melihat warga berkerumun di dalam kantor desa. Kami yang penasaran mencoba merangsak ke kerumunan untuk melihat ada apa di sana. Kami mendapati seorang petugas desa sedang bicara pada anak kecil yang tengah menangis. Anak yang mengajak Fanze bermain tadi.

"Nak, mana teman-temanmu?" tanya petugas desa.

"Ta-tadi di sungai ...," jawabnya sesengukkan.

"Lalu kenapa kau pulang sendirian?" tanya petugas itu lagi.

"Ada anak-anak sungai. Me-mereka membawa Se-Sely dan Rudy."

Aku maju mendekatinya.

"Nak, mana Fanze?" tanyaku.

"Di sungai ...."

Tiba-tiba Iza berlari keluar.

"Za! Za! Mau ke mana?! Tunggu aku!" teriakku memanggilnya.

Dia berlari menuju arah sungai tempat terakhir kami melihat Fanze.

Aku mengejarnya.

"Za! Tunggu!"

Dia menuruni undakan tanah menuju sungai.

"Fanze! Fanze! Di mana kau?!" teriaknya.

Aku berhasil menyusul Iza.

"Dane, di mana Fanze?" tanyanya panik.

Tak pernah aku melihat Iza sepanik dan sekhawatir ini pada Fanze.

Di sungai kami tak melihat keberadaan Fanze.

Kemudian dari arah hulu anak sungai, kami mendapati seorang anak kecil berlari menuju kami.

"Nak, kau lihat Fanze?" tanyaku padanya.

Dia menangis. Tampak sangat ketakutan. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Hanya menunjuk ke arah hulu. Kemudian anak itu berlari menuju rumahnya.

Aku lihat, tepat di seberang sungai, matahari telah berada di puncak pegunungan sebelah barat. Dan hutan yang tadinya hijau, terang, dan indah perlahan berubah menjadi sekelam malam.

Continue Reading

You'll Also Like

8.4M 825K 66
Crystal Leonidas yang akan segera menikah dengan Aiden Lucero; kekasihnya yang sempurna, mendadak meragukan keputusannya karena pertemuan dengan Xand...
78.8K 12.3K 37
Setelah kelompok Cale hidup bahagia dan bebas dari para pemburu. Mereka pergi satu persatu karna umur mereka. Cale yang sudah memperkirakan meski dia...
8.5M 234K 12
SEBAGIAN PART SUDAH DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN Apa yang lebih mengerikan dibanding bisa membaca pikiran orang-orang, mendengar segala isi h...
1.2K 426 6
Untuk kamu yang sering lupa. Desain sampul : Rimbun Sumber ilustrasi : Pixabay