Kie Light #1: Sandekala (TAMA...

By ElCastroo

46.7K 3K 180

Mataku bukanlah mataku. Iblis-iblis itu menginginkan apa yang jadi milik mereka dikembalikan. Dengan tambaha... More

Mozaik 1
Mozaik 2
Mozaik 4
Mozaik 5
Mozaik 6
Mozaik 7
Mozaik 8
Mozaik 9
Mozaik 10
Mozaik 11
Mozaik 12
Mozaik 13
Mozaik 14
Mozaik 15
Mozaik 16
Mozaik 17
Tonton ya
Mozaik 18
Mozaik 19
Mozaik 20
Mozaik 21
Mozaik 22
Mozaik 23
Mozaik 24
Mozaik 25
Mozaik 26
Mozaik 27
Mozaik 28
Mozaik 29
Mozaik 30
Mozaik 31
Mozaik 32
Mozaik 33
Mozaik 34
Ending
Info
sandekala

Mozaik 3

973 102 4
By ElCastroo

"Danny? Apa kau baik-baik saja?"

Samar-samar aku lihat wajah seorang gadis.

Rambut pirang bergelombang sebahu.

Apa ini mimpi?

Atau nyata?

Aku tidak bisa membedakannya.

Jelas-jelas itu adalah Iza. Tapi, otakku tidak mau bangun sehingga aku seperti terdampar di antara dua dimensi. Yang satu menarikku ke dunia nyata dan satu lagi menyuruhku untuk tetap menjelajah di alam bawah sadarku.

"Hei, Ganteng! Kau tidak apa-apa?" tanya Ian berbisik ke telingaku.

Kucoba membuka mataku lebih lebar. Berusaha untuk bangun dari fantasiku.

Kuamati semua saudaraku berada dalam kamar.

Winny Dzatso dan Iza berada di samping kiri tempat tidurku. Dia memegang setoples kue.

Ian berbaring menyamping di samping kananku. Telapak tangannya terus menerus menyentuh dahiku. Mungkin memastikan aku tidak sakit.

Siman dan kakaknya Winny—Sudra Dzatso—duduk di sudut kamar sedang mengobrol.

Sementara di depan tempat tidurku ada Ricky Rhamdan yang terus menerus membuat kakaknya—Khyun Yunishi—kesal.

Tak lama kemudian ibuku bersama Ronny dan Rhinna Angeran—kakak Iza—masuk ke kamarku.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Ibu.

"Baik, Bu," jawabku pelan.

Aku langsung bangkit dan menegakkan badanku yang terasa lemas.

"Baiklah. Kalau begitu akan Ibu buatkan teh hangat untukmu. Ron, bantu adikmu. Mungkin dia ingin ganti pakaian," kata Ibu seraya keluar dari kamar.

"Apa kalian tidak sekolah?" tanyaku.

"Kami sudah pulang," jawab Siman.

"Kakak tidak berangkat kerja?" mataku teralih ke Ronny yang berdiri dekat pintu.

"Sebulan ini aku ijin kerja setengah hari. Dua minggu lagi aku kan mau menikah."

"Anak-anak ayo keluar! Beri waktu Danny sendirian. Kalian tidak berpikir untuk melihatnya telanjang, 'kan?" gurau Siman sembari menggiring paksa saudara-saudara kami yang lain keluar kamar.

Dia memang selalu ceria dan penuh dengan canda tawa.

"Tunggu! Kalian ... terima kasih karena telah datang menjengukku. Maaf bila aku merepotkan kalian dan membuat kalian khawatir," kataku.

"Tidak apa-apa, Dane. Kita ini keluarga. Sudah seharusnya saling peduli," ucap Rhinna.

"Danny, ini untukmu."

Iza memberikan toples berisi kue itu padaku.

"Terima kasih, Za. Taruh saja di meja."

"Dane, kami tunggu kau di bawah," sahut Siman di ambang pintu.

Aku hanya mengangguk.

"Ron, biar aku saja yang membantu Danny," kata Ian.

"Baiklah. Kau tidak apa-apa kan, Dane?" tanya Ronny. Mungkin sedikit menghawatirkanku.

"Iya. Biar Ian saja. Kau pergi saja," aku lebih nyaman dekat Ian ketimbang kakakku sendiri. Ian pun selalu terlihat lebih peduli padaku ketimbang pada adiknya.

"Baiklah kalau begitu," ucapnya seraya keluar kamar.

"Sekarang kau mau apa dulu? Mandi dulu? Atau cuci muka saja? Biar aku bantu," kata Ian.

Aku memutar bola mata. "Apa aku terlihat selemah itu hingga aku harus dimandikan olehmu?"

"Tidak, tidak. Aku hanya bercanda. Aku tahu kau tidak separah itu. Aku hanya menyelamatkanmu dari kakakmu. Dia pasti akan salah tingkah bila di dekatmu," katanya tergelak.

Aku balas dengan senyuman tipis.

"Kau tunggu di sini saja," pintaku.

Aku langsung ke kamar mandi, mencuci mukaku saja, setelah itu hanya mengganti pakaian.

"Ian ... ada yang ingin aku bicarakan denganmu," kataku serius—sedikit ragu sebenarnya.

"Apa? Katakan saja."

"Semenjak hari ulang tahunku 5 bulan yang lalu, aku sering bermimpi. Tentang makhluk yang bernama Sandekala. Bahkan akhir-akhir ini aku sering melihat wujudnya. Aku tidak tahu apa maksud dari semua ini?

"Aku selalu merasa takut dan gelisah. Aku takut setiap kali aku sendiri. Karena setiap kali aku sendiri atau di saat tidak ada orang lain yang memperhatikanku, aku selalu melihat penampakan makhluk itu. Seakan dia ingin membunuhku.

"Makhluk itu seperti ingin mengatakan sesuatu padaku. Dan mimpi-mimpiku seolah memberi pertanda bahwa aku harus menyelesaikan sesuatu. Tapi aku tidak tahu apa itu."

"Sandekala? Hmm ... aku memang tidak paham dengan masalahmu itu. Tapi apa yang ingin kau lakukan? Mungkin dengan kau mencari sebuah petunjuk, kau akan menemukan jawaban dari semua pertanyaanmu itu."

Setelah mengganti pakaian, aku duduk di samping Ian yang tengah berbaring.

"Dalam setiap mimpiku, aku selalu melihat seorang gadis. Apa aku harus mencarinya? Tapi aku tidak tahu di mana gadis itu. Yang aku lihat dalam mimpiku adalah sebuah desa yang tak kukenal. Kejadian kemarin itu membuatku takut. Makhluk itu semakin berada di dekatku. Memelukku erat. Tak mau dilepaskannya lagi."

Ian mendekat dan memeluk pundakku.

"Danny, tenanglah! Kau tak perlu takut. Suatu saat kau pasti akan menemukan jawabannya. Kau tak perlu bersikeras untuk mengungkap semua masalahmu itu. Biarlah waktu yang menentukan. Biarkanlah petunjuk-petunjuk yang hilang itu memunculkan dirinya sendiri padamu. Kami, terutama aku akan selalu berada di dekatmu bila kau membutuhkan bantuan," ujarnya pelan di telingaku. Membuatku sedikit canggung.

"Terima kasih."

"Nah, Sekarang, ayo kita kumpul bersama mereka! Sore ini kita akan mengadakan pesta barbeque," ajaknya sembari menepuk pundakku.

"Hei, Dane! Bagaimana? Sudah mendingan?" tanya Siman saat kami menuruni tangga.

"Ya. Aku baik-baik saja."

"Rhin, bawa bahan makanannya. Kita jadi pestanya!" sahut Ian bersemangat.

"Oke!"

Kami semua pergi ke halaman belakang. Kalau dilihat baik-baik rumahku memang unik dari rumah Indo kebanyakan. Rumahku minimalis bergaya Amerika. Perpaduan antara kayu dan beton dan memiliki halaman belakang yang persis sama dengan keadaan rumah penduduk Amerika.

Aku duduk di atas tembok di samping pintu belakang. Bersandar pada dinding kayu putih yang berbuku-buku sambil menikmati secangkir teh hangat buatan Ibu. Sementara mereka sibuk menusukkan bermacam-macam sayuran dan daging, mempersiapkan minuman, panggangan, meja, dan kursi.

Aku memakai baju hangat dan celana skate yang panjang sampai menutupi telapak kakiku. Duduk sembari memeluk kedua lututku karena kedinginan meskipun matahari bersinar terik di sebelah barat.

Selama ini aku merasa bahwa mereka—kecuali Ian dan Siman—tidak sedekat ini denganku. Baru kali ini aku merasa beruntung memiliki saudara seperti mereka.

Selalu bercanda.

Selalu menghibur.

Selalu peduli pada saudaranya yang lain.

Aku belum tentu bisa seperti mereka.

"Dane! Kemari! Nih, dagingnya sudah matang!" panggil Ian membolak-balikkan daging di atas panggangan.

Aku dekati mereka.

Iza sedang menaruh gelas-gelas di meja rekreasi dan menuangkan kola ke dalamnya.

Winny menaruh piring-piring di sampingnya.

Rhinna menngangkat daging panggang dan tusukan sayuran yang sudah matang di atas piring-piring.

Siman dan Sudra berkali-kali mencicipi daging yang sedang mereka panggang. Bahkan sudah habis duluan sebelum ditaruh di piring.

Kami bersepuluh duduk bersama. Mulai menikmati daging panggang yang terlumuri saus barbeque.

Ibu keluar dari dapur dan ikut bergabung bersama kami. Hari ini begitu menyenangkan mendengar mereka satu per satu menceritakan kisah-kisah lucu yang mereka alami di sekolah masing-masing maupun di tempat kerja.

Aku lihat Khyun terus mengerjai adiknya. Tapi Ricky selalu membalasnya. Mereka tidak bisa akur dan saling rebutan tusukan daging di atas meja.

Acara ini kami akhiri saat bintang-bintang menghiasi langit yang gelap. Panggangan telah dipadamkan. Saudara-sadara perempuan tengah membantu Ibu mencuci piring. Sedangkan sisanya membereskan halaman belakang yang tampak berantakan.

***

"Dane, kami pulang dulu!" kata Ian.

Aku mengangguk. Tersenyum tipis.

"Om, Tante, kami pamit pulang," kata Rhinna dan yang lainnya pada Ibu dan Ayah yang baru saja pulang kerja.

"Ya. Terima kasih, ya, karena sudah menemani Danny hari ini," balas Ibu.

Sebuah mobil dan sepeda motor yang terparkir di depan pun mereka lajukan ke rumah masing-masing. Meninggalkan suasana sunyi di jalanan.

Aku segera menutup pintu. Takut kalau-kalau makhluk itu mendadak muncul di seberang jalan yang tampak gelap.

"Bu, besok aku mau sekolah. Jangan sampai aku tidak dibangunkan lagi!" kataku mengingatkan.

"Iya, Danny ...."

Sebelum tertidur aku berharap agar dapat menemukan petunjuk-petunjuk yang hilang itu dalam mimpiku malam ini.

Continue Reading

You'll Also Like

11.6K 814 17
karena pecahnya dimensi ruang dan waktu membuat Naruto yang saat itu telah mengalahkan Kaguya terseret masuk kedalam dimensi ruang dan waktu , dan be...
354K 32.5K 38
Sainara mungkin menjadi satu dari sekian orang yang beruntung Setelah masuk ke sekolah mata-mata dengan seleksi yang cukup rumit, dia juga menemukan...
271 78 24
Selain rumah ku, eh bukan. Selain rumah orang tuaku, ada satu rumah yang paling membuatku merasa nyaman. Sebenarnya lebih nyaman di rumah orang tuaku...
45.3K 6.6K 50
(LANJUTNYA DI S2) Terkadang, penasaran itu bisa membunuhmu. Maksudku, benar-benar membunuh. Sialnya, rasa penasaranku justru menyebabkan kekacauan di...