Hari demi hari berlalu. Meskipun awalnya Abel sangat sulit menyesuaikan dirinya dengan pekerjaan yang dilakoninya. Toh sekarang ia sudah sangat terbiasa akan hal itu. Mencuci hingga ratusan piring lebih setiap harinya membuatnya benar-benar tersadar akan 'realitas' hidup orang orang disekelilingnya.
Ternyata sangat tidak mudah hidup dalam kesusahan seperti ini. Semua serba kekurangan dengan rezeki yang terkadang tak menentu. Ya....setidaknya Abel sedikit beruntung dari pada orang-orang itu, untuk makan dan tempat tinggal ia tak perlu mengeluarkan uang banyak. Semua sudah tersedia berkat 'Suaminya' yang sampai saat ini tak kunjung menemuinya.
Sebulan lebih setelah Abel dinyatakan diterima bekerja di Restoran padang tersebut, selama itu pula Aidan tak sekalipun menghubunginya. Bahkan menelepon atau sekedar mengirim pesan pun, pria itu tak melakukannya sama sekali. Aidan benar-benar Acuh dengan kehadirannya.
Tapi Abel tentu tak perduli dengannya, mau setahun pun Aidan menyuruhnya tinggal disini, Abel tentu lebih senang dibandingkan tinggal dengan pria angkuh yang selalu merendahkannya.
Abel juga sedikit lega, setidaknya Abel tak sendiri disini. Masih ada Emin yang selalu menemaninya. Wanita itu juga yang pada akhirnya menyetujui keinginan Abel untuk bekerja tanpa melaporkannya pada Aidan.
Piring terakhir selesai Abel bersihkan. Setelah ini mungkin ia akan langsung kembali ke Hotel tempatnya menginap. Diliriknya Jam yang tegantung didinding menunjukkan pukul 11 malam. Semua karyawan bersiap untuk pulang, tak terkecuali Abel. Sekarang ia benar-benar kelelahan, kondisi restoran yang sibuk sejak pagi karena Weekend membuat tenaganya terkuras habis. Untung saja besok hari minggu dan jadwal Abel hanya setengah hari.
"Saya permisi dulu pak" ujar Abel pada seorang Pria pemilik Restoran. Namanya Odang, pria asli padang yang sangat ramah. Tak hanya itu ternyata pria itu memiliki kembaran yang serupa dengannya namanya Oding, Abel baru mengetahui fakta tersebut setelah seminggu bekerja ditempat ini.
"Sepertinya kamu terlihat pucat. Apa kamu mau saya antar hingga sampai?" tanya pria itu, Odang
Abel tersenyum seraya menggeleng. Tentunya ia tak mau kalau pria ini sampai tau dimana tempat tinggalnya. Mungkin saja setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri tempat tinggalnya itu, bukan tidak mungkin kalau Abel langsung dipecat bukan? Mengingat tempat yang Abel tinggali itu Hotel bintang lima?
"Tidak usah pak, tapi terima kasih atas pertolongannya" sahut Abel sambil tersenyum. Pria itu mengangguk seraya mempersilahkan Abel untuk pulang.
🥀🥀🥀
Sejak pertemuannya dengan Revan, selama itu pula Aidan sibuk mengurusi segala kegiatan mengenai kerjasamanya. Ia juga turut serta mengawasi dan mengkontrol segala kinerja pekerjanya. Aidan benar-benar tak mau jika ada kesalahan setitikpun, Semuanya harus perfect dan memuaskan Client-nya dan yang terpenting dirinya.
Aidan meraih segelas Coffe late yang berada dihadapannya. Sekarang ini ia tengah berada di Paradise Coffe untuk menunggu Atheya. Sejam yang lalu wanita itu memintanya untuk segera menemuinya di sini. Tentu Aidan sedikit kesal sekarang. Ia pikir wanita itu yang akan menyambutnya namun ternyata malah ia yang harus menunggunya.
"Maaf terlambat"
Aidan mendongak, kemudian mendapati Atheya dengan napas ngos-ngosannya. Sepertinya wanita itu benar-benar terburu-buru untuk segera sampai ditempat ini.
Aidan tersenyum simpul dan lantas bangkit segera ia menyambut wanita itu dengan pelukan. Setelahnya Aidan kembali duduk. Wanita itu lantas menarik kursi dan mendudukannya dihadapan Aidan.
"Ku pikir kau sedang berada di Jakarta sekarang" ujar Aidan pelan. Wanita itu menghela napas panjang, kemudian melirik sendu kearah Aidan.
"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Aidan sembari bersidekap.
Lagi. Atheya hanya diam sembari menghela napasnya berulang kali.
Sekarang jadi Aidan yang kesal. Sebenarnya untuk apa Wanita ini menyuruh untuk menemuinya?
"Kalau kau tidak segera bicara aku akan langsung pulang. Kau benar benar mengangguku Atheya" kesal Aidan mencoba bangkit. Namun seketika wanita itu mencekal pergelangan tangan Aidan, membuat pria itu tetap pada posisinya.
"Aku ingin bicara. Tapi jangan disini" ujar Atheya
Aidan menggeram tertahan. Lalu untuk apa wanita itu menyuruhnya ke tempat ini? Hah! Buang-buang waktu saja!
"Lalu mengapa kau menyuruhku kesini, jika ingin berbicara di tempat lain?"
"Maaf, tapi aku bingung mencari tempat yang sepi untuk berbicara, apa sebaiknya kita harus ke hotel sekarang?" ujar wanita itu sendu
"Tidak usah. Kita ke Apartementku saja" jawab Aidan lantas mengandeng Atheya pergi.
🥀🥀🥀
Abel langsung menjatuhkan dirinya ke sofa terdekat setelah ia sampai. Wanita itu benar-benar tak kuat lagi jika harus berjalan lebih jauh dari ini, meski untuk kekamarnya. Emin yang melihat majikannya telah pulang lantas mendekat. Ia mengamati wajah Abel yang sudah kelewat pucat. Beranjak Emin berlari kearah pantry untuk mengambilkan minuman hangat. Ketika akan kembali menemui Abel. Wanita itu sedikit bingung karena tak menemui 'Nyonya' nya disini.
Namun samar-samar Emin mendengar suara seseorang dari arah kamar mandi. Emin menaruh nampannya sejenak dimeja lalu menghampiri sumber suara itu. Ketika sampai Emin lantas menemukan Abel yang berdiri sambil memegang erat wastafel.
"Huek...huek..."
Emin mendekat kearah Abel kemudian memijit pelan tengkuk wanita itu. Dilihatnya Abel memuntahkan cairan bening berulangkali. Emin sedikit heran karena, bukankah orang muntah itu mengeluarkan isi perutnya? Tapi mengapa majikannya tidak? Apa mungkin?
"Emin tolong bantu aku kekamar" pinta Abel. Menyadarkan Emin dari lamunannya.
Wanita gempal itu lantas mengangguk dan menuntun Abel ke kamarnya
Dengan telaten Emin langsung membaringkan Abel diranjangnya ketika mereka telah sampai dikamar. Setelah itu Emin kembali beranjak untuk mengambil air hangat yang sesaat lalu ia tinggalkan di meja.
"Nona kenapa? Nona sakit?" tanya Emin khawatir. Sembari menyodorkan segelas air pada Abel
"Tidak, sepertinya aku hanya kelelahan setelah bekerja tadi" lirih Abel pelan, menerima gelas tersebut seraya mencoba duduk
"Apa nona seharian ini makan?"
Abel mengangguk, kemudian meminum air tersebut
"Lalu mengapa muntahan nona itu hanya berupa cairan saja? Apa mungkin nona Hamil?"
Perkataan Emin sontak membuat Abel tersedak
"Uh..uhk..uhuk"
"Eh....pelan-pelan nona" ujar Emin lagi seraya mengelus tengkuk Abel.
"A..apa yang kamu ka..takan Min? A..aku apa tadi?" tanya Abel terbata seraya menaruh gelasnya dinakas
"Hamil nona, Emin kira nona sedang hamil sekarang"
Seketika mata Abel membulat sempurna, wanita itu terbelalak mendengar ucapan Emin.
" Hah...? jangan bercanda Emin! I..itu tidak mungkin" ujar Abel lagi seraya memaksakan tawanya
"Kenapa tidak mungkin nona? bukankah tadi itu nona mual? Dan bukankah nona itu sudah..." Emin menghentikan ucapannya. Karena ia yakin Abel pasti mengerti maksud perkataannya.
Abel berpikir sejenak, apa mungkin sekarang ini ia sedang hamil? Tapi bagaimana bisa? Bukankah ia hanya melakukan hal 'itu' sekali, dan juga secara paksa!
"Kalau nona mau, saya bisa membelikan nona tespack sekarang"
Abel menganguk, sebenarnya ia juga penasaran. Dari pada dia bingung lebih baik membuktikannya sekarang bukan?
🥀🥀🥀
Kini Aidan telah sampai di Apartement-nya. Pria itu lantas mempersilahkan Atheya untuk masuk. Dengan perlahan wanita itu langsung mengikutinya. Mereka berdua lalu menghampiri sebuah Sofa lebar yang berada di depan ruang Tv.
"Sekarang apa yang ingin kamu bicarakan Theya?" tanya Aidan memulai obrolan.
Wanita itu terdiam, pikirannya kalut sekarang. Apa ia harus memberitahukan masalah ini sekarang juga.
Aidan nampak mengamati wanita disampingnya yang begitu asik menautkan jemarinya. Sangat terlihat jelas sekali kalau wanita itu sedang gugup sekarang.
"Atheya..."
Wanita itu mendongak, menatap sendu ke arah Aidan
"A...aku...."
Aidan mengerutkan keningnya. Penasaran dengan kelanjutan ucapan wanita itu
Terlihat Atheya menghembuskan napas panjang.
Aidan menunggu dengan Sabar
Hingga...
"A..a..ku H...a...mil Aidan!" lirih wanita itu seraya terisak tangis.
Aidan tersentak, seketika tangannya mengepal. Sekarang apa yang harus ia lakukan?
🕊️🕊️🕊️
Tbc...