Sementara Var melangkah enggan, gadis yang berlarian di sekitarnya kali ini seperti sedang punya energi berlebih. Quon terkadang berlari kencang hingga berada jauh di depan Var. Gadis itu lalu berhenti melihat barang-barang dagangan yang dipajang. Ada kalanya Quon akan kembali mengitari Var—seperti tawon mengelilingi sarang. Namun ekspresi Var tidak berubah.
"Kenapa kita harus melewati pasar?" tanya Var, lebih seperti menggumam pada diri sendiri.
"Tentu saja kita harus melewati pasar." Quon menanggapi. "Setelah melalui Xerokh, kita akan mengambil arah ke Tiberi."
Untuk Var yang adalah orang asing di Vighę, Xerokh mungkin satu-satunya akses keluar masuk di negeri itu. Padahal dia pikir, Quon yang adalah orang Vighę asli akan tahu jalur lain. Vighę sendiri dikelilingi tebing-tebing yang menopang hutan hujan. Sampai sekarang Quon belum memberi tahu di bagian mana hutan yang dirinya masuk.
Var tidak mengerti kenapa dia harus mendengarkan Quon. Selain untuk mencari tahu di mana gadis itu menemukan berlian-berlian aneh yang mengusik pikirannya, Var merasa bodoh sekali dengan mengekor Quon. Rasanya seperti pengasuh yang mengawasi anak-anak.
Mereka tidak hanya berdua. Var juga membawa Nii. Kuda jantan berbulu cokelat gelap mengilap itu menurut patuh saat dituntun. Dia sangat gagah. Quon bahkan jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Berkali-kali dia bertanya pada Var kapan dia boleh menunggangi makhluk manis itu. Var mungkin harus berterimakasih pada Quon, karena berkat gadis itulah Var seolah diingatkan untuk membawa Nii jalan-jalan.
Quon melangkah cepat menghampiri Var dengan membawa sebungkus mandu yang masih mengepul. Dia mengeluarkan satu buah lalu membaginya menjadi dua bagian. Disodorkannya setengah pada Var, namun laki-laki itu tidak bereaksi—melirik pun tidak.
"Tempatnya sangat jauh, jadi sebaiknya kau mengganjal perutmu biar sedikit," kata Quon. Tapi pada akhirnya Var masih tidak mengacuhkannya. Perhatian gadis itu lalu beralih pada Nii. Tanpa Var melihat, dia diam-diam memberikan sepotong kecil mandunya pada Nii.
"Jadi.." Var akhirnya berbicara saat mereka melihat gerbang Xerokh dari kejauhan. "Kau menemukan berlian itu di hutan."
"Mm." Quon mengangguk.
"Apa yang kau lakukan di sana?"
Itu pertanyaan yang tidak diantisipasi sebelumnya oleh Quon. Raut wajahnya sempat berubah tegang, kebetulan saat Var meliriknya. Namun hanya sedetik kemudian, muka polosnya kembali. Dia menoleh pada Var dan tersenyum.
"Aku tinggal di sana," jawab Quon tampak tanpa beban.
Var mengernyit. "Kau tinggal di hutan?"
"Saat kau menginginkan ketenangan juga pemandangan yang bagus, kau juga akan memilih tinggal di sana. Tidak jauh dari Tiberi, ada pemukiman kecil. Pengembara dari Raveann atau Ranoor kadang menginap di sana kalau langit sudah terlanjur gelap dan mereka masih berada cukup jauh dari Xerokh," papar Quon. "Tapi kurasa itu tidak berlaku bagi orang Kith."
Var lagi-lagi melipat dahi saat menatap gadis itu. Quon sengaja menyindirnya. Meski tidak mengenakkan, Var musti mengakui kalau Quon benar. Saking renggangnya hubungan antara Kith dan Vighę sampai-sampai orang Kith merasa terancam di sisi mana pun di negeri tersebut. Orang Kith akan memilih langsung masuk ke pusatnya—bukan sengaja masuk ke lubang singa, melainkan karena di sana ada prajurit yang loyal pada rajanya. Raja Vighę selalu mewanti-wanti jika tidak boleh ada pihaknya yang memancing konflik lebih dulu dengan orang negeri lain.
"Ah, nama desanya Areun." Quon memberitahu. "Areun. Ulangi setelahku. Aaa.."
"A—..!!" Var kaget karena tiba-tiba Quon memasukkan sepotong mandu ke mulutnya yang membuka. Kontan gadis itu tertawa lalu berlari mendahuluinya untuk melewati Xerokh. Var sedikit dongkol. Untungnya dia cukup punya hati dengan tidak memuntahkan mandu di mulutnya.
Saat mereka keluar, Var langsung menunggangi Nii. Quon melihat takjub bagaimana laki-laki itu memanjat pijakan di pinggang Nii dan dalam sekejap berada di atas. Quon sendiri bingung bagaimana dia harus melakukan hal yang sama. Tubuhnya tidak setinggi Var dan kakinya tidak akan bisa bergerak seluwes itu.
Var tersenyum sinis melihat alis Quon bertaut dan mengerjap memperhatikan tubuh Nii. Pijakan untuk naik saja sedikit lebih tinggi dari kepalanya. Mendadak sebuah ide yang licik terlintas di benak Var. Tubuh Nii berputar mengitari Quon. Tiba-tiba Var mengarahkan kudanya itu berlari kencang meninggalkan Quon. Gadis itu tersentak. Var mendengarnya berseru nyaring mengucapkan kata tunggu.
Dan sebelum Quon hendak berlari mengejar, Var membalikkan Nii. Dia melesat dengan kecepatan yang sama seperti saat meninggalkan Quon. Ketika melihat Var kembali ke arahnya—bahkan tidak memelankan laju padahal jarak keduanya amat dekat meski dalam hitungan detik, Quon memejam. Gadis itu takut sewaktu-waktu Nii akan menubruknya.
Badan Var condong ke samping. Tangan kanannya merentang. Dalam sekejap.. hup! Var melingkarkan tangan kanannya ke tubuh Quon. Napas gadis itu tertahan merasakan tubuhnya yang terbang kemudian didudukkan ke punggung Nii—di depan Var persis. Var melepas pegangannya di pinggang Quon dan kembali mengontrol Nii melalui tali kemudi.
Var tidak menyadari pipi Quon memanas karena tubuh laki-laki itu seakan mengurungnya. Supaya tidak jatuh, Quon pun merasa harus melingkarkan kedua tangannya pada laki-laki itu karena punggung Nii bergolak. Quon juga meringis karena tidak menyangka naik kuda akan menjadi begitu memacu adrenalin.
Nii mempercepat larinya, sementara Var berharap jalan mereka nanti tidak akan terlalu sulit dilewati.
***
Setelah menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk di mejanya, Ren pergi ke ruang arsip Emerald. Sepanjang lorong, anak-anak yang melihat memberi salam pada laki-laki itu tetapi tidak digubris. Mata Ren memancar nyalang. Dia berbelok di tempat yang ada di pikirannya sepanjang hari ini. Semua orang di dalam pun kontan berdiri kaget melihatnya datang.
Ren langsung beralih ke rak di mana data-data para siswa disimpan. Tidak ingin membiarkan rasa penasaran membuatnya gila, laki-laki itu mengambil sekaligus satu kotak berisi ribuan data siswa baru. Beberapa saat dia mencari melalui gerak jarinya yang cepat.
Sekali tidak ketemu. Dua kali. Sampai pada akhirnya dia selesai memeriksa ketiga kalinya, namun tidak menemukan nama yang dia cari.
Lalu kenapa dia bisa ada di Gihon? Ren yang gusar bertanya-tanya dalam batin. Apakah ini hanya kebetulan saja, ataukah...
Selang tidak lama kemudian, seorang lagi laki-laki masuk setelah tergesa berlari. Terengah-engah, dia menghampiri Ren.
"Ketemu?"
Laki-laki itu mengangguk. Dia berkata setelah menelan ludah. "Namanya Quon. Hanya Quon. Dia tidak punya marga."
Quon?
Ren mengernyit. Jelas-jelas wajah itu sama persis dengan anak yang ada dalam ingatannya. Kenapa gadis itu punya nama yang berbeda? Dia sengaja menyamarkan namanya sendiri ataukah..
"Awasi dia terus," perintah Ren. Dia memberi isyarat pada laki-laki itu untuk pergi.
Ren menaruh kedua sikunya di atas meja, kemudian tangannya yang terlipat membungkam mulutnya sendiri.
Bros emerald yang tersemat di bagian dadanya merupakan hasil kerja kerasnya selama ini. Posisi kepala asrama pantas dia dapatkan setelah berjuang begitu jauh. Banyak yang telah Ren korbankan untuk itu. Orang akan melihatnya serta memberikan penghargaan. Mereka tidak perlu tahu apa yang Ren simpan dalam-dalam di ruang paling belakang memorinya.
Mata laki-laki itu memejam. Gambaran wajah-wajah kaku mengumbar, menghantuinya.
Seorang wanita dengan mata yang terbuka, namun telah tiada.
Dan juga anak itu—Quon—yang seharusnya tidak menghirup udara di dunia ini lagi.
***
Sama dengan Var, Cyde juga meninggalkan asrama sore itu. Setelah melajukan kudanya jauh melewati sungai Tiberi yang sedang berarus tenang, Cyde mulai melangkah sendiri. Laki-laki itu mengenakan jubah abu-abu dengan tudung yang besar hingga wajahnya tersembunyi. Dia melewati semak-semak belukar, juga tanaman-tanaman bersulur yang bisa menjerat kakinya kapan pun.
Gerak kakinya berhenti saat berada di pinggiran telaga.
Untuk orang biasa, tempat itu memang menyerupai telaga dengan permukaan berkilauan yang memantulkan sinar. Namun Cyde punya caranya sendiri untuk menemukan ruang tersembunyi yang melayang di atasnya. Meski terlihat tidak ada apa pun di sana, bagi Cyde, dinding-dindingnya menyerupai cermin.
Laki-laki itu melompat, memijak pada tangga paling bawah yang tidak kasatmata. Tangga itu memilin spiral seperti rumah keong. Puncaknya adalah ketika Cyde merasakan udara dingin menghembus di depannya.
Sinar keperakan menyambut. Cyde tidak bisa melangkah lebih dari ini karena adanya mantera segel yang kuat.
Ruangan itu bagaikan berada di dalam gunung es. Nuansa putih-biru mendominasi. Pandangan Cyde lalu tertumpu pada sebuah tabung kaca di paling sudut ruang. Ukurannya cukup untuk memerangkap seorang gadis yang terlelap dalam tidur panjangnya. Gelembung-gelembung air yang naik ke atas bersentuhan langsung dengan helaian rambut keperakan yang dia miliki.
Gadis Perak.
Cyde memandangnya sedih dan penuh kerinduan. Lama laki-laki itu memandang Gadis Perak dari kejauhan. Kemudian saat disadarinya langit mulai menggelap, Cyde menaruh rangkaian bunga lili putih di ambang pintu—dekat kakinya.
"Aku akan menunggumu," bisik Cyde amat pelan. "Selalu.. menunggu kesedihanmu usai."
.
.
.
.
"The flowers I endlessly pick for you..
are flowers that bloom without regard for seasons or time."
.
.
.
>10 random Chapters will set private