Gadis itu membungkuk pelan kemudian menjulurkan kaki kanannya. Kaki tersebut kemudian mengayun tanpa menyentuh tanah. Selanjutnya dia berputar, melebarkan cape kuningnya sembari mengacungkan tongkat ritual yang penuh lonceng kecil pada ujung. Tongkat itu diarahkan ke langit, digerakkan seperti mengaduk-aduk udara seiring bunyi gemerincing yang dihasilkan.
Berada di jembatan layang yang menghubungkan dua paviliun Cith—bangunan bagian asrama Citrine, divisi spiritual—gadis itu memantapkan latihannya. Hanya hari ini waktu yang tersisa. Besok, dia harus sudah menarikan tarian pelindung supaya acara yang diselenggarakan Zaffir berjalan lancar. Ini tugas pertamanya, dan dia tahu tidak boleh ada kekacauan.
"Mengesankan sekali, Fiona."
Gerak gadis itu langsung berhenti. Dia sempat menoleh ke sana kemari sebelum melihat Dalga memberikan senyum dari atas jembatan. Fiona balas tersenyum—pipinya bersemu merah.
"Kau berlatih sendirian di sini?" tanya Dalga.
"Tadi yang lain juga di sini, tapi mereka sudah kembali beristirahat," jawab Fiona. "Tuan Dalga sendiri sedang apa di sini?"
"Oh, ayolah. Aku merasa tua kalau dipanggil tuan." Dalga pura-pura mendengus kesal. Melihat Fiona kebingungan, dan mengucapkan kata maaf, laki-laki itu tersenyum. Dia menumpukan sikunya untuk menopang dagu. "Selamat telah terpilih memimpin ritual pemberkatan untuk besok."
"Terimakasih. Apa tuan—.. maksudku Dalga akan datang ke sana juga besok?"
"Tentu saja. Semuanya juga menanti-nantikan ritual untuk Zaffir. Ini acara yang besar." Dalga menarik diri. Dia melihat Fiona secara tidak sengaja saat akan ke ruang dewan tadi. Rapat yang merepotkan seperti biasa. "Kalau begitu, silakan diteruskan."
"Ah, ya.." Fiona agak kecewa melihat laki-laki itu pergi begitu cepat. Dalga adalah kepala asrama Cith, jadi sudah pasti dia sibuk. Fiona lebih sering melihatnya dari kejauhan. Sungguh beruntung laki-laki itu menyapanya kali ini. Apakah Fiona boleh bersorak gembira karena jelas-jelas Dalga berhenti sejenak hanya untuk menyapanya?
***
"Quon! Quon!" Seseorang mengetuk pintu kamar. Gadis itu—Ana membuka pintu kamar setelah Quon menyahut. "Mau ikut ke Zaffir bersama? Semuanya sudah siap."
Quon saat itu tengah berbaring dengan kedua kakinya terangkat ke atas. Dia sangat kerepotan memakai kaus kaki. Seragamnya yang sudah susah-susah dia pakai dan kancingkan jadi kusut bukan main setelah tubuhnya berguling-guling di atas karpet. Ana sampai-sampai tidak tahu harus mengucapkan apa pada gadis urakan itu.
"Ada apa di Zaffir?" tanyanya sebelum menendang-nendang kayu kerangka ranjang. Demi apa pun! Kenapa tiba-tiba kaus kakinya jadi sempit?
"Ada ritual pemberkatan di sana. Setiap ada acara besar, pasti diadakan ritual. Apalagi kali ini di Zaffir. Kita bisa melihat wajah-wajah calon ksatria baru tahun ini. Ada Cyde juga!"
Ana pernah menggembor-gemborkan soal betapa kerennya kepala-kepala asrama tiap divisi, termasuk Cyde. Tidak mengherankan karena dia punya wajah yang tampan dan semua anak menghormati serta mengaguminya. Apalagi Zaffir boleh dikatakan sebagai asrama khusus laki-laki. Memang ada siswa perempuan di sana, namun jumlahnya bisa dihitung jari, dan kemampuannya tentu tidak main-main.
"Ritual pemberkatan. Membosankan," gumam Quon yang mendesis sebal. Menyerah menarik-narik kaus kakinya, dia memutuskan langsung memakai sepatu saja. "Kau pergi saja. Aku tidak tertarik."
"Kau yakin? Semuanya akan pergi, jadi tinggal kau saja yang di sini."
"Aku mau pergi ke tempat lain." Quon melompat berdiri. Menunjukkan deretan giginya, gadis itu tersenyum lebar.
***
Semua siswa Zaffir, sebagian siswa Cith, Emerald dan Ruby menyaksikan ritual pemberkatan. Arena berbentuk persegi yang luas menjadi panggung tarian bagi seorang gadis dengan atribut khusus. Gaunnya panjang menutupi kaki hingga terseret lembut di bagian belakang. Empat helai satin biru gelap menjulur di sisi gaun, sementara di bagian depan tersemat pita bercorak bunga-bunga. Lengan atasnya dibiarkan terbuka, namun tidak di bawahnya. Penutup berlapis membuat tariannya begitu indah saat tubuhnya berputar.
Sama seperti ritual pada umumnya, gaun tersebut memiliki kekuatan magis. Hanya selang sesaat setelah Fiona bergerak, cahaya dalam wujud serbuk keemasan mengelilinginya. Sakral dan sangat indah. Gerakan mantra yang dia lakukan juga menciptakan perisai tidak kasat mata yang nantinya akan melindungi tempat itu dari segala bentuk gangguan.
Dalga tersenyum. Laki-laki itu duduk diapit Cyde dan Lilac—kepala asrama Ruby, dan satu lagi kursi ditempati oleh Ren—laki-laki berkacamata, kepala asrama Emerald.
Var berada juga dalam kerumunan anak-anak yang menyaksikan. Dia dan Rife tidak sengaja terpisah. Tidak mengherankan karena mereka saling berkerubut, tidak ingin ketinggalan melihat penampilan pemimpin ritual.
Var menyilangkan tangan. Tampaknya kekuatan divisi spiritual memang bukan isapan jempol belaka. Meski berada di jarak yang lumayan jauh dari Fiona, Var merasakan kekuatan besar yang tengah gadis itu edarkan. Terlebih saat Fiona menghentakkan tongkatnya ke udara hingga serbuk keemasan semakin banyak. Tapi seberapa efektifnya hal itu untuk menghindarkan Gihon dari gangguan makhluk kegelapan?
Agak bosan, Var lalu keluar dari kerumunan. Dia berniat kembali ke kamarnya saja untuk mengasah pedang dan tombaknya. Telinga Var sedikit berdengung sehabis dari tempat ritual. Dia bukan tipe orang yang menikmati keramaian seperti itu—apalagi dengan gendang dan alat musik lain yang dibunyikan.
Var harus memutar sedikit, melewati gedung aula untuk sampai di kamar asrama. Hanya saja ketika melewati bangunan asrama Zaffir selain yang dia tempati, Var mendengar sayup-sayup rintihan seseorang. Bukan hanya merintih, siapa pun itu sedang mencakar-cakar permukaan yang kasar. Sesuatu bergesekan, menimbulkan bunyi decit di lantai yang mengilap.
Var terdiam. Butuh waktu cukup lama baginya untuk menemukan sumber suara itu. Dia menoleh ke sana kemari, namun tidak mendapati sesuatu yang ganjil. Laki-laki itu lantas berlari kecil mengitari tempat yang menarik instingnya supaya mendekat.
Di detik yang sama, Fiona mengayunkan tongkatnya kuat. Boleh jadi itu merupakan sesi puncak dari ritual yang sedang dia lakukan. Dan tepat saat dia menghentakkan bagian bawah tongkatnya ke lantai, seseorang berteriak nyaring.
Var tersentak. Jeritan itu terdengar amat dekat dari posisinya sekarang. Kontan dia mendongak. Dan dari sana—balkon utama bangunan itu, Quon tersungkur. Var mengerjap melihat rambut hitamnya menjuntai ke bawah, dengan tubuh yang melengkung di antara pilar. Bulir-bulir merah menyala menetes tidak jauh dari Var.
"Quon!!" Var berseru memanggil namanya.
Gadis itu membuka mata. Namun saat itu juga, tubuhnya seakan ditancap ribuan jarum.
Fiona mengangkat tongkatnya secara horizontal hingga timbullah dentuman kecil di tempat ritual. Bagi Quon, itulah puncak rasa sakitnya.
Tubuh ramping itu terjun bebas ke bawah dan dengan sigap ditangkap oleh Var. Gumpalan darah pekat dimuntahkan Quon.
"Lihat aku," kata Var padanya.
Mata Quon memang membuka, namun pandangan gadis itu diselimuti kabut tebal.
Apa yang terjadi? Var membatin panik. Penglihatannya menembus sesuatu yang tersimpan di balik jubah Quon. Var mengambilnya, mendapati sekepalan berlian—hanya saja warna bagian dalamnya berubah menghitam. Laki-laki itu menggertakkan rahang. Tangannya menggenggam berlian itu. Kuat. Sangat kuat hingga benda tersebut hancur dalam genggamannya.
Quon kembali memuntahkan darah. Rasa sakitnya tidak berhenti sampai di sini.
Gadis itu harus mendapatkan penanganan medis secepatnya.
Var langsung mengangkat tubuhnya untuk segera berlari ke Emerald. Namun tiba-tiba saja seseorang menghadangnya dengan memegang sebilah belati. Ujung belati mengarah miring, melintang di depan dadanya.
Kia.
Laki-laki itu mendekat dengan ekspresi yang sukar diartikan. Var tercengang melihatnya menyayat tangan kanannya sendiri. Kemudian saat berada persis di hadapan Var, dia mendekatkan tetesan darahnya yang mengalir ke mulut Quon.
Dalam keadaan tidak sepenuhnya sadar, gadis itu meminumnya.
Sementara pandangan Kia terarah penuh pada Quon, Var bertanya, "Siapa sebenarnya kalian berdua?"
Kia ganti menatapnya. Lagi-lagi Var hanya mendapatkan sorot abu-abu dari manik mata hijaunya.
Kia menarik tangannya yang masih mengalirkan darah segar. Laki-laki itu melangkah mundur kemudian berbalik pergi secepat mungkin. Waktunya bersamaan saat Fiona menyelesaikan tariannya.
"Cantik..," gumam Dalga melihat Fiona yang tersenyum puas. Dia lalu menoleh ke arah Cyde. "Kau sudah bisa tenang. Tidak akan ada yang bisa menodai arena tempaan ini untuk besok."