Internal Love 2

By HaniAqmarina

552K 50.3K 4.4K

[Medical Content] Bagaimana jika seorang dokter menikah dengan yang seprofesi? Orang-orang menyebutnya keberu... More

PERHATIAN!
TRAILER
BAB 1 (Marriage Life: This is Us)
BAB 2 (Insiden Keselek)
BAB 3 (Viral)
BAB 4 (Sebuah Undangan)
BAB 6 (Surprise)
BAB 7 (Time is Everything)
BAB 8 (Yang Membuat Kami Jatuh Cinta)
Bab 9 (Hadiah Anniversary)
BAB 10 (Sebuah Keputusan)
BAB 11 (Seperti Pengantin Baru)
Bab 12 (Gusar)

BAB 5 (Masa Lalu VS Masa Depan)

36.5K 4.1K 326
By HaniAqmarina



Seharian ini aku benar-benar gelisah. Ini gara-gara semalam aku memecahkan pigura foto pernikahanku dengan mas Adit. Entahlah, feelingku sangat amat buruk. Sialnya, setiap kali aku punya feeling seperti ini, hampir 99% menjadi kenyataan.

Sejak pagi aku sudah berusaha menghubungi mas Adit, tapi satu kalipun teleponku tidak ada yang diangkat. Bahkan pesan LINE-ku juga tidak di read. Mungkin kalau tidak ada kejadian pigura foto yang pecah itu, aku tidak terlalu peduli karena memang sudah terbiasa dengan sifatnya yang secuek itu sejak kami menikah.

Kamu kemana sih, Mas? Please angkat dong!

"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi—,"

SHIT!

Telingaku sampai bosan mendengar suara mbak-mbak operator itu terus yang muncul setiap kali aku meneleponnya per-15 menit.

Tidak hanya handphone, telepon apartemennya pun tidak diangkat. By the way, sudah 5 bulan ini mas Adit hidup sendiri di Jakarta. Bibi yang biasa membantu tidak bisa lagi bekerja dengan mas Adit dikarenakan tubuhnya sudah terlalu renta dan gampang sakit-sakitan. Aku sudah menawarkan diri untuk membantunya mencarikan pembantu baru namun mas Adit menolak. Alasannya, "Aku tidak butuh pembantu, yang aku butuh kamu,"

Jelas saja kami bertengkar hebat saat itu. Dia tahu apa alasanku tidak bisa menemaninya menjalani hidup di Jakarta. Pertama, karena ayah sekarang sering sakit-sakitan. Setahun yang lalu saja ayah sempat serangan jantung. Apesnya, gejalanya mirip dengan sakit maag yang sudah ayah derita sejak lama sehingga ayah pikir saat itu kondisinya tidak berbahaya. Untung saat itu ibu meneleponku dan serta merta feelingku langsung tidak enak. Ternyata benar, ayah sedang serangan jantung dan sempat masuk ICCU. Bagaimana bisa aku meninggalkan ayah jika kondisinya seperti itu?

Kedua, pekerjaanku disini sudah sangat baik. Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan apa yang aku jalani selama ini. Tidak hanya masalah pekerjaan, tapi juga dengan orang-orang di sekitarnya. Coba kalian pikir, di saat kalian sudah sangat 'klik' dan menemukan kenyamanan, lalu kalian harus pindah begitu saja, rasanya sungguh sangat berat, kan?

Ketiga, rumah kami disini. Persetujuannya demikian saat akan menikah, bahwa rumah kami akan dibangun di Jogja. Bahwa kelak, kami akan menghabiskan masa tua di kota ini. Bahwa Jogja akan menjadi saksi bertumbuhnya anak-anak serta cucu-cucu kami. Mungkinkah semudah itu aku menghancurkan mimpi yang sudah kami bangun saat kami baru menikah dulu dengan pindah ke Jakarta?

Keempat, Jakarta itu kota yang rumit. Dulu, saat merantau kesana, aku sering kali merasa stres dan menangis tanpa alasan yang jelas. Bahkan, sering juga aku merasa kesepian padahal sedang berada di tengah keramaian. Tidak jarang kalau sedang naik transportasi umum seperti busway, jiwaku seperti melayang entah kemana dan yang tersisa hanya raga yang bergerak mengikuti rutinitas. Intinya, Jakarta tidak baik untuk kesehatan mentalku.

Well, 4 poin diatas cukup menjadi alasan untukku tidak bisa memenuhi permintaan mas Adit. Lagipula, jika aku ke Jakarta, toh aku juga akan jarang bertemu dengannya karena dia sangat sibuk dan aku malah kesepian karena tidak ada keluarga satupun disana. Oke, ini bisa saja dijadikan sebagai poin kelima mengapa seorang Adit tidak bisa menuruti kemauan suaminya.

Ini memang sebuah problematika jika menikah dengan seorang hardworker dan study oriented sepertinya. Apalagi orang tersebut adalah seorang dokter. Sudah waktumu terbagi, perhatian juga ikut terbagi dengan pasien-pasiennya.

"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi—,"

Aku menenggelamkan wajah diantara kedua lenganku yang tergeletak di atas meja nurse station. Rasanya aku ingin sekali-kali menyadarkan mas Adit bahwa diacuhkan itu rasanya menyakitkan.

Ya, dia harus tahu apa yang aku rasakan supaya dia bisa belajar menghargai komitmen yang sudah kami rajut sejak dia mengucapkan ijab qobul di depan ayahku. Supaya dia juga tahu bagaiamana rasanya khawatir seperti aku yang selalu mengkhawatirkannya.

***

"Dit, aku palpitasi," katanya semalam sebelum akad nikah kami dilangsungkan. Tiba-tiba saja dia meneleponku di malam dimana kita seharusnya dilarang untuk saling mengontak karena harus dipingit.

Aku tertawa. "Tumben, biasanya stay cool,"

"Ya, aku baru kali ini merasa palpitasi secepat ini. Jangan-jangan sampai supra ventrikular takikardi!"

"Lebay!" Aku berusaha menahan senyum bercampur kangen karena sudah 1 minggu kami tidak bertemu setelah sebelumnya pertemuan kami sangat intens untuk mengurusi segala keperluan pernikahan.

"Dit,"

"Ya?"

"Sepertinya benar SVT,"

"Hah?" Mulutku sampai mangap sedemikian rupa. Kadang, becandanya mas Adit itu suka keterlaluan dan sangat nggak lucu. "Jangan ngawur kamu, Mas!"

"Serius," jawabnya dengan volume suara pelan.

Aku masih berusaha menganggapnya hanya melucu. "Ya sudah. Gih, kamu ke IGD minta di EKG!"

"Oke. Aku tutup ya teleponnya!"

Dan aku mulai merasa ada yang aneh. "Eh, Mas mau kemana?"

"IGD,"

"Itu... serius SVT?"

"Iya,"

Jelas saja saat itu aku langsung panik dan tanpa pikir panjang mengambil kunci mobil lalu bergegas menuju IGD rumah sakitku. Even mas Adit nggak bilang akan ke IGD rumah sakit mana, tapi entahlah, aku yakin sekali kalau dia akan menuju kesana. Pasalnya, rumah sakit mana lagi yang dia tahu di Jogja selain rumah sakit tempatku biasa bekerja.

Dalam 10 menit aku sudah sampai disana, memarkir mobil, lalu berlari menuju IGD. Literally berlari. Pasalnya, SVT itu bukan perkara sepele. SVT termasuk kegawatdaruratan jantung yang tidak ditangani segera juga bisa mengakibatkan kematian.

Mataku awas mencari sosok mas Adit diantara puluhan orang yang memenuhi IGD kala itu. Keramaian di IGD tidak hanya dengan pasien, namun juga dengan keluarga pasien yang sangat menghambat pergerakkanku. Itulah mengapa di IGD rumah sakit manapun, biasanya kehadiran keluarga pasien sangat dibatasi. Biasanya hanya boleh satu orang yang benar-benar tahu kondisi pasien yang boleh mendampingi di dalam ruang IGD tersebut agar para tenaga medis dapat leluasa melaksanakan pekerjaannya.

Langkahkupun akhirnya terhenti pada satu sosok yang sedang berbaring di bed nomor 15. Disampingnya berdiri seorang dokter laki-laki berpakaian serba biru muda sedang menunjukkan hasil rekaman EKG pada selembar kertas khusus. Aku mengenal dokter itu. Dokter Firman, teman sejawatku, sesama emergency doctor.

"Bukan SVT, Dok," kata Firman.

"Hanya takikardi ya?"

"Tidak juga sih. Nadinya 96 kali per menit. Memangnya sejak kapan Dokter merasa palpitasi?"

"Sekitar 20 menit yang lalu,"

"Pemicunya? Mungkin sebelumnya Dokter habis melakukan aktivitas berat atau minum kopi atau—,"

"Suara perempuan itu,"

"Hah?"

"Saya palpitasi setelah mendengar suara perempuan yang akan saya nikahi besok,"

Sialan! Aku ingin sekali mengomelinya panjang lebar andai aku tidak ingat kalau saat itu aku sedang di IGD dan keesokan harinya aku akan menikah sehingga butuh menyimpan tenaga ekstra. Apa dia tidak tahu berapa kecepatan laju mobil yang saat itu kukendarai dari rumah menuju rumah sakit? Kalau bukan karena dia, aku nggak mungkin kerasukan sosok Michael Schumacher seperti itu.

Sebenarnya bukan cuma saat itu, sering, bahkan terlalu sering aku mengkhawatirkannya. Tapi tidak sebaliknya. Dia boro-boro mengkhawatirkanku. Saat aku demam tinggi dan tidak bisa bekerja sampai 3 hari, dia tidak mau pulang ke Jogja sebentar saja untuk menjengukku. Alasannya, "Kamu, kan, juga Dokter, pasti tahu apa yang harus diperbuat,"

Damn! It's not about 'i'm a doctor so i know everything about my body's problems'. Ini tuh masalah perhatiannya sebagai suami. Tidak bisakah dia khawatir sedikit tentangku?

KRINGGG! KRINGGG!

Sontak aku menegakkan kepala dan meraih handphone. 'RJP is calling' muncul pada layarnya. Aku tidak bergeming untuk beberapa saat, menimbang-nimbang apakah ini saatnya aku mengajarkan mas Adit bagaimana rasanya khawatir.

Angkat nggak ya?

Angkat?

Enggak?

Angkat?

Aaarrgghh!

Klik!

Aku menggeser lambang telepon berwarna merah ke arah kiri.

***

Banyu TV8 : Selamat malam Dokter Adit, saya Banyu dari TV8, masih ingat Dok?

Aku membuka pesan whatsapp itu dengan hati yang masih gundah gulana. Sudah 3 hari terlewati sejak mas Banyu mengunjungiku. Hari ini saatnya aku memberi keputusan apakah bersedia untuk menerima undangannya sebagai narasumber dalam program televisi Putih Hitam atau tidak.

Adit : Selamat malam. Iya saya ingat.

Banyu TV8 : Maaf menganggu malam-malam, apa sudah ada keputusannya Dok?

Adit : Sudah.

Ada dua hal yang memenuhi otakku sedari kemarin. Tentang masa lalu yang akan segera kutemui dan tentang masa depan yang sedang mengecewakanku. Aku beberapa kali membaca novel atau menonton film yang menceritakan masa lalu yang kembali datang dan pada endingnya sukses merusak masa depan. Sebagai contoh, film Ada Apa dengan Cinta 2 dimana Rangga yang hadir kembali setelah 9 tahun menghilang sukses merusak pertunangan Cinta dan Trian. Ironisnya, keputusan Cinta untuk memutus tali pertunangan dengan Trian hanya didasarkan pada perasaan yang masih membekas setelah menempuh perjalanan seharian penuh bersama Rangga di Jogja.

Jelas, aku tidak ingin kisah itu terjadi padaku. Aku sudah memilih mas Adit dan selamanya berjanji untuk menjadi teman hidupnya.

Banyu TV8 : Jadi?

Adit : Saya bersedia. Kira-kira kapan?

Banyu TV8 : Besokpun kami siap untuk live karena semua sudah dipersiapkan. Tiket pesawat untuk Dokter juga sudah kami persiapkan untuk penerbangan besok siang. Apa Dokter bisa?

Adit : Oke.

Banyu TV8 : Semua transport dan akomodasi kami yang tanggung. Tapi maaf Dok, ada satu hal yang harus saya sampaikan dan saya harap Dokter tidak berkeberatan

Adit : Apa?

Banyu TV8 : Selama di Jakarta, Dokter akan didampingi Ben sebagai staff talent kami.

DEG!

Ben? Haruskah Ben?

***

Keterangan:

Palpitasi : Deg-degan

Supra Ventrikular Takikardi (SVT): Kondisi dimana jantung berdetak sangat cepat. Detaknya bisa sampai di atas 150 kali per menit, dimana normalnya hanya 60-100 kali permenit.

Takikardi : Kondisi dimana detak jantung seseorang di atas normal (>100 kali permenit)

ICCU :Intensive Cardiology Care Unit. Ruangan perawatan khusus dan intensif untuk penyakit jantung.

***


Alohaaaa!

Sekali-kali mau mengadakan lomba ah! Hadiahnya follback dari author! Wkwkwk *penting banget*

Yang mau ikutan, caranya gampang. Tulis di kolom comment adegan yang paling kalian suka dari kisah Adit dan Aditya ini (boleh dari kisah di Internal Love 1) dan alasan kenapa kalian suka banget sama sosok Adit atau Aditya.

5 orang dengan jawaban paling menarik akan di follback sama author hahaha *kali aja ada yang mau*

Daaaan sekali lagi mohon maaf karena updatenya super late karena terdesak pekerjaan dan liburan jadi skill merangkai kata-kata agak ngadet. But, much love buat kalian yang udah neror "kak, update dong!" baik di wattpad maupun instagram [@aqmarinso].

Makin penasaran kan sama kelanjutan kisahnya? Samaaaa, author juga! Hahaha.

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 91.9K 43
• Obsession series • [ SELAMAT MEMBACA ] Romeo akan menghalalkan segala cara demi mendapati Evelyn, termasuk memanfaatkan kemiskinan dan keluguan gad...
16.4M 657K 38
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
458K 35.3K 33
"Tanggung jawab lo cowok miskin !!" - Kalka "B-baik, kamu tenang ya ? Saya bakal tanggung jawab" - Aksa
2.6M 277K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...