Seperti biasa dering alarm membangunkan Aidan dari tidur nyenyaknya. Setelah beberapa saat terduduk dirinya lantas bergegas menuju kamar mandi. Ketika ia akan mengenakan setelan kerja, dirinya lantas teringat kalau hari ini adalah weekend. Dan kemungkinan besar ia hanya akan menghabiskan waktunya disini. Aidan lantas mengambil kaus polo berwarna biru dan juga celana santai sepanjang lutut. Setelah ia rasa penampilannya sudah cukup memuaskan, dirinya lantas beranjak menuju pantry untuk membuat sarapan
Ia mengambil kentang, wortel dan juga kol dari dalam kulkas, hari ini ia berniat membuat sup sayuran sederhana, mengingat dirinya tidak terlalu pandai dalam hal masak-memasak. Setengah jam berkutat dengan masakan, akhirnya sup itu matang. Meskipun sederhana, masakan buatan Aidan sudah tentu sangat mengugah selera, apalagi jika keadaan sedang kelaparan seperti saat ini.
Aidan menaruh mangkuk sup itu dimeja makan, tak lupa nasi yang tadi sempat ia masak. Diambilnya segelas air putih dan juga piring dari raknya. Ia hendak menyendokkan nasi tersebut ketika terdengar suara "brukk" dari arah balkon.
Spontan Aidan teringat sesuatu, ia ingat kalau Abel kemungkinan besar masih berada di sana. Tanpa buang waktu dirinya langsung membuka pintu menuju balkon dan langsung terkejut mendapati Abel yang tergeletak dilantai dengan wajah pucat pasi. Aidan mengerutu tertahan, kemungkinan besar ini salahnya!
Cepat-cepat pria itu menggendong Abel ala bridal style menuju ke kamar wanita itu. Sampai disana Aidan lantas membaringkannya perlahan dengan rasa bersalah yang masih meliputi dirinya.
Aidan menyentuh kening Abel dan tersentak, menyadari suhu tubuh wanita itu yang terasa sangat panas. Buru-buru ia menuju pantry untuk mengambil air dingin, baskom dan juga handuk kecil untuk mengompres dahi Abel.
"Maaf" gumam Aidan pelan sambil meremas handuk kecil itu dan menaruhnya di dahi Abel.
Abel masih tak bergeming
Aidan lantas menuju kamarnya untuk mengambil minyak kayu putih, kemudian berbalik kembali menuju kamar Abel.
Didekatkannya botol minyak itu kehidung Abel. Bau menyengat tersebut spontan membangunkan Abel dari rasa pusingnya.
Abel mengernyit heran ketika menemui Aidan tengah menatapnya sendu. Ini tidak seperti biasanya, terlihat jelas kalau pria itu sedang mengkhawatirkannya sekarang
"Ehm...lo..ke..kenapa?" lirih Abel pelan sembari memijit keningnya yang terasa sangat pusing.
"Dan..ke..kenapa lo disini?"
Aidan hanya diam, bingung. Perlahan Aidan menghela napas pelan kemudian berdiri dari sisi ranjang Abel.
"Jangan banyak tanya, sebentar gue bakal balik lagi"
Abel hanya mengangguk heran namun tak lagi protes. Ketika Aidan berlalu ia baru sadar kalau ada sesuatu yang menempel di dahinya. Dan ia rasa itu adalah sebuah handuk basah. Abel meraba dirinya, dan ternyata panas
"Aku sakit?" gumamnya pelan.
Seketika ingatan itu pun muncul. Ia ingat kalau semalam dirinya tertidur di balkon. Ia ingat setelah menghamburkan seisi rumah karena kesal, dirinya merasa lelah dan lantas bersantai kembali Ayunan itu, tak sadar dirinya ternyata jatuh tertidur.
Dan ketika ia bangun hari sudah sangat gelap. Perlahan ia hendak berjalan masuk menuju kamar. Namun sialnya pintu terkunci, Abel mencoba mengedor-gedornya namun sama sekali tak ada sahutan dari dalam. Abel lantas kembali ke ayunan itu lagi mencoba untuk tidur kembali. Namun hawa dingin yang menusuk kulit, sontak membuatnya menggigil, apalagi ia hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana jeans selutut. Ia mencoba bertahan dengan dinginnya malam. Hingga pagi menjelang rasanya tubuh Abel langsung melemah.
Ketika terdengar suara berisik dari pantry. Ia mencoba meraih gagang pintu lagi berharap Aidan sudah membukakan pintu untuknya. Namun belum sempat ia berhasil, dirinya sudah tak sadarkan diri. Dan setelah itu ia tak ingat lagi.
"Mikirin apa?" suara itu mengejutkan Abel, dirinya menoleh dan lantas menemukan Aidan tengah berjalan menuju kearahnya dengan senampan makanan.
"Nggak ada" elak Abel sedikit kesal
"Nih, tadi gue bikin sup, dimakan gih" Aidan menyodorkan sup itu kearah Abel
"Ini beracun ya?" selidik Abel. Mengingat sikap Aidan 'agak berbeda' hari ini
Aidan mengumpat dalam hati, kemudian menarik napas untuk meredam kekesalannya
"Apa perlu gue habisin biar lo percaya?" sinis Aidan
Abel lantas menggeleng cepat. Sudah tentu jika ia menolak makanan ini siap-siap saja untuk kelaparan. Mengingat persediaan makanan sudah habis karenanya dan hanya tersisa sayuran mentah yang tak mungkin bisa ia olah.
"Thanks deh" gumam Abel lagi seraya menyendokan sup itu ke mulutnya. Aidan hanya diam sembari bersidekap menatap datar wanita itu.
"Not bad lah" gumam Abel lagi seraya terkekeh.
🥀🥀🥀
"Gimana lo udah merasa baikan?" tanya Aidan ketika dilihatnya Abel berjalan menuju kearahnya yang sedang asik menonton
"Lumayanlah"
Aidan mengangguk pelan kemudian memalingkan wajahnya menonton berita yang sedang tayang
"Ehm...makasih ya" gumam Abel pelan. Abel langsung memalingkan wajahnya ketika Aidan mengernyit heran
"Soal?"
Sungguh saat ini Abel binggung akan berbicara apa. Sebenarnya haruskah ia berterima kasih kepada orang yang berhasil membuatnya sakit? Hanya saja ia benci dengan situasi canggung seperti ini!
"Ah ...lupakan saja" jawab Abel sekenanya. Seraya menyenderkan tubuh di sofa
Setelah itu hening. Aidan sibuk menyimak berita Ekonomi dan Abel sibuk membaca majalah yang tersedia dimeja. Hingga suara Aidan memecah keheningan keduanya.
"Ehm...Bel gue mau ngomong dan ini sangat penting"
Abel menutup majalahnya kemudian menatap Aidan yang tengah sibuk berpikir
"Soal?"
Aidan berpikir sejenak, kemudian menghela napas panjang
"Soal taruhan itu"
Abel mengangguk. Menunggu kelanjutan Aidan.
"Damar buat taruhan konyol yang jauh dari kendali gue"
Abel menaikkan sebelah alisnya, penasaran
"Lalu?"
"Semuanya terasa mustahil untuk terjadi"
Sekali lagi kening Abel berkerut. Selama ini yang ia tau takkan ada kata 'mustahil' untuk seseorang yang bernama Aidan. terlebih pria itu memiliki segalanya. Namun melihat ekspresinya sekarang sepertinya pria itu benar-benar frustasi.
"Memangnya apa yang Damar katakan sehingga lo terlihat frustasi seperti ini?" Abel masih heran dengan tingkah Absurd Aidan ini.
Aidan menghela napas berat kemudian mulai berujar
"TANTANGAN ITU MENYURUH GUE UNTUK MEMILIKI KETURUNAN YANG SEMPURNA BERSAMA LO!!"
Abel terkesiap, sementara Aidan mengacak rambutnya frustasi
Jadi ini yang membuat Aidan frustasi? Apa dia seburuk itu dimata Aidan sehingga dirinya sampai seputus asa ini? Batin Abel sedih
"Dan pasti lo tau kan, kalo gue nggak mungkin sedikitpun nyentuh elo?, terlebih memiliki keturunan yang sempurna bersama wanita macam lo!"
Aidan tentu tak sadar jika perkataannya menyakiti hati Abel. Wanita itu mengangguk samar, mendengar setiap perkataan Aidan yang serasa menamparnya begitu keras.
Apakah dirinya seburuk itu? Hingga Aidan mangatakan 'wanita macam lo?' sebegitu menjijikan-kah Abel sehingga Aidan sama sekali tak menyadari kesedihannya? Tentu saja Abel berusaha tegar mendengar ucapan Aidan yang serasa menikam jantungnya!
"Terus sekarang mau lo apa" suara Abel sedikit begetar. Ia berusaha bersikap biasa meskipun rasanya sebentar lagi air matanya bakalan jatuh mengalir
"Ehm....lo harus bantuin gue nyariin baby cantik atau cakep dari panti, atau ibu-ibu yang rela anaknya kita adopsi" Aidan mengusap dagunya pelan , mengingat ide brilian nya itu
"Terus kalau Tyo dan Damar sadar umur bayi itu jauh lebih tua gimana?" gumam abel pelan, seraya menahan air matanya
"Ya... Tentu saja kita harus mencari bayi yang baru lahir setahun lagi, biar mereka nggak curiga. Bayi yang masih fresh dan merah"
Abel hanya mengangguk tanpa niat berkomentar lagi. Sejujurnya ia sungguh tak sanggup menyikapi kegilaan Aidan ini! Sungguh pria itu benar-benar ambisius atau kelewat gila? Ah Abel tak terlalu perduli sekarang. Yang ia butuhkan hanyalah sebuah tempat sepi untuk menumpahkan segala kesedihannya sekarang.
🕊️🕊️🕊️
Tbc...