Aidan memasuki Sunshine Resto diikuti Salli di belakangnya. Siang ini Aidan akan menemui kliennya yang berasal dari Jakarta, untuk membahas mengenai kerjasama yang akan mereka lakukan untuk membangun Apartement baru di Singapura.
"Hey Rev" Aidan menyapa pria yang sudah lebih dulu sampai. Mereka lantas berjabat tangan kemudian ikut duduk bersama
"Siapa?" tanya orang itu, Revan. kepada wanita yang mengikuti Aidan
"Oh, dia Asisten gue" Aidan menyahut enteng. Revan mengangguk kemudian menjabat tangan Salli.
"Salli"
"Revan"
Tiba-tiba pelayan datang, mereka lantas memesan makanan terlebih dahulu. Setelah selesai mereka kembali berbincang
"Gimana kabar lo?" tanya Aidan pada Revan.
"Cukup baik" Jawabnya
Aidan mengangguk
"Sorry waktu pernikahan lo gue nggak bisa datang" Aidan berujar lagi, Revan manggut-manggut
"No problem"
Tak lama kemudian Pelayan tiba, dan membawa pesanan mereka. Aidan memilih puding susu dan juga secangkir kopi Robusta. Revan memesan Taco Salad juga lime juice sedangkan Salli hanya memesan mix fruit juice.
"Jadi gimana? Lo setuju sama penawaran gue?" Revan berujar datar setelah selesai memghabiskan Taco salad-nya
Aidan mengangguk. Tentu saja ia setuju. Klien nya ini benar-benar mampu mendatangkan profit berlebih untuk perusahaannya, tak ada alasan lain selain menerimanya dengan tangan terbuka.
"Kalau boleh tau apa alasan lo milih Singapura sebagai target baru lo?" Aidan berujar lagi. Tentu ia penasaran alasan pria itu mengajaknya bekerjasama untuk pembangunan proyek Apartement di daerah kekuasaannya ini, Singapura.
"Gue rasa Singapura adalah tempat yang sangat strategis. Lagipula pertumbuhan ekonominya begitu kuat. Gue rasa jika kerjasama ini berhasil maka keuntungan yang sangat besar bisa kita raih. Lagian harga tanah disini juga sangat mahal dan gue yakin para penduduk atau pendatang bakalan memilih Apartement untuk ditinggali dibandingkan membeli rumah ataupun menginap dihotel"
Aidan mengangguk mendengar alasan logis kliennya ini. Tak salah ia menyetujui kontrak besar ini. Karena yang ia tau Revan ini juga tak kalah ambisius dengan dirinya. Ia juga bukan seseorang yang mudah dibodohi. Sikap dinginnya juga sudah terkenal dikalangan pembisnis. Jadi jangan berharap pembisnis bodoh diluaran sana ingin menipunya kalau tidak mau perusahaannya hancur berkeping-keping di tangan Revan
"Oke gue terima alasan lo"
Revan tersenyum simpul.
Setelahnya mereka langsung terlibat obrolan lain seputar kehidupan masing-masing.
🥀🥀🥀
Aidan memasuki halaman rumah dengan tenang. Tak perduli nantinya berbagai pertanyaan muncul dan membuatnya sedikit pusing. Sudah tentu bukan pertanyaan mengenai pernikahan, karena tak satupun orang yang tau perihal pernikahan rahasia itu termasuk keluarganya.
Setelah berjalan masuk, ia langsung menghampiri letak ruang keluarga. Disana terlihat Papa dan Mama yang sedang asik bersantai berdua.
"Pa..Ma.." ujarnya menyapa.
Sontak keduanya menoleh dan tersenyum memandang anak laki-laki satu-satunya itu.
"Akhirnya kamu datang my Son"
Aidan berdecih tak suka mendengar ucapan Papanya.
My Son?
Aidan pikir ia bukan lagi anak -anak yang bisa di panggil seperti itu.
"Yuk sini!" panggil Mama sembari menepuk sofa di samping kanannya. Aidan menurut dan ikut terduduk disana.
"Gimana? Proyek itu kamu ambil?" tanya Papa memulai sesi obrolan. Aidan mengangguk.
"Bagus! Aditya grup itu benar-benar perusahaan besar! Sebaiknya kamu spesialkan kerjasama ini. Hingga mereka betah dan terus mengajakmu bekerjasama" Papa terlihat sangat antusias. Aidan mendengus.
"Tenang saja Pa. Sebelum Papa bilang, Aidan juga berpikir seperti itu kok"
Yah banyak yang bilang kalau Aidan itu duplikat Papanya. Pemikiran, sikap dan ke-Ambisiusan itu tentu menurun darinya. Entah bagaimana bisa hampir 98% kemiripan itu. Yang jelas Aidan selalu satu pemikiran dengannya
"Lalu semalam kamu tidur dimana Ai?"
Kalau ini Mama yang bertanya. Ia menatap Aidan seakan menuntut penjelasan
"Aidan ingin mandiri Ma, Jadi mulai dari kemarin Aidan nggak bakalan tinggal disini lagi"
Mendengar keputusan sepihak Aidan itu, spontan Mama anak sulungnya itu dengan tajam.
"Jadi kamu mau pergi dari rumah ini?!"
Aidan menggeleng.
"Nggak, pasti Aidan akan mencoba untuk sering-sering mampir kesini. Aidan cuma nggak mau dibilang anak manja karena tinggal bersama Mama dan Papa terus" ujarnya meyakinkan keduanya.
Yah! Aidan bohong soal ini. mandiri? Cih! Bahkan waktu di Jerman dulu ia sudah belajar mandiri. Melakukan segala sesuatunya sendiri. Jadi alasannya sekarang, tentu saja karena dirinya sudah menikah. Bukan, bukan supaya menjadi suami idaman Abel. Tetapi untuk meyakinkan Tyo dan Damar kalau Aidan dan Abel beneran sudah menikah
"Terus dimana alamat kamu tinggal?" Mama mulai mengintrogasi, sepertinya ia sedikit curiga
"Rahasia Ma. Aidan kan sudah kasih tau kalau Aidan ingin mandiri. Kalau Mama tau alamat tinggalku dimana, sudah pasti Mama bakalan sering berkunjung, membawakan makanan atau ikut menginap disana berhari-hari" jelas Aidan meyakinkan.
Aidan berujar seperti itu bukan tanpa alasan. Dulu saat ia di Jerman bisa dipastikan sebulan sekali mama menghampirinya disana. Ia ikut menginap dan memasakan berbagai macam makanan. Gila memang, karena ongkos Singapura-Jerman bukannya murah, terlebih itu dilakukan selama bertahun-tahun. Untung saja Papa itu cekatan dalam mencari uang. Jika tidak sebelum ganti Aidan yang memimpin bisa dipastikan perusahaan keluarganya ini akan bangkrut karena sikap boros Mama.
"Gitu ya?" dengus Mama sendu.
Aidan mengangguk.
"Tidak apa-apa Ma, lagian Aidan pasti bisa menjaga diri. Tak perlu khawatir seperti itu. Aidan juga bakalan sering mampir kesini kok. Jadi Mama nggak bakalan kesepian"
Goodjob papa! Tak perlu Aidan jelaskan alasan lain, tentu karena Pria paruh baya itu sudah sepemikiran dengan Aidan!
"Yasudah tidak apa-apa kalau kamu maunya seperti itu. Mama bakalan dukung" Mama menghela napas pelan. Aidan lantas merangkul bahunya
"Kalau Papa gimana?" tanyanya lagi memastikan, meskipun tau jawaban seperti apa yang akan ia dikeluarkan.
"Not bad"
Aidan mengangguk senang. Lihat kan? Betapa mudahnya ia mencari alasan tanpa ada yang curiga sedikitpun?
🥀🥀🥀
Aidan menekan Pin dan mulai melangkah masuk menuju Apartementnya. Dirinya tersentak tatkala menemukan keadaan Apartement yang terlihat seperti kapal pecah. Banyak sampah kertas, plastik dan juga sisa-sisa makanan terlihat bertebaran dimana-mana. Belum lagi keadaan televisi yang menyala, juga suara-suara musik yang memekakan telinga.
Hanya satu yang ada dipikiran Aidan sekarang, Abel. Pasti wanita itu pelakunya! Dengan kesal pria itu mencari-cari keberadaan Abel. Di dapur, meja makan, ruang keluarga, kamar mandi, kamar tidur, namun nihil wanita itu tak terlihat dimana mana.
"Apa dia kabur?" pikir Aidan. Namun segera ia enyahkan. Tidak mungkin wanita itu kabur dengan cara meloncat kan? Mengingat Aidan sama sekali belum memberi tahu kode pin Apartement ini untuk bisa keluar.
Seketika pandangan Aidan tertuju pada pintu balkon yang terbuka sedikit. Dengan segera dirinya melangkah mendekat menuju balkon itu dengan rasa penasaran.
Sekarang Aidan sontak melongo melihat Abel yang kini asik bersantai di ayunan panjang.
Wanita itu mengenakan kacamata ribbon juga topi pantai berukuran besar. Tak lupa segelas susu dan juga sepotong Apel ikut bertengger di meja kanannya. Aidan berdecak sebal, sudah tentu ia geregetan sendiri melihat tingkah Abel yang seolah menjelma menjadi nyonya besar
"ABEL!!" Sentak Aidan keras. Wanita itu tak bergeming.
"ABEL!!!" panggilnya lagi. Namun hanya terdengar suara deru angin, karena hari sudah malam.
Aidan menggerutu sebal, ia rasa wanita dihadapannya ini benar-benar tuli.
Dengan kesal Aidan langsung mengambil kacamata ribbon itu dari wajah Abel, ia terenyak tatakala menyadari kalau Abel itu sedang tertidur. Aidan mendengus panjang. Satu hal yang baru ia ketahui dari wanita ini kalo ia sangat kebo! alias susah sekali dibangunkan jika dirinya sudah terlelap.
"Ah! Terserah deh!" gumam Aidan lantas meninggalkan Abel, kemudian mengunci pintu balkon itu, agar Abel tak dapat masuk lagi.
🕊️🕊️🕊️
TBC..