S K I L O V R E N I A

By fajanuta

390 15 2

Skizofrenia Gangguan delusi yang mengganggu kejiwaan Airin ini gara-gara Davi. Semua gara-gara Davi! Kalau sa... More

PROLOG
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN

SATU

87 2 0
By fajanuta

Delusi.....

"Skizofrenia. Hanya itu yang dapat saya simpulkan, Airin." Kata seorang wanita cantik dengan name tag Tifa Anindya, M. Psi di dada kirinya.

Airin terpaku. Hening. Ia tak mampu memahami apa yang dikatakan Tifa.

"Ada apa, Airin? Lama tak jumpa, kenapa keadaanmu sekarang seperti ini?" lanjutnya.

Airin mengangkat alis bingung. "Ski...? Apa?"

"Skizofrenia." Jawab Tifa mengulang. "Sudahlah, tak usah pedulikan namanya. Sekarang, saya mau tau dulu apa yang terjadi dengan kamu belakangan ini?"

Airin menggeleng. Masih tak mengerti. "Tapi... skizo...nia itu apa?"

"Skizofrenia adalah gangguan delusi. Itu yang sedang terjadi kepadamu." Jawab Tifa pada akhirnya hingga Airin ber-oh ria di mulutnya.

"Nah, sekarang, ceritakan apa yang terjadi dengan kamu belakangan ini, Airin?" tanya Tifa mengulang sampai berkali-kali.

Airin diam. Ia tak tau hendak bercerita darimana.

"Airin?" panggil Tifa kepada Airin karena pikiran Airin terlihat kosong.

"Hm... tahun kemarin... orang tua saya cerai. Tepat saat ketuk palu perceraian orang tua saya, saya putus dengan Gerry." Jawab Airin pada akhirnya.

Tatapan Tifa mulai empati. Ia menunggu kelanjutan cerita Airin.

"Terus.... Saya mulai buka hati lagi, tapi... bulan kemarin.... Saya... saya diputusin." Lanjut Airin pilu. Tatapannya kembali kosong dan sangat terlihat luka baru di mata Airin. Ia tak bisa menangani lukanya sendiri.

Tifa pun mengangguk dan menghampiri Airin untuk memeluknya.

"Sabar ya... saya turut sedih mendengar perceraian orang tua kamu." Kata Tifa membuka suara.

Airin mengangguk. Menggigit bibir mulai menahan tangis yang tak bisa ia keluarkan.

"Nangis aja, Airin. Saya tau banyak yang ketahan di dalam diri kamu." Kata Tifa lagi.

Airin menggeleng. Tidak bisa. Ia tidak bisa menangis. Ini udah kesekian kalinya ia mati rasa. Ini udah kesekian kalinya ia tak mampu mengenali apa yang ia rasakan. Airin tau dirinya sedih, tapi ia sama sekali tak bisa menangis. Ia tak bisa mengenali bentuk emosi yang terjadi pada dirinya sendiri.

Airin mulai menunduk. Menghindari tatapan kekhawatiran dari Tifa.

"Yasudah.. ada lagi yang mau kamu ceritain? Saya gak maksa kok."

Airin masih menunduk. Tifa dapat melihat delusi itu mulai menguasai Airin lagi.

Hening. Hanya hening karena Airin tak bisa menceritakan keadaannya. Keheningan yang cukup mencekam di ruang konsul yang biasanya hanya diisi oleh anak-anak nakal semasa sekolah.

Hingga akhirnya, Airin pun bersuara. "Kenapa... kenapa saya diputusin, Bu?"

"Saya cinta sama Davi. Saya tau Davi juga mencintai saya. Tapi.... Kenapa? Kenapa cuma enam bulan tapi sakitnya berpuluh kali lipat dari putus sama Gerry, Bu?" lanjut Airin dengan frustasi.

Tifa tak bergeming. Menunggu lanjutan cerita Airin, tapi ia kembali bungkam menggigit bibir. Airin sungguh kacau.

"Itu karena kamu udah anggap Gerry sebagai sahabat kamu, Ai. Beda sama Davi yang bener-bener kamu anggap sebagai pasangan." Jawabnya sambil menggenggam tangan Airin erat.

Airin kembali mengangguk. Tatapannya kosong.

"Airin, jangan melamun. Lawan delusi itu." kata Tifa pada akhirnya.

"Hm?" timpal Airin linglung.

"Lawan delusi itu, Airin." Kata Tifa mengulang.

"Delusi apa?"

Tifa menghela napas.

"Pokoknya jangan melamun ya, Airin. Perhatiin sekitar. Jangan biarin diri kamu dikuasai delusi itu." kata Tifa.

Airin mengangguk.

"Udah ya. Sekarang, buat Davi menyesal karena udah mutusin kamu. Jangan sekacau ini lagi ya, Airin. Airin yang saya kenal itu fashionable. Kenapa sekarang cuma abu-abu dan hitam? Jangan terlihat berduka gitu ah." Lanjut Tifa lagi.

Airin tersenyum kikuk. Berharap Tifa menganggapnya baik-baik saja. Namun tetap saja ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Pikirannya masih tak disini. Hatinya belum melupakan Davi.

"Iya, Bu." Jawab Airin singkat.

Tiba-tiba mendadak ada sesuatu di dada Airin yang terasa besar dan berat sekali. Ia tak tau apa itu, ia tak tau apa benda di dalam dadanya. Yang ia tau hanyalah, ia tak kuasa menahannya. Dan ia ingin pulang.

Iya, Airin hanya ingin pulang. Ia ingin sendirian. Ia tak ingin disini. Tak ada yang ingin dia disini. Seakan-akan dunia menolaknya. Seakan-akan dunia mengusirnya.

"Hmm.. Bu, saya pamit pulang ya. Kapan-kapan saya kesini lagi." pamit Airin tiba-tiba.

"Oh? Iya... banyak-banyak nonton MV Korea ya! Dulu kan kamu suka joget-joget ala Korea, Ai!" kata Tifa ceria mencoba meningkatkan mood Airin.

Namun, yang diajak bicara hanya mengangguk sekenanya dan berjalan keluar ruangan dengan tatapan kosong tanpa gairah.

***

Tin tin!!!!

Klakson mobil truk tiba-tiba berbunyi saat Airin menyebrang jalan. Airin tak lihat-lihat memang. Ia tak menengok ke kanan ataupun ke kiri sebelum menyebrang.

Tidak, bukannya ia bermaksud mengakhiri hidupnya. Ia hanya tak tau apa yang ia rasakan. Ia hanya membiarkan kakinya melangkah. Ia hanya membiarkan kepalanya dipenuhi kekosongan tanpa gairah.

"Woy, Mbak, kalo nyebrang tuh liat-liat dong! Saya gak mau tanggung jawab ya kalo situ kenapa-kenapa!" kata pengendara truk itu marah-marah kepada Airin.

Airin pun hanya mengangguk. Sebetulnya ia tak tau apa yang dikatakan pengendara truk itu. Yang jelas, barusan ia hampir terserempet truk. Tapi anehnya, itu sama sekali tak membuatnya takut ataupun gemetar.

Baginya, kehilangan Davi jauh lebih membuatnya dunianya gemetar.

Airin terus berjalan dengan tatapan kosong. Berjalan lurus ke depan tanpa menoleh hingga ia tau bahwa tempat ia berdiri saat ini adalah rumahnya.

Ponsel Airin sejak perjalanan tadi terus berdering. Bukannya tak dengar, Airin hanya tak ingin mengangkat ponsel itu. Bahkan sampai dering ke tiga puluh tujuh masih juga tak Airin gubris.

Airin melangkahkan kaki ke rumahnya dengan gontai. Membuka gerbang hingga ke pintu utama. Namun yang ia dapati hanya rumah yang kosong seperti hatinya.

Hampa.

Hanya suasana seperti itu yang Airin rasakan di rumahnya. Yah, kalau dipikir-pikir lagi, gimana Airin bisa sembuh kalau keadaan rumahnya sama sekali tak mendukungnya?

Kakaknya Moura sibuk terbang sebagai pramugari. Ibunya yang diplomat sibuk bolak-balik ke Amerika.

Ayahnya memang di Indonesia. Tapi jauh di Surabaya. Lebih memilih bertahan di kampung halamannya sebagai dokter pengabdi terbaik disana.

Airin? Ia hanya mahasiswi Sastra Inggris di kampus biasa. Ia tak semandiri kakaknya, juga tak seambisius mamanya, apalagi sesosialis ayahnya. Bahkan Airin kadang juga bertanya-tanya, apakah ia benar-benar bagian dari keluarga ini? Sejujurnya, ia merasa biasa saja.

Setibanya di kamar, Airin pun hanya diam. Ia menatap piano putih yang ada di depan tempat tidurnya. Dulu ia senang memainkan itu. Kadang Davi juga hadir bersama gitarnya. Membantu instrumen yang ia mainkan.

Kini, ia tak tau apa yang ia rasakan, ia juga tak tau apa yang ia pikirkan. Ia ingin kembali memainkan piano itu. Tapi rasanya ia tak bernafsu. Karena itu hanya akan membuka kenangan bersama Davi yang mampu membuat hati dan lukanya bertemu.

Kini, ia sama sekali tak berniat memainkan tuts piano kesayangannya dulu.

Sekarang yang Airin rasakan hanyalah kehampaan dan kekosongan. Hanya itu rasa yang Airin kenali.

Sudah kesekian kalinya Airin bingung atas apa yang terjadi pada dirinya. Ia kehilangan semangat hidupnya. Ia kehilangan jati dirinya. Ia kehilangan dunia dan kebahagiaannya. Ia sempat beberapa kali berpikir untuk menyudahi hidupnya, tapi hal itu selalu ia urungkan. Airin tau itu tidak menyelesaikan masalah.

Ponsel Airin berdering lagi. Hingga dering ke lima puluh, Airin baru berminat untuk mengecek ponselnya.

Kak Audri is calling.....

Meski bingung kenapa tiba-tiba senior di kampusnya menghubunginya, Airin pun akhirnya mengangkat.

"Halo?" sambut Airin datar.

"Eh, Airin, kemana aja baru ngangkat??? Bisa ke kampus gak hari ini?" tanya Audri di sebrang sana.

"Hmm. Ada apa emang, Kak?" tanya Airin mencoba biasa aja.

"Gini... kampus kita kan mau ulang tahun dan kaprodi mau kita nampilin drama. Lu main ya, Ai? Ayolah, lu kan jago hafalan. Hafalin naskah drama gak susah kan?" desak Audri blak-blakan.

"Drama kak? Hm... gatau deh kak."

"Plis, Ai. Gak ada lagi. Gue pengen elo." Desak Audri.

"Kenapa emangnya, Kak?"

"Pokoknya elo ya, Ai."

"Tapi, Kak..."

"Udah ya siap-siap. Gue tunggu di kampus."

"Yaudah iya, gue siap-siap dulu." kata Airin mengiyakan karena entah kenapa sejak dulu, ia tak bisa menolak perintah dari Audri.

"AKHIRNYA KITA NEMU PEMERAN UTAMA COY!!!!" teriak Audri di telepon sebelum ia menutupnya.

"Ha? Apa??"

Airin yang mendengar kata 'pemeran utama' pun langsung terkaget-kaget. Belum ada kesepakatan lagi-lagi Audri memutuskan sepihak. Tapi ia sudah keburu mengiyakan dan tak mungkin tiba-tiba membatalkan. Bisa habis dia dicerca Audri. Hingga satu jam kemudian, Airin sudah tiba di aula kampus.

Keadaan aula cukup lengang mengingat hari ini masih liburan semester. Dengan lampu neon yang menyala terang, cukup lah Airin melihat ada beberapa orang yang tengah berkumpul mengerubungi Audri.

"Hai, Princess Portia!" sambut Audri keras-keras dengan suara yang menggema ketika ia melilhat Airin memasuki aula.

"Portia? Seriusan, Kak???" tanya Airin tak percaya mendengar nama pemeran utama dalam drama The Merchant of Venice karya William Shakespeare.

"Yes! Gak ada lagi, Airin. Yang otak dan fisiknya mendukung itu lu doang." Kata Audri menegaskan dan langsung menarik Airin ke atas panggung kecil di tengah aula.

Audri pun mengambil alih perhatian.

"Semua!!! Pemerannya udah lengkap ya? Bassanio??" lanjut Audri mulai mengabsen.

"Hadir!" kata Agam mengangkat tangan.

"Nah, Airin, ini Agam. Satu tingkat diatas lu. Dia yang akan jadi lawan main lu nanti. Nah, yang mesra ya sama Agam. Barangkali cinlok dan lu move on dari Davi!" kata Audri meledek.

Airin pun hanya bisa menggeleng kaku. Tak akan ada yang bisa menggantikan Davi. Tidak akan. Airin berani jamin akan hal itu.

"Jessica?" teriak Airin.

"Hadir!"

"Shylock?"

"Yo, hadir!"

"Neressa?"

"I'm here, Princess Portia." Kata Haura menunduk seperti seorang pelayan di hadapan Airin.

"Ah, Portia, ini Neressa yang akan jadi dayang-dayang pribadi dan teman curhat terdekat lu dalam drama. Lu udah tau kan cerita dramanya?" Jelas Audri lagi.

Airin mengangguk dan mulai tersenyum kepada Haura, teman seangkatannya. Ya, Airin memang sudah tau cerita dari kisah The Merchant of Venice karena dulu dia sempat menjadi penanggungjawab acara sewaktu bedah film sastra di kampusnya. Dan kebetulan film yang di bedah itu adalah film lawas The Merchant of Venice.

"Ah, capek absennya. Pokoknya lengkap kan ya?" kata Audri mendadak malas.

"Iya udah." Jawab para tokoh drama serempak.

"Sip, kita mulai latihan di tengah taman jalan raya sekarang ya. Lessgo!"

"Hah?????!"

Para pemain drama yang tak percaya dengan ucapan Audri pun langsung benar-benar digiring layaknya Domba ke jalan raya oleh Audri. Mereka berbondong-bondong keluar dari aula sambil beberapa kali merutuki Audri karena hari ini panas sekali.

"Yo kita mulai latihan vocal!" teriak Audri semangat di tengah bising dan hiruk pikuknya jalan raya ketika mereka sampai.

Para pemain drama pun mulai latihan vocal dipimpin oleh Audri.

"Airin, suaranya!!!!!" tegur Audri.

"I... Iya, Kak! AAAAA IIIII UUUUUU EEEE OOOO"

"Haura yang kenceng!!!" tegur Audri lagi.

"Iya, Kak!"

"Bagas kurang nge-bass!"

"Ehm. Siap, Dri, satu dua tiga" kata Bagas meniru suara robot.

"Oke, cukup latihan vokalnya. Sekarang, Portia sama Bassanio gimana kemistrinya udah dapet belom??" todong Audri kepada Airin dan Agam.

Airin dan Agam pun menggeleng saling menatap satu sama lain saat ditanya soal kemistri. Karena sejujurnya membentuk kemistri itu sulit. Airin merasa dirinya masih menjadi pasangannya Davi. Karena kemistri mereka benar-benar terasa sekali.

Kendaraan di siang hari cukup ramai lancar. Bising, polusi, panas. Itulah tantangan yang diajarkan oleh Audri untuk para pemeran tokoh di drama ini. Bagi Audri, tidak boleh ada yang menegluh ataupun manja. Suara mereka harus lebih kencang dari suara knalpot yang keluar dari seluruh kendaraan yang lewat.

Namun, meski di tengah keramaian sekalipun, lagi-lagi Airin dikalahkan delusinya. Ia kembali terbayang dan teringat Davi.

"Coba Davi masih di kampus kita ya. Pasti lebih gampang kemistrinya kalo dia jadi Bassanio." Bisik Airin ke Haura.

"Hus. Udah gak usah diinget-inget."

Airin mengangguk. Ia tiba-tiba merasa sedih.

"Bassanio, Portia, opening scene sekali lagi!" perintah Audri kepada Airin dan Agam.

"Siap!" sahut Agam.

Airin dan Agam mulai bergandengan tangan dan melakukan hal yang biasa dilakukan seorang pangeran dan putri kerajaan. Berdansa, sesekali memutar dan mencoba tersenyum sepenuh hati.

Namun... tersenyum itulah bagian yang paling sulit untuk Airin saat ini.

"Airin, senyum yang lepas dong! Forget about him!" pekik Haura saat menyadari ada hal berbeda dalam diri Airin.

***

Continue Reading

You'll Also Like

40.7M 1.1M 42
When Arianna marries billionaire Zach Price to save her family, she doesn't expect to fall in love with a man who'd always consider her a second choi...