Roulette 「COMPLETE」

By 24mcgn

40.3K 4.2K 307

1... 2... 3... 4... Bang!!! "Aku yang memilihmu, Jeonghan. Jadi ikutilah permainanku." - Seungcheol "Cih! Das... More

Prolog
Chapter 1 : It's Only The Beginning
Chapter 2 : Found Ya!
Chapter 3 : Two Different Purposes
Chapter 4 : He's Too Kind
Story's Explanation
Chapter 5 : Hidden Intent
Chapter 6 : Talk
Chapter 7 : Game Start
Chapter 8 : "4"
Chapter 9 : Trust
Chapter 10 : Bond Between Us
Chapter 11 : Secret
Chapter 12 : The Storm [nc-21]
Chapter 13 : Danger
Chapter 14 : Rouge
Chapter 15 : Bad Omen
Chapter 17 : Weeping Night
Chapter 18 : A Difficult Task
Finale : Decision
Epilogue 1
Epilogue 2

Chapter 16 : Last Minutes

935 145 22
By 24mcgn

[TURN THE AUDIO ON TO FEEL MORE📣]

Preview

"Jeonghan. Ceritakan semuanya."

Suara Jihoon yang tenang dan cukup keras dapat di dengar seluruh orang di sana. Kali ini hanya ada suara isakan Jeonghan yang masih belum berhenti bagaimana pun Wonwoo mencoba menenangkannya. Membuat Wonwoo tak tega untuk membiarkannya bicara. Tapi sebuah tangan menutup mulutnya sebelum ia menjawab.

"Aku... tak tau bagaimana harus mengatakannya. Seungcheol... pergi. Dan itu karena sebuah telepon. Dari Jisoo."

Jeonghan mengatakannya dengan sesenggukan dan penuh putus asa. Walaupun saat ini, bisa dilihat Jihoon merasa iba padanya tapi tak sedikitpun ia coba tunjukkan pada Jeonghan. Jihoon kembali menatap seseorang di depannya. Mengisyaratkan pada Wonwoo untuk memberikan barang bukti yang mereka temukan. Tanpa ragu-ragu, Wonwoo menyerahkannya pada Jihoon-ponsel Seungcheol-dan Jihoon pun segera mengecek log panggilan masuk terakhir.

09.56 AM mobile 080-34xx-xxxx

Sebuah nomor yang Jihoon tau itu milik siapa.

"Tolong... selamatkan Seungcheol. Jisoo... Jisoo tidak sebaik kelihatannya."

Suara parau dan sesenggukan Jeonghan mengakhiri pembicaraan mereka. Jihoon pun segera memasuki ruangannya. Ia harus melacak Seungcheol saat ini. Waktu yang telah berlalu beberapa jam tentu tak akan menjadi jaminan keselamatan Seungcheol. Terlebih setelah rapat yang ia jalankan tadi dan mengetahui latar belakang Jisoo sesungguhnya. Hal yang membuat Jihoon ingin muntah dan menghancurkan seisi ruangannya setelah mengetahui kelakuan Jisoo. Dan mungkin memukul wajah Jisoo hingga ia puas.

***

Derap langkah beberapa orang menggema di seluruh koridor. Suasana yang remang-remang dan beberapa letusan senjata tak membuat mereka takut. Justru langkah mereka semakin mendekat ke arah suara letusan itu. Hanya jeda beberapa menit hening yang menandakan aktivitas itu terhenti.

Di depan ruangan yang mereka tuju, sesosok seseorang terlihat berdiri disana. Bersandar pada dinding. Kepulan asap yang baru terlihat menandakan ia baru saja menyalakan rokoknya. Kepalanya mendongak, seolah sedang memikirkan sesuatu. Derap langkah yang terhenti di seberangnya membuat ia menoleh. Menghembuskan nafasnya dengan kesal.

"Kau lama sekali, Brengsek."

Nada dingin yang dikeluarkan oleh sesosok itu hanya disambut tawa oleh salah satu dari mereka. Yang sepertinya ia adalah seorang pemimpin dari mereka. Tak begitu lama hingga seseorang yang tertawa itu mendekatinya. Membuatnya dengan jelas melihat seseorang yang memberinya nada dingin. Jisoo. Ia hanya terdiam dan menatap sinis pada seseorang itu.

"Dia di dalam?"

Sebuah pertanyaan sederhana yang disambut dengan anggukan Jisoo padanya. Ia mendekat, mengarahkan agar mereka mengikutinya dan memberikan tanda untuk sang pemimpin agar masuk ke ruangan tersebut. Sang pemimpin pun tak ragu untuk melangkah dengan senyum yang sangat lebar. Seolah kegirangan. Dan disanalah ia menemukan Seungcheol. Kondisinya cukup mengenaskan saat ini. Tubuhnya yang terikat dan berlumuran darah sedikit membuat kaget orang itu. Dinding yang berlubang menjelaskan suara yang tadi mereka dengar.

"Jisoo-ya, apa yang kau lakukan pada adikku?"

Seungcheol saat ini dalam keadaan setengah sadar, tapi indera pendengarannya masih dapat dengan tepat menangkap setiap kalimat tadi. Membuatnya terkaget dan bingung akan pertanyaan itu. Wonho menyebutnya sebagai 'adik' dimana ingatannya mengatakan bahwa ia hanya memiliki satu orang kakak. Dan ia juga mengingat bahwa kakaknya telah meninggal bahkan sebelum ia lahir, seperti yang dikatakan orang tuanya. Otaknya mencoba menolak setiap perkataan itu. Baginya, bagaimana mungkin seseorang yang berdiri di depannya kali ini mengaku sebagai kakaknya jika kakaknya sudah meninggal sejak lama.

"Aku hanya merasa sedikit bosan. Jadi aku bermain dengannya."

Suara Jisoo terdengar jelas dan tenang. Walaupun dapat terlihat ia tak begitu senang saat ini.

"Kukira kau akan membereskannya dengan cepat."

Tanggapan Jisoo hanya tertawa kecil ketika mendengar itu. Seperti seorang maniak yang menduga pernyataan itu akan muncul.

"Well, aku tak terlalu suka membunuh. Aku lebih suka menyiksanya hingga ia mati. Bahkan permainan roulette yang ku mainkan, hanya dapat memberinya beberapa cambukan, pukulan, dan mengambil salah satu matanya. Ah... dan menembakinya tanpa menghilangkan myawanya tentu membuatku semakin senang."

Jisoo kembali tertawa setelah ia mengatakan hal itu. Sedangkan Wonho dapat terlihat mendesis jijik ketika Jisoo tiba-tiba menunjukkan botol kaca berisi sebuah bola mata yang ia ambil dari saku jasnya. Jisoo hanya mengatakan bahwa itu yang akan menjadi kenang-kenangan untuk dirinya sambil mencium botol kaca itu. Membuat Wonho ingin memuntahkan segala isi perutnya. Pandangan Wonho kembali teralih ke Seungcheol. Ia memperhatikan wajah Seungcheol dengan seksama. Terlihat pula salah satu matanya yang terjait erat.

"Kau mirip ayah, ya Cheol. Kecuali ayah memiliki mata yang lengkap."

Wonho mengatakannya sambil tersenyum dan sedikit tertawa. Sebelum ia mendekat dan mengubah ekspresinya. Ekspresi wajah marah yang telah ia sembunyikan sejak tadi. Wonho tak butuh banyak basa-basi sebelum ia menghantamkan tinjunya ke wajah Seungcheol. Melakukannya berkali-kali dan menjadikan Seungcheol samsak tinju.

"Dan karena itulah aku membencimu, Choi Seungcheol!"

Pukulan demi pukulan terus ia daratkan pada Seungcheol. Ia tak peduli jika Seungcheol telah memuntahkan darah dari mulutnya. Dalam tiap pukulan, Wonho terus memuntahkan kekesalannnya. Berteriak seperti orang gila dan mengeluarkan kata-kata yang mewakili kekesalannya.

"Karena kelahiranmu lah yang membuatku terusir! Kehilangan semua yang harusnya aku dapatkan!"

"Dan juga ibumu yang kubenci! Jika saja saat itu aku sanggup membunuh ibumu, mungkin ibu kandungku masih selamat!"

"Kau tau, Brengsek!? Wanita jalang itu membakar ibuku hidup-hidup di depan mataku."

Beberapa potong kalimat itulah yang dapat Seungcheol cerna dengan cukup baik. Otaknya sedang bekerja dengan buruk saat ini. Dengan terengah, Wonho akhirnya berhenti dan memberikan pukulan yang cukup keras pada wajah Seungcheol. Sebelum ia mengakhirinya dengan  mencengkeram pipi Seungcheol. Membiarkan Seungcheol menatap ke matanya yang penuh kebencian.

"Dan karena kelahiranmu lah, keluargamu menghancurkan keluargaku. Dan bahkan kau. Membunuh ayah angkatku hanya untuk wilayah kekuasaan."

Wonho melepaskan cengkeramannya dengan kasar. Menyisakan rasa ngilu yang teramat pada wajah Seungcheol. Seungcheol masih tak berkomentar. Terlalu banyak hal yang ingin ia tanyakan pada sosok di depannya. Ia terbatuk ketika ia menyadari, bahwa ia harus mengetahui setidaknya sedikit kebenaran.

"Ceritakan semuanya kepadaku, [Kakak]."

***

Jeonghan tak dapat berpikir lebih panjang lagi. Yang di inginkannya kali ini hanya menerjang ke tempat Seungcheol berada. Ya, Jihoon berhasil menemukaan lokasi mereka sebelum sinyalnya hilang begitu saja. Jihoon menduga, alat pelacaknya telah hancur. Beruntung, Wonwoo cukup pintar untuk mengambil gambar sebelum sinyalnya hilang. Dan itulah yang membuat Jeonghan semakin tak sabar.

"Brengsek! Bisakah kita segera pergi!?"

Jeonghan berkali-kali mengatakan hal yang sama. Berbagai umpatan ia keluarkan. Jihoon hanya menanggapi dengan menggeleng saja. Lagipula, Wonwoo juga mengatakan untuk menunggu. Seseorang masih belum tiba, begitu katanya. Walaupun ia tau, lokasi yang cukup jauh dan waktu yang telah berlalu cukup lama membuat kesempatan hidup Seungcheol semakin tipis.

Derap langkah beberapa orang terdengar sangat keras. Dari suaranya mereka terdengar sangat kesal. Benar saja, tak lama kemudian pintu ruangan Jihoon terdobrak ketika seseorang menendangnya. Ya, Kim Mingyu datang bersama pasukannya, tentu ia menggunakan pakaian kebesarannya. Dibelakangnya terlihat Seokjin dan Taehyung dengan pakaian yang sama. Kau bisa mengira, setelah ini akan terjadi pertempuran antar mafia.

"Wonwoo-ya! Dimana si Brengsek Seungcheol!?"

Suara Mingyu yang lantang hanya membuat Wonwoo berdecak. Ia sebenarnya cukup kesal karena Mingyu baru saja menunjukkan batang hidungnya. Walaupun begitu, ia lega karena Mingyu membawa banyak teman Seungcheol. Tak butuh basa-basi bagi Wonwoo untuk segera menjawabnya dengan lokasi yang dimaksud, sebuah gedung di sekitar mercusuar di Pulau Joga. Membuat mereka tersadar bahwa lokasi Seungcheol saat ini cukup memakan waktu bagi mereka.  Terlebih matahari akan segera terbenam. Membuat perjalanan harus lebih berhati-hati karena mungkin akan terjadi keadaan yang tak terduga.

"Shinjuku dan Joga memiliki jarak yang cukup jauh. Jika kita terlalu lama berpikir, waktu kita akan habis."

Seokjin memecah keheningan dengan mengatakan hal itu setelah mendengar lokasinya. Ia menghela nafas karena kali ini bukan hal yang mudah. Berat sebetulnya bagi Seokjin yang harus memegang posisi Namjoon untuk terakhir kalinya dan memberi perintah pada yang lain. Tapi pendapatnya kali ini pun tak dapat diabaikan oleh setiap orang disana. Hanya sedikit kalimat darinya dan membuat semua orang disana menyadari bahwa waktu mereka tak banyak lagi. Membuat Taehyung yang tak sabar pun meninggalkan mereka. Ia sudah cukup kesal karena permainan yang dimainkan Wonho. Taehyung sempat mengatakan bahwa ia akan mencari lokasinya dan menyiapkan rencana lain.

Jeonghan sedikit lega ketika ada seseorang yang akhirnya bergerak. Walaupun ia tak terlalu mengenal Taehyung, tapi perlakuannya kini cukup membuat Jeonghan sedikit tersenyum. Jeonghan pun menoleh, menatap Wonwoo setelah kepergian Taehyung. Matanya seolah mengatakan sudah saatnya bagi mereka untuk pergi juga. Wonwoo pun hanya menghela nafas sebelum ia melemparkan sebuah pistol yang ia simpan disakunya sejak tadi.

"Setidaknya bawalah senjata jika kau ingin menyelamatkannya."

Jeonghan hanya tersenyum. Mengatakan bahwa ia tak mahir membidik dengan pistol. Membuat Wonwoo menghela nafasnya dan mengambil pistolnya kembali, menukarnya dengan sebuah pisau. Walaupun ia tau Jeonghan hanya beralasan saja. Wonwoo hanya menduga, Jeonghan ingin melampiaskan amarahnya ketika ia menemui Jisoo. Dan bagi Jeonghan, tentu melawan Jisoo dengan pistol bukan cara yang menyenangkan untuk melampiaskan amarahnya.

"Seok, kami akan ke mercusuar di Pulau Joga. Kau carilah informasi bersama Hoshi dan hubungi aku lagi nanti."

Jeonghan segera menghubungi Seokmin ketika ia melihat Wonwoo sedang mengisi pistolnya. Ia tau Seokmin dapat diandalkan, begitu juga Wonwoo. Wonwoo pun cukup tenang ketika ia mengajak Jeonghan untuk pergi. Walaupun sebenarnya ia tak yakin apakah dengan ajakannya saat ini adalah sesuatu yang benar. Tapi ia takut Jeonghan akan bertindak ceroboh jika ia memaksanya untuk menunggu lebih lama lagi. Rasa amarah Jeonghan yang meluap benar-benar membuatnya kewalahan sejak tadi. Walaupun ketika mereka keluar ruangan pun, mereka tak memiliki rencana sama sekali. Sesuatu hal yang bisa dibilang tindakan ceroboh. Terutama jika tempat itu di jaga banyak orang. Bayangkan saja apa yang akan terjadi dengan mereka. Tentu mereka hanya datang untuk menawarkan nyawa mereka secara sukarela.

Jihoon hanya menatap Wonwoo dan Jeonghan ketika mereka pergi. Ia cukup tenang mengamati kepergian mereka. Dan tertawa kecil terhadap suasana saat ini, menarik perhatian setiap orang.

"Oh... kalian juga sebaiknya pergi, para mafia. Teman kalian akan meregang nyawa jika kalian terlambat. Dan untuk para polisi, lakukan kode 42 serta minta bantuan dari polisi distrik lain. Lalu ikuti mereka."

Perintah Jihoon pun didengarkan semuanya. Termasuk Mingyu dan Seokjin yang memerintahkan semuanya untuk segera pergi menuju lokasi. Menyisakan Jihoon dan kepala polisi dalam ruangan itu.

"Ah... memberikan kode itu untuk penangkapan rekanmu. Kau ternyata tega juga. Emosimu sampai pada puncak ya kan, Jihoon-san?"

"Jisoo pantas mendapatkannya, Shochou-san"

Jihoon menanggapinya dengan tersenyum sebelum ia berlalu. Well, ia tentu tak akan membantah segala ucapan bosnya itu. Emosinya sudah sampai batasnya. Ia merasa di khianati oleh sahabatnya sendiri. Tentu saja semua karena kedekatan mereka baik di kantor maupun di kehidupan sehari-hari. Pak kepala pun hanya tersenyum, mengingat betapa kepolisian yang dulu sempat berseteru.

"Lucu juga, padahal kita sempat memburu mereka. Dan sekarang, kita polisi justru membantu untuk menyelamatkan seorang bos mafia, Jihoon-san."

***

"Lalu kau ingin membunuhku karena balas dendam saja? Kau benar-benar lucu, Wonho."

"Balas dendam? Tentu saja bukan hanya itu. Wilayahmu tentu jadi tujuanku, Bodoh. You're the head, Seungcheol. With your death, everything is mine. Dan tentunya organisasi yang kau bangun akan runtuh."

Wonho mengatakan dengan senyum di wajahnya. Bibirnya mendekat ke telinga Seungcheol. Membisikan sesuatu yang membuat Seungcheol meradang. Ya, Wonho mengatakan bahwa ialah yang membunuh Namjoon dan ayah Jeonghan. Serta niatannya untuk membunuh Jeonghan walau gagal.

"Bajingan brengsek sepertimu yang harusnya mati!"

"Oh ayolah... bukankah permainan seperti itu biasa? Kita mafia, Bodoh. Namjoon yang menghabisi anak buahku terlebih dahulu, jadi itu bayaran yang setimpal untuknya. Dan lagi... anak buahmu membantai anak buahku beberapa hari yang lalu. Jadi... kematianmu juga bayaran yang setimpal."

Wonho masih tersenyum ketika ia mengatakannya. Baginya melihat wajah marah Seungcheol adalah sesuatu yang menyenangkan. Sebelum ia mendengar derap langkah cepat yang menggema. Jisoo hanya terdiam saja. Mengamati situasinya sambil menghisap rokok baru yang ia nyalakan. Perkataan Wonho barusan juga membuat Seungcheol bingung. Selama ini ia selalu mengontrol anak buahnya. Dan seingatnya, tak ada satu pun dari mereka yang mencoba bertindak lebih dulu. Terutama melakukan penyerangan.

Keheningan ruangan terpecah ketika seseorang memasuki ruangan dengan terengah-engah. Nafasnya tersengal ketika ia memulai berbicara. Ia mengatakan sebuah mobil melaju menuju tempat mereka sekarang. Diikuti dengan beberapa mobil polisi. Perkataan bawahannya itu membuat Wonho hanya berdecak kesal memdengarnya. Ia mengerti bahwa mungkin mereka akan menangkapnya. Tempat persembunyian mereka bukan yang terujung, tapi tak ada jalan lain selain jurang jika kau lurus saja. Jadi untuk apa mereka datang jika bukan itu tujuannya. Wonho juga menduga bahwa semua ini berhubungan dengan Seungcheol.

Dalam kegentingan itu, Seungcheol yang mendengar dapat dengan mudah menebak. Ia mengira pasti itu ulah Jeonghan. Termasuk ketika Wonho mengatakan bahwa ada yang membantai anak buah Wonho. Ia menyadari atau lebih tepatnya berspekulasi. Semua membuatnya mengingat kejadian ketika Jeonghan menyamar. Dalam hati ia mengumpat karena tindakan Jeonghan yang dianggapnya sangat ceroboh.

Jisoo masih tetap menghisap rokoknya dalam diam, menimbulkan kepulan asap cukup banyak sebelum ia menjatuhkan rokoknya. Menginjaknya. Kakinya melangkah keluar tanpa di perintah. Hanya tangannya yang dikibaskan seolah mengatakan untuk tak khawatir padanya.

"Akan kubereskan mereka. Kau bawa saja dia dan kabur."

Perkataan yang cukup untuk membuat Wonho menoleh. Memberi Jisoo sebuah seringai tanda persetujuannya.

"Heh! Jangan sampai mati, Brengsek."

Kata perpisahan yang ditanggapi dengan acungan ibu jari yang Jisoo berikan pada Wonho sebelum ia meninggalkan ruangan. Jisoo yakin bahwa semua ini ulah Jeonghan. Ia tau Jeonghan tak akan berdiam diri ketika Seungcheol diculik.

Jisoo berjalan dalam diam. Namun dalam batinnya ia berperang. Rasa kasih sayangnya pun akhirnya dikalahkan oleh loyalitas terhadap bosnya. Membuatnya kini semakin mantap melangkah ke sebuah ruangan yang cukup dekat dengan pintu masuk. Disandarkan punggung miliknya pada sebuah pilar dan sebatang rokok ia pegang, bersiap dinyalakan. Matanya terpejam, menunggu seseorang untuk datang. Memori masa lalu yang berputar membuatnya sedikit menyesal. Hingga suara pintu yang terdobrak, membuatnya tersadar.

Sosok Jeonghan yang terengah membuat Jisoo tersenyum. Ah dia bukan tersenyum karena sifat psikopatnya, hanya saja ia tersenyum karena setelah sekian lama ia akhirnya dapat bertemu Jeonghan lagi. Ya, setelah ia membuat Jeonghan pingsan dan menyetubuhinya secara paksa.

"Dimana Seungcheol!?"

Suara Jeonghan yang terdengar kesal tak membuat senyum Jisoo hilang. Ia masih terlihat santai seperti posisinya semula.

"Berbaliklah dan pergilah, Jeonghan. Aku tak ingin melukaimu."

Jisoo mengatakanya sambil menghisap rokoknya. Suasana yang remang-remang membuat Jeonghan tak dapat melihat ekspresinya saat ini. Tapi perkataan Jisoo saat ini terdengar sedikit sedih di telinga Jeonghan.

"Jangan berpura-pura baik, Jisoo! Aku disini bukan untuk beramah-tamah! Katakan dimana Seungcheol!"

Jeonghan mengabaikan rasionalitasnya dan keselamatannya. Mengabaikan peringatan Jisoo. Jisoo hanya tertawa kecil ketika ia mendengar pernyataan Jeonghan. Mengatakan bahwa Jeonghan masih saja keras kepala seperti dulu.

Jisoo pada akhirnya beranjak dari pilar yang ia sandari dari tadi. Tubuhnya berhadapan langsung dengan Jeonghan. Mengamati Jeonghan cukup lama sebelum ia kembali membuang rokoknya. Membuat Jeonghan geram karena suasana hening yang tercipta. Benci karena Jisoo terlihat bertingkah sangat santai. Tangan Jisoo mulai merogoh saku celananya, mengambil sepasang sarung tangan hitam dan memakainya satu per satu. Memantapkan loyalitas sebagai pegangannya saat ini.

"Well, well. Jika kau ingin mengetahui dimana pangeranmu itu, langkahi dulu mayatku, Sayang."

Kata-kata yang keluar dari mulut Jisoo membuat Jeonghan semakin geram. Emosinya tersulut. Jeonghan tau, kali ini mereka akan menggunakan tinju sebagai penentunya. Bersamaan dengan langkah kakinya dan senyuman maniak Jisoo sebagai permulaan.

***

Uhh ... udh tinggal berapa chapter aja terus selesai hahaha
Haruskah saya memberikan beberapa penjelasan atau q n' a di akhir? 😳

Selamat menikmati dan please vomment
Thanks for reading :)

Continue Reading

You'll Also Like

2.2K 187 10
Takdir? Kutukan? Hukuman? Takdir tetaplah takdir. Yang tidak bisa di ubah dan harus di terima. Jeonghan tidak tau, jika takdir yang kejam selalu m...
64.5K 7.6K 25
Tentang ikatan yang sudah disuratkan takdir. Keegoisan membuatnya hampir terputus. Jika keyakinan sudah tertanam dalam hati, pisau paling tajam sekal...
8.5K 1.1K 25
Seungmin yang hanya bekerja sebagai pegawai perusahaan travelling yang tiba² mendapatkan tugas untuk mengajar dan mengurus Chan yang berasal dari seb...
26.5K 3.3K 11
Huang Zi Tao adalah sekretaris Wu Yi Fan