AQUA World

By PrythaLize

1.2M 167K 43.3K

[Fantasy & (Minor)Romance] Seluruh umat manusia tahu kenyataan bahwa volume air di bumi semakin naik dan mene... More

B
1
2
3
4
5
6
7
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

8

47.5K 6.5K 783
By PrythaLize

Katanya, langit berlaku adil pada semua orang.
Mereka salah. Langit tidak adil kepadaku.
Buktinya, kau pergi.

***AQUA World***

Untuk pertama kalinya sejak kenaikan air yang drastis beberapa hari yang lalu, aku menemukan daratan.

Aku bisa merasakan bagaimana sampan itu menabrak sesuatu di depan kami. Aku tidak tahu, apa itu, yang jelas, sejak insiden tenggelamnya bumi, aku belum pernah sekalipun menemukan sesuatu untuk ditabrak oleh sampanku.

Ath tidak berbohong soal pegunungan yang belum tenggelam. Saat ini aku hanya mampu melihat samar-samar karena adanya bulan yang menerangi area di sekitar sana. Yang kutahu, di sini benar-benar dingin.

"Ath, apa kau tidak merasa dingin di dalam air?" tanyaku sambil bernafas diantara kedua telapak tanganku, mencoba menghangatkan diriku.

Ath naik di atas sampan, lalu menyandari sisi sampan. "Suhu air di Atlantik bisa lebih dingin dari ini, aku sudah terbiasa."

Sial, Skye, kenapa kau terus melupakan kenyataan bahwa dia bukanlah manusia?!

Ath bilang dia akan membantuku menemukan daratan, kan? Aku sudah menemukannya, namun belum beranjak naik dari sampan karena belum siap untuk menginjak dataran yang baru saja kutemui, terlebih lagi saat ini masih gelap.

Bukankah itu berarti kami akan berpisah di sini?

"Aku tidak yakin kau bisa bertahan hidup kalau kau sendirian di sini," komentarnya yang membuatku tersentak. "Maksudku, kau bahkan tidak memakan makanan yang ada di sekelilingmu."

Aku menatapnya datar. "Maaf saja, tetap saja rasanya mengerikan jika aku memakan sesuatu yang seharusnya bergerak dan hidup. Meskipun makhluk itu mati sekalipun, rasanya tetap mengerikan untuk dibayangkan."

"Kalau begitu, jangan dibayangkan!"

Aku tertawa masam. "Andai itu semudah itu."

Kalau aku punya bakat untuk tidak terus mengenang sesuatu yang seharusnya ada, aku tidak akan ingat bahwa ketinggian air di bumi seharusnya hanya sebetis, di kotaku. Masalahnya, aku paham betul bahwa diriku ini memang punya kebiasaan untuk mengingat sesuatu yang ada di masa lalu. Lebih singkatnya, aku lebih menyukai cerita masa lalu daripada perkembangan yang apa yang ada saat ini.

Memang benar, aku hanya seorang gadis yang selalu menoleh ke belakang. Katanya, itu satu-satunya kelemahan seorang Skye yang membuatku tidak dapat berkembang. Bukan hanya dalam pelajaran renang, tapi hampir dalam semua bidang. Semua hal itu berlaku.

"...Jadi, buat apa kau masih di sini?" tanyaku.

Bukan bermaksud mengusirnya, aku hanya ingin tahu.

"Kau benar-benar tak tahu terima kasih ya?" tanyanya dengan nada tidak senang. "Aku akan melanjutkan perjalananku saat matahari muncul nanti."

Aku memiringkan kepalaku, menatapnya penasaran. "Kau mau kemana, sebenarnya?" tanyaku ingin tahu.

Mumpung Ath akan pergi dalam beberapa waktu lagi, lebih baik kutanyakan daripada mati penasaran.

Misiku memang hanya satu; menemukan daratan untuk bertahan dari sampan yang terombang-ambing beberapa hari ini, memberikan sinyal SOS ketika menemukan pesawat yang lewat. Yah, aku sudah mempelajari itu di Survivalife.

"Pasifik," balasnya yang membuatku lagi-lagi menaikan alis, "Tapi ini pertama kalinya aku pergi ke sana, jadi, aku sedikit tersesat."

Tentu saja aku tahu tentang samudera pasifik. Samudra itu adalah samudra terluas di bumi. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran Ath, tapi seingatku, setelah melewati zona teritorial, seharusnya kami sudah berada di antara samudra Pasifik.

"Mengapa kau ke samudera Pasifik? Ada yang terjadi dengan Atlantik?"

Ath berdeham. "Aku diundang ke sana, sekitar dua minggu yang lalu."

Aku menyandarkan punggungku pada sisi sampan, menyimpulkan. "...berarti makhluk sepertimu, banyak ya?"

"Tidak lebih banyak dari manusia," balasnya. "Bagaimanapun juga, bumi ini milik manusia. Bukan begitu?"

Aku mengerutkan keningku. Ath bukan manusia, mengapa dia bisa mengatakan hal begitu?

"Kau tahu? Manusia terlalu egois untuk berpikir begitu."

Ath memiringkan kepalanya. "Eh...? Kukira kau akan senang, kalau aku bilang begitu?"

"Sama sekali tidak."

Kami berdua terdiam selama beberapa saat. Aku terus-terusan berpikir dalam hati apakah ucapanku barusan terdengar...menyinggung?

Situasi ini membuatku tidak tenang.

"Jadi, manusia..."

Ath memulai obrolan setelah kami berdekam dalam kegelapan entah beberapa saat. Jujur, aku tak menyukai panggilan itu meski aku adalah salah satu dari bagian itu. Karena itu hanya akan membuatku teringat dengan kenyataan bahwa dia bukanlah manusia.

"Panggil aku Skye saja, karena aku tidak akan memanggilmu manusia ikan atau semacamnya."

"Baiklah, Skye..." Berkat cahaya minim dari bulan, aku bisa melihatnya sedang tersenyum menyeringai. "Aku ingin mendengar cerita tentang bumi versimu."

"Bumi versiku?"

"Ya, daratan atau apapun yang berhubungan dengan manusia. Kau tahu, kan, catatan laporan yang berisi asumsi dan pandangan nyata manusia tentu saja berbeda."

Aku menarik nafas panjang, mencoba mengingat-ngingat apa yang terjadi sebelum fenomena ini terjadi. "Entahlah, kurasa aku tak bisa banyak membantu. Bumi telah rusak, lama sejak aku belum dilahirkan."

"Bagaimana kau bisa mengatakan begitu?"

"Aku membacanya dari buku." Aku buru-buru menjelaskan hal lain begitu mengingat ia menginginkan pandangan dariku, bukan dari buku. "Begitu aku lahir, daratan di kotaku telah digenangi oleh air, yang semakin lama akan semakin naik dan makin tinggi."

"Apa yang kau baca dari buku?" tanyanya terdengar penasaran.

"Dulu bumi dikuasai oleh 1/3 daratan, dan sisanya oleh perairan. Kami, para manusia hidup di atas daratan yang ada." Aku menjeda sejenak. "Ada satu tempat yang tak bisa ditinggali karena terlalu dingin. Itu benua-"

"Antartika?" potongnya. Mungkin melihat ekspresi shock-ku, ia tertawa pelan. "Tidak perlu kaget, Antartika terlalu umum untuk diketahui oleh rakyat Atlantik."

...rakyat? Apa ada pemerintahan di bawah sana?

Tak ingin makin pusing berkepanjangan, aku buru-buru melanjutkan ceritaku.

"Hal yang paling kusayangkan adalah semua hal yang pernah ada di bumi ini. Tanah, tanaman, binatang-binatang..."

Aku selalu begini. Rasanya sesak setiap bercerita tentang masa lalu bumi, masa-masa yang indah dan patut di pertahankan selamanya. Aku selalu merasa sedih setiap membayangkan gambaran dalam buku menjadi kenyataan yang ada disekitarku. Berpikir tentang betapa egoisnya para manusia dimasa lalu bukanlah yang pertama kalinya. Apakah mereka tidak berpikir, nasib keturunan, cucu, cicit yang mungkin tak bisa melihat itu?

Begitu sadar bahwa aku telah meneteskan airmataku, aku buru-buru menghapusnya secepat mungkin, sedangkan Ath hanya diam.

"Apakah kau berpikir manusia jahat? Aku pernah mendengar tentang mereka yang membuang limbah dan membiarkan laut tercemar, meskipun terdengar tidak masuk akal bagiku."

"Aku tahu tentang itu. Lalu, mengapa terdengar tak masuk akal?"

"Apa mereka benar-benar mengira seluruh isi bumi ini adalah milik mereka?"

Ath menatapku dalam. "Lalu, menurutmu sendiri, bagaimana?"

"Aku hanya manusia yang menumpang tinggal di tempat yang luar biasa seperti ini!" desisku geram mengingat kelakukan nenek moyangku dulu. Hingga aku tersadar bahwa aku terlalu bersemangat tentang ini. "Kalau menurutmu sendiri, bumi bagaimana?"

Ath terdiam sejenak. "Apa kau pernah dengar tentang bumi yang lain?"

"Bumi di tata surya lain, maksudmu?" tanyaku, "Itu, sejak dulu para peneliti sudah pernah menerawang sampai di galaksi lain, tapi tak pernah menemukan bumi lain karena keterbatasan kemampuan. Mereka menemukan banyak planet baru, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan. Banyak yang memenuhi kriteria layak tinggal, tapi belum pernah ada yang sesempurna bumi." Aku mencoba mengingat-ingat lagi tentang berita yang kudengar dulu. "Tapi ada lebih dari satu galaksi di luar sana, dan tak menutup kemungkinan, ada tata surya dengan bumi lain diluar sana."

"Apa Mars ada di sana?"

Aku tersenyum, hampir tertawa mendengar pertanyaannya. Itu sedikit konyol, menurutku. "Tidak, kami tidak pergi sejauh itu."Aku melipat kedua kakiku. "Aku serius, itu jauuuuh sekali, lho..."

"Heh, sejauh apa?"

Aku menunjuk ke atas, tak tahu apakah aku berhasil menunjuk satu bintang dengan tepat atau tidak, sebab mataku tak bisa berpaling dari matanya itu. "Mungkin, salah satu bintang di atas sana adalah matahari bagi bumi itu."

Ath mendongkak, menatap bintang—entah yang mana—itu sangat lama. "Itu jauh sekali. Apa bumi mereka juga serusak ini?"

Aku mengendikan bahu. "Entahlah, semoga saja tidak."

"Lalu ..., kalian akan kemana?"

"Mars. Kupikir kau sudah tahu?"

"Ya, aku tahu. Apa itu jauh?"

Aku menjawab apa adanya—karena aku tidak tahu jarak persisnya. "Tak terlalu jauh, kalau dibandingkan dengan galaksi lain, Aku tidak tahu, jaraknya berapa."

Ath menatapku dalam, aku tidak tahu mengapa bisa sifatnya yang luarbiasa usil itu menghilang hanya dalam beberapa saat. Apa aku bercerita terlalu keren, sampai Ath memutuskan untuk mendengarkan semua hal yang merupakan asumsiku? Kalau iya, ayo! Aku senang mendongengkan soal asumsiku kepada siapa saja!

"...Apa kau mencintai bumi?"

Aku tersentuh untuk beberapa saat karena pertanyaannya yang mengandung nada serius. Aku melemparkan senyuman tipis kepadanya sambil menaikkan kedua alisku. "Ya, aku mencintai bumi sama seperti aku mencintai diriku sendiri. Karena itulah, saat bercerita mengenai bumi yang bisa seperti ini, aku bisa menangis membayangkan keegoisan mereka."

"Untuk ukuran manusia, pikiranmu cukup terbuka," gumamnya. "Tapi kau tahu tidak, kalau kita berpikiran sama?"

Aku menaikan sebelah alisku, kali ini melemparkan pandangan penuh tanda tanya. "Aku tahu kau sedang memuji dirimu sendiri, tapi maksudmu pemikiran yang sama mengenai apa?"

Ath menggeleng beberapa saat kemudian. "Tidak, bukan apa-apa. Kau mau mendengar istilah bumi lain dari asumsi nenek moyang kami?" tawarnya.

Aku tersenyum lebar. "Tentu saja! Apapun yang menyangkut bumi dan perkembangan, aku siap mendengarkannya."

Harus kuakui, kebiasaanku ini memang tergolong sedikit aneh dan lain dari usia teman sebayaku. Siapa anak limabelas tahun yang segitu tertariknya dengan dunia sejarah, astronomi dan sejarah geologi? Tidak mungkin ada yang lain selain aku.

Teman-temanku dulu juga sering mengatakan bahwa aku adalah orang yang aneh. Disaat semuanya tergila-gila dengan sebuah alat canggih dimana kita bisa merubah pakaian kita dalam sekali sentuh, aku tergila-gila dengan buku tentang revolusi dinosaurus.

Aku sudah sering disebut aneh, sampai-sampai aku sudah kebal.

"Planet itu adalah planet x, karena belum ada yang memberinya nama. Katanya, itu adalah sebuah planet yang rata oleh air. Semua asumsi nenek moyang kami, ditulisnya dalam sebuah buku. Sayangnya, belum pernah ada yang membaca buku itu."

Aku menaikkan alisku. "Ada di mana bukunya?"

Ath mengentikan bahunya, "Kalau aku tahu, aku pasti sudah mencarinya." Ath bersandar pada ujung sampan karet sambil menghela nafas, "Entahlah, ada kemungkinan juga, buku itu tidak pernah ada."

"Oh." Aku menyayangkan hal itu. "Lalu, mengapa sepertinya kau begitu penasaran tentang bumi lain?"

"Karena aku tidak suka berada di bumi ini," gumamnya yang membuatku menatapnya tak percaya.

Tidak suka dengan bumi?

Tidakkah dia tahu langit Mars yang tentu saja tidak biru? Tidakkah dia tahu kalau Mars tak memiliki air? Bumi sudah terlalu sempurna untuk itu, mengapa tak mensyukurinya?

Aku menatapnya kesal, "Memangnya apa salah bumi? Kau bilang pikiranmu terbuka, pada ucapanmu barusan terdengar sempit! Aku bersungguh-sungguh."

Ath ikut membalas tatapan kesalku dengan tatapan malas, "Aku yakin kau pun akan berpikiran sama jika berada di posisiku."

Entahlah halusinasiku atau memang apa yang Ath perlihatkan benar adanya. Dia terlihat sedih untuk beberapa alasan. Ath kembali masuk di dalam air, kupikir sudah waktunya dia meninggalkanku, tapi dugaanku salah.

"...Sudah kubilang, aku tak bisa berlama-lama di daratan," ucapnya saat melihatku mengintip dari sampan karetku.

"Aku tahu," balasku. "Aku tidak menduga kalau pembicaraan kita bisa nyambung, mengingat betapa menyebalkannya kau, sejak awal."

"Aku tidak menyebalkan, perasaanmu saja."

Aku memincingkan mataku ke arahnya selama beberapa saat. "Omong-omong, terima kasih sudah membawaku kemari."

Wajah Ath yang setengahnya telah di dalam air, menatap ke arahku. Ya, mata biru tosca itu.

"Sama-sama."

Bahkan sampai saat terakhirpun, aku tidak berani mempertanyakan siapa sebenarnya Ath.

*

Matahari telah terbit.

Ath juga telah pergi beberapa waktu yang lalu.

Udara di dalam sampanku sudah kukeluarkan, kuikat kembali seperti semula, tetapi tak bisa serapi kantong semula. Tambangnya benar-benar menganggu, tapi kuputuskan untuk tidak memotongnya dengan batu runcing yang kutemukan di pegunungan itu.

Biar kudeskripsikan sedikit, tentang pegunungan ini.

Pegunungan ini sangat tinggi (ini bukan gunung 1000 meter yang tenggelam seperti yang didedikasikan Ath. Ath sempat menjelaskannya tadi sebelum ia pergi), sebagian besarnya masih diselimuti oleh salju (meskipun dasarnya sudah banyak yang terlihat karena saljunya yang mencair). Tipe salju-nya rapuh dan lebih mudah mencair daripada salju yang biasa turun.

Aku terus menerus memikirkan bagaimana caranya bisa mencapai atas puncak tanpa perlu mendaki, ada beberapa alasan yang membuatku menghindari itu. Pertama, aku sama sekali tidak punya peralatan yang memadai untuk mendaki. Kedua, suhu di sini sangat dingin dan pakaianku saat ini terlalu tipis. Tadi aku sempat mencelupkan tanganku di dalam air untuk mencuci wajahku, dan yang kudapati adalah tanganku yang hampir mati rasa karena dingin. Ketiga, aku bahkan tidak pernah mendaki sebelumnya.

Dataran di sini tidak datar, tentu saja. Banyak batu-batu yang retak, tajam dan juga licin. Perlu diketahui pula bahwa aku tidak sempat memasang pelindung kaki sewaktu insiden itu.

"Benar-benar tidak ada orang, ya, di sini?" tanyaku lebih kepada diriku sendiri.

Yang kulakukan saat itu adalah terus berjalan, mengabaikan rasa dingin di telapak kaki, sambil terus menenteng lipatan sampan yang telah kulipat.

Jangan tanya bagaimana perasaanku, tentu saja aku takut berada di atas pegunungan seorang diri.

Tapi, tentu saja aku lebih memilih di sini daripada terombang-ambing di bawa ombak. Semoga saja ada pesawat yang lewat dan menyadari keberadaanku.

Ada beberapa hal yang kutahu saat ini; aku tidak akan bisa sampai di puncak pegunungan itu karena aku tidak bisa memanjat.

Bukankah itu berarti aku harus tetap di sini? Di daratan yang luasnya bahkan tidak melebihi luas apartemen keluargaku dulu?

Sekelilingnya laut, tanpa ada satu daratanpun yang terlihat. Aku tahu, satu-satunya daratan yang ada di sekitar sini, hanyalah daratan yang kupijak saat ini.

Aku akhirnya memilih duduk di sebuah batu yang masih tertutupi sedikit salju. Bokongku mati rasa, kakiku pegal karena berdiri hampir beberapa jam tanpa menemukan apapun yang berarti.

Matahari baru saja memperlihatkan sedikit dirinya, masih mengintip-ngintip apa yang tengah terjadi di sini.

"Apa tidak ada orang di sini?!" tanyaku putus asa.

Volume suaraku tidak terlalu pelan dan tidak terlalu kencang. Aku tidak akan lupa bahwa longsor bisa saja terjadi bila aku membuat volume yang besar.

Ya, tidak akan ada yang menyahutiku seperti Ath menyahut di keheningan, aku tahu aku tidak akan mendapat keberuntungan semanjur itu lagi.

"...Apa ada orang di sini?"

Suara itu membuatku menerjap, kuperhatikan kiri kanan di dataran yang kupijak, tidak ada apa-apa. Kali ini aku memincingkan mataku, menatap sekeliling samudra dengan jeli, tidak ada apa-apa juga.

"Jadi suaranya darimana?" gumamku pelan.

"Dari atas!"

Aku mendongakan kepala, mataku membulat dan aku tidak bisa untuk tidak tersenyum lebar saat kulihat seseorang dengan pakaian cukup tebal, turun dengan berbagai pengaman di tubuhnya dan juga beberapa orang di atas sana yang menatap ke bawah dengan senyuman sama lebarnya.

Ada manusia di pegunungan ini!

***TBC***

3 April 2017, Senin.

[A/N]

SIAPA YANG KEMARIN BILANG RINDU SKYE? I GAVE YOU, 2300+ WORDS!

Tanggal 1 kemarin pengen ngeprank tapi gasampai hati. Yasudahlah~

Oh ya, Skye ketemu manusia yang tertinggal! Horay! Say bye-bye to Ath because he was gone!

Jangan kangen yaaa. Tokoh baru udah muncul lagi. HAHAHAHA.

Note: Yang belum amnesia, pasti ingat dong kalau saya pernah bilang bahwa Ath itu Deutragonis? Yang gatau Deutragonis, boleh searching deh wkwkwkwk.

SEE YOU ON REVIVE.

Oh ya, BTW thanks banget buat 25,3K dan 4,08K votes-nya. Saya ga sempat bilang mulu dari kemarin, wkwkwk. Thanks a lot and I lime you <3 (LIME, IYA JERUK NIPIS).

Terharu ingat perjuangan dulu. Pas Flashback tamat awal-awal, viewnya masih lebih sedikit jika dibandingkan dengan AQUA. 22,2K kalau ga salah. SO THATS WHY I LOVE YOU REALLY MUCH <3

SEE YOU ON REVIVE.

Cindyana

🐳

Continue Reading

You'll Also Like

106K 6.9K 42
Aletta Cleodora Rannes, seorang putri Duke yang sangat di rendahkan di kediamannya. ia sering di jadikan bahan omongan oleh para pelayan di kediaman...
124K 8K 17
Ini dia jadinya kalo gadis bar-bar seperti Joana transmigrasi ke dalam sebuah novel romansa dan menjadi anak perempuan dari protagonis yang digambark...
132K 281 8
konten dewasa 🔞🔞🔞
957K 71K 33
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...