3.726 [COMPLETE]

By lensalimalima

125K 10.3K 509

Karina Mentari senang banget waktu Arsel mengajaknya mendaki Gunung Rinjani. Bagi Karina, nggak ada perjalana... More

Prolog
BAB 1. Rencana dan Pertemuan
BAB 2. Perjalanan
BAB 3. Asmara Novandra dan Pendakian
BAB 4. Menuju Puncak
Bab 6. Datang Lagi
Bab 7. Dia....
Bab 8. Annoying
Bab 9. Penguntit
Bab 10. Mistis Puncak Ciremai
Bab 11. Cemburu
Bab 12. Rival
Bab 13. Salah Duga
Bab 14. Ditikung
Bab 15. Si Mesum
Bab 16. Aku Mencintaimu
Bab 17. Aku Baik-baik Saja
Bab 18. Makasih, Sa!
Bab 19. Kawan Lama
Bab 20. Kepada Merbabu
Bab 21. Epilog

BAB 5. Pilu di Hadapan Dewi Anjani

5.7K 592 100
By lensalimalima

Azan subuh terdengar samar berkumandang dari ribuan meter di lereng gunung. Bisik angin yang berembus begitu merayu mata yang masih sayup. Tubuh terempas. Udara dingin menusuk sela-sela tulang rusuk hingga sebuah jaket tebal tak lagi mampu melindungi tubuh.
Pemuda itu masih tegak berdiri menanti terbitnya matahari dari ufuk peristirahatan sang surya.

"Hoi, Sel, subuh jamaah!" ajak salah satu pendaki pada pemuda itu.

"Oke." Ia teriak pada teman pendakinya lalu berjalan mengambil tayamum.

Kini ia tengah berdiri di barisan salat. Menghadap Tuhan, memunaikan kewajibannya. Beberapa pendaki tidak melakukan. Mereka membantu menyiapkan sarapan pagi itu. Ya, di Indonesia ini tidak hanya pemuda berjiwa muslim, mereka yang nasrani maupun agama lain bersama-sama melakukan pendakian saat itu.

Tawa dan canda yang mereka tunjukkan pada dunia begitu hangat dan tulus. Begitulah seharusnya pemuda di negeri ini. Bersama-sama melestarikan keindahan alam Indonesia dan membangun negeri tercinta dengan kedamaian yang hakiki.

Tak lama berselang, pemuda-pemuda yang tadi menunaikan ibadah, kini kembali menikmati keindahan alam yang Tuhan berikan. Arsel kini berdiri di tengah barisan para pendaki, menghadap Gunung Tambora.

Dari pelupuk matanya perlahan muncul semburat oranye. Cahaya matahari pagi yang menghangatkan itu, sangat mereka dambakan. Jauh di bawah sana, birunya kaldera tampak menyerupai laut. Begitu pekat, nampak indah sekali. Anak gunung mengembuskan asap dan abu vulkanik. Namanya, Gunung Barujari.

"Sel, foto bareng, yuk!" seru gadis yang menanjak bersama si pemuda yang dipanggil tadi.

Pemuda itu menghampiri. Ponsel di tangan kanan gadis itu telah siap memotretkamera depan ponsel mengarah ke merekagadis itu merangkul bahu pemuda di sisi kirinya.

"Ka, bisa bantu pegang dan arahkan kameranya ke saya? Mau buat video," pintanya pada gadis yang kini berdiri di hadapannya.

"Kamera siap!" seru gadis itu lalu menekan tombol rec pada ponsel.

Hai! pagi ini, 23 Februari 2017 saya berada di ketinggian 3.726 meter di atas permukaan laut, Puncak Rinjani. Saya minta maaf karena belakangan ini telah mengabaikanmu. Sebenarnya saya memikirkan beberapa hal yang mengganggu pikiran, tapi syukurlah semuanya telah beres. Di atas sini, saya sudah memutuskan. Saya akan mengaku sebuah rahasia yang tak pernah kamu tahu.  Asmara Novandra, maukah kamu menjadi kekasih saya?

Beberapa detik, gadis yang memegang ponsel tadi bergeming. Berdiri diam terpaku.

Angin yang berembus sangat kencang seolah memintanya untuk terjun saja dan terbang di udara. Bisik-bisikan angin begitu pedih di telinga. Debar di dada seakan berhenti. Debar yang selalu membuatnya rindu seketika berubah menjadi debar yang membuat dirinya benci akan dirinya sendiri.

Ia belum siap untuk mendengar pengakuan itu meskipun ia sudah mengetahui isi hati si pemuda. Hatinya terasa pedih. Namun, sekali lagi, gadis itu menutupnya dengan senyuman.

Ia menekan tombol stop pada layar ponsel. Pemuda itu menghampirinya, menggamit ponsel dan mengirimkan video yang baru saja ia buat kepada gadis yang namanya baru saja ia sebut.

"Makasih, ya."

Si pemuda menunjukkan baris giginya. Ia tersenyum puas. Tak sadar bahwa ia baru saja melukai hati seorang gadis yang begitu menyukainya. Ia begitu tenggelam dengan keegoisannya.

"Semoga Andra cepat kasih jawaban ya, Bro!" seru Karina. Gadis itu menunjukkan senyum yang dipaksakan. Tak semua manusia menyadari patah hatinya.

Dari jauh, sepasang mata hitam pekat menatap senyum Karina penuh ragu. El menyadari satu hal, bahwa cinta tak selamanya harus bahagia. Cinta tak selamanya saling berbalas. Cinta tak selamanya harus melahirkan kebahagiaan. Dan, cinta adalah senyuman yang merekah. Seperti yang dilakukan gadis itu. Gadis yang semalam lamat-lamat menatap bola matanya.

El beranjak dari tempatnya berdiri. Menghampiri sang gadis. “Ka! Ayo foto bareng!” teriaknya.

Gadis itu menoleh padanya. Ia tersenyum. Senyuman yang jujur. Senyuman berbeda dari yang ia tunjukkan pada Arsel. El bisa melihat itu. Karina mengangguk. Arsel yang melihat respons gadis itu hanya memandangi tanpa ekspresi.

***

Siangnya, seluruh pendaki telah turun dari puncak. Mereka kembali membuka tendanya di sekitaran Segara Anak.

Para pendaki kembali menuju Rumah Singgah. Karina masih menyembunyikan pedihnya di antara jalan setapak ketika turun dari puncak. El tahu itu tak baik. Tanpa disadari, ia menjadi begitu peduli pada gadis yang hatinya tengah dirundung luka itu.

El berusaha memecah kebungkaman si gadis. “Ka, kalau nanjak lagi, mau ikut gak?”

Gadis itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah El. “Boleh, Bang,” ucapnya.

"Rencana mau ke mana, Bang?" tanya Adul yang berjalan di sisi Karina.

"Ciremai, kuy?" celetuk Udin.

"Wah boleh tuh!" seru Adul antusias.
Pemuda yang disebut Bang itu tampak berpikir.

Beberapa detik kemudian ia mengangguk-anggukkan kepala. “Nanti saya kabari di grup kalau sudah ketemu jadwalnya. Mungkin Maret atau Mei.”

"Saya skripsian, Bang," celetuk Arsel.

"Yaudah nanti lihat jadwal lagi aja. Saya harap, kamu bisa ikut, Sel."

“Sip,” ucap Arsel.

"Kamu gimana, Ka?"

Karina menoleh. “Lagi persiapan praktikum sih, Bang. Tapi nanti kabari aja jadwalnya.”

El mengangguk isyarat mengerti.
Malamnya, para pendaki menyalakan api unggun di dekat lingkungan Rumah Singgah. Atas izin Pak Lalu, para pendaki meramaikan malam terakhir di Nusa Tenggara Barat, Lombok.

Dari sudut yang lain, El bisa tahu kalau Karina sangat tidak baik-baik saja. Syukurlah Lisa, Ayu, Udin, Adul ada di dekatnya. Sementara waktu, sangat berguna untuk menghibur hati yang sedang patah. Udin mulai memainkan petikan gitar. Dinyanyikan bersama-sama sebuah lagu yang sangat populer dikalangan masyarakat Indonesia.

Kemesraan ini,
Janganlah cepat berlalu,
Kemesraaan ini,
Inginku kenang selalu,
Hatiku damai,
Jiwaku tentram di sampingmu,
Hatiku damai,
Jiwaku tentram bersamamu

Namun, karena tak tahan melihat kebungkaman Karina, El bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan mendekati Karina. “Kamu tegar juga,” ucapnya sembari duduk di samping gadis itu.

Karina menoleh, memandang sepasang mata yang teduh. Gadis itu tersenyum. "Bang El, kirain siapa," ucap  gadis itu sembari tersenyum.

"Ngarepinnya yang lain ya?" Pemuda itu menyeringai. "Nangis aja. Jangan ditahan," lanjutnya. El mengelus lembut rambut hitam milik si gadis yang sedang tak dikucir.

"Makasih."

"Buat?"

"Aku punya abang. Dia selalu menghibur tiap kali aku merasakan ataupun mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan. Seperti dia tahu semuanya. Makasih lho, Bang El sudah memahami, padahal kita belum banyak ngobrol."

Karina tidak menjauhkan jaraknya dari pemuda yang masih mengelus lembut rambutnya. Ia merasakan kehangatan itu sama seperti milik abangnya.

Arsel, masih dengan tatapannya pagi tadi; datar. Memandangi Karina dan El begitu mesra. Seperti ada rasa panas dalam hatinya, tetapi, ia memungkiri. Dunia tahu Arsel cemburu, pemuda itu hanya belum menyadari hatinya.

"Ngobrol di sana, yuk," ajak El seraya menunjuk ke Segara Anak.

Gadis itu mengekori.

"WOI, MAU DIBAWA KE MANA ANAK GADIS ORANG?!" seru Udin menembus dinginnya malam.

Seketika para pendaki yang ada menoleh ke arah teriakan Udin. Pandangan mereka pun mengikuti arah pandang Udin. Karina dan El tengah berdiri hendak menuju suatu tempat.

"Ingat dosa, Bang!" celetuk Adul.

Melihat kejadian itu Arsel tak berkutik. Ia tetap pada posisinya dan memandang ke arah gadis yang tidak memandangnya.

Tak lama kemudian, Karina dan El telah menjauh dari lokasi api unggun. Mereka duduk di salah satu selasar Rumah Singgah.

"Jadi, kamu terinspirasi siapa bisa milih kuliah pertanian?"

"Aku gak terinspirasi siapapun, sih. Cuma bayanganku saat kuliah nanti, pasti akan ketemu dengan hamparan ladang yang menyenangkan. Mungkin berat, tapi mungkin juga menyenangkan. Siapa yang tahu?" Gadis itu menaikan bahunya.

El mengangguk-anggukan kepala. Ia tampak mengerti maksud yang diceritakan Karina.

"Kalau Bang El, sebelumnya kuliah apa?"

"Saya...."

“Ikutan ah!”

Lagi-lagi dua sekawan itu—Adul dan Udin—mengganggu pembicaraan hikmat kedua pemuda yang hatinya sedang tak tentu arah.

"Ck. Ngapain? Sudah sana nyanyi lagi." El berdecak.

"Aku sama Udin cuma mau kasih tahu kalau makan malam sudah jadi. Kami sudah panggil kalian dari sana, tapi gak ada yang noleh." Adul menunjuk ke arah di mana ia memanggil Karina dan El tadi.

Seketika Karina bertemu tatap dengan Arsel ketika mengikuti arah tangan Adul. Karina merasa ada yang berbeda dengan tatapan dari pemuda itu. Seperti tak mengharapkan kedekatan Karina dengan El. Gadis itu tersenyum. Dalam hati ia berbisik, "Aku gak apa-apa, Sel."

Sebelum Karina atau El menjawab ucapan Adul tadi, kedua pemuda yang terus meracau telah kembali mendekati kerumunan pendaki yang tengah menyantap makan malam.

El tahu Karina sedang menatap Arsel. "Jadi?"

Gadis itu menoleh. Pandangannya berpindah ke langit malam yang penuh dengan jutaan bintang. "Lanjutkan saja kalau masih mau ngobrol," ucapnya.

"Saya kuliah teknik elektro."

Gadis itu manggut-manggut.

"Padahal baru duduk di sini," keluh El sembari mendengkus. "Makan, yuk," ajak Arsel yang kini sudah bangkit dari duduknya.

Gadis itu mengangguk. El membantunya berdiri. Mereka berjalan bersisian.

***

Pagi tadi, Andra yang sedang menyesap secangkir cokelat panas dan berdiri di sisi jendela kamar, memandang jauh ke arah yang tak bisa digapainya kembali. Langit biru dengan awan putihnya menari-nari menyemburkan kenangan saat itu. Kenangan tiga tahun yang lalu, saat pertama kali ia bertemu dengan pemuda itu.

Andra tahu kalau Arsel adalah seorang yang sangat disukai Karina, meski lima tahun telah berlalu. Tiada henti, setiap harinya Karina selalu antusias menceritakan tentang pemuda itu pada Andra.

Selama Karina memendam perasaannya, maka selama itu pula Andra melakukan hal yang sama.

Andra juga menyukai Arsel, diam-diam. Andra tahu, selama ini Karina berpura-pura tak memiliki hati untuk Arsel jika di hadapannya. Begitupula yang Karina tahu tentang Andra. Gadis itu tidak tahu bahwa Karina sebenarnya menyadari bahwa dirinya berpura-pura tidak menyukai Arsel.

Andra teringat pada pembicaraan sore dengan Karina sepulang kuliah.

"Dra, kalau menyukai seseorang itu harus jujur. Kalau suka, ekspresikan saja. Tapi bukan berarti harus menunjukkan kepadanya langsung."

"Kamu lagi jatuh cinta, Ka?"

"Kayaknya. Tapi gak yakin, ah. Dia suka sama cewek lain."

"Siapa?"

"Ada deh. Penasaran ya?"

Saat itu Andra tak berkata lagi.

Ponsel miliknya berdering. Berhasil memecah renungan gadis itu. Andra berjalan menggamit ponsel yang tergeletak di ranjang. Video? Gumam gadis itu lalu menekan tombol play. Seketika Andra tercengang pada kiriman video yang ia terima.

Continue Reading

You'll Also Like

10.9K 1.5K 22
Jiang Cheng, "Kalau bukan karena a-Ling yang minta aku sih ogah ikut." Jin Ling, "Paman A-Cheng, nggak boleh gitu!" Wei Wuxian hanya tertawa melihat...
1.6M 17.8K 7
SUDAH DITERBITKAN. TERSEDIA DI GRAMEDIA TERDEKAT Daisy El Vanisha, designer mungil yang boleh dikatakan buta soal cinta. Ia tidak pernah mengenal law...
1M 4.6K 10
Kocok terus sampe muncrat!!..
STRANGER By yanjah

General Fiction

286K 32.8K 37
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...