SLICE OF MEMORIES. [END]

Oleh poemofagony

2.1K 278 19

Di antara ruang dan waktu yang kita lalui, ada satu kotak kenangan. Masa lalu yang mengalir seperti air suatu... Lebih Banyak

1. my messier life
2. arrogant boy
3. try hard
4. One thing
5. i can hear his voice
6. over-worried
7. confused
8. Pretend
9. oh god..
[DELETED SOON]
10. cold
11. another way
12. unbelieve
14. about he and him
15. the medalion
16. at the end

13. a little truth

74 13 0
Oleh poemofagony

Aku berdiri di dekat pagar rumahku yang basah karena hujan lebat tadi. Tanganku mengusap rintik-rintik hujan yangbergantung di pagar rumah. Wangi rumput basah setelah hujan selalu membuatku tenang hingga ingin tidur dalam dekapan selimut tebal, tapi aku memiliki janji dengan seseorang. tanganku mendorong pagar itu lalu keluar dari pekarangan rumahku. Sambil menikmati tetesan hujan dari pohon-pohon yang menjulang diatasku, aku berjalan tenang dengan mata terus menatap ke depan. Suasana lembab yang di sebabkan hujan sore ini terasa lebih menenangkan. Semakin lama langkahku semakin menganyun dengan senang. Sedikit-sedikit aku menyenandungkan lagu-lagu dari idol yang sedang terkenal akhir-akhir ini.

Mataku mendapati taman perumahan yang sepi dan bergenang air karena hujan. Aku menginjakkan kakiku diatas pasir-pasir taman yang basah dan berwarna lebih gelap karena basah. Senyumku mengembang menatap dua buah ayunan yang bergelantungan di tengah taman. Dengan riang aku menghampiri ayunan tersebut dan mendudukinya. Rasa dingin karena suasana lembab ini membuat gigiku hampir bergetar. Tapi aku lebih suka cuaca seperti ini dibanding siang hari yang begitu menyengat. Tiba-tiba seorang anak laki-laki datang dan berdiri di hadapanku. Dia menggumamkan sesuatu yang membuatku sesak nafas dan pusing.

"bukan seperti ini.."

"kau salah.."

"cobalah untuk menghilangkan kenangan palsu ini.."

HAH?

Mataku terbuka lebar dan menatap langit-langit kamar yang asing bagiku. Aku terbatuk tiba-tiba setelah sadar dari mimpi anehku, seseorang bergerak mendekat ke pinggiran kasur yang kutiduri. "gwaenchana?" suara yang sangat familiar ditelingaku terdengar menggelitik saat aku mendengarnya. Siapa lagi kalau bukan si bibir bebek penuh sensasi dan amarah yang berenergi. Aku mengangguk pasrah lalu mengubah posisiku menjadi duduk sambil menyandarkan punggungku ke headboard tempat tidur. Aku menatap sekelilingku dan mencoba mencari tahu kamar siapa ini. Ah, bukankah tadi aku sedang berganti baju di kamar Jong suk? Lalu aku? Ah lalu apa yang terjadi padaku. Tanganku memijat pelipisku karena pusing yang tiba-tiba melanda saat berkonsentrasi untuk mengingat mengapa aku bisa diatas kasur ini. "tadi kau pingsan. Kau tahu ini sudah yang keberapa kali kau pingsan saat berada di dekatku? 3 kali. Dan kurasa hitunganku akan terus bertambah." Jong suk mengejekku sambil bersedekap sombong menatapku. Aku hanya bisa menggumamkan kata-kata umpatan karena kesal. Belum ada 3 jam dia berbuat baik padaku, dia sudah mengejekku lagi. Apa hidupnya hanya untuk mengejek seseorang?.

Mataku melirik ke atas meja panjang berwarna cokelat dan memeriksa jajaran foto yang bertengger manis diatasnya. Ada 3 foto yang berganti posisi menjadi telungkup dengan gambar yang tertutup. Aku menghela nafas panjang melepaskan rasa penasaran yang sepertinya tidak akan terbayar. Kusingkap selimut yang membungkus kakiku lalu beranjak dari tempat tidur lalu memakai sandal rumah yang kukenakan sejak masuk ke rumah Jong suk. "Kau mau kemana?" Jong suk bertanya sambil menatapku yang sudah berdiri tepat di sampingnya. Aku mengidikkan bahu lalu keluar dari kamarnya, aku akan pergi kemanapun asalkan jangan terkurung di dalam kamarnya yang kurasa terlalu...... nyaman. Dia mengikutiku tanpa bertanya, aku hanya menatap ke sekeliling rumah neneknya dan berharap mendapatkan tempat yang sejuk untuk menyegarkan pikiranku yang sedikit bermasalah ini. Kudapati sebuah taman di belakang rumah. Tipikal taman yang memang selalu ditata di rumah-rumah besar. Beberapa bamboo mengelilingi taman itu dan aku terperangah menatap bunga putih dan kecil yang berada di sudut taman. Edelweiss. Bunga yang sangat indah dan sulit untuk di temui. Kakiku tanpa sadar melangkah mendekati bunga tersebut dan menatapinya dengan mata yang membulat. Sayangnya, begitu aku menelisik bunga itu baik-baik, itu hanyalah bunga tiruan. Dadaku mengempis dan menghembuskan nafas berat setelah menerima kenyataan.

"kau suka bunga itu?" suaranya tepat di sebelah telingaku, membuat bulu kudukku berdiri seketika. Aku menolehkan wajahku kea rah lain, menghindari wajahnya yang terlalu dekat dari wajahku. Kepalaku mengangguk menjawab pertanyaannya. Wajahku memerah dan kurasakan suhu tubuhku naik 10 derajat saat merasakaan hembusan nafas Jong suk di leherku. Sebelum pikiranku semakin melayang jauh aku memberi jarak 3 langkah diantara kami. Aku mencoba menenangkan debaran yang tidak karuan. Perasaan yang tidak seharusnya bersarang ini membuatku sedikit frustasi. Sudut mataku melirik kea rah Jong suk dan dia mengembangkan senyum yang tidak pernah dia tunjukkan di hadapanku. aku ingin mencium bibir itu. AH! SADAR KAU CINDY!

Aku melempar tatapanku ke arah langit yang luas. Hembusan angin sore membuatku sadar bahwa aku tidak lagi berada di dalam penjara. Aku tidak lagi tidur diatas selembar kasur tipis dengan 2 orang ibu-ibu yang menyebarkan bau koyo yang membuatku mual. Rasanya tidak begitu buruk berada di dekat Jong suk. Terkadang aku berfikir dia memiliki sisi yang tidak ingin dia perlihatkan pada siapapun, terkadang dia begitu defensive akan dirinya dan terkadang aku merasa dia seperti ditakdirkan untuk bertemu denganku. entah bagaimana aku menyukai semua yang terjadi diantara kami. Walaupun hanya berisi teriakan, ejekan dan sedikit hal yang menyenangkan, dia tetap memintaku berada di dekatnya. Ah aku baru menyadari hal ini. Aku terus saja berakhir dengan melupakan bahwa aku ingin meninggalkannya.

Nafasku menghembus dengan berat lalu aku beralih menatapnya. Dia menarik rambutnya yang bergelantungan di depan wajahnya ke belakang dan mengelus tengkuk lehernya sambil terus menatap ke arah langit, sepertiku tadi. Lekukan wajahnya dari dahi hingga dagu hampir sempurna berbentuk seperti telur dengan lekukan bibir yang menarik. Sejujurnya di satu sisi aku ingin mengakui bahwa aku menyukai apa yang aku tatap sekarang, tetapi di sisi lain aku ingin sekali memungkiri kenyataan keindahan yang terpampang dengan fakta bahwa dia mempunyai sifat yang sangat amat membuatku jengah berada di dekatnya. Dan lagi yang membuatku semakin pusing dibuatnya, aku selalu berakhir dengannya. Aku selalu saja berada di bawah kontrolnya sejak hari pertama aku bertemu dengan Jong suk.

Kepalanya berputar menoleh ke arahku dan mata kami bertemu. Aku tidak mengalihkan tatapanku seperti tadi, aku bertahan dalam kuncian tatapannya yang entah kenapa membuatku seperti terdiam. Tapi dia masih menatapku pekat tanpa memperdulikan aku yang sudah mengalihkan wajahku darinya. "dengarkan perkataanku baik-baik" jong suk menarik nafasnya dengan berat lalu menghembuskannya. Aku berbalik menatapnya dengan penasaran. Dadaku sedikit berdebar saat bertemu pandang dengannya, sorot matanya seakan menenggelamkanku ke sebuah kenangan yang entah kenapa aku sendiri tidak mengerti apa itu.

"semua yang kukatakan padamu adalah kebohongan" imbuhnya lagi yang membuatku semakin penasaran. Matanya sedikit memicing menatapku lalu dia beralih menatap langit-langit selama lima detik dan kembali menatapku yang semakin penasaran karena tingkahnya terlihat janggal. "kita bertemu karena Park Jin Ah. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Bahkan tidak mengenal sama sekali. Bukankah begitu? Kupikir. Ini adalah sebuah kejujuran yang salah."

Kepalaku berusaha mencerna apa yang diucapkan Jong suk sedetik tadi. Ada banyak kejanggalan di setiap katanya. Pertama, itu semua memang sesuatu yang terjadi diantara kami berdua, kedua dia juga menegaskan bahwa itu adalah kejujuran dan ketiga dia menambahkan kata salah setelah kejujuran. Dahiku mengkerut membentuk garis-garis tipis saat aku dapat menguraikan maksud dari kata-kata Jong suk. Aku tidak memahaminya sama sekali dan berharap apa yang kepalaku artikan mengenai kata-katanya hanyalah efek dari kesadaranku yang belum sempurna betul.

"aku lapar" lirihku, mengalihkan suasana canggung diantara kami berdua.

***

[Author's pov]

Langit berubah warna menjadi jingga seiring dengan perubahan waktu yang semakin sore. Hyun woo berjalan memasuki sebuah rumah, lebih tepatnya rumah masa kecilnya yang masih diisi oleh ayahnya dan kedua saudara tirinya yang tidak dia hiraukan. Masih akan ada seorang saudara tiri lagi yang menjadi bagian rumah ini. Saudara yang selalu membuatnya merasa tidak diperlakukan adil oleh ayahnya.

"kau sudah datang?" sang ibu tiri bangkit dari duduknya dan menghampiri Hyun woo yang baru saja masuk. Semerbak wangi masakan yang sangat ia sukai tercium dan membuatnya tersenyum, "ibu memasak panekuk kimchi?" tanyanya dengan riang yang disambut dengan anggukan dihiasi senyuman sang ibu. "mandilah.. kita akan makan malam bersama sebentar lagi. Hyun woo mengangguk lalu meninggalkan ibunya menuju kamarnya.

Kamar berukuran besar yang berisi dua tempat tidur yang terlihat rapi. Hyun woo menghela napasnya dengan malas lalu membuka jaket serta kaus yang dia kenakan kemudian masuk ke kamar mandi. Tidak banyak yang berubah dari rumah ini walau sudah bertahun-tahun. Seperti air yang mengalir dengan sedikit tersendat, sabun dengan wangi mint yang selalu di siapkan ibu di kamar mandi kalau-kalau dia dan saudaranya datang, bahkan ibu menyiapkan sikat gigi yang sama persis seperti tahun lalu. Meski begitu, ruang dihati Hyun woo masih menyisakan rasa sakit untuk ibunya. Rasa benci yang tidak bisa hilang.

"kau datang lebih cepat dari yang kuduga" suara berat itu terdengar dari balik pintu ruang shower tempat Hyun woo membasahi seluruh badannya. Saudaranya. Hyun woo terdiam, dia memusatkan perhatiannya pada saudaranya itu. Sejak pertama kali ayahnya mengatakan bahwa dia akan menikah lagi dengan seorang ibu dengan 3 anak membuatnya frustasi. Bukan karena hal menikahnya yang membuatnya muak, tetapi saudara yang akan mendapat perhatian lebih dari ayahnya. "kau terlambat seperti biasa" Hyun woo memberikan nada sinisnya.

Saudaranya pun tertawa dengan penekanan sarkastik yang membuat suasana di dalam kamar mandi semakin menegang. "sepertinya kebencianmu semakin memuncak padaku karena perempuan itu." Dalam sekejap, saudaranya berhasil membuat seluruh tubuh Hyun woo tak bergeming saat dia mendengar kata 'perempuan itu'. Kepalanya sudah membentuk bayangan dari siapa yang dimaksud saudaranya. Tangannya mengepal dengan kuat, berusaha menahan amarah yang siap untuk dilimpahkan.

"kuperingatkan kau.. dia bukan milikmu. Sejak awal dia sudah bersamaku. Kau mengambil keuntungan dari hal itu."

Setelah mendengar itu Hyun woo menerjang keluar dari ruang showernya dan mendaratkan sebuah pukulan tepat di pipi saudaranya.

***

[Cindy's POV]

"ini adalah sebuah kejujuran yang salah"

Aku tidak bisa melupakan kata-kata Jong suk yang masih saja berputar-putar di kepalaku bahkan setelah satu minggu berlalu sejak hari itu. Aku merunduk menatap jam tanganku yang melilit di lenganku. Tepat pukul 6 sore. Sudah 12 jam berlalu sejak Jong suk member perintah untukku, menjaga apartemennya hingga dia kembali dari kunjungan singkat ke rumah orang tuanya. Agak aneh kedengarannya, seorang anak melakukan kunjungan singkat ke rumah orang tuanya. Bukankah lebih enak didengar jika dia mengatakan ingin pulang ke rumahnya bertemu dengan keluarga yang dia rindukan ketimbang mengatakan hal itu 'kunjungan singkat'. Bulu kudukku terasa berdiri setiap aku mengingat bagaimana dingin dan tertekanannya Jong suk saat dia akan mengatakan hal. Aku merasakan rasa sakit yang tidak bisa dibagi Jong suk dari tatapannya yang tidak bisa tenang bahkan saat keluar dari apartemen.

Aku mengeluarkan earphone dari tasku dan memasang plug nya di ponselku. Akhir-akhir ini aku sering mendengarkan lagu san fransisco milik salah satu band Australia terkenal, sejujurnya aku tidak begitu mengenal mereka aku hanya mendengarkan lagunya. Malam ini berbeda, aku ingin mendengarkan lagu fools milik Troye Sivan. Mungkin karena ada satu bait yang aku suka. I am tired of this place I hope people change, I need time to replace what I gave away. Seperti hal-hal yang terjadi di sekitarku, selalu berputar dan membiarkanku terpuruk sendiri dan merasa bodoh.

Aku baru menyadari sudah hampir seharian aku me-non-aktifkan jaringan internet di ponselku. Awalnya aku hanya berniat untuk menghindari spam chat dari Jong suk yang memerintahku untuk datang dengan cepat pagi tadi. Pada nyatanya derasnya kendaraan di kota seoul membuatku terlambat untuk memenuhi permintaannya yang mendadak itu. Kalau ku ingat-ingat sudah hampir satu bulan lebih aku bersama Jong suk tapi dia tidak pernah menghubungi ibunya. Lalu tiba-tiba dia memintaku untuk menjaga apartemennya karena ingin melakukan kunjungan singkat. Aneh. Seperti dia tidak begitu ingin tahu tentang keluarganya.

Aku menyandarkan kepalaku pada sofa dan menatap langit-langit ruang tengah. Dominasi warna putih membuat kesan klasik terasa kental. Ah biasanya malam akhir pekan seperti ini Hyun woo akan membawakanku bir dan ayam lalu kami akan menonton film bersama di ruang tengah tanpa diganggu Lee Joon atapun ahjumma. Masih terasa segar diingatanku saat kami menonton film love 119 sehari sebelum ujian tengah semesterku dan berakhir dengan aku tertidur bersama Hyun woo diatas sofa ruang tengah hingga keesokan paginya. Aku merindukan hari-hari menyenangkan bersama Hyun woo.

Seseorang melepas earphone di telinga kananku, siapa lagi kalau bukan Jong suk. "ahh kau menga—" aku menghentikan ucapanku saat melihat pipi kirinya lebam. Dia juga kedinginan, tubuhnya menggigil, hidungnya memerah. Bahkan matanya tampak menyeramkan karena warna merah yang mendominasi. "astaga! Kau kenapa—hey! Kau minum alkohol?" aku mencium bau menyengat alkohol sangat kuat dari mulutnya. Dia menarik sudut kiri bibirnya dan memeluk tubuhnya sendiri lalu duduk di sofa. Jong suk mengangkat kakinya lalu memeluk lututnya seperti anak kecil yang begitu kesepian. Dia sangat menyedihkan saat ini. Sebenarnya aku sangat-sangat penasaran apa yang terjadi padanya, mengapa dia pulang dengan keadaan sangat kacau dan mengapa pula dia bertingkah seperti ini. Tapi aku menahan rasa penasaranku.

Aku beranjak mendekat kearah Jong suk dan melingkarkan tangan kanannya di leherku lalu memapahnya menuju kamar tidur. Entah sadar atau tidak, Jong suk menghentikan langkah kami berdua lalu menatapku dengan pekat seakan takut kehilanganku. Tiba-tiba dia tersenyum dan menyentuh wajahku membuatku terpaku. Dia menyingkirkan rambut-rambut tipisku dari dahi lalu menyentuh dahiku lembut dengan bibirnya. Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak menolaknya, aku menerima perlakuannya yang sangat aneh. Yang lebih aneh adalah perasaanku. Seperti ada rasa rindu yang memuncak saat dia mencium dahiku.

"tolonglah.. kumohon. Ingatlah aku kembali. Jangan biarkan memori palsu menipumu dan membuatmu menjauh lagi dariku." Lirihnya yang membuat dadaku terasa sesak saat mendengarnya. Seperti ada ribuan batu yang menimbun di paru-paruku dan membuatku kesulitan bernapas. Setetes air mata jatuh dipipiku. Bukan, air mataku. Air mata Jong suk. Aku semakin tidak mengerti ada apa sebenarnya. Sekelebat kenangan yang terlihat asing dan juga familiar di saat bersamaan berputar-putar di kepalaku. Kakiku terasa dipaku di tempat, aku tidak sanggup lagi berjalan menuju kamar Jong suk hingga kami berdua terjatuh. Kepalaku terasa pusing seperti saat aku berada di kamar Jong suk. Mataku perih dan dadaku semakin sesak seiring bertambah banyaknya kenangan yang berkelebat.

Anak kecil dengan mata yang begitu kesepian.

Sebuah mobil yang terus berjalan.

Aku yang tidak ingin pergi.

Anak itu pergi.

Aku tidak mengerti bagaimana menyatukan potongan-potongan kenangan itu ditengah keadaan yang kacau seperti ini. Rasanya seperti akan mati kehabisan nafas karena begitu sulitnya dadaku untuk mengembang dan mengempis seperti biasanya. "Cindy.. kau tidak apa-apa?" Jong suk melingkarkan tangannya di pundakku, dia bertanya dengan nada panik karena melihat reaksiku di sela-sela mabuknya. Aku menggeleng sambil terus mencoba untuk bernafas meski terasa sulit. Kini giliran Jong suk yang memapahku, dia membawaku keluar dari apartemen.

.

.

.

Aku tersadar dari tidur yang begitu larut. Dalam mimpiku aku melihat seorang anak yang berumur sedikit lebih tua dariku, membawa tas besar dan berdiri tepat di depanku yang hanya dihalangi pagar rumahku yang berukuran tanggung. Dia tersenyum dengan tatapan kesepian yang tidak asing bagiku. Anak itu mengulurkan tangannnya padaku tapi aku menghindarinya. Aku pergi meninggalkannya.

"kau sudah bangun.. ada sesuatu yang ingin kau makan?" suara familiar ini membuatku menoleh dengan sedikit terkejut. Jong suk. Dia tertawa kecil melihat reaksiku yang agak berlebihan. Disampingnya ada ahjumma. Aku memijat pelipisku pelan, mencoba menghilangkan sedikit pusing yang tersisa. Aku menatap Jong suk dengan pekat. Kali ini aku akan benar-benar mencoba menyatukan potongan-potongan ingatanku dengan seluruh kejanggalan yang Jong suk lakukan akhir-akhir ini.

Aku melirik ahjumma sekilas, seakan mengerti dia mengangguk lalu pergi keluar dari kamar rawatku. Begitu mendengar suara pintu tertutup, aku menatap Jong suk kembali. "ada apa?" tanyanya dengan polos. Lebam di pipi kirinya terlihat sudah lebih baik dari semalam. Kupikir itu bukan sesuatu yang harus ku khawatirkan saat ini. Aku lebih penasaran tentang perkataannya yang begitu membingungkan.

"aku bermimpi.. seperti sebuah kenangan. Aku berdiri di balik pagar rumahku, bertatapan dengan seorang anak yang terlihat kesepian" aku menarik napasku dan melirik Jong suk untuk memastikan reaksi seperti apa yang akan dia perlihatkan. Dugaanku benar, dia pasti salah tingkah. Ada sesuatu antara kenanganku yang terlupakan karena amnesia dengan Jong suk. "lalu?" dia duduk di kursi yang ada di sebelah tempat tidurku dan menatapku dengan antusias. Wajah khawatirnya berubah menjadi wajah bahagia seperti anak kecil yang menunggu sebuah cerita dari ibunya. Aku menggeleng lalu mengalihkan wajahku darinya. Cara seperti ini kurang efektif untuk memancing Jong suk mengatakan kejujuran.

Aku melirik jam dinding yang digantung tepat di dinding yang ada dihadapanku. Sekarang sudah tepat pukul 8 pagi. Seharusnya Jong suk berada di lokasi shooting sekarang. "pergilah, kau memliki jadwal pagi ini, Jong suk-ssi" aku kembali menatapnya, kali ini dengan tatapan tajam. Dia tertawa seakan tidak memiliki masalah apapun. Dengan cepat dia mengangguk lalu berdiri, "aku pergi dulu. Minum obatmu dengan teratur.. aku akan memeriksanya nanti!" dia mengacak-acak rambutku. Aku menggigit bibirku, sial, dadaku berdebar melihatnya bertingkah seperti ini. "jangan kembali" aku meluncurkan kata-kata tajam, sebaiknya dia tidak begitu sering mengunjungiku karena hal seperti menjenguk asisten, bukanlah sesuatu yang harus dilakukan seorang bos kepada asistennya.

"tidak bisa. Aku mengkhawatirkanmu" ucapnya sambil berlalu keluar dari kamar rawatku. Ada perasaan melilit di perutku beriringan dengan debar jantung yang tidak karuan. Aku tidak begitu memperdulikan perasaan ini, aku menyadari banyak hal yang harus kulakukan selain memikirkan hal-hal seperti ini. Ahjumma memasuki kamar rawatku dengan menyunggingkan senyumnya yang menenangkan. Dia mengusap dahiku dan berkata semuanya baik-baik saja tanpa kehilangan senyuman dari wajahnya. Ahjumma duduk di tempat Jong suk duduk tadi, dia meraih sebuah pir dan pisau yang ada diatas nakas sebelah kiriku. Aku terus memperhatikannya yang mengupas pir perlahan. Membuat mataku terasa berat, aku ingin tidur kembali. "tidurlah.. dokter bilang kau terlalu memaksakan otakmu untuk mengingat kenangan-kenangan yang hilang. Lebih baik kau mengistirahatkan otakmu sebelum dia keluar dari kepalamu dan memarahimu" seakan membaca pikiranku ahjumma meletakkan pirnya lalu membungkus setengah tubuhku dengan selimut tipis ala rumah sakit. Aku tertawa kecil mendengar godaannya sambil menutup mataku. Rasanya memang sangat melelahkan.

"aku menyukaimu disaat seperti ini ahjumma" ucapku sebelum larut dalam tidurku.

***

Berhubung dokter sudah mengijinkanku pulang setelah seharian berada di rumah sakit, aku langsung mengepak sedikit bajuku yang ada di lemari nakas. Muak rasanya mencium bau obat-obatan yang tidk ada habisnya dan melihat banyak sekali orang sakit dalam satu waktu. Aku lebih baik berkutat dengan pekerjaanku ketimbang berdiam diri terlalu lama di rumah sakit. Kegiatanku terhenti saat ponselku berdering karena telepon masuk. Ku lirik layar ponselku diatas nakas dan tertera nama Hyun woo. "kenapa kau sama sekali tidak menjengukku, ha?" omelanku pecah sedetik setelah aku menerima panggilannya. Aku bisa mendengar Hyun woo terkekeh, bahkan aku bisa membayangkan dia sedang berada di sudut ruangan tempat dia berada dan memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Aku hanya tahu bagaimana kebiasaannya.

"maaf.. ada beberapa hal harus kuselesaikan hari ini. Jangan lupa! Aku ini idol!" tegasnya. Aku bergabung dalam tawanya yang renyah dan kurindukan itu. Betapa sibuknya dia hari ini hingga lupa untuk menjengukku?. Sesaat kami sama-sama terdiam menunggu satu sama lain untuk bicara. Keheningan yang tercipta justru terasa seperti jarak yang tidak kusadari antara aku dan Hyun woo. Bukan jarak dalam arti sebenarnya, tapi jarak dimana aku mempunyai batasan dengannya meskipun aku adalah temannya selama bertahun-tahun. "aku sudah bisa pulang sekarang" aku memecahkan keheningan yang membuang waktuku tadi. "ah kalau begitu aku akan menjemputmu. Tunggu aku 10 menit." Ucapnya, tanpa menunggu jawabanku seperti biasanya, Hyun woo memutuskan sambungan teleponnya.

Tepat sepuluh menit seperti yang dia katakana dibalik telepon tadi, Hyun woo datang dengan masker yang menutupi wajahnya. Aku bisa merasakan senyum yang mengembang dibalik masker itu. Aku berjalan mendekat ke arahnya dan memeluknya ketika kami berjarak satu jengkal. "akhir-akhir ini kau sibuk sekali. Apa aku harus sakit dulu agar kau datang melihatku?" ledekku sambil melepas pelukan kami. Dia tertawa lalu merangkulku, tapi tangannya kembali terlepas, "akh!" keluhnya sambil mengelus lengannya. Aku mengkerutkan dahi dan menatapnya dengan kebingungan, "kau baik-baik saja? Ah, maksudku.. kenapa? Ada apa? Apakah ini sakit? Bagaimana kalau kita masuk ke dalam dan periksa lenganmu?" kekhawatiranku membuatku lebih panik dibanding Hyun woo yang kesakitan. Dia tertawa dalam rengekannya yang membuatku kesal. Perlahan aku menarik lengan bajunya keatas dan memeriksa lengannya. Lebam biru. Seperti pipi Jong suk. Kenapa mereka terlihat menyedihkan. "kemarin aku pulang ke rumahku dan terjatuh saat menaiki tangga ketika memasuki rumah" jelasnya.

Dia berbohong. Jelas sekali. Tidak ada tangga di depan rumahnya, yang dia ceritakan adalah rumah bersama.

***

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

1K 158 17
Kiara merasa dirinya hancur sampai nekat ingin mengakhiri hidupnya dengan melompat dari jembatan. Namun, alih-alih merasa segalanya akan berakhir, J...
470K 4.9K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
497K 37.1K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
112K 8.2K 36
Irene Valencia adalah namaku. Kisah hidupku bukanlah sebuah kisah percintaan klasik. Willis Hilton berhasil memporak-porandakan seluruh jagat rayaku...