Reconciliation

Por MarsHeaven

1M 67.1K 5.2K

Trust takes years to build, seconds to break and forever to repair. Dia kembali hadir dalam hidupku dan akhir... Más

5. Titik Balik
9. Re-post Keputusan
11. Pengakuan
12. Luka yang Kembali Terbuka
13. Alasan Pergi
14. Bimbang
15. Goodbye
Bagian 16 - Pulang
17. Sulit Melepaskan dan Memaafkan
18. Luapan Emosi 1
18. Luapan Emosi 2
19. Rujuk
Kuis RC
20 - Honeymoon 1
20 - Honeymoon 2
21. Pecah
22. Semak Membara 2
Pengumuman
Pengumuman Lagi
23.1 Berani Memaafkan
23.2 Berani Memaafkan
24
25
26
Q and A
Jawaban Q and A

22. Semak Membara - 1

27.4K 3.1K 354
Por MarsHeaven

                "Banyak hal yang bisa aku abaikan, Rey. Tapi pengkhianatan bukan salah satunya. Entah berapa kali aku meyakinkan diri dengan mengatakan, Rey suamiku aku harus percaya padanya. Tidak ada hubungan apapun diantara mereka. Mereka hanya teman." Aku tertawa pahit, ingat bagaimana dulu aku berkali-kali menanamkan kata-kata itu dalam pikiranku. "Yang aku lihat saat itu menghancurkan keyakinanku. Aku tak bisa lagi percaya padamu. Jadi, aku memutuskan pergi."

Rey terpaku, kepalanya menunduk.

"Aku cinta kamu, tapi kamu mencintai Laura. Aku tidak mau terluka, jadi aku pergi. Alasanku pergi sesederhana itu."

"Aku mencintaimu." Potongnya.

"Aku juga mencintaimu. Tapi..."

"Tapi?"

"Tapi ternyata cinta saja tidak cukup untuk membuat kita bersama, untuk tidak lagi membuatku terluka dan membuatku melupakan segalanya."

Aku menghela nafas perlahan.

"Selamanya, apa yang aku lihat saat itu akan menghantuiku. Akan menemaniku saat aku memikirkanmu atau melihatmu. Kenangan itu akan terpatri jelas dan akan tetap melukaiku. Sebesar itulah kamu melukaiku Rey, hingga berapapun banyak usaha dan waktu yang kamu punya tidak akan bisa mengobatinya. Aku memang mencintaimu, dari dulu tak ada yang berubah. Kamu masih membuat hatiku bergetar, kamu masih memenuhi pikiranku. Hanya saja, rasanya tak seindah dulu."

*****

"Kamu pulang cepat?" Rey yang sedang melepas jasnya berbalik, terkejut melihatku yang tiba-tiba masuk ke kamar.

"Hmm... aku mau ajak kamu pergi."

"Kemana?"

"Reuni sekolah."

Aku mengangguk.

"Kamu mau pergi?" tanyanya canggung.

"Iya," jawabku tak kalah canggung.

Setelah pengakuanku hari itu, hubungan kami berubah. Kami kembali berada di titik dimana kami asing satu sama lain. Tidak ada lagi canda dan tawa yang melingkupi, berganti dengan kecanggungan yang makin membuat kami berjarak.

Dua hari setelah hari itu, kami pulang kembali ke Jakarta membawa serta Mada yang ingin mulai menjalankan rencananya untuk membuka toko bunga. Bapak walaupun enggan dia membiarkan Mada pergi dan melakukan apapun yang dia inginkan. Bapak bahkan memberikan tanah kosong yang ada di Cikarang untuk jadi tempat usaha. Aku tidak terlalu kesepian atau sedih karena ada Mada yang menghiburku. Kami sering menghabiskan waktu bersama hingga membuatku bisa sedikit melupakan masalahku dengan Rey.

Sebisa mungkin aku dan Rey membuat hubungan kami terlihat normal, seolah-olah semuanya baik-baik saja. Rey mencium keningku di hadapan keluarga kami setiap pagi sebelum mengantar Si Kembar ke sekolah, lalu aku akan mengantarnya dengan senyuman. Kami bicara dan bercanda jika sedang berada di hadapan orang lain dan akan berubah menjadi orang asing saat kami sendiri.

"Dresscode-nya hitam. Kita jalan jam tujuh, aku sudah minta Mada buat jaga anak-anak." aku kembali hanya mengangguk. "Kejora?"

"Hmm..." aku menatapnya. Keraguan terlihat jelas di matanya, melihatnya aku tahu dia punya banyak pertanyaan "Kenapa?"

"Nggak pa-pa. Kamu siap-siap aja dulu, aku main sama anak-anak sebentar.

Kami siap selepas maghrib , aku mengenakan dress hitam tanpa lengan dengan tambahan detail rendra pada bagian punggung . Panjangnya beberapa sentimeter di atas lutut. Rey mengenakan jas hitam fit body dengan tatanan rambut yang lebih rapi dari biasanya. Aku sedikit terkejut melihatnya, karena sehari-hari Rey lebih suka rambutnya terlihat berantakan.

"Kamu nggak kedinginan?" bingung dengan pertanyaannya, aku hanya menggelengkan kepalaku perlahan. "Bajunya." Ucapnya seraya melihat punggungku dengan tatapan tidak suka.

"Nggak, nggak dingin."

"Punggungnya kebuka gitu, terus bajunya terlalu pendek, paha kamu kelihatan." Aku menatapnya tak percaya, masa segini pendek. "Kamu nggak pernah pake baju terbuka, aneh aku lihatnya. Kenapa sih kamu beli baju model begitu?"

"Anak-anak yang pilihin kok kemarin pas ke mall, kata mereka bagus."

"Nggak bagus!" sangkalnya cepat. "Ganti!"

"Apaan sih Rey. Punggungnya nggak kebuka, ada rendra yang nutupin. Lagian dressnya juga nggak pendek-pendek amat."

"Aku nggak suka, ganti!"

Aku menghela nafas kasar. "Kamu kenapa sih?"

"Nggak kenapa-napa, aku nggak suka baju yang kamu pakai, terlalu terbuka. Ganti!" Rey mulai berteriak.

Kesal dengan kemarahanya, aku mulai mengancam "Aku nggak usah pergi."

Rey melengkungkan alisnya, menatapku penuh pertimbangan. "Aku cuma minta kamu buat ganti baju, bukan ngajak berantem. Bisa nggak sih kamu ikutin apa mauku tanpa membantahnya?"

"Bisa nggak sih kemauan kamu masuk akal, jadi aku bisa menerimanya tanpa ada bantahan." Balasku sinis. Kebiasaan Rey yang ingin semua orang mengikuti kemauannya lama-lama membuatku jengah.

"Alasanku masuk akal, baju kamu terlalu terbuka, aku nggak mau kamu kedinginan dan orang lain melihatnya."

"Segini mana terbuka sih, Rey." Bantahku.

"Kalian mau sampai kapan berdebat, acaranya bisa selesai duluan sebelum kalian sampai sana." Celetuk Opa, aku berbalik dan menatapnya penuh maaf. Sejak tadi kami mengabaikan keberadaannya. "Kamu Rey, kalau ngerasa baju istri kamu terlalu kebuka, jangan langsung nyuruh dia ganti baju gitu aja. Kamu bisa nawarin dia pakai jaket atau sesuatu lain buat nutupin. Kejora, kamu juga. Sebelum pakai baju mending kamu tanya dulu sama Rey dia keberatan nggak. Hidup berkeluarga boleh berdebat, tapi jangan keseringan nggak baik. Nanti yang ada kalian sering salah paham."

"Iya, Opa." Jawabku dan Rey bersamaan.

Aku menoleh pada Rey dan bertanya, "Aku perlu ganti baju?"

"Nggak usah, pakai jaket aja. Sebentar aku ambilin di atas sekalian manggil anak-anak."

Tak lama kemudian Rey turun bersama Si Kembar, Mada mengikuti di belakang mereka. Keduanya langsung berlari ke arahku dan memeluk pinggangku.

"Mama cantik." Puji Luys.

"Baju yang kita pilihin bagus." Tambah Luce.

"Makasih, siapa dulu dong yang milih. Anak mama."

Rey berjalan melewatiku, lalu menyampirkan Jaket kulit berwarna hitam di bahuku. "Bahunya jadi nggak kelihatan." Bisiknya.

"Nggak aneh yah?" tanyaku seraya berbalik menghadapnya.

Rey hanya menggeleng dan tersenyum kecil. Mada justru yang menjawab pertanyaanku "Nggaklah Mba, malah keren. Aku suka motif bordirannya. Mba beli di mana jaketnya?"

"Rey dulu yang beliin."

"Wah... Mas Rey romantis banget, Beliin istrinya jaket. Aku jadi iri."

"Kamu minta Dipta aja beliin." Rey tersenyum, lalu merangkul pinggangku lembut. "Dia kan dokter banyak duitnya."

"Bukan masalah duit," Mada cemberut saat mengatakannya. "Kak Dipta bisa aja kok beliin aku jaket atau baju. Cuma nggak bisa. Soalnya dari awal ibu udah wanti-wanti kalau mau hubungan kami panjang, jangan sekali-kali ngasih sesuatu yang nempel di badan ke pacar. Gitu... Makanya Kak Dipta nggak pernah beliin baju, jam tangan, pokoknya yang nempel di badan deh. Biasanya dia beliin aku makanan atau buku."

"Hhh.... Percaya takhyul." Goda Rey.

"Biarin ih... udah sana pergi, ntar telat lagi." Mada mengibas-ibaskan tangannya. Mengusir kami.

"Titip anak-anak yang Mad."

"Siap!"

Aku menurunkan kepalaku dan mulai berpamitan pada Si Kembar dan berjanji sebelum mereka tidur, aku sudah ada di rumah.

*****

Acara reuninya ternyata diadakan di gedung yang sama dengan tempat tempat tinggal kami dulu, Rey membuatku berpikir kalau kami akan kesanan Tapi ternyata Rey membawa mobilnya hanya sampai di lantai delapan dan menggandengku memasuki restauran yang merangkap sebagai bar yang berada di lantai yang sama.

Restaurannya terdiri dari dua area, indoor dan outdoor. Di bagian outdoor ada beberapa sofa yang dapat menampung lima sampai sembilan orang, designnya seperti beach club yang sering aku lihat di Bali atau Lombok.

Begitu kami bergabung dengan teman-teman sekolah Rey, mereka langsung penasaran dengan kehadiranku. Ini pertama kalinya kami pergi ke acara bersama. Dulu setiap kali Rey punya acara dengan teman-temannya, aku tidak pernah ikut pergi, biasanya Rey pergi sendiri dan aku memilih tinggal di apartemen.

"Siapa Rey?" tanya mereka dengan rasa penasaran yang tidak ditutup-tutupi.

"Istriku."

"Kamu udah nikah? Kapan?"

Aku tidak terlalu terkejut mendengar pertanyaan teman-temannya. Memang tidak banyak orang yang tahu pernikahan kami.

"Udah lama, enam tahunan."

"Bercanda kamu." Tiba-tiba suasana berubah gaduh, teman-teman Rey langsung menanyakan beberapa pertanyaan sekaligus padanya. Rey menanggapi mereka dengan jawaban-jawaban penuh canda. Rey terus bicara dengan teman-temannya. Walau tangannya terus menggenggam tanganku, tetap saja aku merasa sendiri dan asing. Apalagi kebanyakan teman-teman wanita Rey menatapku dengan tatapan tak bersahabat. Mereka memperhatikanku dengan terang-terangan dan sesekali saling berbisik-bisik.

"Aku ke toilet dulu." Ucapku pada Rey.

"Mau ditemenin." Tawarnya.

"Nggak usah, nggak lama kok."

"Oke."

Di toilet, aku hanya diam termangu di depan cermin. Dunia Rey sangat berbeda denganku, ini memang bukan pertama kalinya aku datang ke pesta seperti ini, dulu Daniel sering mengajakku. Tapi biasanya kami tidak pernah lama, kami hanya datang menyapa tuan rumah, berbincang sebentar dengan orang yang kami kenal kemudian pulang. Sama sepertiku, Daniel juga tidak terlalu suka acara datang ke pesta seperti ini.

"Dir, Lo lihat istri Rey tadi," mendengar nama Rey disebut, aku cepat-cepat masuk ke bilik toilet. "Mereka udah lama nikah?"

"Iya, lima tahunan lebih, Rey sendiri yang bilang tadi. Mereka tinggal terpisah gitu, makanya jarang ketemu."

"Hah! Seriusan?"

"Seriuslah, orang Rey yang bilang langsung kok."

"Dulu Gue sempet denger gosipnya sih, kalau Rey udah nikah. Tapi gue pikir itu gosip, orang Rey masih lengket aja sama Laura. Lo kan tahu sendiri mereka kemana-mana berdua. Reuni tahun lalu mereka juga masih datang bareng."

"Laura emang dari dulu begitu, selalu merasa nomor satu buat Rey. Tadi datang-datang dan langsung peluk Rey, terus gelayutan mesra."

Aku hampir lupa kalau Rey dan Laura satu sekolah.

"Gue agak aneh sama istrinya deh Dir, masa iya dia nggak papa. Gue yang lihat aja gerah sendiri. Pas Rey tinggal di London, Laura sering lho nyusul ke sana. Gue sempet ketemu mereka di Harrods."

"Bercanda Lo!"

"Seriusan, Gue pikir mereka udah jadian. Orang sampai gue ucapin selamat juga kok."

"Kasihan yah istrinya? Kalau Gue sih udah minta cerai aja, daripada nahan batin."

"Istrinya bego atau nggak polos atau bisa jadi udah cuek. Makanya diam aja digituin."

Helaan nafasku terasa berat, bodoh dan polos. Dua kata itu memang cocok untukku. Siapapun yang melihat hubungan Rey dan Laura akan menganggapku seperti itu. Aku bodoh dan polos hingga mengabaikan perlakuan suamiku begitu saja. Aku terlalu cuek, hingga membiarkan wanita lain menyentuhnya sesuka hati.

Setelah yakin dua orang yang membicarakanku sudah pergi, aku keluar dan membasuh tanganku di wastafel. Langkah kakiku meragu dan berat, aku merasa semua orang yang berpapasan denganku menatapku dengan tatapan mengasihani dan mengejek. "Wanita yang dikhianati istrinya", mungkin itulah yang ada dipikiran mereka.

Begitu menuju bagian outdoor restaurant, tatapan terpaku pada pemandangan yang seketika terasa sangat menyesakkan. Benar kata dua orang yang di toilet tadi, Luara ada di sini, bergelanyut mesra di samping Rey. Saat ini juga aku ingin pergi dari sini, namun tubuhku terpaku tak bisa bergerak. Berdiri diam dengan tatapan mata kosong sampai sebuah suara menarik perhatianku.

"Kamu selalu kelihatan lebih cantik, kalau pakai baju warna hitam."

Aku menoleh dan di sanalah dia, berdiri dengan senyum terkembang.

"Dan," Daniel lelaki yang selalu ada untukku. "Ngapain di sini?"

"Reuni," jawabnya sambil tersenyum. "Aku satu sekolah sama Rey, ingat?" aku mengangguk, Daniel kembali tersenyum. Tangannya meraih tanganku dan menepuk-nepuknya pelan. "Kamu apa kabar, Jora?"

"Nggak terlalu baik," aku berkedip, menahan tangis.

"Kamu selalu punya aku," Kali ini dia meremas tanganku. "Ayo."

*****

Daniel menggandeng tanganku, dia terus mengajakku bicara. Aku tahu dia melakukan itu untuk menghibur dan menghilangkan kegugupanku. Dia bertanya bagaimana Si Kembar dan apakah mereka merindukannya.

"Lo kenal istrinya Rey, Dan?" salah satu teman Rey bertanya saat kami bergabung bersama mereka.

Rey marah, aku tahu dari sorot matanya yang tajam, menantangku. Namun aku memilih untuk mengabaikannya dan mengedarkan pandanganku kemanapun asal tidak padanya.

"Pernah ketemu beberapa kali."

"Berapa banyak beberapa kali itu, setiap hari?" Rey bertanya dengan tersenyum, namun aku bisa mendengar nada ketus dari suaranya.

"Setiap jam," balasan Daniel membuatku terkejut, aku langsung menoleh padanya dan memberikan tatapan penuh peringatan. Berdebat dengan Rey sekarang bukanlah waktu yang tepat, dia yang seperti ini, menahan amarahnya akan makin cepat tersulut emosi. "Kalau bisa aku ingin ketemu dia setiap detik bukan setiap jam. Kamu keberatan?"

Rey tertawa, "Kalau kamu ketemu dia tiap hari, tiap jam. Kejora nggak akan punya waktu buatku. "Kejora, sini." Rey mengulurkan tangannya, memintaku agar bergerak menghampirinya. "Kejora," panggilnya lagi penuh tekanan.

"Rey, kita gabung dulu dengan anak-anak yang lain. Tuh mereka udah pada manggilin." Laura menarik Rey agar ikut dengannya.

Daniel tersenyum kecil, lalu menggandengku agar mengikuti mereka.Betapa anehnya kami terlihat. Teman-teman Rey pasti akan bertanya-tanya seperti apa hubungan kami sebenarnya. Kami terlihat seperti tengah bertukar pasangan. Prasangka mereka makin menguat saat bukannya duduk bersamaku, Rey justru duduk berdampingan dengan Laura, aku pun sama. Aku duduk tepat di samping Daniel. Sama seperti tadi, Daniel terus mengajakku bicara. Walaupun gugup aku mengikuti alur yang dia buat. Dia sengaja bersikap seperti ini untuk mengurangi kegugupanku.

Selama itu pula aku tahu Rey terus menatapku, sesekali dia memberikan tatapan tajamnya.

Tak sanggup lagi dilihat dengan cara seperti itu, aku berdiri dan berkata "Aku haus, mau ambil minum dulu." Teman-teman Rey menatapku penuh tanya, bingung karena jelas-jelas banyak jenis minuman di depanku. "Aku butuh air hangat, " jelasku, lalu berbalik pergi begitu saja tanpa melihat mereka lagi.

Aku menyadari Daniel mengikutiku, tak lama Rey juga melakukan hal yang sama. Aku masuk ke area indoor restauran dan meminta air hangat pada waitress.

"Melihat istri orang lain, istri teman sendiri kalau kamu masih anggap aku sebagai teman, dengan tatapan seperti itu, apa kamu nggak merasa bersalah?" tanya Rey sinis begitu kami bertiga berkumpul.

"Sejak dulu beginilah caraku melihat Jora."

"Kamu pikir aku bakal biarin kamu natap dia seperti itu?"

"Kenapa? kamu keberatan?"

"Dia istriku."

Daniel tertawa, "Istri yang ninggalin kamu," Daniel sengaja menantang Rey. Aku tidak mau mereka bertengkar di sini. "Kalau kamu nggak bisa buat dia bahagia, lepaskan dia untukku. Dia bisa lebih bahagia denganku."

"Rey!" teriakku panik saat pukulan Rey membuat Daniel jatuh tersungkur. Darah segar langsung keluar dari mulutnya. Namun itu tidak cukup menghentikan Rey untuk memukulinya bertubi-tubi dan tanpa jeda. "Rey, berhenti!" orang-orang mulai mengerubungi kami, namun tidak ada yang berani melerai. Daniel yang awalnya hanya diam dan menerima semua pukulan Rey, kini balik memukulnya. "Berhenti, aku mohon!" aku mulai terisak. Perlahan mendekati mereka, lalu memeluk Rey dari belakang. Tubuh Rey memberontak, dia menampikku, membuatku terlempar dan menabrak meja bar.

Pekikanku membuat keduanya berhenti. Rey langsung menghampiriku dan memeriksa keadaanku, Daniel juga melakukan hal yang sama. 

"Kamu nggak papa?" Rey bertanya panik, tangannya menangkup wajahku, menatapku khawatir. Refleks tanganku menampik sentuhannya. Entalah tiba-tiba aku ketakutan dia akan menyakitiku.

"Dan, tolong antar aku pulang." 

"Hmm...." tangan Daniel melingkari lenganku dan membantu berdiri. Namun saat tubuhku belum sepenuhnya berdiri, Rey sudah mengangkat tubuhku dan membawaku keluar restauran, tak peduli teriakanku dan pemberontakanku.

"Turunin Rey," aku menggelliat panik. "Rey, turunin!"

"Diam!" teriaknya marah. "Diam!"

_______________________________________________________________________

Thank for read, vote and comment

Mars,  19 Oktober 2016

xoxo

tuheRofiah

Seguir leyendo

También te gustarán

7.2M 350K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
16.9M 750K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
414K 2.2K 16
Warning ⚠️ 18+ gak suka gak usah baca jangan salpak gxg! Mature! Masturbasi! Gak usah report! Awas buat basah dan ketagihan.
631K 45.1K 40
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...