18. Luapan Emosi 2

27.2K 3K 218
                                    

Mulai part kemarin, cerita ini berubah total dari sebelumnya. Kenapa diubah?

Alasannya aku ceritain kapan-kapan. Alasannya akan ada hubungannya dengan kenapa sampai sekarang aku masih enggan mencetak atau menerbitkan buku.

Enjoy ...

Bocoran part depan, "mereka udah baikan." Judul partnya aja "Rujuk"

          Jika ada yang bertanya padaku orang seperti apa Rey, tanpa berpikir aku akan menjawab, Rey adalah orang yang egois, suka seenaknya sendiri dan tidak pernah mau mendengarkan pendapat orang lain. Semua sifat menyebalkan itu, akan langsung aku ingat jika nama Rey disebut. Tapi, Rey yang seperti itulah yang membuatku jatuh cinta. Dengan sifatnya yang seperti itu, pilihanku untuk mencintainya, mungkin akan dianggap gila oleh orang lain. Apalagi, aku dihadapkan pada posisi, kalau Rey tidak mencintaiku, seperti aku mencintainya.

Sekian lama aku menikmati mencintai Rey yang seperti itu, tapi lama-lama aku lelah. Aku ingin dia mendengarkanku dan menghargaiku, aku ingin hubungan kami dijalani dengan baik dengan penuh pertimbangan dan diskusi. Tapi, baik dulu maupun sekarang keinginanku tak pernah tercapai, Rey selalu melakukan semua keinginannya tanpa mempertimbangkan keinginanku.

Sejak bertemu dengannya lagi, beberapa kali dia memaksakan kehendaknya. Aku ditempatkan pada posisi tanpa pilihan, jadi aku harus mengikuti apapun yang dia mau. Kelelahanku pada sifatnya berada pada puncaknya malam ini, kali ini bukan hanya lelah aku juga marah. Rey lagi-lagi melakukan sesuatu tanpa mendiskusikannya denganku, padahal apa yang dia lakukan hal yang besar, hal yang akan mengubah arah hubungan kami selanjutnya.

Di ruangan ini tidak ada yang tahu apa yang terjadi antara aku dan Rey, mereka menganggap apa yang terjadi malam ini adalah sisi keromantisan yang Rey berikan padaku. Mereka tidak melihat atau menyadari adanya magma yang aku simpan yang sebentar lagi akan meletus.

"Mba kok diam aja dari tadi?" Mada menyodorkan segelas air padaku.

"Mba capek banget, Mad."

Mada langsung mendelik, tidak suka akan sesuatu yang aku ucapkan.

"Udah dibilang kalau manggil namaku jangan dipotong, dilanjutin, Mada, bukan Mad."

"Iya... Mada..." tawaku meledak. Adikku ini memang paling bisa mencairkan suasana. Dia sering mengatakan hal-hal sinis yang herannya terdengar lucu. "Mba masuk ke kamar dulu yah, capek banget. Titip anak-anak."

"Mau simpan tenaga buat ntar malam nih pasti." Dia mengerlingkan matanya jahil.

"Kamu beneran udah gede ternyata, udah ngerti ngomong beginian. Udah ngapain aja sama Dipta?"

"Ish... apaan sih. Nggaklah, aku masih polos."

"Nggak ada orang polos yang ngaku dirinya polos." Balasku.

"Terserah Mba deh... yang penting aku masih polos. Titik."

Tawaku kembali meledak.

"Apa yang lucu?" Rey tiba-tiba sudah berdiri di sampingku dan merangkul pinggangku.

"Ra...ha...sia... urusan cewek. Mas nggak bakalan ngerti."

"Mba ke kamar dulu," Ucapku datar, mengabaikan keberadaan Rey. Rey merangkul pinggangku makin kencang, saat aku mencoba melepaskan diri darinya. "Titip anak-anak, Mad."

"Mada!"

"Iya... Mada."

Aku melepas tangan Rey kasar, Mada yang melihatnya sampai termenung karena heran.

Sampai kamar, selama beberapa menit aku hanya diam terpaku. Menghembuskan nafasku berkali-kali,untuk menenangkan diri. Setelah merasa tenang, baru aku duduk. Tak lama tatapanku tertumbuk pada sebuah amplop berwarna coklat yang ada di atas nakas. Tadi aku tidak melihatnya. Penasaran akan isinya, aku membukanya, tak peduli apa yang akan aku lihat di dalamnya. Akta kelahiran atas nama Luce dan Luys. Bukan dengan nama yang aku berikan pada mereka, tapi dengan nama berbeda. Tidak ada nama Daniel, namanya di ganti dengan Riley, nama Rahadi dari keluargaku pun di ganti dengan nama Renaldi, nama keluarga Rey.

ReconciliationKde žijí příběhy. Začni objevovat