Only Emerald

By queen_chigga

70.9K 2.2K 197

"Dasar Lelaki udik tampan sialan! Dia pikir dia siapa berani mengacuhkan ku seperti itu. Lihat saja nanti. Ak... More

Prolog
Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29

Part 14

1.7K 67 8
By queen_chigga

Emma berjalan sambil melamun, tak dihiraukannya Wina dan Nadia yang sibuk begosip ria disampingnya. Pikirannya dipenuhi oleh lelaki tampan dari masa lalunya, Danny.

"Aku merindukanmu, Emerald."

Emma menggeleng-gelengkan kepalanya kencang, berusaha menghapus kejadian semalam yang hampir membuatnya serangan jantung. Danny menciumnya. Walau sekejap namun meninggalkan bekas yang sampai detik ini belum bisa dihapus Emma.

"Ting." Bunyi pesan masuk di handphone Emma.

'Bisakah kita bertemu siang ini?' Pesan dari Danny membuatnya terbelalak kaget. Nadia mengintip layar handphone Emma lalu mengerutkan kening.

"Danny siapa?" Tanyanya. Emma tersentak kaget hampir menjatuhkan handphonenya ke lantai. Dia menatap wajah penasaran Nadia dan wajah bingung Wina sambil berusaha menyembunyikan handphonenya di punggungnya.

"Siapa Danny?" Tanya Wina pada Nadia.

"Gue lihat namanya di layar hp dia. Makanya gue nanya, Danny siapa?." Nadia menunjuk Emma dengan bibirnya.

"Bukan siapa-siapa." Jawab Emma cepat lalu melengos pergi meninggalkan Nadia dan Wina sebelum mereka sempat berkomentar. Tak dipedulikannya mereka yang berteriak memanggil Emma, Emma terus berjalan cepat tanpa menengok ke belakang. Hingga dipersimpangan, di bertubrukan dengan seseorang.

'Buk!!' Emma hampir saja terjerembab ke lantai kalau saja lengannya tak segera tangkap oleh si penabrak.

"Emma?" Emma mematung di tempatnya, enggan mendongak. Karena tanpa melihatpun Emma tahu persis siapa pemilik suara berat itu.
Emma menarik lengannya dari genggaman orang itu dengan kasar. Menatap dada lelaki yang dicintainya itu. Pandangannya mengabur, dia yakin sebentar lagi akan menangis.

'Kak Daffa..' Panggil Emma di lubuk hatinya yang terdalam. Dia begitu merindukan sosok dihadapannya ini.

"Em?" Panggil Daffa lagi lalu memegang kedua bahu Emma kemudian menarik Emma ke dalam pelukannya. Emma meronta ingin dilepas namun Daffa menahannya. Daffa tak lagi peduli dengan kondisi sekitar. Tidak peduli lagi dengan pandangan orang-orang yang menatap mereka risih. Yang dia pedulikan sekarang hanya wanita yang ada dipelukannya saat ini. Berfikir bagaimana cara meredakan amarah wanita yang dicintainya ini.

***

Daffa memperhatikan wajah Emma dari seberang meja. Mereka sekarang tengah duduk di sebuah kafe dekat kampus. Setelah membujuk Emma dengan susah payah, akhirnya Emma mau ikut dengannya. Namun sudah hampir setengah jam tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut keduanya. Emma sibuk mengaduk-aduk hot green tea yang pasti sudah tidak panas lagi. Daffa hanya menatap Emma dengan ekspresi sedih.

"Minggu depan aku ada seminar di luar kota, Em. Dan aku tidak ingin pergi dengan masalah yang masih mengganggu fikiranku, karena nantinya aku adalah wakil dari perusahaan dalam seminar itu. Jadi aku ingin menyelesaikan kesalahpahaman ini denganmu, sayang." Daffa memelas.

Emma menggigit bawah bibirnya bagian dalam, entah mengapa hatinya menghangat mendengar Daffa memanggilnya 'sayang'. Sudah lama sekali rasanya. Daffa mengambil tangan kiri Emma dan menggenggamnya erat. "Emma, tolong lihat kemari." Pinta Daffa lemah. Mau tidak mau Emma meliriknya ragu.
"Aku bersumpah, aku tidak ada hubungan apa-apa dengannya. Dia bukan siapa-siapa dalam hidupku, Em. Dia hanyalah sebagian kecil dari masa laluku, Em. Kamu sendiri kan tahu kalau kamu itu pacar pertama ku." Akhirnya Emma benar-benar menoleh padanya dan mendengarkannya. Daffa kembali melanjutkan. "Dia memang temanku dulu. Bisa dibilang kami cukup dekat. Tapi hanya sebatas itu. Tidak lebih! Dan tidak akan pernah. Jadi kamu hanya membuang waktumu jika menganggapnya sebagai sainganmu. Karena aku tidak pernah melihatnya sebagai seorang yang spesial, Em. Dia hanya teman biasa. Sama seperti yang lainnya." Daffa menghembuskan nafas berat. hatinya nyeri mendengar kata-katanya sendiri. 'Teman biasa'. Tapi memang begitulah yang diyakininya selama ini. Hal yang selalu dia tekankan dalam dirinya. Bahwa mereka hanya teman biasa, dulu. Dan sekarang, menjadi bukan siapa-siapa.

"Dan masalah dia bekerja sebagai atasanku, aku bersumpah! Aku sungguh tidak tahu soal itu. Akupun sangat kaget saat tahu dia adalah atasanku yang membawahiku secara langsung. Dan mana mungkin aku mengundurkan diri hanya karena dia adalah temanku dulu? Itu sungguh tidak masuk akal, Em. Aku juga tidak memberi tahumu soal itu karena menurutku hal itu tidak penting sama sekali. Sekali lagi aku bilang, dia bukan siapa-siapa, jadi untuk apa aku bercerita tentang orang asing padamu?" Sambung Daffa. Emma mengernyit.

"Tapi foto itu seperti berkata lain. Kalian tidak seperti teman biasa yang kamu katakan. Kalian terlihat.. Nyaman satu sama lain." Hidung Emma terasa perih mengatakannya. Matanya memerah. "Dia fotographermu kan?" Tanya Emma. Daffa menaikkan alisnya bingung. Emma menarik tangannya dari genggaman Daffa.

"Aku melihat semua foto candidmu. Itu semua dia yang mengambil kan? Kenapa dia selalu mengabadikan semua kegiatanmu kalau dia tidak dekat denganmu? Kenapa selalu kamu yang jadi objeknya? Kenapa DIA terlihat bahagia sekali saat kalian berfoto berdua? Oh. Aku salah. Maksudku, kenapa KALIAN terlihat bahagia sekali difoto itu? Kenapa, kak? KENAPA?!" Tuding Emma bertubi-tubi. Daffa terdiam di tempat.

"Kamu tidak bisa menjawab kan?" Emma tersenyum miris. "Berarti kekhawatiranku beralasan, dong. Wajar kalau aku marah. Wajar kalau aku cemburu. Karena aku bisa melihat dari foto-foto itu, apa arti dirimu baginya!" Pekik Emma marah membuat beberapa pengunjung di kafe itu menoleh padanya dengan tatapan bertanya. Daffa menatap Emma sedih. Bulir air berhasil jatuh dari kelopak mata Emma yang langsung disekanya dengan kasar. Emma menunduk, memejamkan matanya. Berusaha meredam emosinya yang siap-siap meledak karena kebisuan Daffa.

"Apa itu begitu menyakitkan bagimu, Emma?" Tanya Daffa ketika akhirnya bibirnya berhasil terbuka. Emma tetap diam mencengkram lututnya kencang. Tubuhnya bergetar hebat.

"Apa begitu menyakitkan mencintaiku, Em?" Tanya Daffa lagi. Emma hanya menangis sesengukan tanpa suara.

"Apa sebaiknya kita akhiri saja hubungan ini? Daripada aku hanya menyakitimu terus menerus." Emma mendongak. Menatap lurus ke dalam mata Daffa dengan tatapan tidak percaya. Sebegitu mudahnya dia mengatakan kalimat itu. Sebegitu gampangnya dia melepaskan cinta Emma. Setelah apa yang mereka berdua lewati. Bahkan tanpa usaha sama sekali.

"Apa?" Tanya Emma meyakinkan pendengarannya. Daffa tampak menelan ludah dengan susah payah.

"Lebih baik kita akhiri saja hubungan ini, Em." Kalimat itu begitu jelas keluar dari mulut Daffa dan begitu jelas terdengar di telinga Emma. Seperti petir disiang hari. Terasa memekakkan telinganya.

Daffa merunduk. Tak sanggup melihat bulir-bulir air yang jatuh dari pelupuk mata Emma. Tangannya bergetar, begitu ingin menghapus air mata itu dari wajah cantiknya. Namun dia sadar, bahkan hanya untuk melihat wajah itupun, dia tak lagi berhak.

Dia seorang bajingan. Bajingan yang telah menghancurkan hati Emma.

Emma berdiri dari tempatnya, mengambil cangkir tehnya yang masih penuh dan menyiramnya dengan kasar ke wajah Daffa. Daffa hanya diam. Tidak bereaksi. Hanya merunduk. Seolah-olah dia akan diam saja walaupun Emma memecahkan cangkir di kepalanya dan menikamnya dengan pecahan cangkir itu.

"Baiklah kalau itu maumu, Daff. Kita putus." Tekan Emma dengan tegas. Lalu pergi meninggalkan Daffa beserta orang-orang di kafe itu yang melihat mereka dengan penuh keterkejutan.

***

Sudah 2 hari Emma mendekam dikamarnya tanpa keluar sekalipun. Matanya sembab. Pandangannya menerawang keluar jendela. Berpuluh-puluh kali mamanya mengetuk pintu kamarnya namun tak juga dibukakan olehnya. Makanan yang diantarkan ke depan pintu kamarnya tak pernah di sentuh. Dia akan berteriak marah tiap kali mamanya memaksa masuk.

Wajah cantiknya terlihat sangat pucat. Kantung matanya begitu besar dan sangat gelap. Cekungan di pipinya terlihat. Dia terlihat sangat kacau saat ini. Handphone yang selalu saja berdering dihiraukannya.Wina dan Nadia yang sudah tiga kali datang selalu langsung diusir olehnya.

"Sayang, mama mohon keluarlah. Sudah dua hari kamu tidak makan, nak. Jangan buat mama kena serangan jantung mendadak karena ulahmu." Tak ada jawaban dari dalam. "Sayang, kalau papamu tahu kamu seperti ini karena seorang lelaki, pasti papamu akan marah besar."

Mama Emma memang sudah tahu tentang Daffa dan tidak ingin mencampurinya karena dia tahu bagaimana keras kepalanya Emma apabila dilarang. Persis seperti papanya. Dan diapun sudah tahu kalau hubungan Emma dan Daffa sudah berakhir. Dari Wina dan Nadia.

Wina dan Nadiapun terkejut saat Daffa mendatangi mereka untuk memberikan kartu apartemen Emma yang selama ini di simpannya. Mereka langsung mengerti apa yang telah terjadi.

"Emma, please sayang dengarkan mama." Kata mamanya memelas. Sebuah tepukan dipundaknya membuatnya menoleh.

"Danny?" Mama Emma terkejut melihat Danny yang tiba-tiba muncul.

"Biar saya saja tante." Tawarnya sambil tersenyum manis. Mamanya langsung tersenyum tidak enak. "Baiklah, Dan. Maaf yah merepotkan."

"Tidak apa, Tan."

Mamanya pun langsung pergi meninggalkan Danny sendiri di depan pintu Emma. Danny mengetuk pintu Emma pelan.

"Emerald?" Panggil Danny lembut.

Untuk pertama kalinya Emma merasa kembali ke dunia nyata. Suara Danny menyadarkannya dari lamunan panjangnya.

"Bolehkah aku masuk? Emerald?"

Emma melihat ke sekeliling kamar. Kemudian bangkit dari tempat tidurnya. Mengusap-usap wajahnya tak karuan.

"Aku sedang ingin sendiri, Dan." Teriaknya parau.

"Aku tidak ingin kau sendirian, Emerald." Balas Danny dari luar. Emma melihat ke arah pintu tanpa ekspresi. Entah apa yang ada di pikirannya sekarang.

"Let me alone." Teriak Emma lagi.

"Never. Ever. Ever." Jawab Danny dari balik pintu. Emma memutar matanya kesal. Dia berjalan menuju pintu. Berdiri disana tanpa membukanya.

"Emerald? Apa kau masih hidup?" Tanya Danny lagi.

"Jangan konyol!" Danny tersenyum simpul mendengar suara Emma dari dekat. Dia tahu bahwa Emma sedang berdiri di balik pintu sekarang.

"Kau tetap tidak ingin membuka pintu untukku?"

"Tidak."

"Really, Emerald? You're so rude."

"Lemah."

Danny tertawa pelan mendengar Emma mengejeknya.

"Baiklah. Aku akan duduk disini saja kalau begitu." Katanya lalu duduk menyandar pada pintu. "Kau juga duduklah." Sambungnya lagi. Emma mendengus kesal namun tetap menurutinya. Dia juga duduk bersandar pada pintu. Akhirnya mereka sama-sama bersandar nyaman pada pintu.

"Hey Emerald. Aku merasa de javu."

"Apa maksudmu?" Tanyanya tidak mengerti.

"Aku pernah bersandar seperti ini di pintu mu waktu kecil. Saat itu kamu marah pada papamu karena tidak dibiarkan memelihara kelinci dalam rumah. Jadi aku yang membujukmu agar keluar kamar. Kamu ingat?" Tanya Danny. Emma menerawang dari balik pintu. Tak lama kemudian dia tersenyum senang.

"Iya. Aku ingat. Kamu mengancam akan pergi mencari putri salju yang lain kalau aku tidak membukakanmu pintu." Emma mendecih, pura-pura memasang wajah kesal walau Danny tidak melihatnya. Emma hanya mendengar tawa Danny pelan. Namun kemudian Danny tak lagi bersuara. Emma menempelkan telinganya pada pintu.

"Danny?" Emma memanggilnya lalu diam menunggu jawaban sambil tetap menempelkan telinga pada pintu.

'Apa dia pergi?' Tanya Emma dalam hati. Terbersit rasa kecewa dibenaknya.

"Emerald?" Emma tersenyum senang karena ternyata Danny tidak pergi.

"Ya?" Jawabnya cepat.

"Jika aku mengancammu seperti itu sekarang, apa kamu akan langsung membukakanku pintu seperti dulu?"

Emma akan langsung menjawab tidak namun Danny melanjutkan,

"Anggaplah pintu kamar ini adalah adalah pintu hatimu. Setelah dia yang pergi, menutupnya dari luar. Maukah kamu membukanya dari dalam lagi, untukku?"

***

Readers-nya udah banyak yang hilang yah. Aku jadi sedih :'( #baper

Continue Reading

You'll Also Like

648K 4.6K 20
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
206K 30.5K 39
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
4.9M 180K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
5.7M 69.5K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...