Kie Light #1: Sandekala (TAMA...

ElCastroo

46.7K 3K 180

Mataku bukanlah mataku. Iblis-iblis itu menginginkan apa yang jadi milik mereka dikembalikan. Dengan tambaha... Еще

Mozaik 1
Mozaik 2
Mozaik 3
Mozaik 4
Mozaik 5
Mozaik 6
Mozaik 7
Mozaik 8
Mozaik 9
Mozaik 10
Mozaik 11
Mozaik 12
Mozaik 13
Mozaik 14
Mozaik 15
Mozaik 17
Tonton ya
Mozaik 18
Mozaik 19
Mozaik 20
Mozaik 21
Mozaik 22
Mozaik 23
Mozaik 24
Mozaik 25
Mozaik 26
Mozaik 27
Mozaik 28
Mozaik 29
Mozaik 30
Mozaik 31
Mozaik 32
Mozaik 33
Mozaik 34
Ending
Info
sandekala

Mozaik 16

1.2K 94 4
ElCastroo

Ini adalah hari kamis. Masih ada waktu empat hari sebelum liburan akhir musim panasku berakhir. Waktu baru menunjukkan pukul 06.00 saat aku turun ke lantai satu. Mendapati kakakku yang tengah bersiap untuk berangkat kerja.

“Kak, boleh aku ikut bersamamu ke Vereyon?” tanyaku.

“Memang kau mau ke mana?”

“Desa Nekala. Ada hal penting yang harus kulakukan,” kataku pelan.

Dia tak menanyaiku lagi. Sepertinya dia paham maksudnya.

“Kalau begitu cepatlah siap-siap.”

Aku tak lupa memakai arloji itu. Aku harap itu dapat memberi kekuatan padaku.

“Bu, aku pergi dulu,” kataku.

Sekarang Ibu sudah tidak terlalu mengkhawatirkanku. Ekspresinya biasa-biasa saja saat aku bilang akan pergi ke desa itu lagi.

“Maaf, Dane! Aku hanya bisa mengantarmu sampai sini,” kata Ronny saat kami tiba di persimpangan jalan antara desa Nekala dan desa Nekasan—desa Teny.

“Tidak apa-apa. Aku bisa jalan kaki.”

“Kalau begitu aku pergi. Aku sudah telat,” balasnya.

Aku mengangguk.

Jarak yang harus aku tempuh 1,5 km untuk mencapai desa dengan jalan kaki. Segera saja aku menuju rumah Shanty begitu aku sampai.

“Nek, mana Shanty?” tanyaku saat neneknya menyapaku.

“Dia di belakang.”

Perlahan aku berjalan ke belakang rumah. Terdengar gedebukan mirip seseorang yang sedang memukul-mukul sesuatu.

Aku melihatnya di sana.

Shanty sedang latihan tinju dengan batang-batang pohon pisang yang ditancapkannya pada bilahan bambu. Banyak batang pisang yang amburadul. Dia pasti berlatih keras.

“Hei, Shan!” sapaku.

“Dane, dengan siapa kau ke sini?” tanyanya selagi mencecar batang pohon pisang itu.

“Sendiri,” jawabku. “Jadi, kapan kita berangkat?”

Dia menghentikan latihannya.

“Tunggulah aku di rumah. Aku mau pergi mandi dulu.”

Dia keluar dari balik tirai. Tampak lebih cantik dibanding saat pertama kali aku melihatnya. Rambut hitam panjangnya tersisir rapi ke belakang. Dia memakai baju pink dengan celana pensil sebetis biru muda yang tampak cocok dengannya. Penampilannya kali ini tidak memperlihatkan bahwa dia adalah gadis desa, melainkan gadis kota yang tengah berlibur di kampung orang.

“Apa yang kau lihat? Ayo kita berangkat!” katanya.

“Memangnya di mana rumah kakekmu, Shan?” tanyaku di perjalanan.

“Aku tidak tahu. Tapi kalau rumah pamanku tak jauh dari desa Nekasan,” jawabnya.
“Aku tak paham dengan apa yang nenekku katakan. Kenapa dia bilang kalau pamanku itu adalah kakekku?”

“Memang kenapa?”

“Dari segi usia saja itu mustahil. Kalau ibuku masih hidup saat ini pasti umurnya 36. Sedangkan pamanku, setahuku umurnya baru 26. Bila dia adalah kakekku, berarti ibuku sudah lahir sebelum kakekku lahir.”

Perjalanan kami sangatlah jauh. Tapi aku tak melihat Shanty kelelahan. Mungkin karena dia sudah terbiasa naik turun gunung begini.

Dari kejauhan, aku sudah melihatnya. Hanya ada satu rumah di sana. Di antara pepohonan pinus. Bentuk rumahnya mengingatkanku sesuatu. Rumah berbentuk tabung dari susunan batu alam dengan sebuah jendela di samping pintunya.

Shanty mengetuk pintu. Dan seseorang di dalam yang membukanya, mempersilakan kami masuk.

Namanya Parmoun.

Aku tak heran kenapa Shanty bingung saat neneknya bilang pamannya itu adalah kakeknya. Wajahnya terlalu muda untuk dianggap seorang kakek.

“Pasti ada hal penting yang ingin kau bicarakan sampai-sampai kau membawa orang lain kemari,” kata Parmoun pada Shanty.

“Iya.”

“Begini, ada hal yang ingin aku tahu terlebih dahulu. Kenapa Nenek bilang Paman adalah kakekku?” tanya Shanty.

“Sindia mengatakan hal itu? Pasti ada hal yang sangat penting sampai dia mengungkap rahasia itu.”

Sindia? Pasti itu adalah nama nenek Shanty.

“Jadi, itu benar? Kau adalah kakekku?” tanya Shanty memastikan.

“Ya.”

“Tapi, bagaimana mungkin?”

“Ceritanya sangat panjang.”

“Kami masih punya banyak waktu untuk mendengarkannya.”

Parmoun terdiam sebelum berkata, “Sindia pasti pernah menceritakan hal ini padamu. 50 tahun lalu, kami berjuang untuk memusnahkan seluruh Sandekala dari dunia ini. Tapi kami gagal. Banyak korban yang berjatuhan. Dan Sindia adalah salah satu korbannya. Sandekala mengadakan transaksi denganku sebagai orang terakhir yang selamat. Mereka bisa menghidupkan kembali lima puluh nyawa teman-temanku yang mati dengan bayaran yang teramat besar—aku harus menyebarluaskan keberadaan para Sandekala dan memberikan jiwa anakku padanya.”

“Aku belum mendengar cerita ini dari Nenek,” kata Shanty.

“Dia sudah pernah menceritakannya padaku,” kataku.

“Apa?!”

“Nasib ibumu itu sama denganku, Shan. Kau lihat mataku? Ini bukanlah mataku,” kataku menunjukkannya pada mereka. Parmoun memperhatikan mataku lekat-lekat. “Inilah sebabnya kami ingin menemuimu.”

“Lalu bagaimana Paman bisa jadi seperti ini?” tanya Shanty pada Parmoun.

“Nenekmu kira aku bersekutu dengan iblis itu. Tapi kau jangan salah sangka, Shan. Aku begini karena makhluk itu. Dia membuat usiaku tidak bertambah dan menghilangkan semua tanda-tanda penuaan dalam tubuhku semenjak saat itu. Bagiku ini bukanlah anugerah. Tapi kutukan yang harus aku jalani,” ujarnya.

“Untuk apa mereka melakukan hal itu padamu?” tanyaku.

“Agar aku punya waktu lebih banyak untuk menyebarluaskan mereka ke seantero Java Island ini,” jawabnya.

“Apakah sampai saat ini kau masih berhubungan dengan para Sandekala?”

“Sebelum seluruh Sandekala musnah, aku akan tetap begini. Mau tidak mau aku harus tetap membantu mereka. Bila aku tidak melakukannya, mereka mengancam akan melakukan hal yang benar-benar buruk terhadap dunia ini.”

“Sebenarnya, tujuan kami datang kemari adalah ingin meminta senjata. Kami akan memusnahkan mereka,” kata Shanty.

“Ada berapa orang yang ikut bersama kalian? Kalian tidak akan berhasil bila hanya berdua,” ujar Parmoun.

“Berapa senjata yang kau miliki?” tanyaku.

Dia menatap kami serius dan tak bergerak untuk beberapa saat. Kemudian dia menyingkirkan taplak meja yang menutupi meja di hadapan kami. Ternyata itu adalah sebuah peti. Dia membuka kunci peti itu dan memperlihatkan isi di dalamnya.

Kilauan emas, perak, dan perunggu yang bercampur dengan bebatuan alam beragam warna menyilaukan mata kami.

Senjata-senjata itu lebih mewah dan lebih besar dari yang kubayangkan.

Shanty mencoba mengangkat senjata yang paling besar dari semuanya. Dengan panjang 1 meter dan lebar 15 cm, pedang itu terlihat seperti pisau jagal raksasa.

“Semua senjata ini terbuat dari logam kemenangan. Emas, perak, dan perunggu,” ujar Parmoun.

“Kenapa kau memakai logam-logam itu untuk membuat senjata?” tanyaku.

“Pertama, kau harus mengetahui siapa lawanmu dan apa kelemahannya. Sandekala, sebenarnya mereka adalah makhluk yang lemah dan mudah dikalahkan. Tapi, jumlah mereka yang tidak sedikit itu yang akan membuat kalian kesulitan. Senjata ini adalah senjata keramat. Dibuat oleh orang asing yang datang ke tempat ini puluhan tahun silam. Senjata-senjata ini memiliki kekuatan tersendiri. Bila tekadmu kuat, kau akan mudah menggunakannya dan mengalahkan para Sandekala itu dengan cepat. Dengan ketiga jenis logam yang digunakan untuk membuat senjata ini, kau bisa mengalahkan mereka seketika,” ujarnya.

Aku memperhatikan senjata-senjata itu dengan saksama.

“Senjata itu hanya cukup untuk 12 orang saja. Pilih salah satu yang terbaik dan sisanya berikan pada orang-orang yang akan kalian ajak.”

Mataku langsung tertuju pada sebuah pedang di peti itu. Dengan panjang 1 meter dan lebar 5 cm. Sepertinya aku pernah melihat bentuk pedang itu.

Aku tak sengaja melihat kalung yang tergantung di leherku. Bentuk pedang itu sama dengan liontin kalungku.

Aku mengangkat pedang itu. Ternyata cukup berat. Tapi aku terkesima melihat Shanty tidak terlalu keberatan mengangkat pedang yang jauh lebih besar berkali-kali lipat dari pedang yang sedang kupegang ini.

“Senjata itu yang kalian pilih?” tanya Parmoun padaku dan Shanty.

“Ya,” ucap Shanty sembari mencoba mengayunkan pedangnya dengan sebelah tangan.

“Apa kau tidak keberatan, Shanty?” tanyaku.

“Ini lumayan berat. Tapi kalau aku berlatih pasti akan terbiasa,” jawabnya.

“Berat senjata-senjata ini antara 2 hingga 20 kg. Kalian harus hati-hati dalam menggunakannya,” kata Parmoun.

Aku lihat baik-baik pedang berbentuk huruf JN di tanganku ini.

“Pedang itu pernah digunakan oleh seorang wanita asal Belanda dalam peperangan melawan Sandekala tempo lalu.”

“Lalu, senjata mana yang pernah Paman gunakan?” tanya Shanty.

“Tidak ada di antara senjata-senjata ini. Dulu, ada 50 senjata di sini, tapi yang tersisa hanya ini.”

“Apa tongkat Nenek dan senjata milik Ibu termasuk dalam 50 senjata itu?” tanya Shanty lagi.

“Ya.”

Aku perhatikan senjata-senjata itu. Ada sebaris kata yang terukir di masing-masing senjata.

“CLAS, apa maksudnya?” tanyaku menunjukkan kata yang terukir di pedang yang kupilih.

“Itu namanya. Kependekkan dari Clairvoyance Sword. Semua senjata-senjata ini memiliki nama. Orang-orang dulu percaya bila sebuah benda diberi nama, benda tersebut akan memiliki kekuatan tersendiri.”

“Di pedangku tertulis EDOE,” kata Shanty.

“Edge Of Evils,” jawab Parmoun selagi mengambil sebuah buku tebal lusuh yang terdapat di dalam peti. “Bacalah buku ini. Ini dapat membantu kalian mempergunakan senjata-senjata ini dengan maksimal.”

Aku membolak-balik isi dari buku tersebut. Terdapat gambar-gambar senjata beserta nama-namanya di situ.

“Ini adalah buku yang ditulis olehku sendiri. Di situ akan dijelaskan bagaimana caranya mengeluarkan ‘Kinzoku Light’ dari dalam pedangmu,” ucap parmoun.

“Kinzoku Light?” tanyaku heran.

“Sebuah cahaya yang muncul karena tekad, semangat, dan keberanian yang kuat. Kinzoku Light adalah cahaya yang keluar dari dalam logam senjata kalian.”

“Aku pernah melihat cahaya keluar dari tongkat Nenek saat dia melawan para Sandekala yang datang ke desa. Apa itu Kinzoku Light?” tanya Shanty.

“Berarti kau sudah tahu efek dari cahaya itu. Itu akan membantu kalian saat bertarung. Tapi bukanlah perkara mudah untuk memunculkan cahaya itu dari dalam logamnya,” ujar Parmoun.

“Sebaiknya kami segera pergi dari sini! Kami harus segera memberitahu yang lainnya,” kataku.

“Tentu.”

“Tapi bagaimana kita membawa semua senjata ini?” tanya Shanty.

“Aku tidak tahu. Kita ambil besok saja. Aku akan minta bantuan Ian untuk membawanya.”

“Ya, baiklah.”

Dari luar rumah terdengar bunyi klakson. Kami keluar untuk melihat siapa di sana.

Ternyata, dia tengah duduk di atas motor dengan helm yang masih menempel di kepalanya.

“Apa aku melewatkan sesuatu?” tanyanya.

Aku hanya tersenyum.

Dia datang tepat di saat aku membutuhkan bantuannya.

Продолжить чтение

Вам также понравится

4.2K 330 9
Terbangun ditempat yang aneh dan bertemu dengan orang-orang yang tidak pernah dikenal sangatlah menakutkan. Ditambah harus menyelesaikan sebuah perma...
Menunggumu Nanan

Подростковая литература

443K 3.1K 7
(( COMPLETED )) (( DALAM PROSES EDITING TOTAL DISELURUH BABNYA. JADI KALAU ADA CERITA MENGGANTUNG, ITU BERARTI SEDANG DALAM TAHAP PENULISAN. KESELURU...
356K 23K 104
[BAHASA] Tutor, tips, showcase, etc. #1 in design (11/05/2018) #3 in graphic (12/05/2018) #16 in Random (21/12/2017) Copyright © 2017 by kamubiru
25.8K 3.5K 26
Kana sekretaris pribadi yang menyewakan rahimnya pada pasangan suami istri yang menginginkan keturunan dalam rumah tangga mereka, yaitu bos besarnya...