Birunya Cinta

By primamutiara_

1.8M 79.3K 6.3K

Judul : Birunya Cinta Penulis : Prima Mutiara Genre : Spritual Romance Hidup Cinta yang awalnya berjalan tanp... More

BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
Bab 8
BAB 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 20
Bab 21
Bab 22

Bab 19

49K 3.4K 212
By primamutiara_

Ada versi yang lebih rapi daripada di wattpad
Versi buku harga Rp. 81.000 (tapi sudah tidak ada stok lagi)
Versi di karyakarsa sepaket Rp. 35.000

Tapi khusus selama bulan ramadhan, paket Birunya Cinta ini bisa dibaca cuma dengan harga Rp. 20.000 (naik lagi ya. 😂😂) Makanya buruan serbu hari ini. Bisa jadi besok aku naikin lagi.🤭🤭

Bulan depan sudah ganti harga lagi ya, Guys.

Kuy segera ke karyakarsa @primamutiara_

Happy reading. 🤗🤗

~~~

Malam itu, entah mengapa ada sebuah rasa yang mengganjal dalam hati Cinta, seolah ada perasaan bersalah kepada Sang Kuasa karena ia telah mendua dariNya. Hati yang ia punya adalah milikNya, begitupun hati makluk adam itu, bagaimana mungkin ia lebih memikirkan makhluk ciptaanNya dibandingkan Sang Maha Kuasa? Berhijrah sepenuhnya pun ia belum sanggup, oa masih banyak cela dan kekurangan yang coba untuk tambal sedikit demi sedikit, lalu apa pantas ia meminta lebih? Meminta seseorang yang belum tentu menjadi imamnya? Tapi gadis itu bisa apa? Bukankah rasa cinta itu anugerah dan tak bisa ditolak?

Cinta terduduk di atas sajadah dengan air mata yang mengalir pelan tanpa ia sadari di sepertiga malam, waktu paling ajaib untuk menghadap Sang Kuasa. Gadis itu ingin bercerita kepadaNya, menyampaikan semua keluh kesah yang ada di dalam dada.

Baru kali ini ia merasakan perasaan bahagia dan sedih yang teraduk menjadi satu, baru kali ini ia bisa tersenyum dan menangis dalam satu waktu. Sebenarnya Cinta paling membenci perasaan ini, ia takut rasa kagumnya kepada seorang makhluk Allah justru dapat melalaikannya dari Allah. Cinta benci bila ia mulai berharap dan harapan itu hanyalah kesemuan belaka.

Dia, lelaki dingin dengan sejuta pesona, sesempurna apapun dia, seharusnya Cinta bisa menjaga hati, dan tak boleh terpikirkan untuk membuat dia menjadi miliknya sendiri.

Gadis itu pasrah, hanya kepadaNyalah ia berserah, mudah bagi Allah untuk menyatukan langit dan bumi menjadi satu, pun Ia juga bisa memisahkan senyawa yang kata orang tak mungkin dapat dipisahkan. Dan Cinta percaya, itu pun yang akan terjadi antara dirinya dan lelaki itu, bersatu atau tidak adalah ketentuan dari Sang Maha Kuasa.

Suara berisik dari luar kamar membuat Cinta tersentak sejenak, ia melihat jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah empat subuh, biasanya jarang yang sudah bangun pada jam segini, sebelum beranjak untuk mencari tahu, tangannya menyeka air mata yang sedari tadi tak henti terjatuh.

Gadis itu melangkah keluar dengan mukena yang masih terpasang rapi, setengah berjinjit, mengendap ke arah dapur, tempat dimana suara tadi berasal.

Matanya menyipit saat melihat sesosok gadis dengan rambut panjang terurai sepunggung sedang membelakanginya, bulu kuduk Cint mendadak meremang.

Haish! Ini itu cerita romance, kenapa malah jadi kayak film horor begini? Stay Calm, Please. Batin Cinta berteriak.

Tangan Cinta menjulur menepuk pundak itu dan seseorang dengan muka putih pucat sedang melotot ke arahnya.

"Aaaaaaaaaa ...," teriak mereka bersamaan, Cinta sendiri langsung menutup kedua matanya dengan telapak tangan hingga akhirnya makhluk itu bersuara lagi.

"Astaghfirullahaladzim, ngangetin aja sih kamu pakai mukena malem-malem begini, Ta."

Telinga Cinta menangkap suara sangat familiar itu segera membuka telapak tanganku perlahan, seseorang dengan muka pucat itu masih berdiri tepat di hadapannya, tapi tunggu? Wajahnya benar-benar tidak asing.

Bola mata makhluk itu memutar malas. " Ini aku, Di."

"Astaghfirullahaladzim, kenapa muka kamu jadi putih kayak gitu, sih?" ucap Cinta sambil menoel-noel pipinya.

"Ini masker." Nadia melenggang pergi dari Cinta dengan membawa beberapa makanan ringan di dalam dekapannya, dan Cinta segera mengekorinya.

"Itu apaan? Bawa makanan sebanyak itu?"

"Mau sahur," kata Nadia sembari mendudukkan diri di ruang makan yang tidak jauh dari dapur.

"Kamu mau puasa Senin-Kamis?" tanyanya lagi.

"Sekalian bayar hutang puasa, sih. Mumpung lagi nggak mood makan." Nadia mencomot keripik kentang di hadapannya. "Kamu nggak ikut sahur?"

"Aku udah tadi jam tiga, kamu nggak bilang, sih. Kan bisa bareng," kata Cinta. "Ini juga cuma makan kayak gini doang, apa kenyang?"

Nadia menunjukkan barisan giginya yang rapi. "Males masak."

Cinta mendengus pelan, lalu kembali ke dapur, menyalakan kompor gas yang sudah tersedia wajah berisi minyak goreng di atasnya.

Tangannya dengan cekatan mengambil satu butir telur, dan langsung menceploknya.

"Kamu itu belum biasa puasa, harus makan besar dulu," omel Cinta yang diiringi gelak tawa Nadia dan suara tapak kakinya yang berjalan mendekat.

"Kamu emang sepupuku yang paling the best!" ucap Nadia sembari memeluk Cinta sekilas dari belakang kemudian menempatkan diri di samping gadis itu.

"Eh aku baru tahu puasa Senin Kamis itu banyak manfaatnya, kemarin searching-searching gitu, eh nemu artikel ini."

Cinta melirik Nadia sekilas yang sedang asyik membaca apa yang tertera di layar ponselnya.

"Meremajaan sel kulit, mengencangkan kulit, mengeluarkan racun dalam tubuh, memberikan istirahat untuk organ pencernaan, menurunkan kadar lemak, mempercantik kaum wanita secara alami." Ia berhenti sejenak dan tersenyum sendiri. "Aaaa ... ini mah namanya sekali dayung dua pulau terlampaui, dapet pahala ibadan, dapet cantiknya juga."

Senyum Cinta ikut tersungging melihat kehebohan Nadia, dan perkataannya yang lebih kepada monolog untuk dirinya sendiri.

"Terus nih, menenangkan jiwa dan perasaan, mampu mengendalikan hawa nafsu, lebih peka terhadap lingkungan sekitar, lebih banyak beramal." Mata Nadia memandang ke arah Cinta. "Paket komplit, kan?"

Cinta mengangguk sekilas dan meniriskan telur ceplok yang sudah ia buat ke sebuah piring dan mengangsurkannya ke arah Nadia.

"Ambil nasi sendiri!"

Nadia mengacungkan jempolnya, lalu menarik Cinta kembali ke meja makan.

Setelah menyelesaikan prosesi makan-makannya, Nadia kembali menopang dagu dan menatap Cinta.

"Kamu hari ini ada jadwal kemana?"

Bola mata Cinta tertarik ke atas, mencoba mengingat-ingat. "Hari ini ada kuliah pagi sampai jam sembilan terus langsung ke perpus pusat."

"Ngapain ke perpus pusat?"

"Cari bahan riset buat cerita."

"Emang kayak gitu perlu riset-risetan, ya?"

"Kamu mau baca tulisan yang menjerumuskan orang lain ke dalam kesesatan dengan logika yang nggak berdasar?"

Nadia menggeleng pelan. "Eh, tapi kayaknya aku juga ada tugas kampus, sih. Disuruh cari jurnal Ilmiah."

Mata Cinta langsung berbinar, ia berpikir kalau Nadia ikut di nggak perlu kuatir salting di depan Biru, sejujurnya gadis itu benar-benar gugup jalan bersama lelaki itu dan teman-temannya yang tidak terlalu ia kenal akrab itu. "Ya udah ikut aja."

"Serius? Boleh?"

"Eh, aku ngomong sama Mas Biru dulu, deh."

"Kok Mas Biru?"

"Kan dia yang ngajakin."

Nadia menyipit curiga ke arah Cinta dengan senyum ala devil yang siap menerkam orang di depannya. "Cieh ... cieehh ... jadi sekarang gitu, ya. Mulai kencan di perpus segala, pake alasan cari riset, modus!"

"Ih, beneran riset Nadia, Mas Biru mana bisa sih modus sama cewek."

"Eits, dibilangin nggak percaya. Mas Biru itu sebenarnya pengen jalan sama kamu itu, tapi gengsi ngomongnya," katanya sembari melempar gelak tawa.

"Aku nggak berduaan sama Mas Biru kok, dia ngajak temennya juga."

"Kamu kira Mas Biru tipe orang yang bakalan ngajakin cewek pergi duluan, enggak?"

"Enggak, sih."

"Nah ... itu! Aku bilangin, ya, Cin. Kayaknya Mas Biru ada rasa tuh sama kamu, aku kenal banget sama dia, sejak kejadian 'itu' dia nggak pernah bersosialisasi sama cewek secara personal, tapi buktinya dia akhirnya ngajakin kamu, kan." Nadia menaik turunkan alisnya mencoba menggoda Cinta, tapi dahi Cinta langsung mengerut, fokus pada penggalan kata yang baru saja keluar dari mulutnya.

"Kejadian itu?" tanya Cinta membuat Nadia terkesiap, seolah tersadar ia telah keceplosan mengucapkan sesuatu. "Kejadian apa?" tanya Cinta lagi.

"Eh, enggak, kok. Lupain aja."

"Di ... aku juga kenal sama kamu, pasti ada yang kamu sembunyiin dari aku, iya kan?"

Bola mata Nadia meliar, dan tangannya meremas ujung baju dengan gelisah. "Iya, emang ada."

Cinta menatap mata Nadia dalam, mencoba membuat ia berbicara lebih dah lebih lagi.

"Tapi sebaiknya kamu nggak tahu dari aku, Cin. Biar Mas Biru aja yang cerita."

"Emang segawat apa sih sampai kamu main rahasia-rahasian gini sama aku."

"Cin, aku emang nggak berhak ngomong ini. Kalau Mas Biru beneran serius sama kamu, dia pasti akan terbuka sendiri, kok. Yakin deh sama aku."

Bahu Cinta meluruh ke bawah. "Okey, aku ngerti, tapi aku boleh tanya sesuatu sama kamu?"

"Apa?"

"Apa hubungan kamu sama Mas Biru sebenarnya?"

Nadia membuang nafas berat. "Aku sama dia cuma kakak dan adik kelas, Cin. Nggak lebih."

"Yakin?"

Allahu akbar Allahu akbar.

Suara adzan berkumandang dengan indah membuat Nadia mengelus dadanya lega. "Udah adzan, markisol. Mari kita sholat!" serunya sembari berlari ke kamar mandi, menghindari Cinta, itu sangat kentara. Cinta berpikir mereka pasti bukan hanya sekedar kakak dan adik kelas biasa.

~~~

Tak terasa matahari sudah semakin naik ke atas, Cinta melihat jam di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh, dan ia terlambat dari jam yang ditentukan sebelumnya, karena mendadak dosen filsafat bercerita panjang kali lebar sehingga membuat waktu molor sangat lama.

Gadis itu melangkah cepat ke parkiran dan segera melajukan motor dengan kecepatan 60km/jam, itu sudah termasuk cepat di kawasan kampus yang padat merayap ini.

Nadia sendiri akhirnya tidak jadi ikut ke perpustakaan dan lebih memilih untuk menghindari Cinta sedari tadi.

Sekarang gedung tiga lantai itu sudah ada di depan gadis itu saat ini, ia berhenti tepat di depan pintu ruang masuk sambil mengatur napas yang tersenggal.

"Assalamualaikum." Sebuah suara menginterupsinya untuk menoleh dan menampilkan sosok jangkung dengan setelan kemeja warna hitamnya. Ia berdiri menyandar di tembok dengan satu tangan masuk ke kantong celana, dan tangan yang lain memegang sebuah buku.

"Wa-alaikumsalam, warohmatulloh," ucap Cinta terbata, ketakutan. Lelaki di hadapannya adalah Biru, dan dia pasti akan memarahi Cinta, pasti.

"Dari mana aja?" tanyanya sembari berjalan ke arah gadis itu, tanpa menatap matanya.

"Dari kelas, Mas," ucap Cinta tertunduk, meskipun matanya masih mencoba mencuri pandang ke arah Biru. Ekspresinya seolah menunjukkan ketidakpuasan atas jawaban yang Cinta berikan.

"Tadi dosennya molor lama, maaf, maaf." Bibir Cinta meringis paksa dengan tangkupan tangan yang seolah memelas belas kasihan.

"Hmmm, ya," jawabnya singkat, padat dan jelas.

Tak ada nada amarah, tak ada pandangan mata yang dingin menusuk. Apakah dia tidak marah?

"Tadi kenapa SMS nggak dibales?" tanya Biru lagi.

Tangan Cinta mengayun ke belakang kepala, dan menggaruk canggung. "Nggak ada pulsa, Mas."

Di situlah Cinta baru bisa melihat reaksi Biru, matanya melotot ke arah gadis itu, membuat nyalinya menciut seketika, tapi itu hanya berlangsung beberapa detik saja, karena setelah itu ia memasang muka datar kembali.

"Oh," jawabnya sembari lalu, melangkahkan ke dalam perpus.

Mata Cinta mengerjap. Cuma gitu doang? Aku nggak dimarahin?

Kaki panjang itu terhenti dan kepalanya menoleh tak sempurna ke belakang. "Nggak mau masuk?"

Cinta terkesiap. "Ah, ya." Kaki gadis itu langsung reflek berjalan mengikuti punggung itu yang mulai berjalan lagi.

Sebuah meja berukuran 2x1meter itulah mereka menghentikan diri, di sana telah ada Nayaka, Bian, Lala, dan Naura yang notabene adalah senior di Lingkar Aksara yang tidak terlalu Cinta kenal akrab karena jarang bersosialisasi dengan mereka. Cinta memang tipe orang yang tidak mudah beradaptasi dengan sekitar, teman satu angkatan saja bisa dihitung jari siapa saja yang dekat dengannya.

"Eh, Cinta. Udah ditungguin lho dari tadi, kirain kamu nggak jadi ikut," kata Lala sambil memperlihatkan senyum manisnya.

"Duduk sini, Cin." Gantian Naura yang menyambut Cinta ramah dan menepuk kursi kosong di sebelahnya, meminta gadis itu untuk mengambil posisi yang berada di depan Biru.

Ah, kenapa harus di sana, bisa mati kutu nanti! Cinta menggumam dalam hati. Akhir-akhir ini ia merasa sering salah tingkah di hadapan lelaki itu, tapi ia tidak ingin terlalu memperlihatkannya.

"Tahu nggak tadi muka Biru cemas pas lihat kamu nggak dateng-dateng, " lanjut gadis dengan jilbab terulur sampai dada itu menggoda.

"Jarang-jarang lho kita bisa lihat ekspresi muka Biru," celetuk Nayaka dengan tawa yang tertahan karena mendapatkan pelototan mata dari Biru, sepertinya tak akan ada orang yang berani bertingkah jika ia sudah menunjukkan ekspresi seperti itu.

Semua langsung terdiam, Cinta masih tertawa kecil dan mencuri pandang ke sosok lelaki itu, dan tanpa ia sadari mata Biru pun menatap ke arahnya.

Tatapan mereka saling terkunci untuk beberapa saat, mungkin hanya hitungan detik saja, tetapi terasa sangat lama karena waktu seolah berhenti berputar, menyisakan ruang kosong antara Cinta dan Biru, hanya mereka.

~bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 229 3
Inilah kisahku, Catatan kecil ini adalah catatan terakhirku. Semua pengorbanan, perjuangan, air mata, hingga detik terakhir. Semua terukir indah di...
501K 19.6K 51
[COMPLETE] Romance-spiritual (15+ only) Canda. Hanya Canda. Tanpa nama belakang. Maria berharap, nama itu membuat kehidupan putrinya penuh dengan ca...
159K 7.6K 52
"Sebuah rasa yang entah sejak kapan hadir menempati ruang kosong yang telah lama tak disinggahi oleh siapapun. Sebuah hati yang juga ikut menempati r...
7.5K 284 34
Danasmara, ia berperawakan tinggi. Rambutnya lebat, sedikit berombak. Matanya hitam kecoklatan, seringkali ada rona merah yang memperjelas bahwa mala...