Filantropi

By aileum

1M 116K 7K

Dinikahi oleh pria sejenis Andreas Junial Adinegoro adalah impian semua wanita. Selain harta yang dimiliki me... More

Prolog
Minus Satu
Butuh Psikiater
Taring Tuan Sempurna
Kebebasan Selangkah
Pencarian Penyempurna
Buah Simalakama
Adam yang Berbeda
Silih Berganti
Teka-Teki Kemunculan
Janggal yang Bertambah
Mati Satu Tumbuh Satu
Taring Tuan Sempurna
Hingga Mencium Kaki
Huru Hara Sidang
Cukup
Terbentur Terbentur Terbentur Terbentuk
Seseorang di Suatu Waktu
Si Mini
Sisi lain
Mania dan Depresi
Koin Dua Sisi
Dikejar Dosa
Celah
Member Boyband Korea
Ikatan
Kesadaran
Tragedi Mencium Kaki
Secercah Cahaya
Masih Terkunci
Rival Sepadan
Kelam yang Terkuak
Mantik Tuan Sempurna
Menanti dengan Lapang Dada
Bumerang yang Kembali
Satu Demi Satu
Belum Berhenti
Usai
Terbentur Lagi
Tirai Mulai Tersingkap
Pelukan Pesan
Mereka yang Telah Pamit
Senyap yang Hakiki
Epilog

Jaga Mama, ya

20.1K 2.4K 291
By aileum

"Untuk sekian kalinya, aku minta maaf, Dya," ujar Andreas setelah percakapannya dengan Amzar berakhir. Tadi setelah semua terdengar jelas, Andreas langsung pamit dari tempat kakaknya. Begitu sampai mobil dan menjalankan roda empat tersebut, ia langsung menelpon wanita yang dicintainya. "Akan aku usahakan masalah ini sampai Dion dapat keadilan."

Mendengar jawaban Laudya di seberang sana membuatnya sakit hati. Suara wanita itu kedengaran bergetar. Napasnya tersengal-sengal. Tangisnya pun pecah.

"Menangislah, Dya. Jangan ditahan!"

Dada Andreas terasa ditusuk-tusuk. Laudya tersedu, lirihannya begitu pilu, dan isakannya mengiris-iris perasaan Andreas.

"Dia benar. Menangislah!"

Sial! rutuk Andreas seketika. Jadi sejak tadi si Gay Busuk jadi pendengar juga?

Oh, sialan! Andreas merasa panas. Biar ia tebak, sekarang bahu makhluk itu pasti tengah disandari Laudya. Tangannya yang kekar akan membelai-belai dan matanya yang sipit akan menikmati semua panorama Laudya yang menangis.

Entah hanya insting atau naluri sesama lelaki, Andreas merasa si Gay Busuk itu berubah. Tatapannya pada Laudya jadi sedikit nakal. Waktu menggendong Laudya di insiden pemukulan itu, terpancar sekali tatapannya yang penuh kasih. Huh, jangan bilang si Gay Busuk sudah berubah.

"Ndre?"

Andreas terperanjat. "Ya?"

"Makasih."

"Sama-sama," jawab Andreas. "Tapi kita belum selesai. Langkah selanjutnya adalah mendapat rekaman pengakuan Ibu," sambungnya sambil membelokkan kemudi ke kiri. "Kalau Ibu mengiakan pernyataan Amzar, maka semua bukti telah lengkap. Lembaga keadilan akan bertindak dan menentukan siapa yang salah. Amzar atau Ibu?"

"Sekarang kamu di mana, Ndre?"

"Di jalan menuju rumah Ayah. Aku pikir, lebih cepat aku gerak, maka akan lebih baik," jawab Andreas. "Sekarang biarin ini jadi bagianku."

Tapi sayang rencananya tak berjalan mulus. Yang didapati di rumah orang tuanya bukanlah akuan, melainkan tamparan. Sebuah pukulan keras dari telapak tangan ayahnya.

"Bagus sekali kamu baru datang sekarang."

Andreas merasa ngeri melihat muka ayahnya. Kerutan yang menggores wajah Prasetyo tampak menyeramkan. Ditambah mata yang memelotot, wah!

"Andre minta maaf, Yah." Andreas membungkuk.

"Nah, masih berani ngejar si Murahan itu?"

Sekali lagi Andreas mohon ampun lalu membungkuk hormat.

"Bagaimanapun tanggapan Ayah, Andre akan tetap pada pendirian."

Prasetyo siap menampar lagi tapi dadanya sudah minta istirahat. Asma. Akhir-akhir ini kesehatannya memang menurun. Ada masalah serius di kantor. Konflik internal di beberapa unit. Prasetyo sebagai direktur yang kena imbas. Dua kubu saling menjatuhkan, bahkan belakangan ketahuan ada dana yang digelapkan oknum-oknum.

"Lagi pula," sambung Andreas ketika ayahnya duduk. "Sekarang sudah ada anak di antara kami."

Sontak kepala Prasetyo langsung menoleh, membuat Andreas cepat-cepat menambahkan.

"Sebelum dicerai, Laudya sudah hamil. Tiga bulan lalu anaknya lahir. Kelaminnya laki-laki. Dan dia ... dia cucu Ayah."

"Dia perempuan kotor! Dari mana kamu tahu itu anak kamu?"

"Tengok wajahnya, Yah." Andreas membuka dompetnya lebar-lebar. Dulu ia sempat memfoto Rasta diam-diam lalu mencetaknya.

Lama Prasetyo memandangi foto di hadapannya. Ini bukan cucuku! pekiknya dalam hati. Ini Andreas kecil.

"Mirip Andre, kan?" Saat Andreas menunggu jawaban sambil memandang ayahnya, ia menemukan gurat ganjil di wajah Prasetyo. "Ayah sakit?"

Prasetyo mengangkat dagu lalu beringsut. Lagaknya persis seperti Andreas kalau narsisnya kambuh. "Sudah malam. Kamu mau tidur di sini atau pulang?"

"Andre di sini saja. Sekalian nunggu Ibu, Andre bisa jagain Ayah."

"Nggak usah!" tukas Prasetyo. "Ibu pulang larut dan Ayah sehat-sehat saja. Pulang sana! Ayah masih kesal sama kamu."

Kalau kamu nggak tunjukin foto tadi, sudah aku telan kamu!

*
*
*

Laudya tak mampu berkata apa-apa ketika keesokan harinya Andreas muncul dengan setumpuk berkas. Mulai dari bukti bahwa bukan ia pelakunya, hingga hasil lab milik Amzar, semuanya lengkap.

Kecuali satu. Rekaman pengakuan Triana. Semalam Andreas merasa harus menemui Laudya secepatnya sehingga ia langsung pulang ketika ayahnya menyuruh. Lagi pula, masih ada hari berikutnya. Pengakuan sang ibu pasti bisa ia dapatkan secepatnya.

"Dya, aku bersumpah aku nggak bunuh Dion. Soal cincin dan alamat, aku benar-benar dapet dari Dion. Tanpa kekerasan atau intimidasi apa pun." Andreas bersuara manakala Laudya masih diam.

"Lalu sekarang apa?" celetuk Ayyash. Meskipun membenci si Tuan Sempurna, ia tak mengelak kecerdasan otaknya. "Kita laporin kakak lo ke polisi?"

Laudya menatap Andreas dengan tak enak. Ia penasaran dengan jawabannya.

"Kita harus ngelengkapin bukti-buktinya dulu," ujar Andreas. "Pengakuan Ibu. Itu yang kita butuhin." Ia merapikan berkasnya lalu menambahkan, "Dya, aku janji sama kamu. Siapa pun pembunuhnya, akan aku pastiin dia mendapat hukuman."

"Termasuk salah satu anggota Keluarga Adinegoro?" sindir Ayyash.

"Keadilan harus ditegakkan."

Andreas menatap lurus ke arah Laudya. Wanita ini tahu Andreas tak main-main. Tapi benarkah? Sekalipun keluarganya sendiri, Andreas akan ada di pihaknya? Ia akan menegakkan keadilan, lalu menjebloskan pelakunya ke penjara?

"Omong-omong, Dya," kata Andreas. "Boleh aku minta sesuatu? Anggap saja imbalan awal karena aku bawa berkas-berkas ini."

"Imbalan?"

Andreas mengangguk lalu tersenyum paten. "Aku mau ketemu Rasta."

*
*
*

Ini bukan pertama kalinya Andreas menemui Rasta. Tapi ia tetap merasa terharu. Oh, Nak! Akhirnya saat ini muncul juga. Kita bisa bertemu dengan Mama yang merestui.

Telunjuk Andreas bergetar ketika hendak menyentuh pipi yang tampak gembul itu. Demi Tuhan, rasanya sangat berbeda.

"Rasta bisa bangun." Laudya berbisik sebelum jari Andreas mendarat di pipi anaknya.

"Sebentar saja." Andreas memberi senyum jaminan. Namun, belum sempat aksinya berlanjut, bayi di dalam boks biru itu sudah membuka mata. "Selamat siang, jagoan Papa."

Tetapi Rasta malah menangis. Mulutnya menekuk-nekuk dan suaranya nyaring. Laudya pun lantas mengangkatnya, menimang-nimang, dan menyodorkan puting. Tetapi, disuguhi makanan pun, Rasta malah menolak. Popoknya kering ketika Laudya memeriks.

"Dia takut sama kamu," omel Laudya sambil menenangkan Rasta yang sesenggukan.

"Kalau nggak sekarang, kapan lagi? Nanti malam aku sudah siap tempur."

Andreas mendekatkan diri lalu meraih anaknya. Pelan-pelan ... pelan-pelan ... ketika posisi Rasta sudah mantap ada di tangan, Andreas menahan tawa karena lagi-lagi Rasta menekuk mulut mungilnya.

"Dia harus bisa beradaptasi dengan ayahnya."

Andreas terus menimang-nimang. Hingga tak sampai satu menit, Rasta langsung membisu. Ia bahkan mulai memandang mata yang dijiplaknya cukup lama.

"Papa ganteng ya, Rasta?" ucap Andreas diikuti aksi cium pipi. "Rasta mirip Papa, loh. Sudah gede pasti ikutan cakep."

Rasta menyeringai. Senyumnya yang menggemaskan membuat Laudya mengusap-usap pipinya. Ia pun jadi tak tahan untuk menciumnya. Satu, dua, hingga lima kali, lama-lama keceriaan Rasta berubah jadi rengekan. Ia merasa terganggu.

Andreas menimang-nimang lagi, kali ini dengan kata-kata jail khas ayah pada anaknya. Lantas bayi ini kembali terkekeh.

Hari itu menjadi hari terbaik kedua bagi Andreas. Yang pertama tentu saja ketika ia menjadi suami sah Laudya. Sekarang Laudya tak melarangnya mendekati Rasta. Malah di sore hari Andreaslah yang memandikan Rasta. Meski pertama kali, Andreas tak melakukan kesalahan apa pun.

Duh, andai saja jumlah waktu dalam satu hari bukan 24 jam, pikir Andreas ketika tahu-tahu hari sudah malam.

"Rasta sayang, jagain Mama selama Papa pergi, ya."

Andreas membungkuk lalu mencium anaknya. Di kening, hidung, pipi, dagu, dan kedua tangan. Kemudian Andreas meluruskan punggung dan berkata, "Jaga diri kamu baik-baik ya, Dya."

Laudya hanya mengangguk.

"Rekaman itu akan aku dapetin secepatnya." Andreas berucap sambil menaruh telunjuk di mulut Rasta ketika anaknya menguap.

"Kapan kamu kembali?"

"Paling lambat besok malam," ungkap Andreas. "Oh, iya, selamat ulang tahun. Maaf telat dan maaf aku nggak bawa kado."

Demi Tuhan, Andreas inginnya pulang besok. Malam ini biarlah di sini dulu. Paling tidak untuk memberi Laudya hadiah.

"Tapi kamu tenang saja. Habis misinya selesai, aku akan langsung ke sini sekalian bawa kado buat kamu."

"Kado pertemanan."

Andreas tak suka mendengar kata pertemanan, tapi ia berusaha tersenyum.

"Masih bolehkah aku berharap kamu kembali?" tanyanya hati-hati. "Demi Rasta. Dia berhak mendapat kasih sayang orang tua kandungnya."

Laudya pura-pura tak mendengar. Ia menimang-nimang Rasta sambil mencandainya.

"Dya," Andreas memanggil.

"Kalau nggak pergi sekarang, bisa-bisa kamu kemalaman."

Andreas mengangguk padahal dalam hati merana. Tetapi ia paham Laudya butuh waktu. Dosanya begitu banyak, maka manusiawi jika Laudya masih enggan membuka hati. Tapi, tidak masalah, Andreas mencoba optimis. Paling tidak, sekarang wanita itu tak menunjukkan kebencian.

Lagi pula Andreas yakin——sangat yakin——jika perkara kematian Dion selesai, mendapatkan wanita itu tak akan sulit.

Tentu saja! Aku, kan, ganteng, kaya, cerdas, atletis, dan sempurna. Lebih-lebih sekarang tak pernah menghina orang. Apa lagi yang kurang?

Eits! Alam sadar Andreas mengingatkan. Tuhan menyempurnakan hidupku lewat Laudya.

"Ya sudah, aku pergi sekarang."

Lagi, Andreas mencium kening Rasta. Kali ini lebih dramatis sebab ia menikmatinya cukup lama, sambil menutup mata, dan sempat berbisik, "Jaga Mama, ya."

-bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

136K 8.4K 24
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
1.5M 133K 32
Sudah cetak selfpub. ISBN 978-602-489-765-9 Diandra mencintainya jauh sebelum wanita itu mengenal kata cinta. Sayangnya Arjuna hanya menyayangi Dian...
1M 115K 52
[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa di panggil nevan. Seorang laki-laki yan...
25.8K 2.2K 41
π™΅π™Ύπ™»π™»π™Ύπš† πšƒπ™΄πšπ™»π™΄π™±π™Έπ™· π™³π™°π™·πš„π™»πš„ β€ΌοΈπ™‰π™Š π™‹π™‡π˜Όπ™‚π™„π˜Όπ™β€ΌοΈ Tentang Harua De Lucas gadis tomboy yang memiliki sifat kelewat dingin. Karena itu...