Birunya Cinta

By primamutiara_

1.8M 79.3K 6.3K

Judul : Birunya Cinta Penulis : Prima Mutiara Genre : Spritual Romance Hidup Cinta yang awalnya berjalan tanp... More

BAB 1
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
Bab 8
BAB 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22

BAB 2

80.6K 4.2K 295
By primamutiara_

Oh iya, buat yang nggak sabar baca lebih banyak, atau mau ngasih THR sama aku. Wkwkwkwk. Kalian bisa langsung ke karya karsa ya. Cerita ini udah aku update di sana sampai 25 part.

Happy reading! 🤗🤗

****

Cinta mendumel sendiri di perjalanan menuju rumah. Biasanya dia tipe orang yang susah marah, tapi bila agama sudah disangkutpautkan dalam masalahnya. Entah kenapa hatinya mencelos begitu saja.

Dia memang sudah menutup aurat, juga sudah mulai memperbaiki penampilan dengan memakai rok hampir setiap hari. Tapi perkara tingkah laku, dia juga seorang manusia yang mempunyai cacat cela, dan yang perlu disalahkan adalah manusianya, bukan apa yang ia kenakan, apalagi agama.

Mood-nya yang baik saat mengerjakan tugas kelompok bersama Langit tadi pagi, seketika hancur ketika menghadapi sosok bernama Biru. Entahlah. Sepertinya lelaki itu memang bukan orang yang tepat untuk dijadikan seorang teman.

Suara klakson dari belakang tubuhnya mengagetkan gadis itu, membuatnya reflek mengucap istighfar beberapa kali. Tepat saat ia menoleh ke samping, sebuah motor matic lengkap dengan sang pengemudi terlihat tanpa dosa melambai ke arahnya

"Assalamualaikum sepupuku yang paling imut sejagat raya negeri. Tumben jam segini udah balik. Biasanya angkrem dulu di kafe onoh."

Cinta sama sekali tak menjawab, takut kalau emosinya akan kembali mencuat jika mengingat kejadian di kafe yang baru saja ia alami.

"Kenapa, sih? Lagi bad mood, ya?" tanya Nadia yang melihat gelagat tak biasa dari raut wajah gadis itu.

"Yuk, pulang," ajak Cinta, sama sekali tak menjawab pertanyaan Nadia.

Nadia mendengus keras, dia paling tidak suka bila ada sesuatu yang mengganjal dan tidak diketahuinya. "Ck! Ceritain dulu."

"Nanti sampai rumah, ya."

"Beneran, ya. Awas kalau bohong!"

"Hmmmm ...," jawab Cinta malas.

***

Nadia mengunyah Cheesecake stawberry yang ditaruh di meja ruang keluarga. Kepalanya naik turun menanggapi cerita yang dialami Cinta tadi siang.

Oh ya, Cinta bukan asli Semarang, dia berasal dari Pati, sebuah kota kecil yang berjarak sekitar dua jam dari ibu kota Jawa Tengah. Jadi, selama di kota rantau ini dia tinggal di rumah orang tua Nadia yang tidak lain dan tidak bukan adalah kakak dari ibu kandungnya, dan hal itulah yang mendasari kedua gadis itu menjadi sangat dekat meskipun berbeda kepribadian.

"Oh... begono," kata Nadia masih dengan bibir penuh dengan krim lembut yang langsung ia bersihkan dengan lidahnya.

Cinta berdecak melihat reaksi dari gadis manis berambut keriting gantung itu. Padahal tadi Nadialah yang memaksanya bercerita, menguntitnya sampai berbicara. Dan sekarang apa yang ia lakukan? Menertawakan ceritanya seolah itu hanya guyonan semata.

Pelan-pelan, Nadia meletakkan sendok ke piring yang sudah bersih tak tersisa dan setelah itu menatap Cinta dengan saksama. "Ini menurut aku nih, ya." Ada jeda beberapa detik sebelum Nadia melanjutkan perkataannya. "Kayaknya tuh cowok jodoh kamu deh, Cin."

Dan ucapan Nadia sukses membuat bibir Cinta mencebik lucu, memikirkan sering berinteraksi dengan makhluk seperti itu saja sudah membuatnya pusing, apalagi bila ditakdirkan berjodoh, bisa pusing tujuh keliling dia.

Melihat reaksi Cinta, tawa Nadia semakin mengeras, ia bahkan sampai memegang perutnya sendiri. "Beneran, deh. Cowok kafe itu tuh tipe akhi-akhi alim yang gak mau deket sama cewek, kalau jadi jodoh kamu yang mempunyai prinsip nggak mau pacaran kan cucok."

Nadia memang benar, Cinta adalah tipe perempuan yang mempunyai keyakinan untuk menjaga hati sampai halal mengakhiri. Baginya, perkara cinta itu bukan soal main-main, asal dapat yang pas lalu asal main pacar-pacaran. Perempuan yang baik itu bisa menjaga dirinya, menghargai apa yang diberikan Allah padanya.

"Alim apaan, sih? Yang namanya cowok alim itu seharusnya selalu menjaga hati orang lain, bukan suka ngomong kasar kayak gitu."

"Tapi yang diomongin bener, kan?" Nadia berucap lagi. "Cewek sama cowok kan katanya nggak boleh berduaan, nanti menimbulkan fitnah," katanya diselingi kerlingan nakal.

Hembusan napas jengah keluar dari hidung Cinta. "Iya, tapi kan ngomongnya bisa baik-baik, aku nggak suka aja caranya yang kayak gitu. Menasehati orang itu ada adabnya sendiri."

Nadia mengangguk paham, tapi sedetik kemudian wajahnya berubah serius. "Eh, tapi aku mau nanya deh sama kamu."

Sebelah alis Cinta menanjak naik. "Apa?"

"Emang kalau udah berkerudung gitu beban moralnya besar ya, Cin?"

Cinta tak langsung menjawab, ia menggeser bantal yang ada di sofa dan menaruhnya di pangkuan. "Nggak juga, sih. Tergantung kita menyikapinya aja. Beban moral yang kamu maksud itu mungkin adalah sebuah batasan-batasan untuk kita agar bersikap yang tidak melenceng dari ajaran agama," ucap Cinta membuat Nadia manggut-manggut. "Oh iya, kamu kapan nutup auratnya?"

Dan pertanyaan itu sukses membuat Nadia memutar bola mata. "Kan udah aku bilang, nanti. Mau nata ati jadi baik dulu baru pake kerudung."

"Alquran surat apa? Ayat berapa?"

Mata Nadia mengerjap. "Hah? Maksudnya?"

"Di Alquran surat apa dan ayat berapa yang menuliskan bahwa menutup aurat harus nunggu jadi orang baik dulu? Yang bener berkerudung itu wajib. Aku juga bukan orang yang baik, tapi mencoba menjadi lebih baik. Setidaknya dengan memakai penutup aurat ini, kita bisa lebih membatasi sikap kita, kalau mau berbuat dosa kan mikir-mikir dulu, malu sama kerudung."

Nadia mengibaskan tangannya. "Ya kamu kan tahu sendiri apa cita-citaku. Jadi seorang entertrainer. Penyanyi. Meski sekarang jamannya udah global, orang berhijab ada di mana-mana, tetap aja mengawali karir di dunia showbiz dengan penampilan kayak gitu cuma menghambat mimpi aku."

"Memangnya kalau kamu mengorbankan diri dengan tidak menutup aurat akan melancarkan usaha kamu meraih mimpi? Semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah, Di. Jangan suudzon dulu dengan apa yang Dia takdikan."

Nadia mengibaskan tangan. "Males ah, kalau malah dapet ceramah kayak gini."

"Bukannya ceramah tapi---"

"Nanti malem ikut nongkrong di Pahlawan, yuk," sela Nadia sebelum Cinta meneruskan ucapannya.

"Nggak ah, males."

"Ngapain sih betah banget di rumah? Mau bertelor? Udahlah ... nurut aja. Sekali-kali kita cari cogan. Oke?"

***

Bagi Cinta, tenggelam dalam lautan kata yang tercetak manis di sebuah benda kotak bernama buku lebih mengasyikkan daripada nongkrong tidak jelas di luar sana. Dengan membaca buku, imajinasinya seakan bebas tak berbatas, dan ia bisa menjadi apa pun yang ia mau, bahkan yang tidak berani ia pikirkan sekali pun.

Sayangnya, keinginan dia untuk menamatkan sebuah novel kali ini terganggu karena Nadia-yang memang tidak pernah mau dibantah-memaksanya ikut pergi.

Sekarang mereka berada di Jalan Pahlawan, tempat biasa anak-anak muda nongkrong saat malam hari.

"Sosialisasi, Cinta. Kita itu makhluk sosial yang butuh berkomunikasi sama orang, kamu pikir baca buku aja bikin kamu pinter? Nggak!"

Cinta memutar bola matanya, selalu seperti itu. Nadia selalu menentang salah satu kegemarannya. Tidak secara frontal, tapi sering kali gadis itu akan membatalkan niat Cinta untuk berdiam diri di kamar. "Buku itu jendela dunia, Di," jawab Cinta akhirnya.

"Nih ya, sekarang aku tanya, tadi kamu baca buku tentang apa?"

Ujung jari telunjuk Cinta menepuk-nepuk dagunya, berusaha mengingat-ingat bacaan apa yang terakhir ia lahap. "Kalau tidak salah tentang seorang penari yang ingin meraih mimpinya."

"Nah!" Nadia berseru keras, membuat Cinta berjingkat kaget. "Kalau penari itu cuma duduk diam membaca buku teori tentang menari apakah dia bisa sukses? Jawabannya nggak. Karena apa? Dia juga butuh berlatih, dia butuh mendengar pendapat orang lain tentang tariannya. Intinya dia butuh berkomunikasi dan praktek. Bukan cuma nunggu diam keajaiban dateng, berselancar di ruang imajinasi yang tak berbatas. Kamu nggak akan maju kalau kayak gitu!"

Dengusan keras keluar dari hidung Cinta. "Kita mau ngapain sih di sini?" Gadis itu mengubah topik pembicaraan, malas berdebat.

"Aku ada acara sama temen-temen."

Dahi Cinta berlipat. "Cewek apa cowok?"

"Cewek ada, cowok juga ada."

Perasaan Cinta berubah tidak enak, matanya menyipit ke arah Nadia yang terlihat menyembunyikan sesuatu.

"Sekali ini ya kenalan sama temenku, kali aja ada yang nyantol "

Cinta berdecak, bola matanya memutar malas. "Sudah aku bilang to, Di. Aku ini-"

"Nggak mau pacaran?" potong Nadia cepat. "Sampai kapan? Sampai rambut kusam dan memutih? Ayolah ... sekali aja nyoba buka hati. Ngapain sih terlalu fanatik sama agama. Umur kita masih panjang kali, dinikmatin dulu seneng-senengnya. Tobat bisa belakangan."

"Nggak ada yang tahu kapan ajal menjemput, Di. Justru karena kita masih muda, jadi harus berbenah diri. Lagian, menurut aku, to. Islam melarang pacaran itu logis, kok. Siapa yang menjamin pacar kamu sekarang adalah suami kamu kelak? Siapa yang menjamin pacar kamu sekarang nggak bakalan nyakitin kamu besok? Allah itu selalu memikirkan hambaNya, Di."

"Jiah ... nih anak malah ceramah." Mata Nadia berubah haluan ke arah samping. "Temen-temen aku udah dateng, tuh," katanya kemudian sambil menunjuk segerombolan orang di balik punggung Cinta.

Tak lama kemudian, beberapa orang menghampiri mereka dan bertos ria bersama Di. Mereka terlihat sangat akrab. Terkadang Cinta iri dengan sepupunya yang satu , dia cantik dan juga mudah bergaul dengan siapa saja, berbeda dengan dirinya yang terkadang minder serta tak percaya diri bila harus bertemu dengan orang baru.

"Udah nunggu lama?" tanya salah satu teman Nadia yang bertubuh tinggi langsing itu.

"Lumayan," jawab Nadia, lalu kepalanya mengedik ke samping. "Eh, kenalin, ini saudara aku, Cinta."

Tatapan mereka beralih menghadap Cinta, memindai tubuh gadis itu dari atas sampai bawah, membuat Cinta merasa terintimidasi.

Seaneh itukah dandananku? batinnya. Kalau dibandingkan dengan dandanan Nadia dan teman-temannya memang Cinta terlihat paling berbeda.

Bila mereka mengenakan setelan baju trend masa kini yang agak minim atau sobek di beberapa tempat, Cinta malah mengenakan kaos hitam berbalut overall rok panjang biru dongker lengkap dengan kerudung instan menutupi dada.

"Hei," sapa salah satu di antara mereka. "Namaku Rasella," katanya sambil mengulurkan tangan bersahabat. Cinta agak kikuk membalas uluran tangan itu.

"Kalau aku Shila." Kali ini gadis dengan tinggi semampai itu ikut memperkenalkan diri.

"Aku Andara, ya. Bukan Andira." Seorang gadis dengan rambut lurus sebahu mengikik pelan sambil melirik ke arah Nadia. Nama gadis itu memang agak mirip dengan nama lengkap sepupu Cinta itu, Nadia Andira.

"Kalau ini Raffi dan Leon." Nadia mengajukan kedua orang temannya yang cukup tampan. Raffi terlihat bersahabat dengan mata sayu dan senyum ramah, sedang Leon berwajah tegas, tatapan matanya seakan mengintimidasi, lengkungan bibir yang hanya satu sisi sudut pun tercetak.

"Hei, salam kenal, Cinta." Raffi menyapa Cinta ramah.

"Cinta? Berasa manggil pacar, ya?" kelakar Leon asal dan membuat Cinta tersipu malu.

"Jangan godain anak orang, Le." Nadia memukul belakang kepala laki-laki itu tapi bukannya marah dia malah tergelak kencang. Sepertinya itu hal yang biasa mereka lakukan.

"Oh iya, dimulai sekarang ya ngamennya?" tanya Nadia.

Mata Cinta mengerjap polos, Ngamen?

"Siap dong!" ujar yang lain serempak.

Sepertinya hanya Cinta saja yang tidak mengetahui apa-apa di sini. Dan dia baru menyadari sedari tadi mereka memang membawa alat musik masing-masing kecuali Nadia yang datang tanpa membawa apapun, sepertinya dia akan menjadi vokalis utama pertunjukan kali ini. Keindahan suaranya memang sudah tidak diragukan lagi.

Mereka bersiap ke posisinya masing-masing di pinggir jalan itu. Raffi dengan petikan gitarnya mengawali lagu, lalu diteruskan dengan gesekan biola dari Rasella dan dentuman cajon* Leon. Selanjutnya ketukan pelan dari kastanyet yang dibawa Andara pun mengudara. Sedangkan Shila dan Nadia berada di posisi paling depan dengan stand mike mereka.

Baru kali ini Cinta melihat pengamen sekeren ini, dia beruntung dapat menyaksikannya.

Kutahu kamu pasti rasa, apa yang kurasa

Ku tahu cepat atau lambat, kamu kan mengerti

Suara bass Nadia mengalun lembut, senada dengan irama musik, membuat beberapa orang berhenti dan tertarik mendengarkan lebih lanjut.

Hati bila dipaksakan, pasti takkan baik

Pantasnya kamu mencintai, yang juga cintai dirimu, cinta kamu

Giliran Shila yang unjuk gigi, suara halus yang mendayu-dayu sangat memanjakan siapa pun yang mendengarnya.

Lepaskanlah ikatanmu dengan aku, biar kamu senang, bila berat melupakan aku, pelan-pelan saja

Mereka mendendangkan lagu bersama-sama, sangat merdu dan indah.

Tak ada niat menyakiti, inilah hatiku, pantasnya kamu mencintai, yang juga cintai dirimu, cinta kamu

Dan sekilas pandangan Cinta menangkap sosok lain di balik kerumunan penonton. Menatap pertunjukan itu dengan saksama.

Lepaskanlah ikatanmu dengan aku, biar kamu senang, bila berat melupakan aku, pelan-pelan saja

Dan tanpa ia sadar, tatapan mereka bertabrakan, orang itu sempat terhenyak saat melihat Cinta ada di tengah pertunjukan ini, namun akhirnya senyuman khas miliknya muncul juga.

Pelan-pelan saja....

Lepaskanlah ikatanmu dengan aku, biar kamu senang, bila berat melupakan aku, pelan-pelan saja

Senyum Anda terindah yang pernah Cinta lihat.

~bersambung

*Cajon (baca : Kahon) adalah sebuah alat musik perkusi (alat musik pukul) seperti box drum yang berasal dari Peru dan diperkirakakan sudah banyak digunakan sejak sejak abad 18. Arti kata "CAJON" sendiri adalah "kotak", diambil dari bahasa SPANYOL. Bentuknya mirip seperti box speaker, kotak kayu enam sisi bagian depan sebagi penghasil bunyi yang didalamnya diberi snare gitar bass untuk menghasilkan bunyi mirip hithat, bagian ada lubang udara keluar masuk dari ruang resonansi bunyi. Cara bermain, seorang pemain duduk diatas cajon dan memukul-mukulkan telapak tangannya dengan beberapa teknik dari situlah dapat dihasilkan seperti bunyi drum seperti suara snare, bass drum, rimclik dan suara hihat.

*Kastanyet merupakan alat musik ritmis untuk mengiringi irama tari-tarian Spanyol. Alat musik ritmis ini terdiri dari sepasang kepingan kayu keras berbentuk cekung atau gading gajah. Cara memainkan alat musik ritmis ini yaitu dengan cara menepuk-nepuk tangan kiri yang diletakkan kastanyet dengan menggunakan tangan kanan.

Continue Reading

You'll Also Like

AREKSA By Itakrn

Teen Fiction

34M 3.3M 64
"Perasaan kita sama, tapi sayang Tuhan kita beda." ****** Areksa suka Ilona Ilona juga suka Areksa Tapi mereka sadar... kalau mereka berbeda keyakina...
6.1M 325K 14
Ketika lelaki yang ia cintai menolak pernyataan cintanya, Caca bertekad untuk menaklukkan hati lelaki itu. Lagipula, sebelum janur kuning melengkung...
55.1M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...