Lost Girl (Lost #2)

By Nureesh

43.9K 2.5K 233

Kelsey Eiren tidak pernah berpikir dirinya akan kembali ke kota yang telah menghancurkan hidupnya. Namun keti... More

Author's Note
Prolog
Bab 1 : Tertahan
Bab 2 : Pergi
Bab 3 : Kehilangan
Bab 4 : Penjelasan
Bab 6 : Merasakan Segalanya (Bagian 1)
Bab 6 : Merasakan Segalanya (Bagian 2)
Bab 7 : Sempurna
Bab 8 : Dongeng (Bagian 1)
Bab 8 : Dongeng (Bagian 2)
Bab 9 : Hampa (Bagian 1)
Bab 9 : Hampa (Bagian 2)

Bab 5 : Kepingan Masa Lalu

2.3K 180 11
By Nureesh


Kelsey melangkah cepat menuju tempat Connor berjanji akan menemuinya; ujung jalan Wesfield. Seingat Kelsey, di ujung jalan itu terdapat toko bunga dan kedai es krim. Kelsey tidak ingin harapannya tumbuh, namun ia tidak bisa menahan bibirnya yang mengukir senyum.

Connor ingin menemuinya.

Dan mungkin, Connor bersedia memaafkannya.

Begitu dua blok dilalui Kelsey, langkahnya terhenti. Ujung jalan Wesfield kini berubah. Hanya ada dinding di sana. Tidak ada toko bunga, ataupun kedai es krim. Tempat itu kini menjadi jalan buntu. Kelsey kembali memeriksa pesan dari Connor. Ketika yakin ia tidak salah membaca pesan itu, kakinya melanjutkan langkah menuju dinding yang menjadi ujung jalan Wesfield.

Namun sebelum Kelsey sampai di tujuannya, sebuah mobil datang. Kelsey berbalik, lalu membeku. Mobil berhenti dan seorang pria paruh baya berjas hitam turun. Kacamata minus-nya bertengger rapi di puncak hidung.

Kelsey tidak mampu bergerak. Tubuhnya kaku. Lidahnya kelu. Lumpuh seutuhnya.

"Lama tidak bertemu, Kelsey," sapa pria itu.

Mata biru Kelsey terpaku pada pria di hadapannya, meski fokusnya sama sekali tidak ada di sana. Kelsey tenggelam dalam memorinya tentang pria itu lima tahun yang lalu.

Pria yang mengubah kota Holy menjadi mimpi buruk baginya.

"Tidakkah kau ingin memeluk pamanmu?" tanya pria itu. Ia berdiri santai dengan senyum terulas lebar, seolah menikmati kebekuan Kelsey. "Sudah lima tahun, bukan? Kau benar-benar berubah. Hm, tentu saja, yang terlihat jelas adalah ... tubuhmu."

Pada satu kalimat terakhir, Kelsey tersentak. Ia mengambil satu langkah mundur, mengundang tawa dari pria tua itu.

"Apa ... yang kau ... inginkan?" tanya Kelsey lirih. Sungguh membenci dirinya yang terdengar lemah, namun tidak ada yang bisa Kelsey lakukan. Rasa takut mencengkeramnya dengan kuat. Begitu erat.

"Kau tahu apa yang kuinginkan, Kelsey." Pria itu menyeringai licik. "Tapi ... tidak hari ini. Aku tidak memiliki waktu untuk itu. Jadi, aku hanya akan bertanya satu hal padamu."

Kelsey menunggu, dengan jantung bertalu.

"Di mana kau bersembunyi selama lima tahun terakhir? Aku mencoba melacakmu. Aku bahkan menyewa seorang detektif. Namun kau tidak bisa ditemukan. Kau tidak pernah menggunakan kartu-kartumu. Namamu bahkan tidak terdaftar untuk sebuah nomor ponsel. Bagaimana kau bisa melakukannya? Siapa yang membantumu?"

Tangan Kelsey terkepal semakin erat. Ia mulai merasa sulit untuk bernapas.

"Kau bisa diam dan aku akan tetap mendapat jawabannya," ucap pria itu. Tubuhnya berbalik, namun sebelum pergi ia mengucapkan satu hal lain. "Ketika aku menyentuhmu lagi, aku akan memastikan kau tidak mampu melarikan diri untuk yang kedua kali. Nikmati sisa waktumu, Kelsey."

Setelah itu ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Kelsey yang berdiri kaku di belakangnya. Kelsey tidak tahu berapa lama ia diam, namun ketika akhirnya pemahaman menghantam, Kelsey jatuh terduduk.

Pria itu masih mengejarnya. Pria itu tidak akan pernah berhenti menyakitinya.

Dan jerit yang Kelsey tahan tersuarakan.

***

Hunter menatap layar televisinya dengan kening berkerut.

Mengapa ia merasa tidak tenang?

Selama beberapa menit pria itu berdebat dengan pikirannya. Haruskah ia menyusul Kelsey? Bukan untuk memata-matai, hanya ingin memastikan gadis itu sungguh baik-baik saja. Tapi ... bagaimana jika Kelsey berpikir ada sesuatu yang ganjil pada Hunter?

"Ah, sial!"

Begitu kata makian itu terucap, Hunter bangkit berdiri dan keluar dari apartemennya. Ia melangkah cepat menuruni anak-anak tangga. Sama sekali tidak memikirkan hal lain, kecuali fakta bahwa ia harus sampai di ujung jalan Wesfield secepat mungkin.

Namun begitu Hunter menjejakkan kaki di pelataran parkir apartemen, seseorang menghentikan langkahnya.

Connor Eiren.

"Uh ... Mr. Barthram, apa kau...." Connor memandang ke segala arah dengan gugup. "Apa kau tahu di mana kakakku? Kau—"

"Kau mengirim pesan pada Kelsey beberapa saat yang lalu," sela Hunter. "Kau berkata akan menemuinya di ujung jalan Wesfield."

Connor mengerjap. Matanya menatap Hunter dengan sirat bingung.

Dan tanpa berpikir dua kali Hunter mulai berlari.

"Mr. Barthram!"

Hunter tidak memedulikan seruan itu. Yang ia tahu, ia harus menemukan Kelsey secepatnya.

Ketika dua blok telah terlalui, Hunter mendengar suara jeritan. Mata hijaunya nyalang menyisir setiap tempat, hingga akhirnya terhenti pada sosok Kelsey yang terduduk di aspal dengan bahu berguncang keras.

"Kelsey, apa yang terjadi?" tanya Hunter begitu ia sampai di hadapan Kelsey.

Gadis itu tidak menjawab. Larut dalam sedu-sedannya. Sama sekali tidak bergerak meski Hunter berusaha meraihnya.

"Sial!" maki Hunter lirih. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Kelsey tidak terlihat baik-baik saja. Apa yang sebenarnya terjadi?

Connor sampai di tempat mereka dan langsung berlutut di samping Kelsey.

"Kelsey, ada apa? Apa yang terjadi? Apa kau terluka?" tanya Connor panik.

"Kita harus membawanya pulang," ucap Hunter.

Tanpa banyak pertanyaan, Connor membantu Hunter untuk mengangkat Kelsey. Sepuluh menit kemudian, Kelsey sudah berada di dalam apartemennya. Hunter mendudukkan gadis itu di sofa, sementara Connor mengambil segelas air dari dapur.

"Kelsey, apa yang terjadi?" tanya Hunter pelan. "Mengapa kau menangis? Apa kau bertemu seseorang?"

Hening. Tidak ada jawaban.

"Kau bisa mendengarku? Kelsey, jika ada—"

"Pergi," sela Kelsey lirih.

Hunter terdiam.

"Aku ingin sendiri," lanjut Kelsey dengan suara lemah.

Meski enggan meninggalkan Kelsey dalam keadaannya yang seperti itu, akhirnya Hunter berdiri dan melangkah keluar dari apartemen. Connor mengikutinya.

"Apa maksudmu ketika kau berkata aku mengirim pesan pada kakakku?" tanya Connor,

Hunter mengusap wajahnya, lalu mengembuskan napas.

"Kelsey pergi setelah mendapat pesan darimu. Ia berkata kau memintanya untuk datang ke ujung jalan. Ia berpikir kau akan memaafkannya," jawab Hunter.

"Tapi ... bagaimana bisa?" gumam Connor. "Aku kehilangan ponselku sejak semalam. Apa mungkin seseorang mencurinya dan mengirim pesan itu untuk Kelsey? Untuk apa? Mengapa melakukan hal semacam itu?"

Hunter memejamkan mata. Merasa kepalanya akan meledak. Amarah menguasainya dengan begitu pekat, memaksanya untuk mengalirkan amarah itu dalam bentuk kekerasan. Namun setelah hal yang terjadi pada hidupnya, ia tidak akan mengambil keputusan dengan gegabah. Setelah lima tahun berlalu dengan penyiksaan, Hunter tidak akan melakukan hal yang sama.

Hunter tidak akan menyakiti Kelsey untuk yang kedua kalinya.

"Jangan tinggalkan Kelsey," ucap Hunter sungguh-sungguh. "Dia membutuhkanmu...."

***

Kelsey merasakan kehadiran seseorang di hadapannya.

"Pergi," bisik Kelsey lemah. "Aku ingin sendiri."

Hening.

Kelsey akhirnya mendongak, terkejut ketika melihat adiknya.

"Apa kau membutuhkan sesuatu?" tanya Connor. Ekspresi gugup menguasai wajahnya dengan jelas.

Sekuat tenaga, Kelsey menelan tangisnya. Ia menghapus air matanya, lalu menarik napas dalam-dalam. Setelah itu Kelsey kembali menatap Connor.

"Aku baik-baik saja," jawab Kelsey.

Connor menatap ke sekeliling ruangan, kemudian memasukkan tangannya ke saku celana.

"Uh ... aku...." Connor menunduk, sebelum melanjutkan, "Aku kehilangan ponselku. Aku tidak tahu siapa yang mencurinya, tapi menurut Hunter pencuri itu menghubungimu dan memintamu untuk bertemu denganku di ujung jalan. Apa aku benar?"

Tubuh Kelsey membeku.

"Siapa orang itu?" tanya Connor.

Kelsey mengepalkan tangan, menolak tatapan adiknya.

"Kelsey?"

"Apa kau datang ke sini setelah aku pergi?" balas Kelsey.

Connor mengerjap karena topik yang tiba-tiba berubah, namun ia mengangguk.

"Mengapa?" tanya Kelsey kemudian.

Menghela napas, Connor menjawab, "Karena aku bertemu dengan Jess kemarin. Ia berkata kau akan ... tinggal. Apa itu benar? Kau akan tinggal di sini?"

Kelsey mengangguk.

Kali ini Connor yang bertanya, "Mengapa?"

Hening. Meski suasana itu mencekik, tidak ada satu pun dari mereka yang sanggup memecahkan ketegangan. Ada terlalu banyak tanya juga luka di antara mereka.

"Apa alasanmu untuk tinggal ... karenaku? Kau tetap tinggal ... untukku?" kejar Connor.

Perlahan, Kelsey mengangguk.

"Kau salah satu alasan," jawabnya.

"Lalu alasan lainnya?" Connor kembali bertanya. Tatapannya lekat pada Kelsey.

Tidak ada jawaban. Kelsey menutup mulut.

"Bagaimana dengan alasan kepergianmu dulu? Tidakkah kau harus menjelaskannya padaku?" tuntut Connor.

"Aku tidak bisa."

Hening.

Connor memejamkan matanya, lalu tersenyum pedih.

"Kau tahu, Kelsey? Semua ini percuma. Sia-sia. Kau hanya membuang waktuku. Kau tidak pernah benar-benar peduli padaku. Silakan pergi ke tempat mana pun yang kau suka. Aku tidak akan pernah mencarimu lagi. Aku akan menganggap kau sudah mati, sama seperti anggapan mereka selama lima tahun terakhir," ucap Connor pelan, namun tegas. Juga terselip luka yang begitu dalam.

Setelah itu Connor membalikkan tubuh. Terlihat begitu rapuh. Ditambah fakta bahwa ia kini tidak memiliki siapa pun kecuali kakaknya membuat Kelsey kembali sesak, dan pada akhirnya tidak bisa menahan diri lagi.

"Aku pergi karena ia menyakitiku...."

Langkah Connor terhenti. Ia berbalik, menatap Kelsey dengan lekat.

"Malam itu ... ia menyakitiku," bisik Kelsey. "Malam ketika aku masuk ke kamarmu dan menangis ... adalah malam ia menyakitiku."

Connor mengingatnya, tentu saja. Karena malam itu adalah malam terakhir ia melihat kakaknya. Malam itu, Kelsey masuk ke dalam kamarnya dan memeluknya. Connor merasa terganggu, namun sebelum ia sempat menyuarakan protes, isakan Kelsey terurai. Isakan yang terasa amat menyakitkan. Lalu percakapan yang mereka lakukan terulang dalam benak Connor.

"Kelsey, apa yang terjadi?" tanya Connor cemas. Berusaha berbalik untuk menatap kakaknya yang memeluknya dari belakang.

"Diamlah sebentar," pinta Kelsey dengan suara bergetar.

"Kelsey...."

"Apa Ibu menyayangiku?" tanya Kelsey.

Connor mengerutkan kening. Bingung.

"Apa yang terjadi? Kau bertengkar dengannya?" balas Connor.

"Apa Ibu menyayangiku?" ulang Kelsey.

Mendesah, Connor menjawab, "Tentu saja. Ibu sangat menyayangimu. Kau adalah anaknya yang paling sempurna, setelah Daniel tentunya."

Kelsey hanya semakin terisak.

"Kels, apa ini berhubungan dengan Daniel? Kau merindukannya? Tidak perlu takut, aku juga merindukannya. Begitu pun dengan Ibu," lanjut Connor.

Tidak ada jawaban. Hanya ada tangis tak berkesudahan.

"Kelsey...."

"Biarkan aku di sini, Connor," sela Kelsey. "Aku membutuhkanmu...."

Keesokan harinya, ketika Connor terbangun, Kelsey sudah pergi. Connor mencari Kelsey ke setiap penjuru rumah sebelum akhirnya berangkat ke sekolah. Connor berpikir sama sepertinya, Kelsey pun berangkat ke sekolah. Meski ingin menemui Kelsey, Connor memutuskan untuk menunggu kakaknya nanti di rumah. Namun betapa cemas Connor ketika malam menjelang, kakaknya tak kunjung pulang. Dan hingga lima tahun setelahnya, Kelsey tetap tidak pulang.

Perlahan, Connor berlutut di hadapan Kelsey.

"Apa yang terjadi?" tanya Connor lirih.

"Ia menyakitiku.... Mereka menyakitiku...." isak Kelsey.

"Siapa?"

Hening sesaat. Hingga sebuah nama meluncur dari bibir Kelsey.

"Paman Robert."

Kedua mata Connor membelalak lebar. Paman Robert adalah sahabat mendiang ayah mereka. Seorang pria bijaksana yang sudah bersama mereka sejak mereka kanak-kanak. Juga seorang pria yang menjadi ayah tirinya sejak lima tahun yang lalu.

"Apa maksudmu...." Connor tergagap. "Bagaimana ... Paman Rob menyakitimu?"

Tetes demi tetes air mata mengaliri wajah Kelsey dengan lebih deras. Hatinya terasa begitu sakit. Membuka kisah itu sama seperti mengupas lapisan demi lapisan bebat yang selama ini menutup lukanya. Menyakitkan. Menyesakkan.

"Ia memaksakan dirinya ... padaku. Dan tidak ada yang ... menolongku...."

"Kelsey...."

"Ia merenggutnya.... Ia menyakitiku...." Kelsey melanjutkan, "Dan itu bukan bagian terburuknya, Connor."

Kepala Connor menggeleng. Ia tidak mampu mendengar lebih jauh. Rasa sakit itu kini membelitnya juga.

"Kau tahu apa bagian terburuknya?" bisik Kelsey. "Ibu tidak percaya. Ibu tidak percaya padaku...."

Dan ingatan Kelsey melayang pada pagi hari setelah malam paling gelap dalam hidupnya.

"Ibu.... Ada yang harus kukatakan padamu," ucap Kelsey dari ambang pintu kamar ibunya.

Laurel Eiren menoleh dari kesibukannya yang sedang berias, lalu membalas, "Katakan saja."

Perlahan, Kelsey menghampiri ibunya. Air mata mulai menggenang, membuat suaranya serak.

"Paman Robert...." Kelsey menggigit bibirnya kuat-kuat. Merasa jijik bahkan hanya dengan menyebut nama pria brengsek yang sudah menodainya itu.

"Ya? Ada apa dengannya?" tanya Laurel.

"Ia menyentuhku dengan tidak sepantasnya.... Ia menyakitiku ... tadi malam...."

Tidak ada suara. Waktu seakan terhenti. Laurel menatap anak gadisnya yang baru genap berusia delapanbelas minggu lalu.

"Apa?" ucap Laurel.

"Paman Robert ... menyakitiku, Ibu," bisik Kelsey. Kali ini air matanya mengalir.

"Apa?!" seru Laurel.

"Dia merenggut kehormatanku...." jawab Kelsey perih

"Tidak," sela Laurel lirih. "Jangan mempermainkanku, Kelsey. Berhenti berbohong...."

"Aku tidak berbohong!" jerit Kelsey putus asa.

"Kelsey!" sentak Laurel keras. "Apa kau pikir aku akan memercayai kebohonganmu itu hanya karena kau menangis? Apa kau pikir aku tidak tahu apa yang kau coba lakukan sejak kematian Ayah dan kakakmu? Kau menghancurkan dirimu dengan terus pergi berpesta bersama teman-temanmu! Apa yang terjadi sekarang? Kau memakai obat-obatan? Itukah alasan dari pembicaraan konyol ini?"

Kelsey menggeleng. Dadanya mulai sesak karena ia benci pada perkataan ibunya. Benci karena perkataan itu benar. Ia merusak dirinya sendiri sejak dua orang yang paling dicintainya pergi. Ia menghabiskan banyak waktu untuk melakukan hal-hal yang mendatangkan amarah dari ibunya. Ia sendiri yang membuat ibunya meragukan ucapannya.

"Ibu, aku tidak berbohong.... Paman Robert—"

Dengan cepat Laurel bangkit berdiri. Membuat Kelsey mendongakkan wajahnya.

Dan terkejut ketika sebuah tamparan mendarat di wajahnya.

"Jangan berbohong!" seru Laurel. "Apa yang merasukimu, Kelsey? Mengapa kau mengatakan hal mengerikan seperti itu tentangnya? Aku tidak peduli obat apa yang sedang kau gunakan tapi ... apa kau tidak tahu, ia adalah orang yang sudah menyelamatkan keluarga kita? Setelah kematian ayahmu dan kakakmu, hanya ia satu-satunya orang yang bersedia membantu kita!"

"Ibu...." isak Kelsey. "Aku tidak berbohong.... Ia sungguh—"

"Hentikan!!!" Suara Laurel menggelegar di kamar bernuansa putih gading itu. "Jangan ucapkan satu kebohongan lain tentangnya! Ia adalah pria baik! Dan ia akan menjadi ayahmu!"

Bagai petir baru saja menyambarnya, Kelsey kehilangan seluruh napas dalam tubuhnya. Tanpa berpikir dua kali, Kelsey berlutut. Memeluk kaki ibunya dengan tangis yang menyesakkan.

"Jangan, Ibu.... Percayalah padaku.... Ia menyakitiku.... Jangan menikah dengannya.... Ia menyakitiku.... Kumohon, Ibu...."

"Aku akan mengatur jadwal untukmu. Kau harus bertemu dengan psikiater," tukas Laurel.

"Tidak! Ibu, kumohon.... Percaya padaku! Bajingan itu menyakitiku! Ia menyakitiku!!!"

Namun tidak peduli berapa banyak Kelsey memohon juga menjerit, ibunya tidak peduli. Ibunya tetap diam, bagai patung. Hingga sebuah kalimat meluncur dan menghancurkan apa pun yang tersisa dari hidup Kelsey.

"Jika kau tidak mau bertemu dengan psikiater dan tidak bersedia menyembuhkan dirimu sendiri, maka aku ... tidak mau melihatmu lagi," ucap Laurel tegas. "Jika kau masih mengucapkan kebohongan itu, lebih baik kau pergi dari hadapanku...."

Setelah penuturan itu, Connor melepaskan teriakannya. Sebuah upaya untuk mengurai sesak, namun tidak ada yang terjadi. Rasa sakitnya hanya semakin menjadi.

"Aku akan membunuhnya!" raung Connor. "Aku akan membunuh bajingan itu!!!"

Kelsey menahan tangan Connor sebelum adiknya sempat bangkit berdiri. Memaksa adiknya tetap tinggal. Memohon agar adiknya tidak melakukan hal buruk.

"Jangan pergi," pinta Kelsey. "Jangan menyakitinya dan membuat dirimu sebagai pelaku kejahatan. Ia tidak pantas, Connor. Kumohon, dengarkan aku. Jangan lakukan apa pun—"

"Ia menyakitimu!" Connor berteriak penuh emosi. "Aku akan membunuhnya! Aku tidak akan membiarkannya hidup setelah hal buruk yang dilakukannya!"

Menggeleng, Kelsey pun menjerit penuh putus asa.

"Jangan menyakitiku lebih dari ini!"

Pemberontakan Connor terhenti. Ia tidak berusaha untuk pergi lagi. Seluruh tubuhnya kehilangan daya.

"Kumohon...." ucap Kelsey. "Jika kau peduli padaku, sedikit saja.... Jangan lakukan apa pun.... Aku tidak ingin kau melakukan apa pun padanya.... Aku membutuhkanmu, Connor...."

Kedua tangan Connor terulur dan ia memeluk Kelsey erat. Membiarkan air matanya juga menetes tanpa hambatan. Merasakan dengan jelas siksa yang mengurung kakaknya selama lima tahun. Tidak hanya disakiti, Kelsey juga dikhianati. Dua orang yang seharusnya mencintai dan melindunginya di dunia ini, ternyata menjadi dua orang yang menghancurkan hidupnya.

"Maafkan aku...." bisik Kelsey.

Bersamaan dengan Connor yang berkata, "Maafkan aku, Kelsey...."

Kelsey semakin terisak. Membiarkan kedua tangannya membalas pelukan Connor. Melepaskan seluruh sesak yang selama ini mencekiknya. Meski menyakitkan, Kelsey harus mengakui bahwa memberitahu Connor tentang bagian tergelap dalam hidupnya sangat membantu. Setidaknya kini Kelsey tidak lagi sendirian. Adiknya sudah kembali padanya. Adiknya memaafkannya.

Entah berapa lama kemudian, Kelsey akhirnya mengurai pelukan. Ia menghapus air matanya, lalu tersenyum pada Connor.

"Wajahmu semakin buruk rupa dengan hidung merah dan mata yang sembab," ucap Kelsey.

Connor pun tersenyum, meski tetap dihantui kesedihan pekat dalam matanya.

"Connor." Kelsey menyentuh wajah adiknya, lalu berkata tegas, "Jangan lakukan apa pun. Berjanjilah padaku. Jangan lakukan apa pun yang dapat membuatmu harus pergi dariku. Karena aku tidak akan mampu. Aku hanya memilikimu. Berjanjilah padaku."

Connor tidak langsung menjawab. Kelsey bisa melihat perdebatan di dalam mata biru adiknya, namun pada akhirnya sebuah anggukan Connor berikan.

"Kau berjanji?" tuntut Kelsey.

"Ya, Kelsey," jawab Connor. "Aku tidak akan membuatmu kehilangan diriku."

Kelsey mengulas senyumnya dan kembali memeluk Connor.

"Aku merindukanmu...."

Connor hanya bergumam, "Hmm."

"Aku tidak percaya kau sudah sebesar ini. Ada terlalu banyak hal yang kulewatkan dalam hidupmu...."

"Tidak banyak," bantah Connor. "Bukankah sejak dulu aku sudah setampan ini?"

Kelsey mengurai pelukannya dan tertawa. Namun tawa itu menghilang tatkala matanya menangkap keseriusan dalam wajah Connor.

"Ada apa?" tanya Kelsey.

"Kau harus pergi," jawab Connor.

Kedua mata Kelsey menatap Connor dengan sirat bingung.

"Kau harus pergi ke pertandinganku besok," lanjut Connor. Kali ini dengan seulas senyum tersungging di bibirnya.

Air mata Kelsey mengalir dan ia mengangguk.

***

Haiiii, selamat hari Jumat! Gimana sama bab 5 ini? Ada yang tebakannya benar? Atau justru salah total? Hihihi sampai ketemu Jumat depan ^^

Btw novel Song for Unbroken Soul & Imperfect Angel READY STOCK. Yang mau beli langsung aja ke tokopedia.com/hdpublisher ;)

Continue Reading

You'll Also Like

11.4M 276K 29
#1 & 3 in the "There's A..." series. #2 is on my profile. [Editing] He's popular, I'm a nobody. He's a senior, I'm a freshman. He goes to wild part...
35.3K 1.4K 18
Hello guys This is Tina and I will be writing One Shots / Two and Three Shots / Short Stories on Moran. Suggestions and Requests are welcome😍❤️ Ple...
3.2M 132K 59
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...
19.7K 316 7
Hello. I am mystique. You may know me from wizarding legend. I am the metamorphmagus dragon mistress. But I am a witch. I am pretty Much the most po...