Prolog

4.8K 256 30
                                    

Kapan rasa sakitnya akan pergi?

Satu pertanyaan itu menghantui tanpa henti. Menggerogoti setiap bagian dalam hati. Tidak ada celah untuk berkelit, karena pilihannya hanyalah menelan sakit itu atau ... mati.

Seorang gadis berambut pirang duduk di atas kloset pada salah satu bilik kamar mandi sebuah sekolah. Larut dalam tangis yang menambah sesak di dada. Menyerah pada segala jerit yang mengurungnya, jerit yang tak pernah bisa ia suarakan.

Pilihan apa yang harus ia pilih? Ia tidak merasa mampu menelan sakit itu. Tidak setelah kalimat mengerikan yang ia dengar dari ibunya pagi ini. Ibu yang tidak memercayainya. Ibu yang tanpa ragu berkata lebih baik tidak pernah melihatnya lagi.

Bagaimana bisa ia bernapas setelah mendengar semua itu? Juga bagaimana bisa ia menanggung itu setelah segala hal buruk yang menimpanya?

Tanpa bisa dicegah, kilasan mengerikan dari semalam melintasi pikirannya. Malam yang mengubah hidupnya. Malam yang tidak hanya merenggut mimpinya, namun juga seluruh kepercayaannya. Meninggalkan sang gadis bersama rasa putus asa yang tidak pernah ia sangka akan dirasakannya.

Sang gadis memeluk tubuhnya semakin erat. Tanpa daya membiarkan gigil kembali merambatinya. Berusaha semampunya untuk memblokir kenangan itu. Namun semakin ia berusaha, semakin ia terperangkap dalam memorinya. Mengubah sesak menjadi siksa, lalu membawanya ke dalam lubang hitam yang mengancam akan menenggelamkan dirinya.

Untuk selamanya.

Suara langkah kaki menyentak gadis berambut pirang itu.

"Sudah kukatakan bahwa tugas itu penting, James!"

Hening sesaat.

"Ya, aku akan memanggilmu dengan nama tengah yang tidak kau sukai itu sampai kau membawakan tugas yang kutinggalkan di rumah. Kau tahu aku tidak akan sempat mengikuti pelajaran pertama jika aku kembali ke rumah untuk mengambilnya...."

Suara pekikan terdengar.

"Kau sudah sampai? Aku mencintaimu! Kau adalah kakak terbaikku!"

Kali ini suara tawa yang mengisi.

"Aku di lantai tiga. Tunggu saja di bawah, aku.... Oh? Kau sudah dalam perjalanan naik? Baiklah. Aku tunggu."

Sang gadis berambut pirang menghapus wajahnya dengan kasar sebelum bangkit berdiri dan melangkah keluar dari kamar mandi. Melalui sudut matanya ia bisa melihat bahwa gadis yang baru saja menurunkan ponselnya itu bertubuh tinggi dan kini sibuk bersenandung. Mungkin bahagia karena-menurut ucapannya tadi-kakaknya datang untuk membawakan tugas yang ia tinggalkan di rumah.

Tanpa sadar seulas senyum terukir di bibir sang gadis berambut pirang. Betapa berbeda hidupnya jika ia masih memiliki sosok seperti itu dalam hidupnya. Sosok yang akan melindunginya dari setiap bahaya. Sosok yang tidak akan meninggalkannya sendirian bersama hati yang lebur juga masa depan yang hancur. Sosok yang bisa disebutnya dengan panggilan kakak atau ... ayah.

Sebuah suara terngiang di benaknya.

Kau adalah gadis yang kuat, Kelsey....

Air mata kembali mengaliri wajahnya. Membuat gadis itu mengeratkan pegangannya pada susuran tangga. Suasana sekolah masih sangat sepi. Tidak ada orang selain dirinya di tangga lantai tiga menuju lantai dua. Kakinya berhenti melangkah.

Aku tidak kuat, Ayah.... batinnya perih.

Ayah tidak bisa meminta anak perempuan yang lebih baik darimu. Kau adalah yang terbaik. Gadis kecil Ayah yang pemberani....

Aku tidak lagi memiliki keberanian itu. Mereka merenggutnya.... lanjut gadis itu tanpa daya.

Kau harus ingat, bahwa apa pun yang terjadi, kau akan selalu memiliki Ayah....

Pada kalimat itu, segalanya menjadi jelas bagi sang gadis. Sama jelasnya seperti puluhan anak tangga yang belum dipijaknya. Anak tangga yang membawanya pada dinding kaca di hadapannya. Dinding kaca itu memiliki bingkai-bingkai besar berwarna hitam.

Dan pilihan terakhir yang tidak ingin dipilihnya tak lagi terlihat mustahil.

Gadis itu memejamkan matanya. Membiarkan air matanya kembali mengalir. Air mata terakhirnya.

Karena detik berikutnya, gadis itu melepaskan tangan dari susuran tangga dan membiarkan tubuhnya jatuh. Rasa sakit yang sangat amat berbeda dari yang ia rasakan sebelumnya mendera sementara tubuhnya terus berguling. Pada satu titik, sesuatu menahan tubuhnya. Disusul hujan benda-benda tajam. Menggores setiap permukaan kulitnya yang terbuka, tanpa ampun.

Gadis itu tak lagi mampu membuka matanya. Rasa sakit membutakan. Napasnya semakin berat.

Dan setelah itu hanya ada kehampaan.

***

Lost Girl (Lost #2)Where stories live. Discover now