Filantropi

Por aileum

1M 116K 7K

Dinikahi oleh pria sejenis Andreas Junial Adinegoro adalah impian semua wanita. Selain harta yang dimiliki me... Más

Prolog
Minus Satu
Butuh Psikiater
Taring Tuan Sempurna
Kebebasan Selangkah
Pencarian Penyempurna
Buah Simalakama
Adam yang Berbeda
Silih Berganti
Teka-Teki Kemunculan
Janggal yang Bertambah
Mati Satu Tumbuh Satu
Taring Tuan Sempurna
Hingga Mencium Kaki
Huru Hara Sidang
Cukup
Terbentur Terbentur Terbentur Terbentuk
Seseorang di Suatu Waktu
Si Mini
Sisi lain
Mania dan Depresi
Koin Dua Sisi
Dikejar Dosa
Celah
Member Boyband Korea
Ikatan
Kesadaran
Secercah Cahaya
Masih Terkunci
Rival Sepadan
Kelam yang Terkuak
Mantik Tuan Sempurna
Jaga Mama, ya
Menanti dengan Lapang Dada
Bumerang yang Kembali
Satu Demi Satu
Belum Berhenti
Usai
Terbentur Lagi
Tirai Mulai Tersingkap
Pelukan Pesan
Mereka yang Telah Pamit
Senyap yang Hakiki
Epilog

Tragedi Mencium Kaki

22.8K 2.6K 278
Por aileum

"Maaf ya, Liv. Mungkin lain kali." Andreas berujar sambil merapikan pakaian.

"Urusan kantor?"

Andreas tak langsung menjawab. Ia yang tengah mengapit ponsel di pundak kembali memeriksa bawaannya. Dompet, paspor, koper, baju hangat, semuanya sudah. Tidak ada yang ketinggalan untuk perjalanan mendadak ini.

"Ndre?"

Andreas menegakkan kepala lalu menjawab, "Bukan. Sudah dulu, ya. Aku buru-buru."

Hari ini semua agenda ia batalkan. Salah satunya adalah membawa Livia ke hadapan orang tua yang sudah menyiapkan gadis baru. Tujuan membawa Livia adalah agar si gadis yang mau dijodohkan itu tahu kalau Andreas menolaknya. Dan untuk Livia sendiri, ia tak keberatan untuk membantunya sebagai kekasih pura-pura.

Prasetyo dan Triana sangat marah ketika Andreas membatalkan pertemuan ini. Dan akan lebih marah lagi kalau Andreas bilang alasan sesungguhnya. Yeah, menemui Laudya.

Memang kedengarannya gila. Tapi Andreas tak peduli. Sekarang juga ia akan pergi ke luar negeri hanya untuk mendapatkan penjelasan mengenai status anaknya. Jika memang bayi itu darah dagingnya, Andreas akan mencoba bicara. Menerima Laudya kembali——setelah wanita itu mencium kakinya dan minta maaf——atau merebut anak itu secara paksa.

Setelah menyaku ponsel, Andreas langsung bergegas. Ia keluar kamar, masuk mobil, menuju bandara, dan menunggu informasi pesawatnya. Ketika asyik menanti, tiba-tiba ponselnya berdering. Ada panggilan masuk. Dari Amzar.

"Lo di mana?" Andreas mendengar nada tawar dari seberang telepon. Pasti Amzar kena getah sebab Andreas membatalkan pertemuan dengan anak pengusaha minyak itu.

"Di bandara. Ada urusan."

"Urusan apa?"

Andreas berpikir. Kalau ia bilang akan bertemu Laudya, kira-kira apa reaksi Amzar?

"Urusan apa?" ulang sang kakak.

"Ketemu Laudya," ujarnya. "Ada sesuatu yang harus diluruskan di sini."

Andreas kira Amzar akan bertanya 'apa yang diluruskan?' tapi ternyata kakaknya malah berujar, "Bukannya ke Bandung nggak perlu naik pesawat?"

"Dari mana lo tahu Dya di Bandung?" Karena Amzar tak menjawab, insting liar Andreas langsung mencuat. "Amzar, apa lo nyembunyiin sesuatu dari gue?"

"Nggak."

"Jangan bohong, Zar!" sentak Andreas sambil berdiri. "Kalau nggak, kenapa lo tahu Dya di Bandung?"

"Dapat info dari orang suruhan gue."

"Kapan lo dapat infonya?"

"Minggu lalu."

Minggu lalu? Hmmm, berarti informannya Amzar kurang update. Kemarin Andreas ke sana dan katanya Laudya terbang ke Belanda.

Tapi, masih ada yang janggal. Dan Andreas langsung menanyakannya. "Kenapa lo nyari info soal Dya?"

"Mau nanya kematian Dion," jawab Amzar tenang. "Untuk penemuan selanjutnya."

Andreas tak sempat bertanya lagi sebab pesawatnya siap terbang. Pengakuan kakaknya tak ia curigai sama sekali. Amzar memang kimiawan sejati sehingga apa pun bisa ia lakukan demi penemuan barunya, sekalipun harus menemui mantan adik iparnya. Itulah spekulasi Andreas.

*
*
*

Laudya mengusap pipi anaknya yang tengah menyusu. Ia ingin mengecup, tapi khawatir malaikat kecilnya tak jadi tidur. Maka ia pun hanya memandangi dengan sayang.

Ia pikir semua bayi yang baru lahir punya wajah serupa. Tapi sekarang, ia yakin bayinyalah yang paling tampan. Tolong jangan diingatkan dari mana asal kegantengannya. Jangan pernah! Dunia tahu hidung mana yang dikopi si anak, mata siapa yang ia tiru, bibir mana yang dijiplak, dan rambut-dagu-mata-alis siapa yang terlukis di sana.

Aah, Laudya jadi gemas. Rupa anak ini sama sekali tidak mirip dengannya. Tidak satu pun titik wajah Laudya menclok di mukanya yang mungil.

Tapi tak masalah. Jikalau sudah besar si anak tetap menjiplak muka ayahnya, Laudya akan tetap menyayangi, menjaga, dan mencintainya. Akan Laudya didik agar bayinya tumbuh menjadi manusia baik, disayang warga bumi dan langit, humanis, jujur, dan tidak sombong——ini yang paling utama.

Tidak akan membiarkan anak ini menjadi manusia sombong, congkak, dan bisa berkuasa seenaknya. Akan diajarkan juga cara mencintai yang baik. Cinta yang percaya, cinta yang memegang janji, dan cinta yang sehat. Tidak obsesif, tidak narsis, tidak menginjak harga diri, dan tidak membunuh korban.

"Untungnya aku yang jadi suami kamu. Kalau nggak, setiap malam kamu akan ada di ranjang berbeda dengan pria berbeda."

...

"Mereka berzina!"

...

"Kasihan ya, anak di perut kamu. Dia pasti malu jika tahu dirinya tercorak dari hasil hubungan gelap dan terbentuk di luar nikah."

Bulir di mata Laudya menetes karena ingat kata-kata itu. Setelah melahirkan ia memang lebih sensitif. Dan sejauh ini, yang menjadi sumber sakit hatinya adalah Andreas.

Harga diri, tuduhan berzina, hingga cercaan pada anaknya, semua itu sudah membentuk sepotong hati yang baru terhadap Andreas. Ketika Laudya berduka lantaran kehilangan Dion, Andreas malah menuduhnya berzina. Ketika Laudya berjuang melahirkan anak, Andreas tidak ada. Malahan Livia bilang Andreas tak pernah tanya kabar anaknya. Oh, sungguh keterlaluan! Dengan sepotong hati barunya Laudya benar-benar bertekad, tidak ada kesempatan lagi untuknya. Titik.

"Aduduh..." Laudya terperanjat manakala putranya menggigit putingnya. Meski belum punya gigi, rasanya cukup membikin ngilu.

Bayi merah itu berhenti mengisap. Ia memandang Laudya. Sorotnya membuat Laudya terenyuh. Seakan-akan hendak membisikkan sesuatu.

Laudya balas memandangnya. Kini air matanya jatuh lagi. Bening di mata anak ini ... kenapa harus menjiplak si iblis itu?

"Aduduh..." Sekali lagi Laudya meringis. Anak ini kembali mengigit putingnya.

Mungkinkah ia tak suka Laudya memikirkan Andreas? Atau, mungkin anak ini enggan melihat ibunya jadi manusia pengumpat? Aah, apa pun yang dipikirkan anaknya, Laudya sadar sesuatu. Tak seharusnya ia mendendam pada masa lalu.

Laudya mencium pipi bayinya. Si anak pun seperti mengerti. Ia balas memeluk payudara Laudya dengan jarinya yang dibungkus sarung tangan. Kemudian menyusu lagi. Dan terlelap setelah kekenyangan.

Laudya memindahkan bayi ke dalam boks biru dekat kasur. Sangat hati-hati, seakan-akan boks itu bisa meledak kalau menaruh bayinya tanpa teknik. Kemudian Laudya mengecup kening putranya barulah merebah ke kasur. Namun, belum sempat matanya merapat, ponsel di meja berdering.

Takut deringan itu mengganggu anaknya ia pun cepat-cepat meraih ponsel, lalu mengangkat panggilan tanpa memastikan siapa yang menelepon.

"Dya."

"Ayyash?"

Oh, senang sekali Laudya ditelepon begini. Setelah dua minggu tak bicara, akhirnya si Tubuh Selembar insyaf juga.

"Belum tidur?"

"Aku baru netein anakku."

Ayyash diam beberapa saat, Laudya menanti dengan sabar.

"Maaf atas sikapku kemarin-kemarin," katanya. "Kalau sudah siap, aku pasti bilang alasannya."

Muka Laudya berseri. Bibirnya terurai begitu saja. "Iya, Yash. Santai saja."

"Omong-omong, sudah ada nama buat si kecil?"

"Baru nama belakangnya," jawab Laudya jujur. Ia mendekat ke arah boks bayi lalu menatap malaikat tanpa sayapnya dengan pandangan keibuan. "Erlangga."

"Biar sama kayak Dion, ya?"

"Kamu mau nambahin?" ucap Laudya tanpa beban. Ia memang bingung menentukan nama untuk anaknya. Tapi satu yang pasti, jangan ada embel-embel dari ayahnya. Jangan!

"Bagaimana dengan Delfin?" suara Ayyash terdengar mantap. "Terinspirasi dari nama kota di sini. Delft. Suasananya sangat nyaman, apalagi karena sekarang musim gugur. Kota ini sangat cantik, penuh seni, terpelajar, otentik, dan bersejarah."

Laudya menatap putranya lagi. Kali ini semburatnya lebih bahagia.

"Selain Delfin, ada lagi nama yang mungkin lebih cocok."

"Oh, ya? Apa?"

*
*
*

Baru dua menit berada di bandara internasional Schiphol, Andreas sudah mengigil. Jaket yang ia bawa rupanya masih kurang ampuh untuk melawan hawa dingin musim gugur. Beberapa kali ia menggosok tangan, beberapa kali juga dinginnya makin menjadi.

Rupanya rencana mendadak ini memaksanya untuk lebih sabar. Penerbangan via Malaysia sangatlah melelahkan. Sekitar empat belas jam lebih beberapa menit. Karena keberangkatannya begitu tiba-tiba, jadi ia hanya bisa duduk di kelas ekonomi.

Lega, tak nyaman, dan gelisah adalah yang mendominasi perasaannya. Ia lega karena bisa pergi hari ini, tak nyaman karena tak suka pelayanan di pesawat, dan gelisah sebab ia bingung. Kira-kira, harus seperti apa bicara dengan Laudya? Ia tak menyiapkan kata-kata. Fokusnya jatuh pada pertanyaan: Benarkah anak itu darah dagingnya?

Ia mengecek ponselnya yang baru bangun. Suhu menunjukkan sepuluh derajat celcius dan ... Sepuluh derajat? batinnya. Pantas saja Andreas begitu menggigil! Darahnya terasa berhenti mengalir, kaki membeku, dan tubuhnya tak bisa bergerak.

Andreas keluar dari bandara. Satu tangan menggusur koper sementara tangan lain memainkan ponsel. Ia mencari rute terdekat untuk ke Delft, sebuah kota kecil nan antik yang diyakininya sebagai lokasi Laudya berada.

Jangan tanya dari mana Andreas bisa tahu! Ia cerdas dan gerak cepat. Kemarin ia datang ke perusahaan kereta api, tanya-tanya soal pertukaran pegawai, dan lokasi di Belanda.

Menurut aplikasi, Andreas bisa naik kereta berjenis Stoptrein. Stasiun yang paling dekat adalah Amsterdam Centraal. Waktunya delapan belas menit dari sini. Untuk mendapat tiket ke sana, Andreas harus mencapai konter NS train yang berjarak beberapa meter dari tempatnya.

Selama menanti, Andreas menatap sekeliling. Ia mempelajari kebiasaan orang-orang di sini. Kebanyakan orang memakai bahasa Inggris sehingga ia tahu apa yang mereka bicarakan. Ada yang mengobrol soal piala Eropa, keluhan mengenai suhu yang makin dingin, kedai kopi yang cocok kalau suasana begini, dan gosip-gosip teranyar dari seleb di negeri kincir angin.

Angin berembus kuat ketika ia masuk gerbong. Hidung dan telinganya mulai memerah. Bisa dilihat juga asap keluar dari indera pencium dan mulutnya. Karena tak tahan lagi menahan dingin, Andreas terus memeluk tubuh selama kereta meluncur.

Kereta memang meluncur cepat. Namun keelokan masih bisa Andreas nikmati. Langit tampak kemerahan, pasti karena efek musim gugur. Di sepanjang jalan toko-toko berjajar ramai, lengkap dengan pelancongnya. Pohon-pohon di sekitar tampak kuyu sebab daun-daunnya menguning dan berjatuhan.

Di sudut sana terlihat objek lain yang menggugah. Ada banyak orang yang memakai sepeda. Tidak heran sebab ia tahu kalau selain kereta, sepeda menjadi menu pokok dalam sistem transportasi di Belanda.

Laudya pasti sudah lihat pemandangan ini, batinnya sambil menggosok tangan. Kalau dia sudah mencium kakiku, akan aku ajak di keliling Amsterdam.

*
*
*

Andreas mendatangi kantor perusahaan kereta api di keesokan harinya. Ia menanyakan keberadaan si Cungkring. Sayangnya rencana ini tak berjalan dengan baik. Informasi yang Andreas dapat tak lebih dari Stasiun Delft. Sang informan keberatan menjawab pertanyaan lain seperti: Di mana mereka tinggal? Dan apa memang satu keluarga yang ikut dalam program pertukaran pegawai ini?

Namun, jangan panggil Andreas si Tuan Sempurna kalau ia berhenti karena ada hambatan. Meski hanya berbekal infomasi minim, ia tetap mendatangi lokasi.

Dan hari itu ia tak mendapat apa-apa. Seharian sudah melacak ke Stasiun Delft yang dimaksud, hasilnya nihil. Pekerja stasiun di sana begitu profesional. Mereka tak memberi informasi terkait masalah pribadi, sehingga Andreas tak bisa menemukan hasil apa-apa kecuali kedinginan.

Hari kedua, ia bertekad akan memangkas habis Delft bagaimanapun risikonya. Dari Stasiun Delft ke pusat kota, ia naik bus no 81 jurusan IKEA dan turun di Grote Markt Delft. Pada pemberhentian ketiga ia sampai di pusat kota Delft lalu menyisir kawasan tersebut.

Yang pertama didatangi adalah City Centre. Ia mengitari penjuru dengan mengabaikan perutnya yang belum diisi. Dan sekali lagi, ia tak menemukan Laudya di sini.

Untunglah arsitektur di sini amat menganggumkan, sehingga ia tak terlalu kesal saat misinya belum berhasil. Menara-menara berdesain antik menjulang, juga bangunan kuno penuh sejarah yang berjejer, semua itu cukup menghiburnya.

Jalanan yang terbentang pun tampak bersih. Daun-daun yang berguguran tidak mengganggu sebab jasa kebersihan siaga di beberapa sudut. Tapi ternyata tidak hanya tenaga kebersihan, di posisinya sekarang Andreas bisa melihat helper yang diyakininya bisa mengarahkan jalan, merekomendasikan tempat, menjelaskan rute dan jenis transportasi yang cocok, dan menjabarkan sejarah (jika pelancong memang ingin tahu).

Andreas tahu, kebanyakan helper adalah mahasiswa. Ia tak heran sebab tahu Delft merupakan kota pelajar di Belanda. Kampus andalannya adalah Universitas Teknik Delft. Dan karena ini juga Andreas jadi paham alasan kereta Stoptrein dibuat padahal kecepatannya lebih lambat dari kereta jenis Intercity dan Sneltrein.

Meski dimanjakan banyak hal baru, tak ayal ia merasa sedih. Apalagi saat terkena flu lantaran kehujanan di malam hari. Tapi sekali lagi, flu tak kan meruntuhkan seorang Andreas. Di hari ketiga Andreas pergi lagi. Kali ini ia sempat membeli jaket dan syal baru. Jaga-jaga agar tubuhnya tak terlalu beku sebab hawa musim dingin sudah mulai terasa.

Tempat yang didatangi adalah Street Market di Hall Grote Markt. Kebetulan hari ini Kamis sehingga spot ini begitu ramai oleh penjual. Menurut helper yang ditemuia di City Centre kemarin, selain Kamis, Sabtu pun kerap jadi waktu pas untuk meramaikan Grote Markt. Ada banyak jenis dagangan yang dijajakan. Bunga, kain, sepatu, ikan, daging, baju, dan pernik khas Delft.

Karena ia belum makan sejak semalam lantas mendatangi satu stand. Membeli kopi dalam cup dan roti isi haring. Haring merupakan ikan khas di sini. Biasanya haring dikonsumsi mentah-mentah oleh orang Belanda. Dan Andreas terlambat menyadari, roti tambah haring dan bawang bombay terasa begitu memabukkan. Ia muntah setelah mencicipnya.

"Kommst du aus Stuttgart?"

Andreas mengelap bibir ketika seseorang bertanya. Ia tak mahir Deutsch, tapi di SMA pernah diajari. Dan tentu saja nilai bahasa Jermannya sangat menakjubkan.

"Nein," jawabnya sambil berdoa dalam hati semoga tak salah lafal antara tidak dan sembilan. " "

Wanita berambut merah itu mengangguk ramah. Lantas keduanya terlibat dalam obrolan ringan. Perempuan ini bernama Marion Schmidt, berasal dari Stuttgart dan ia kira Andreas berasal dari sana juga, makanya menyapa dengan bahasa ibunya. Secara terang-terangan Marion memuji bahasa Jerman Andreas yang cukup fasih. Selain itu Marion juga mengagumi Andreas yang berwawasan luas.

Andreas tahu kalau jenis penduduk di Jerman terdiri dari 91,5% etnis Jerman; 2,4% beretnis Turki; dan sisanya Italia, Polandia, Rusia, Yunani. Andreas bahkan hafal bagaimana caranya mengejek orang Jerman. Yakni taruh telunjuk di dahi lalu putar. Selain itu, Andreas tahu kalau bicara dengan orang Jerman sambil memasukkan tangan ke saku merupakan ketidaksopanan.

Hingga sekitar sepuluh menit——setelah kopi Andreas habis—— akhirnya ia pun pamit. Masih ada yang perlu dilakukan, kan? Yakni mendapatkan anaknya——jika memang anak itu darah dagingnya.

*
*
*

"Belanda?!" Andreas menjauhkan kuping dari ponsel ketika Livia memekik. "Ngapain kamu ke sana, Ndre?"

Andreas tak langsung menjawab. Merasa gengsi kalau harus bilang dirinya sedang mencari Laudya. Niat Andreas ke sini untuk mendapat haknya sebagai ayah. Bukan untuk Laudya, kok. Sungguh!

"Ada sesuatu yang harus aku urus." Andreas berujar sambil memijat kaki yang pegal. Hampir seminggu dirinya memutari Belanda, tapi tak mendapatkan Laudya di mana pun. Jangankan Laudya, si Tubuh Selembar pun tak terdeteksi.

Pada hari keempat dan setelahnya ia mencari ke luar Delft. Mulai dari Den Haag hingga Rotterdam. Hasilnyaa serupa, nihil! Distrik-distrik, tempat hiburan, rumah ibadah, spot indah saat musim gugur, hingga tempat beli oleh-oleh pun sama saja. Tidak ada Laudya!

"Kamu ke sana bukan karena si depresi muncul, kan?" tanya Livia hati-hati. Pasien bipolar memang cenderung sulit ditebak. Jika di pagi hari ada di Jakarta, tak menutup kemungkinan malamnya ada di belahan lain. Biasanya mereka beralasan ingin tenang, makanya pergi. "Ndre?"

Andreas refleks memutuskan sambungan ketika matanya menangkap satu sosok. Dd ... dd ... Dia! Si Cungkring Sialan itu!

Mengabaikan rasa dingin dan pegal di kaki, Andreas mendekati makhluk yang baru keluar dari pintu stasiun itu. Namun, langkahnya tak berlanjut sebab mendadak seseorag muncul lalu memeluk si Cungkring dari belakang. Tampilan si pemeluk mirip anggota boyband Negeri Gingseng, rambutnya kuning keemasan dan berbincang dengan muka berseri di hadapan si Cungkring.

Andreas tak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi dadanya bertalu keras. Ia harap anggapannya salah. Tapi kalau terkaannya benar, ia akan tetap berprasangka kalau Laudya mengkhianatinya.

"Aku nggak pernah selingkuh!"

Jantung Andreas berdebar kencang ketika kalimat tersebut terngiang. Ia memegang dada kiri yang nyeri lalu meremas sekuat tenaga.

Tidak! Aku yang benar! Laudya yang salah! Dia sudah selingkuh!

Kalimat itu tak jadi mengitari otak sebab objek yang Andreas pantau menghilang. Cepat-cepat ia menguatkan kaki lalu memainkan langkah panjangnya. Menengok ke beberapa arah, menggosok tangan yang dingin, dan melebarkan mata kuat-kuat.

Dapat! Mereka ada di sana! Masuk ke dalam bar!

Tanpa ba-bi-bu Andreas langsung membuntuti. Fokusnya jatuh ke dua lelaki itu. Terutama si Cungkring. Andreas terus mengawasi gelagatnya. Tidak peduli beberapa pria mulai melirik, tidak mengindahkan musik dugem ajep-ajep, dan tidak sadar kalau pesta ini tergiur oleh kehadirannya, ia terus saja menatap Ayyash dengan hati berdebar.

Astaga! Andreas menutup mulut tak percaya ketika yang ditakutinya benar-benar terjadi. Si Cungkring itu ... ia ... ia ... ia berciuman dengan si member boyband?

Seketika Andreas merasa ingin muntah. Hatinya benar-benar pecah! Langit terasa runtuh tepat mengenai kepalanya. Dan penyesalan tumpah ruah bak air bah!

"Aku nggak pernah selingkuh!"

Sakit dada Andreas dibayang-bayangi kalimat itu. Laudya ... ia memang tak pernah selingkuh. Aah, kenapa Andreas begitu bodoh!

Tak mau mengulangi kesalahan, Andreas pun mencubit tangan hingga berdarah. Ini bukan mimpi! Si Cungkring itu memang memagut bibir laki-laki!

Andreas langsung mendatangi pasangan gila itu. Menarik kerah baju Ayyash lalu berucap, "Heh, Bencong! Mana Laudya?"

Ayyash membalas tatapan Andreas dengan memelotot. Napasnya menderu tak sabar. Tangannya gatal ingin meninju.

"Di mana?" pekik Andreas lagi. Ia tak peduli orang-orang mulai meliriknya. Tak peduli kalau bahaya mulai mengancam. "Lo ... dasar sampah! Kenapa lo nggak pernah bilang lo gay?"

Tanpa tedeng aling-aling bogem mentah Ayyash langsung mampir ke hidung Andreas. Sang korban langsung lintang pukang hingga orang-orang mulai mengerubungi.

Ayyash tak menghiraukan ketika Desta membisiki sesuatu. Ia menerjang Andreas, membalaskan penyiksaannya beberapa bulan lalu. Memukul hidungnya hingga jontor, menjotos mata dan bibirnya hingga robek, dan melayangkan beberapa serangan yang membuat Andreas mati rasa.

"Mati lo, Anjing!" Ayyash memekik sambil menumbuk pipi Andreas dengan mata merah. Untuk satu alasan ia ingin sekali menghabisi bajingan ini. Kalau perlu sampai mati.

Seakan-akan ikut merasakan kemarahan Ayyash, Desta tiba-tiba saja meneriakkan sesuatu. Seperangkat kalimat yang membuat pria-pria di sini bereaksi lalu menghajar Andreas ramai-ramai.

*
*
*

Andreas tak memedulikan nyeri yang menyengat tubuh, lekas ia meningalkan Belanda dengan segebung rasa sakit saat itu juga.

Ketika Ayyash menghajar dengan murka, Andreas sengaja tak melawan. Ia sadar harus dihukum atas dosanya. Namun, siapa sangka kalau dosanya itu harus dibayar lebih mahal sebab para gay mengeroyoknya dengan ganas.

Resepsionis hotel, karyawan di bandara, pramugari di pesawat, dan semua yang ditemuinya merasa iba dengan tampilan Andreas. Pakaiannya banyak bercak darah, akibat luka di wajah masih mengalirkan cairan merah itu, dan lebam-lebam menimpa di sekujur tubuh. Tapi bukannya menuruti nasihat agar lukanya diobati, Andreas justru meraung marah.

"Jangan ikut campur!"

Sesampainya di Bandara Soekarno-Hatta, ia langsung mencari tumpangan ke Bandung. Sekali lagi, tak memedulikan kondisi. Pikirannya hanya tertuju pada Laudya.

Ia benar-benar sudah gila. Penerbangan Belanda-Malaysia-Indonesia dan perjalanan Jakarta-Bandung ia habiskan hari itu juga. Tidak tidur, tidak istirahat barang semenit saja. Bukan tak sayang pada badan, tapi setiap dirinya menutup mata, penyesalan itu terus muncul.

Dya tak pernah nyeleweng. Dia sudah menjelaskan tapi aku tak percaya. Dan anak yang dilahirkannya ... sudah pasti dia anakku. Duh, Andreas! Kenapa kamu segoblok ini?

Begitu sampai di tujuan, Andreas menyerahkan dompet tanpa menoleh. Koper dan segala perlengkapan bahkan sudah dtinggalkan di bandara. Ah, persetan!

Langkah Andreas sudah gontai dan kesadaran perlahan hilang. Tapi tekadnya masih sama. Ia harus menemui Laudya. Sekarang juga!

Dan begitu tubuhnya sudah berdiri di pintu sebuah rumah, tangannya bergetar hebat. Hatinya kembali nyeri, perasaan seperti dikoyak-koyak, dan matanya mulai terasa panas.

Ia mengetuk pintu, merasakan pandangn mulai buram, dan tak henti menghina diri sendiri. Hingga akhirnya, pintu yang terbuka pun memunculkan sosok itu.

"Dya, maafin aku!" pinta Andreas sambil menyungkur. Air mata dan darah di wajahnya bercampur, menetes ke kaki wanita yang menatapnya dengan kaget. "Dya, maafin aku. Maafin aku. Maafin aku. Maafin aku."

Andreas tersedu lalu mencium kaki mantan istrinya dan kembali menangis. Persetan jika dunia menertawakannya, Andreas tetap memohon ampun.

"Andr .... "

Andreas tak mengindahkan suara Laudya. Ia kembali menyungkur dan meraung-raung. Bahunya semakin bergetar hebat, membuat Laudya salah tingkah. Waduh! Salah-salah orang akan mengira ada kekerasan di sini.

Tapi Andreas tak peduli. Ia masih menangis, meronta, dan tak henti mencium kaki Laudya. Dadanya terasa sakit mengingat ketololannya. Rasanya ia ingin mati saja daripada merasa begini. Sumpah, baru kali ini merasa begitu menyesal.

Andreas mengangkat wajah yang berpeluh campur luka dan air mata. Ia meraih tangan Laudya dan menaruh di kepalanya. "Kamu boleh melakukan apa pun, Dya. Pukul kepalaku sampai pecah, psngkas gigiku sampai habis, dan kalau perlu cabut nyawaku ... " desahnya sambil kembali menangis. "Aku benar-benar menyesal, Dya. Maafin aku."

-bersambung

Seguir leyendo

También te gustarán

796K 29.4K 33
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
922K 18.1K 42
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
2.8K 150 24
Dari teman berakhir dijodohkan
951K 98.6K 66
Sekian lama move on, Trinda mendadak CLBK-crush lama belum kelar-melihat mas-mas mempesona berkemeja batik slimfit incarannya delapan tahun silam mun...