LOVE STORY

By serafindaph

35.6K 862 36

Seandainya saja dirinya bisa berpaling, pasti ia akan berpaling pada Mario, pemuda tampan yang notabenenya se... More

1
2
3
4
5
7a
7b
8
9a
9b -Ending-
Epilog (1)
Epilog (2)

6

1.6K 57 2
By serafindaph

And finally, thank you just for loving me.

Pemuda manis ini menarik kedua sudut bibirnya membentuk seulas senyuman untuk bidadari yang berada di hadapannya saat ini. Yang tengah menggenggam erat tangannya.

Farascha Jasmine Devonne.

Gadis yang akhir-akhir ini mampu membuatnya jugkir balik menahan diri untuk tidak memeluk dan menghirup dalam-dalam aromanya.Gadis yang akhir-akhir ini mampu menghipnotisnya dengan semua kelembutan, kehangatan, dan kenyamanan yang ia berikan. Gadis yang akhir-akhir ini selalu membayanginya baik dalam mimpi maupun dunia nyata.

Kini, Gadis ini tengah tersenyum sembari menatapnya. Memancarkan aura yang entah mengapa mampu membuatnya untuk tetap fokus padanya. Gadis cantik ini telah sah menjadi Mrs. Oliver setelah ritual sakral yang baru saja ia lakoni beberapa saat lalu.

I love you forever and ever, My Jasmine.” Pelan tapi pasti, ia mendekatkan bibirnya ke kening gadis ini. Mengecupnya lama.

Sampai akhirnya ia terbangun karena sudut bibirnya yang penuh luka menyentuh permukaan guling yang ia cium. Ia terkekeh sebelum akhirnya meringis tertahan karena lukanya.

Bagaimana bisa ia bermimpi menikahi Racha ?! Semuanya gara-gara efek aura Racha yang sepertinya terus menghantuinya sepanjang waktu dan efek dari curahan Riko bahwa adiknya tengah kena sindrom jatuh cinta. Parahnya, otak dan hatinya terus berharap bahwa Racha sedang jatuh cinta kepadanya. Errr ! Otaknya ini benar-benar harus diriset ulang.

Dengan malas, ia beranjak ke dapur dan mengambil air panas untuk mengompres luka pukul yang baru saja adiknya berikan beberapa jam lalu.

“Akhirnya, lo dateng juga, Kak Alexanders !” Ujar Mario yang tengah bersandar di kap mobil dengan nada rendah dan terdengar berbahaya.

“Kenapa ngajakin ketemuan ?”

Hening, sebelum akhirnya Mario tertawa keras. Sangat keras. Kemudian menatapnya tajam dan berjalan mendekatinya. “Gue ngajakin lo ketemuan karena gue pingin lo ngerti rasanya jadi gue saat lo lebih milih nyokap jalang lo !”

“Rio ! Nyokap gue juga nyokap lo !”

“Nyokap gue ?” Mario tertawa keras. Membuatnya merinding. “Bukan ! Setelah gue tau kalo nyokap lo itu jalang !”

Bugh ! Satu kepalan tangan Mario berhasil mengenai saat dirinya hanya terfokus pada ekspresi adiknya yang sepertinya benar-benar kecewa padanya.

“Meskipun gitu, Nyokap udah taruhin nyawa buat ngelahirin gue sama elo, Rio !”

Ia bisa melihat tatapan tajam adiknya berubah. Memancarkan kesedihan dan kerinduan yang amat mendalam.

“Elo. Gimana bisa lo masih punya rasa sayang, rasa hormat sama nyokap ?! Padahal elo udah ditelantarin sama dia ? Ha ! Elo bego ya, Kak ? Tolol ?!” Ia hanya diam. Pertanyaan adiknya ini benar, bagaimana bisa ia masih memiliki rasa sayang yang sama seperti dulu pada Mamanya yang telah menelantarkannya di rumah nenek sampai neneknya meninggal bahkan sampai detik ini. “Dan Gimana bisa lo yang udah ditelantarin kayak gitu sama nyokap, lo nggak punya inisiatif buat balik lagi ke rumah bokap yang masih setia nungguin elo sampe sekarang !! Bahkan waktu bokap mohon sama lo buat balik lagi ke rumah, lo tetep nolak ! Lo… Elo bener-bener bego tau nggak, Kak ?!”

“Gue cuma mau nungguin nyokap. Gue kasian sama nyokap kalo mesti ditinggal sendirian. Karena saat itu gue liat sendiri bagaimana nyokap bener-bener takut. Takut sama bokap, takut kehilangan gue, takut kehilangan lo. Tapi karena bokap dulu pernah ngancem nyokap buat nggak muncul lagi dihadapan bokap, terpaksa gue nurutin kata nyokap buat jangan balik ke rumah bokap karena nyokap takut kehilangan gue setelah nyokap ngerasain kehilangan elo.”

Rasa perih itu kembali hadir. Membanting jiwanya. Membuatnya remuk karena kenyataan hidupnya begitu pahit.

“Jadi, gue bener-bener minta maaf atas nama gue yang nggak becus jadi kakak buat lo. Dan atas nama Mama.”

Bugh ! Kepalan tangan Mario kembali menyerang di tempat yang sama, sudut bibirnya. Membuatnya terhuyung. Sampai detik ini, ia membiarkan Mario terus menyerangnya tanpa membalas. Sama saat mereka masih kecil. Ia terus mengalah untuk adiknya yang emosinya benar-benar tingkat dewa.

“Asal lo tau, Kak ! Gue… Gue udah maafin lo sejak gue tau arti perceraian, sejak gue tau lo cuma nurut ajakan nyokap, sejak gue tau lo nggak salah apa-apa ! Tapi, yang paling gue benci dari elo kenapa lo lebih milih nungguin nyokap yang nggak pasti sampe kapan mau nelantarin elo !”

“Gue nggak mau nyokap ngerasa kesepian setelah pisah sama bokap dan kehilangan sosok elo ! Gue cuma pingin nyokap ngerasa bahwa sampe hari ini masih ada yang nungguin dia.”

“Meskipun elo yang akhirnya ngerasa kesepian ? Karena nyokap nelantarin elo, karena nenek udah meninggal, dan karena cewek lo pergi ninggalin gara-gara dia marah besar sama nyokap ?”

 Ia hanya diam. Dari mana Mario tau tentang Clara ?

“Gue tau semuanya dari ajudan bokap yang terus ngikutin perkembangan elo. Itu semua bokap lakuin karena sebenernya bokap bener-bener sayang sama lo, sama kayak gue, Kak ! Gue bener-bener ngerasa kehilangan sosok kakak waktu itu. Gue bener-bener rela ngelakuin apa aja yang penting elo balik ke rumah tanpa nyokap. Karena waktu itu gue nggak sengaja denger omongan ajudan bokap kalo lo ditelantarin nyokap dan nyokap nikah lagi sama selingkuhannya yang ternyata bokapnya Clara, cewek lo.”

Ia masih terdiam. Membiarkan darah di sudut bibir kirinya mengalir. Perih. Bukan perih pada sudut bibirnya, tapi di lubuk hatinya yang paling dalam.

“Kak Sanders ?” Lamunannya bubar setelah menatap gadis yang baru saja mampir di mimpinya tengah menyantap entah apa sambil menatapnya heran dengan tampilan ala orang bangun tidur.

“Hai, Cha.” Tanpa ia sadari kedua sudut bibirnya tertarik untuk membentuk senyuman. Jantungnya berderup kencang.

“Itu kok lebam, Kak ?” Tanyanya lagi setelah mencuci piringnya. “Habis berantem ya ?” Entah kapan gadis ini melangkah sampai jarak mereka berdua tak kurang dari satu meter. Membuat jantungnya berderup sepuluh kali lipat dari sebelumnya. “Sebentar.”

Kemudian gadis itu pergi meninggalkannya sendiri yang masih terdiam seperti patung. Shit ! Disaat seperti ini bayangan wajah cantik Racha saat di mimpinya muncul dengan sendirinya. Gadis itu benar-benar cantik dalam balutan kebaya bewarna putih gading dengan make up minimalis dan rambut yang digulung ke atas memamerkan leher jenjangnya. Astaga !

“Duduk sini, Kak !” Pertintah gadis itu tiba-tiba sambil menepuk pelan kursi di sampingnya. “Diobatin dulu biar nggak infeksi.”

Entah mengapa kakinya melangkah dengan sendirinya ke tempat yang ditunjukkan gadis manis ini. Sedangkan matanya terus menatap intens ke arah Racha. Membuat gadis itu berkali-kali mengalihkan arah tatapannya.

Ia bisa merasakan lembutnya tangan Racha yang tengah menempel di pipinya. Ia juga bisa mencium aroma khas gadis ini yang selalu membuatnya menahan jiwa raganya untuk tidak memeluk gadis ini.

“Berantem sama siapa, Kak ?” Suara lembutnya tiba-tiba mengusik alam bawah sadarnya yang tengah melanjutkan imajinasinya.

“Mario.” Jawaban singkat itu mampu membuat Racha terbelalak dan akhirnya entah sengaja atau tidak membuatnya meringis tertahan karena tangannya menekan luka di sudut bibirnya.

“Eh… Sorry, sorry, Kak. Nggak sengaja.” Ujarnya. “By the way, kok bisa berantem ? Masalah itu ya ?”

“Salah satunya.” Mengingat tadi banyak sekali yang ia ributkan dengan adiknya, termasuk gadis ini.

“Salah satunya ? Berarti ada yang lain dong ?”

Ia tersenyum simpul menanggapi pertanyaan Racha. Sepertinya gadis ini pantas menjadi agen rahasia yang tengah memata-matai. “Ada.”

May I know ?” Tanyanya sambil meletakkan kembali barang-barang yang ia gunakan kemudian mengambil plester bening dan melekatkannya ke sudut bibir luarnya yang tergores.

Dengan jarak sedekat ini ia benar-benar bisa menatap iris mata indah Racha yang tampak lebih indah dengan lingkaran biru dongker di sekelilingnya. Mata yang selalu membuatnya merasa tenang walau hanya menatapnya.

“Elo.” Ia bisa melihat dengan jelas bahwa saat ini Racha begitu kaget dengan jawabannya. Juga saat gerakan Racha saat menempelkan plester di sudut bibirnya terhenti.

“Aku ?”

Ia hanya mengagguk kecil. Sambil terus menatapnya. “Mario…” Kenapa suaranya mendadak hilang ketika ia mengingat bahwa adiknya menyukai gadis yang sepertinya juga ia sukai. “Suka sama elo.”

“Oh. Aku udah ngerti. Beberapa waktu lalu, dia ngomong sendiri ke aku.”

“Terus lo tolak ?” Racha hanya mengangguk sekilas. “Kenapa ?” Tanpa sadar, pertanyaannya mampu membuat gadis ini terdiam dari aktivitasnya dan menghela nafasnya kasar kemudian menatapnya dalam. Membuat es yang ada pada dirinya leleh seketika.

“Aku suka sama cowok lain.”

Jawaban itu. Membuatnya merasakan gejolak panas yang benar-benar membara dari dalam dirinya. Apakah ini yang disebut dengan cemburu ? Tapi… Sejak kapan ? “Who is he ?”

Racha hanya tersenyum. “Rahasia.” Ujarnya kemudian melangkah meninggalkan dirinya yang masih terbakar.

Ia tak akan membiarkan gadis ini menyukai pemuda lain selain dirinya ! Dengan gerakan cepat, ia menarik lengan gadis ini dan memeluknya dari belakang. Membuat Racha tersentak tanpa berontak.

“Gue nggak bakalan biarin lo jatuh cinta sama cowok lain selain gue, Farascha !”

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Astaga ! Sepertinya efek ucapan Sanders semalam membuat wajahnya terus terasa panas. Sesungguhnya, ia sendiri masih belum terlalu jelas dengan maksud Sanders.

Gue nggak bakalan biarin lo jatuh cinta sama cowok lain selain gue, Farascha !

Pemuda itu mengucapkan dengan nada dingin yang berbahaya. Sama seperti saat Sanders tengah berbicara empat mata dengan Mario. Bukan itu yang membuat rasa ingin tahunya memuncak, tapi maksud dari gertakan itu.

Apa Sanders mengetahui kalau dirinya menyukai pemuda itu ? Dengan gerakan cepat, ia menggelengkan kepala. Berharap pikirannya berada di pilihan yang salah. Tapi, siapa tau saja benar ?!

“Errr !” Erangnya sambil mengacak rambut sebal. Membuat guru yang tengah menulis di papan tulis, Sindy yang berada di sampingnya, serta teman-temannya kompak menoleh ke arahnya.

“Ada apa Farascha ?”

“Eh, itu… Nggak apa, Bu. Saya lagi mikirin soal buku paket ini aja, Bu. Susah banget !” Jawabnya lancar dengan menunjukkan soal yang adpa pada buku paket.

“Oh, saya kira apa. Ya sudah, kamu lanjutkan saja !”

“Baik, Bu.” Sedetik kemudian ia merasakan lengannya dicolek oleh Sindy yang duduk pada bangku sebelah kanannya. “Kenapa ?”

“Lagi ngelamunin apa ? Sampe baca buku aja kebalik.”

“Ha ?!” Sontak tatapannya kembali pada buku paket yang ada dihadapannya. TERBALIK. Goddess ! Teman-teman di sekelilingnya terkekeh pelan menertawai dirinya yang sekarang benar-benar ingin meledak.

Ini semua gara-gara efek ucapan Sanders semalam !

“Kenapa ? Kayaknya dari tadi bangun tidur wajahmu gampang banget merah, Cha.”

Dengan gerakan cepat dan tanpa ia sadari, matanya terbelalak sambil menatap bingung ke arah sahabatnya ini. “Masa seh ?” Ia hanya menghela nafas saat melihat Sindy mengangguk kemudian memulai ceritanya. Dari awal sampai akhirnya ia kembali ke kamar dengan wajah merah padam lengkap… kap… kap… tanpa ada satupun yang terlewatkan.

“Serius ?” Tanya sahabatnya lirih, saking lirihnya sampai terdengar seperti bisikan. “Kamu beneran, Cha ? Itu bukan halusinasimu aja, kan ?”

“Sembarangan aja !”

“Ya barang kali aja, Cha ! Kamu lagi berhalusinasi gitu waktu ngelamun.” Balasnya sambil terkekeh geli. Membuatnya mendengus kesal sambil memutar mata.

“Errr ! Nggak gitu juga kali, Sin !”

Sindy terkekeh geli melihatnya benar-benar dongkol. Enak saja ! Mentang-mentang dirinya menyukai pemuda itu, dengan mudahnya Sindy menuduhnya berhalusinasi. Padahal kejadian semalam bukanlah halusinasinya. Buktinya tadi pagi ia sempat menatap Sanders yang tengah meringis menahan perih lukanya sambil tersenyum geli ke arahnya karena –mungkin– wajahnya memerah. Dan kalau saja ruang makannya benar-benar dalam keadaan hening, mungkin pemuda itu bisa mendengarkan derup jantungnya yang sudah seperti suara sepatu kuda saat berlari.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Damn ! Gue bisa gila kalo kayak gini terus !! Ia mengacak rambutnya kesal. Sedari tadi suara lembut Racha yang mengalun merdu sempat terekam di otaknya itu menganggu akal sehatnya. Membuatnya tidak bisa bekerja pada project yang mulai ia kerjakan untuk meniti masa depannya. Padahal baru beberapa bulan ia meninggalkan rumah penuh kehangatan itu.

“Oh, come on Sanders ! Focus !”

Astaga ! Dengan berat hati ia menyudahi projectnya dan memijat pangkal hidung dan pelipisnya pelan. Apakah efek seorang gadis bernama Farascha memang sehebat ini pada kewarasannya ? Kalau iya, gadis itu benar-benar hebat. Mampu membuatnya setengah gila dan akhirnya menomor duakan pekerjaannya yang mulai ia rintis di perusahaan amatirnya.

Ia meringis tertahan sambil memejamkan matanya erat. Mencoba mengusir kelebat bayangan Racha yang selalu muncul saat ia tak menatap paras ayu gadis itu. Suaranya, canda-tawanya, senyumnya, tatapannya, dan semuanya. Gadis itulah yang mampu membuatnya memiliki semangat hidup setelah melakoni semua kisahnya yang begitu pahit.

“Kayaknya seru banget nih ?” Tanyanya pada gadis manis yang tengah memainkan gitarnya sembarangan.

“Eh… Iya bintangnya pada keluar semua, padahal barusan hujan.” Racha, gadis ini selalu bisa membuatnya untuk berpaling dari semua hal yang ia kerjakan demi untuk dapat menatapnya lebih lama lagi. “Oh ya, Kak Sanders katanya mau balik ke Bandung, ya ?”

Tatapannya, senyumannya, dan tawanya membuatnya harus mati-matian menahan diri untuk tidak memboyong gadis ini untuk ikut dengannya ke Bandung.

“Kak ?!”

“Eh Ya ?” Sial, sepertinya dirinya terlalu larut dalam lamunan fantasinya. “Kenapa ? Lo tadi tanya apa ?”

“Katanya Kak Riko, Kak Sanders mau balik ke Bandung, ya ?” Ia hanya mengangguk lembut sambil mengacak lembut rambut gadis manis yang tengah memeluk gitarnya sembari menatap langit. Ia memegang dada sebelah kirinya, disaja jantungnya berderup kencang. Meskipun hanya duduk bersebelahan seperti ini saja sudah membuat jantungnya loncat-loncat ingin memeluk gadis ini !

“Kenapa ?”

“Ya karena tempat tinggal gue di sana. Walaupun gue ngerasa pulang kalau lagi main disini.”

“Kok bisa ?”

“Nggak ngerti. Gue cuma ngerasa pulang waktu main kesini.” Ia menatap paras ayu yang tengah menatapnya bingung ini. Nyaris sempurna, tanpa celah. “Apalagi waktu gue di deket elo.” Bisiknya tanpa sadar. Membuat wajah gadis dihadapannya ini bersemu merah.

“Maksudnya ?”

“Eh, emang gue tadi ngomong apa ?”

“Apalagi waktu kakak lagi di deket aku.” Ucapnya “Maksudnya apa?”

Ia menghela nafas pelan. Jantungnya benar-benar tak bisa diajak kompromi. Lidahnya kelu. “Gue ngerasa bener-bener pulang waktu elo di deket gue.” Sadar atau tidak, ia bisa melihat semburat merah di wajah manis gadis itu.

“Astaga, Farascha ! Bisa-bisa gue gila sebelum gue bilang kalo gue suka sama elo lagi !” Dengan gerakan cepat, ia meraih kalender duduk di meja kerja yang ia tempatkan di apartemen sederhana yang berhasil ia beli dengan uang hasil tabungannya.

Ia memejamkan matanya entah sejak kapan ia merasa semua rasa rindunya benar-benar tak terbendung lagi. Dengan gerakan cepat, ia meraih ponselnya dan menempelkannya di telinganya.

Halo.”

“Halo, Fred. Gue minta tolong booking-in gue tiket ke Surabaya, dong.” Ucapnya gusar, entah mengapa ia ingin segera sampai di sana dan memeluk erat gadis bernama Farascha untuk meminta pertanggung jawaban atas rindu yang melandanya.

Oke, ada penerbangan besok jam sepuluh pagi. Gimana ?

“Iya deh, gue transfer kapan, nih ?”

Terserah lo aja, deh ! Kayak sama siapa aja !

“Oke, thanks Fred.”

“By the way, lo kenapa jadi sering banget ke Surabaya, San ?

“Masalah hati gue. Thanks Fred.” Dengan gerakan cepat ia memutus sambungannya sebelum teman lamanya itu bertanya-tanya lebih banyak.

Kedua sudut bibirnya tertarik untuk membentuk seulas senyuman. Menikmati derup jantungnya yang memburu. Astaga ! Sepertinya ia sudah benar-benar gila. Ia mengusap rambutnya kasar kemudian tersenyum lepas sambil menatap fotonya dengan Racha saat gadis itu mengikuti turnamen basket beberapa waktu lalu.

How could you make me like a little crazy man ? Hmm ? Just wait and see, Darl ! Lo mesti tanggung jawab atas semuanya !”

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Kesepuluh jarinya bertaut erat sambil sesekali meremasnya. Sedari tadi hal inilah yang ia lakukan. Gugup dengan pengumuman hasil seleksi salah satu universitas di Bandung.

“Udah, Cha ! Bukak aja napa ?” Ucap Dio sambil menatap layar laptop yang sedari tadi belum berubah.

“Bentar dong, Yo ! Masih deg-degan ini ! Kamu sih enak udah tinggal duduk di Cambridge.” Balasnya kemudian menghirup dan menghela nafas untuk menenangkan dirinya yang benar-benar gugup. “Bismillah.” Dengan tangan gemetar, ia membuka laman yang menampilkan siswa-siswa yang di terima di salah satu universitas yang merupakan hasil dari bentuk kerjasama antara Indonesia dan Perancis di bidang pendidikan.

“Farascha….” Tangannya berhenti bergerak pada nomor ke tiga belas. “Jasmine Devonne.” Ia mengerjapkan mata berkali-kali sebelum akhirnya berteriak kegirangan. “Alhamdulillah ! Astaga ! Lolos, Sin, Yo !! Aku Lolos ! Bunda, Ayah, Racha lolos !” Ia berputar-putar sambil berlari mengelilingi rumahnya.

Air mata bahagian begitu mudahnya meluncur deras. Membuatnya Nampak seperti orang gila yang tengah tertawa sambil menangis. Lelah karena tingkahnya sendiri ia kembali duduk di samping sahabatnya dan memeluk Sindy dan Dio yang tengah tersenyum ke arahnya.

“Selamat ya, Cha. You’re the best pokoknya !”

“Makasih. Congrats for you too, we’re the best pokoknya!” Balasnya kemudian tertawa. “Tapi sayang banget kita nggak satu universitas. Apa lagi Dio. Jauh banget, Yo.”

“Tapi kan kita tetep di satu kota, Cha. Kalau perlu kita berdua sekamar aja deh ! Lagi pula Dio bakalan sering ke Indonesia buat ngapelin kamu kok !” Sontak suara tawa mereka bertiga menggelegar menggema di setiap sudut rumah.

By the way, nanti biar aku aja yang jemput kalian berdua. Mau nggak ?”

“Boleh-boleh itung-itung hemat bahan bakar !” Celetuk Sindy yang langsung membuat gelak tawa mereka bertiga kembali terdengar.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Gadis ini tersenyum simpul saat menatap pantulan dirinya dalam cermin besar di gazebo auditorium yang sudah disulap. Begitu banyak kerlap-kerlip lampu yang menghiasi.

Pantulan dirinya benar-benar mendekati sempurna di balik polesan make up natural. Gaun cocktail bewarna merah marun dengan variasi lengan off shoulder di bagian kiri dan lengan setengah lingkaran di bagian kanan. Rambut pendeknya dibiarkan tergerai dan di buat ikal oleh Listy yang telah me-make over dirinya dan Sindy.

“Ehm, Cha ?”

“Ya.” Balasnya sambil menatap Dio dengan kening berkerut. Temannya ini tengah memainkan gelas yang ada di tanganya dan sering kali meminumnya sedikit demi sedikit. “Lagi gugup, Yo ?”

“Eh.” Sontak ia meletakkan gelasnya yang sudah kosong ke meja makanan terdekat. Kemudian mengankat kedua tangannya. Membuatnya mau tak mau terkekeh geli. “Nggak kok.” Tambahnya kemudian menatap bintang yang bertaburan di langit. “Em, Cha.”

Astaga, ada apa dengan temannya ini ? “Kenapa, Yo ?”

“Menurut lo, kalo lo lagi suka sama seseorang lo bakal ngapain ?” Pertanyaan ini benar-benar menohoknya. Selama ini ia hanya memendamnya. Terlalu minder untuk bersaing dengan Clara.

“Emang kenapa ?”

Just answer me, please.”

“Kalo aku jadi cowok, aku bakal ngomong langsung ke dia. Tapi kenyataannya, aku cewek yang cuma bisa diem karena takut.”

“Sama. Gue juga takut.” Ia menoleh ke arah Dio yang masih terdiam dengan wajah frustasi. “Gue takut ditolak sama dia.”

“Kalo kamu takutnya gara-gara ditolak, kayaknya kamu harus tetep ngomong deh. Ntar nyesel loh kalo nggak ngomong.” Candanya yang langsung di tanggapi dengan kekehan datar Dio. Membuatnya bingung karena tingkah aneh Dio.

“Gitu ya ?”

Ia mengangguk pasti. “Masalah ditolak itu nomer dua, Yo. Lagi pula kan kamu juga punya hak buat ngutarain perasaanmu.” Ucapnya sambil menepuk pelan bahu Dio. Menyalurkan kekuatannya. “Emang siapa gebetanmu, Yo ?”

Terlihat Dio tersenyum simpul sambil menunduk. Kemudian menatapnya dalam “Kamu.” Ia menghela nafas kemudian menghadap ke arahnya dan memegang kedua bahunya erat. “Kamu, Cha. Aku suka sama kamu sejak kita satu kelompok waktu MOS. Dan bodohnya, aku baru berani bilang sekarang.”

Jawaban singkat itu mampu membuat tubuhnya kaku. Jadi selama ini, Dio menyukainya ?

“Aku suka sama kamu, Faracha.” Terdengar helaan nafas kasar Dio diikuti dengan lepasnya cekalan tangan Dio di bahunya. “Tapi aku ngerti kalo kamu suka sama cowok lain. Maka dari itu aku takut kalo kamu nolak aku. Tapi keuntungannya, aku ngerasa lega udah nyatain perasaanku ke kamu.”

“Aku juga sayang sama kamu, Yo.” Balasnya sambil menggigit bibir bawahnya. “Aku sayang kamu sebagai sahabat kayak Sindy, aku sayang kamu sebagai kakakku kayak Kak Riko sama Kak Tian.”

I know it, Babe.”

I’m so Sorry, Dio.” Ia menghela nafasnya pelan. Menatap Dio yang juga tengah menatapnya sambil tersenyum simpul.

May I hug you ? As a bestfriend and also as a brother ? Hm ?” Ia terkekeh geli dengan tingkah Dio yang selalu bisa mencairkan suasana. Dengan gerakan cepat, ia menabrak tubuh tegap Dio dan memeluknya erat.

Thanks for everything, Farascha. I love you.” Bisik pemuda manis ini pelan sambil mengecup puncak kepalanya.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Gadis ini menghela nafasnya kasar. Sudah sejak dua jam yang lalu ia hanya duduk terdiam menikmati pemandangan taman kota yang benar-benar sejuk. Dio baru saja meninggalkan dirinya. Sindy ? Gadis itu baru saja pergi ke Jakarta untuk tinggal bersama nenek dari mamanya.

Miris. Dalam satu hari ia ditingal dua orang sahabatnya sekaligus. Parahnya ia juga dilanda rindu yang benar-benar menyakitkan pada sosok yang sekarang mungkin masih berkutat di Bandung.

Ia menengadahkan kepalanya. Membiarkan rintik hujan menerpa wajahnya. Sudah lama rasanya ia tak merasakan betapa dinginnya air hujan. Terakhir kali saat kelas dua SMA. Itupun ia lakukan bersama Sindy. Ia menghela nafasnya saat mengingat nama Sindy. Entah mengapa ia tak berani menjamin ucapan Sindy bahwa ia akan tetap sekolah di Bandung itu akan jadi kenyataan.

Ia melirik jam tangannya sekilas. Masih pukul Sembilan. Dua jam lagi ia harus ke Bandara untuk mengantarkan Dio yang akan meluncur ke Inggris untuk melanjutkan studynya di salah satu universitas ternama dunia.

“Aduh, Sindy kemana ya ? Kok Lama banget.” Dengan kesal ia menghentak-hentakkan kakinya. Sudah lima belas menit ia menunggu Sindy yang tengah pergi ke toilet namun, sahabatnya itu belum juga muncul.

Dengan berat hati ia masuk ke toilet untuk mengecek keberadaan sahabatnya itu. “Sin. Sindy ?” Sayangnya ia tak dapat menemukan Sindy di setiap bilik toilet. Membuatnya harus membuang pikiran-pikiran negatif yang menghantui otaknya. “Eh, mbak liat cewek rambutnya panjang pake baju motifnya bunga-bunga warna biru nggak ?” Tanya Racha pada seorang cleaning service.

“Loh, mbaknya itu udah keluar dari tadi. Soalnya saya tadi waktu ambil pembersilh lantai keluarnya barengan sama mbaknya itu.”

Astaga ! Kemana anak ini ? “Oh gitu, yaudah mbak makasih.” Dengan langkah lebar-lebar ia keluar dari toilet dan menuju ke tempat dimana ia menunggu Sindy. Belum sempat kakinya melangkah lebih jauh, ponselnya berdering menampilkan pesan dari Sindy.

Ia menutup mulutnya saat membaca pesan dari sahabatnya yang mengatakan bahwa gadis itu tengah perjalanan menuju rumahnya karena mamanya dalam perjalanan menuju ke rumahnya.

Astaga, pasti hak asuh atas Sindy dan Vio jatuh ke tangan mama mereka. Dan sekarang mama mereka datang untuk memboyong Sindy dan Vio kembali ke Jakarta, ke tempat asal mama mereka. Dengan gerakan cepat ia segera menuju ke parkiran untuk mengambil mobil kakaknya yang ia bawa.

Tak butuh waktu lama untuk menembus jalanan utama kota Surabaya. Setelahnya ia sampai, ia segera masuk ke rumah dan mendapati Sindy tengah menangis pilu dan Vio yang meronta di gendongan mamanya.

“Makasih ya, Jeng Tia. Udah mau menampung anak-anak sementara. Saya nggak ngerti harus gimana lagi buat bales budi.”

“Nggak papa kok, Jeng. Lagi pula saya seneng-seneng aja ada Sindy sama Vio. Bikin rumah tambah seru.”

“Sindy.” Ujarnya lirih. Ia belum siap jika Sindy harus di bawa ke Jakarta oleh mamanya. Ia benar-benar belum siap jika harus kehilangan sosok sahabat yang selalu dekat dengannya seperti ketiga kakaknya. Sosok sahabat yang selalu ada saat ia suka maupun sedih. Tanpa ia sadari air matanya mengalir. Ia terus berjalan sampai akhirnya ia memeluk tubuh sahabatnya.

“Racha. Makasih ya, udah mau nyediain tempat buat aku. Makasih udah sudi jadi sahabatku. Makasih udah ada waktu aku butuh.”

“Sin. Stay, please.” Ujarnya sembari menyeka air matanya. “Masa kamu tega ninggalin aku sendirian ? Hm ? Dio bentar lagi ke Inggris. Kamu bentar lagi ke Jakarta.”

“Tapi aku tetep kuliah di Bandung kok, iya kan Ma ?”

Ia membuka matanya setelah merasa hujan telah berhenti mengguyurnya. Kemudian beranjak untuk segera pulang. Namun, langkahnya berhenti ketika mendapati sosok yang tak terduga di hadapannya tengah memegang payung untuk melindunginya dari hujan.

Alexanders.

Haha ! Pasti ia sedang berhalusinasi karena terlalu merindukan sosok Sanders.

“Mau sakit, ya ? Hm ?” Nada bernada rendah dan dingin itu membuatnya mau tak mau sadar bahwa dihadapannya ini memanglah Sanders. Bukan halusinasinya semata.

“Kak Sanders ?” Tanyanya lirih sampai nyaris berbisik. Sepertinya kesadarannya belum utuh setelah meratapi nasibnya. “Kak Sanders ngapain disini ?”

“Gue lagi kangen sama seseorang.” Balas pemuda manis di hadapannya sambil tersenyum simpul.

Sedangkan dirinya ? Rasa sesak itu kembali hadir. Membuatnya mati-matian menahan tangis. Haha… Sepertinya nasib baik tak berpihak kepadanya.

“Seseorang yang baru aja gue kenal beberapa bulan yang lalu.” Lajutnya masih dengan senyuman yang menempel di bibirnya. “Dia cantik, manis, baik, pengertian, tipe idaman banget pokoknya.”

“Siapa ? Kayaknya beruntung banget ya dia, Kak.” Tanyanya sambil mengedarkan pandangannya. Mencoba untuk mengusir rasa sesaknya.

“Lo kenal banget sama dia.”

Oh god ! Ia merasakan jatungnya seakan-akan berhenti berdetak mendengar jawaban dari bibir Sanders. Sepertinya… Sepertinya… Stop it, please ! Ia merasa air matanya akan benar-benar turun beberapa saat lagi. “Ehm… Kak, aku permisi bentar ya. Barusan disuruh…” Kalimatnya ini tak akan pernah selesai ia ucapkan dan tak akan pernah selesai karena dengan gerakan cepat Sanders meletakkan payungnya sembarangan dan memeluknya erat. Sangat erat.

“Namanya Farascha Jasmine Devonne.” Ia mampu merasakan bahwa tubuhnya kaku seketika dalam pelukan erat Sanders. “Gue nggak tau sejak kapan gue ngerasa kangen berat sama elo. Gue bener-bener kangen sampe gue nggak bisa mikir apapun selain elo, Farascha.”

Tanpa ia sadar, air matanya meleleh. Entah mengapa ia sendiri juga tak mengerti.

“Gue ngerasa kalo gue bener-bener gila ! Sakau ! Karena rasa kangen gue ke elo. Dan lo tau, sekarang gue bener-bener ngerasa tenang dan nyaman karena elo udah ada disamping gue.”

“Gue nggak ngerti perasaan elo ke gue kayak gimana. Yang penting…” Ia menatap pilu Sanders yang melepas pelukan eratnya dan menangkup wajahnya dengan kedua tangannya. Terlihat jelas bahwa Sanders tengah tersenyum lepas, membuat wajahnya seribu kali lipat lebih tampan. “I’ve decided it and I want you to know that I love you, Farascha.”

Pernyataan sederhana itu mampu membuat air matanya mengalir lebih deras. Apakah ini semua hanya mimpinya ? Jika memang ini semua hanyalah mimpi belaka, ia rela untuk hibernasi selamanya demi mimpi ini.

I love you and love you, Farascha. Just you.” Dengan pasti ia melingkarkan tangannya ke pinggang Sanders dan memeluknya erat sambil tersenyum lega.

Thanks just for loving me and I deeply love you too, Alexanders.”

Semoga semua ini benar-benar nyata dengan hujan sebagai saksi untuk semuanya yang telah terjadi.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Continue Reading

You'll Also Like

4.7M 173K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
13M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
1.2M 108K 25
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...