7a

1.4K 52 1
                                    

But… I know, loving you is painfull…

Dengan gerakan cepat, gadis ini menyambar tas dan berlari keluar dari kelasnya setelah sang dosen keluar. Jantungnya berderup kencang. Hanya satu yang ia pikirkan. Apakah pacarnya baik-baik saja ? Ataukah sebaliknya ?

Baru beberapan menit yang lalu ia dikabari Sanders bahwa mamanya –Yang menghilang selama bertahun-tahun dan baru seminggu bertemu dengannya– tengah kritis di rumah sakit karena kanker serviks yang sudah berada di stadium empat.

Ia melambaikan tangannya berharap ada taksi yang menghampirinya dengan cepat. “Rumah sakit Pribumi, Pak.” Ucapnya setelah menghempaskan tubuhnya di jok taksi. “Cepetan dikit ya, Pak. Lagi urgen.”

“Iya, Mbak.” Ia melirik jam tangannya cemas. Semoga saja jalanan tidak macet dan ia segera sampai di rumah sakit itu untuk menengok seorang wanita paruh baya yang beberapa hari ini menyunggingkan senyuman termanisnya saat dirinya datang menjenguk.

Teringat betapa bahagianya Sanders saat ia tengah berkunjung di rumah almarhumah neneknya –bersama dirinya tentunya. Ia menemukan seorang wanita paruh baya yang masih terlihat muda dii di depan pagar sembari menenteng dua buah koper.

Dengan gerakan cepat Sanders langsung melepaskan genggaman tangannya dan berlari memeluk wanita itu. Membuat si wanitanya itu menangis tanpa mau balik memeluk Sanders.

Ia melirik jam tangannya lagi. Masih separuh perjalanan. Sebenarnya jarak kampusnya dan rumah sakit tempat mama Sanders dirawat tidak terlalu jauh jika ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Hanya membutuhkan sekitar limabelas menit. Tapi entah mengapa waktu seperti berhenti berputar. Membuatnya mendesah pelan.

“Sudah sampai, Mbak.” Sontak ia melihat argo yang menunjukkan nominal sebesar tiga puluh ribu rupiah kemudian mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan.

“Kembaliannya ambil aja, Pak. Makasih.” Dengan gerakan cepat ia membuka pintu dan berlari sekencang mungkin ke ruangan tempat mama Sanders di rawat. Melati-25.

Dengan nafas terengah-engah ia menunduk memegang lututnya sambil mencoba mengatur nafasnya.

“Racha.” Terdengar suara yang benar-benar familiar di telinganya itu begitu lirih. Ia mendongak dan menatap Sanders yang tengah menatapnya. Sorot mata tajam yang selalu membuatnya berdebar itu hilang entah kemana berganti dengan tatapan yang menyorotkan kesedihan.

Belum sempat ia bertanya, Sanders sudah menariknya ke dalam pelukan eratnya. Begitu erat sampai membuatnya sesak napas. Ada apa ini? Sekelebat pikiran aneh yang sempat menyerang otaknya segera ditepisnya. Dengan pasti ia balas melingkarkan tangannya di pinggang Sanders dan mengelus punggung lebarnya lembut.

“Mama udah pergi ninggalin gue.” Kalimat yang sesingkat itu mampu membuat tubuhnya merasa dingin seketika.

“Kapan ?”

“Tepat waktu lo dateng di sini.” Suaranya begitu parau sembari mengeratkan pelukannya.

Tanpa sadar air matanya meleleh deras. Membuat Sanders merenggangkan pelukannya dan menatapnya sambil tersenyum simpul. Kemudian jari-jari kokoh Sanders berpindah menangkup pipinya dan menghapus air matanya pelan.

“Kok kamu nggak nangis ? Nangis aja kali, Kak.”

Lagi-lagi Sanders hanya menggeleng dan tersenyum. Kemudian pemuda itu menyandarkan keningnya ke bahu mungil Racha. “Nggak bisa nangis.”

“Loh ? Kenapa ?”

Racha bisa merasakan bahwa Sanders menggeleng kecil di bahunya. “Mungkin karena mama terlalu jauh dari gue, walaupun mama adalah perempuan yang udah ngelahirin gue.”

LOVE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang