3

2.2K 62 2
                                    

And loving you makes me going crazy…

Telihat pemuda yang tengah memakai baju basket kebanggaannya berjalan ke arah meja guru yang tengah mengajar jam matematika di kelasnya. Berbincang sebentar kemudian berjalan pasti menuju ke arahnya.

“Sekarang, bisa ?” Tanya Dio –pemuda itu– “Penting banget, Cha.” Tambahnya sambil mengatur nafas. Sepertinya pemuda itu sudah kewalahan menangani adik kelas mereka. Buktinya keringat sebiji jagung mengucur deras dari sekujur tubuhnya.

“Oke, aku ganti baju dulu ya.” Dengan gerakan cepat Racha mengambil baju basket bewarna merah marun dengan beberapa seleret putih dan wadah sepatu yang sudah sepaket. Baju yang selama ini menjadi kebanggaannya saat ia ikut pertandingan bola basket. Dengan nomor punggung tiga belas. Tanggal lahirnya. “Sin, aku titip catetan lagi, yah !” Bisiknya pada sahabatnya yang duduk di sampingnya itu.

“Beres !”

“Permisi, Bu.” Pamit Racha sambil menganggukkan kepala pada guru. “Kamu nunggu langsung aja di lapangan basket, Yo.”

“Iyalah masa aku juga ikut kamu ganti baju !” Balas Dio yang langsung mendapatkan tinjuan ringan di lengannya. “Jangan lama-lama ya, Cha !” Racha hanya mengangguk pasti dan berbelok ke koridor kamar mandi perempuan yang ada di gedung kelas dua belas.

Kemarin malam, Dio berkunjung ke rumahnya untuk menjelaskan permasalahan yang sedang menimpa tim basket angkatan bawahnya. Banyak  pemain utama yang cidera gara-gara bertanding dengan kasar karena mengikuti permainan si lawan. Jadi, mau tidak mau, untuk babak final ini, baik tim putra dan tim putri terpaksa menggunakan tenaga kelas dua belas yang seharusnya sudah pensiun untuk bertanding membawa nama sekolah dan fokus untuk tembus UN dan seleksi masuk PTN.

Dan masalahnya, di babak final nanti, mereka akan bertemu musuh bebuyutan nomer satu !

Racha mengikat poninya ke belakang agar tidak mengganggunya saat berlatih nanti. Sengaja ia memakai ikat rambut untuk mengikat poninya agar rambutnya yang super duper lembut itu tidak berjatuhan dan memudahkannya untuk bergerak bebas.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Pemuda itu tersenyum kagum. Gadis yang selama ini selalu menjadi korbannya itu memang sangat-amat menarik. Mulai dari ketidak tertarikan padanya, terang-terangan menolaknya, membuat tangannya terpelintir gara-gara ia mencekal tangan gadis itu erat untuk mengajaknya pulang bareng, sampai ia melihat sendiri gadis manis itu sangat lihai dalam permainan basketnya.

Terasa jelas, gadis manis yang berbalut kostum basket yang cara berpakaiannya berbeda dibanding yang lain itu memancarkan aura yang membuatnya tertarik, mungkin bukan hanya dirinya yang tertarik.

Atasan kostum basket yang seharusnya dimasukkan malah dikeluarkan, menutupi separuh bawahan kostum basketnya. Membuat tubuh gadis itu tenggelam dalam pakaiannya yang cukup kebesaran itu. Sampai detik ini, ia sangat tidak bisa menyangka bahwa gadis yang selalu berpakaian dengan pakaian yang cukup kebesaran itu memiliki tubuh yang ideal dan lumayan seksi.

Terlihat dari lengan dan kakinya yang jenjang itu terpampang jelas. Benar-benar pas dengan tingginya yang diatas rata-rata minimum seorang gadis untuk mengikuti beberapa kompetisi model ataupun akademi kemiliteran. Tidak terlalu kurus dan jauh dari kata gemuk.

Entah mengapa ada yang bergetar saat ia menatap manik mata milik Racha. Seolah ada pengaruh hipnotis. Membuatnya tanpa sadar terus menatapnya. Tatapan teduh milik gadis itu membuatnya nyaman dan tenang. Sorot keceriaannya membuat seolah-olah gadis itu berbagi keceriaan untuk hidupnya yang cukup suram.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Racha berlari keluar sekolah setelah mendapati pesan singkat Kak Tian yang berpamitan untuk kembali ke Bandung. Kembali menuntut ilmu setelah tiga bulan lamanya libur. Ia benar-benar kesal, bagaimana bisa kakaknya tak mengabari dirinya secara langsung. Padahal kemarin malam ia dan ketiga kakaknya masih bercanda ria.

LOVE STORYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang