Berlawanan

Door inas_nee

7.9K 343 57

Didekati bad boy secara instan, lalu di-PHP, dan malah melihat cowok idamannya menjalin hubungan dengan teman... Meer

1. Confident Booster
2. EXPO Ekskul
3. "Kalo Bastian emang jodoh gue, gimana?"
4. Sesaat
5. Minggu Percobaan
6. Pembuka Masa Lalu
7. Terjebak Stigma
8. Perayu Ulung
9. Di Luar Zona Nyaman
10. Manusia Egois
11. Bahagia yang Tak Kasatmata
12. Melengkapi dan Menggenapi
13. Sejejak Kepedulian
15. Sekadar Pernah
16. Pelukan Keabadian
17. Yang Terbaik Belum Tentu untuk Semuanya
18. Takaran Positif
19. Menyalahgunakan Cinta
20. Melimpahkan Tanggung Jawab
21. Final Word
[Cuap-cuap] What I Miss on Berlawanan

14. Tetap Terlelap

150 11 1
Door inas_nee


14. Tetap Terlelap

Liburan akhir tahun saat Avrin kelas sembilan dulu, Kandika juga sempat marah-marah padanya—kali ini memang dia yang salah. Cewek itu ingat, tanpa perhitungan, membuka situs pemesanan tiket pesawat tujuan Singapura. Untuk empat orang sekaligus. Dia bahkan sudah menabung dari jauh-jauh hari untuk membayari penerbangannya sendiri. Saat sedang memilih kelas maskapai, Kandika lewat di belakangnya, dan memergokinya. Kakaknya langsung menutup layar laptop dan menasihatinya macam-macam. Saat orangtua Avrin mendatangi mereka, Kandika menjelaskan semuanya tanpa basa-basi lagi.

Istirahat kedua, Avrin memilih berdiam di kelas. Dia mengelus-elus layar ponselnya yang mati dengan telunjuknya, memikirkan tingkah-laku Kandika saat itu. Yang dia ingat hanya ekspresi datarnya, tersenyum seperlunya, dan tampak damai seakan masalah tak pernah menyentuh hidupnya.

"Avrin!" Tiva menyenggol bahu teman sebangkunya yang sedang cemberut, tanpa separuh bete. Nadanya riang dan tinggi, berusaha memengaruhi cewek itu. Sejak pesan LINE jujur mereka, Tiva berusaha menata hatinya lagi. "Rin, pulang sekolah nanti, Bastian mau main ke rumah gue lho. Ikut yuk?"

Benar saja, Avrin langsung menegakkan badan dan menoleh ke arah Tiva. Matanya mengerjap-kerjap. "Yang bener?" tanya Avrin, sedikit sangsi. Selama dua minggu sejak semester baru dimulai, Faizal menggemblengnya dengan instruksi ini-itu demi mengembangkan kemampuannya merangkai bunga. Jenis-jenis bunga per musim sudah di luar kepalanya—alias lupa semua, sedangkan wadah yang jadi favoritnya hanya vas kecil yang bisa diisi beberapa tangkai saja, cocok ditaruh di toilet. Nggak ada inovasi apa pun.

Kandika sendiri sibuk dengan macam-macam latihan soal, pendalaman materi, dan try out yang rasanya berabad-abad. Avrin bertanya-tanya, apa cowok itu ikhlas menyerahkan tanggung jawba pada Faizal, mengingat dirinya sangat tidak berkompeten saat diajari.

"Kenapa? Ada ekskul?" Tiva menggeser kursi, menyelipkan diri di balik mejanya, lalu duduk menghadap Avrin. Raut mukanya lebih segar dari semester lalu. Matanya berbinar-binar ceria.

Di titik ini, Avrin rasanya ingin tenggelam. Mana mungkin dia menyakiti cewek baik hati ini, yang sempat membuat pikiran bulusnya merancang strategi membabi buta? Tapi, kenapa dia harus peduli? Kenapa dia tidak membebaskan jiwa menjadi diri sendiri saja?

"Pertengahan Februari nanti, Faizal bakal mewakili Penabur Ilmu ke SMA Nala Dewa," jelas Avrin, menyandarkan kepala di permukaan meja. "Intinya sih ngedaftarin gue ikut lomba mereka. Aduh, gila banget tuh cowok. Denger-denger, tahun kemarin hasil rancangan bunganya juga hancur kok. Kenapa sekarang malah gue yang disuruh-suruh, dia main jadi manajer doang?"

"Enak kali, Rin, bisa langsung dapet kesempatan ikut lomba. Lah, kemarin gue malah kalah seleksi awal—walau tetep ngedukung Bastian," Tiva tersenyum, lalu terkekeh saat Avrin membalasnya dengan dengusan. Barangkali cewek itu akan menawarinya ikut menonton—atau, lebih gila lagi, menggantikannya berkompetisi. "Izin aja sehari. Nanti langsung ke rumah gue, gimana? Itung-itung refreshing."

"Kayak liburan kemarin refreshing-nya kurang aja," sungut Avrin, tapi memang nggak ingin menolak tawaran Tiva. Nggak peduli cewek itu berpotensi pamer kemesraan di rumahnya nanti, dia lebih baik kabur dari Faizal untuk sementara.

Seusai dari Bali, dia memaksa Kandika ke sekolah—yang untungnya tetap buka, walau harus masuk lewat gerbang samping. Dia bersemangat menjemput Sama dari ruang ekskulnya, dan sekarang ikan itu mendekam manis di kamarnya. Gawatnya, Faizal sempat mampir dan berjanji akan menghadiahinya akuarium, lengkap dengan teman-teman ikan baru, kalau dia menang lomba.

"Gue bilang Kandika dulu deh, biar dia nggak nyariin." Avrin sudah sibuk mengetik pesan saat Tiva mengangguk.

Siangnya, saat baru keluar kelas, gerimis merayapi langit. Avrin masih sempat mendongak, namun ketika menoleh mencari Tiva, cewek itu sudah lari dengan bersemangat di belakang Bastian. Bergandengan tangan. Dia cepat-cepat menyusul, tangannya mengeluarkan ponsel dari saku rok, memastikan ada pesan penting.

Avrin memotong jalan melewati halaman tengah, menjauhi kerumunan yang mulai menyesaki koridor. Rintik-rintik air memukuli kepalanya, membuatnya mempercepat langkah dan berharap Bastian nggak meninggalkannya dengan mobil. Saat melewati jalan di samping perpustakaan, Avrin nggak bisa menahan diri untuk menoleh sekilas. Pikirannya campur-aduk, tapi kakinya memaksakan diri untuk terus melaju.

Mendekati tempat parkir, Avrin melihat siluet cowok jangkung, berdiri di depan sepeda motor yang diapit motor lain. Mulut Avrin sudah terbuka hendak menyapa, tapi saat cowok itu menoleh, dia terkesiap. Kandika melempar tatapan paling sayu yang pernah Avrin lihat. Rambutnya yang hampir basah menambah kesan penderitaan tanpa akhir. Kenapa lagi ini?

"Avriiiin!" Dari arah jalur mobil, Tiva berteriak lantang. Tangannya bersiap-siap membuka daun pintu. Begitu Toyota Rush biru metalik yang dia tumpangi berhenti, Avrin langsung menyerbu masuk. Melangkahi Tiva yang menutup pintu.

Bastian melajukan mobilnya perlahan, menyalakan wiper. Jalanan sudah dipenuhi genangan air saat mereka keluar gerbang. Avrin yang penasaran berbalik, memerhatikan sosok Kandika yang semakin jauh, membiarkan tubuhnya sendiri basah kuyup.

***

"Gue nggak tahu kalo Bastian berani nyetir tanpa SIM," komentar Avrin, menyuarakan pikiran pertamanya saat cowok itu menyingkir dari motor di sebelah kiri dengan sabar.

Bastian terkekeh. "Emang kenapa? Nggak kelihatan ya?"

"Rasanya gue kesurupan arwahnya Kak Kandika sampe mikirin aturan gitu," Avrin mengesah. Dia memangku ranselnya dan merebahkan punggung. Selagi mengamati kelebatan pohon, motor, dan mobil di samping kanannya, Avrin kembali bersuara, "Kalian liburan ngapain aja? Kayaknya seru banget."

"Ngelukis!" seru Tiva, lagi-lagi terdengar antusias. Sifat ini, sedikit-banyak, menyadarkan Avrin bahwa cewek itu nggak protes sama sekali dari tadi. Biasanya, boro-boro ngajak Bastian ngomong, deket-deket aja udah mustahil kuadrat.

"Lo harus liat sendiri, Rin," sahut Bastian. "Rumah Tiva udah jadi galeri."

Cowok itu nggak bohong. Beberapa menit kemudian, Avrin menginjakkan kaki di ruang tamu Tiva—tampak tak terganggu dengan seragamnya yang setengah basah. Dinding-dindingnya sudah dipenuhi kanvas berbagai ukuran, mulai yang sedang sampai kecil, dari hori-zontal hingga vertikal.

"Ini semua Tiva yang ngelukis?" tanya Avrin, takjub. Dia mendekati salah satu gambar yang menunjukkan dua gunung. Di tengahnya, terdapat setengah lingkaran Matahari. Garis sambungan yang biasanya berupa jalan, kini membantuk cone es krim, runcing dan berkotak-kotak. Tangan seseorang memegangi cone itu, seolah-olah sedang selfie. Tipikal pegunungan yang sering dia temukan waktu SD berubah menjadi sesuatu yang baru. "Cool."

Sibuk mengamati, Avrin nggak memerhatikan ke mana perginya Tiva dan Bastian. Ada lukisan pohon besar dengan rumah terbalik yang menyangkut di rerimbunan daunnya, dilumuri warna-warna terang, saling tabrak dan menguatkan kesan ceria. Hampir nggak ada gradasi. Sekilas, mirip karya anak TK. Tapi, di tangan Tiva, jadinya bagus sekali.

Sebuah handuk menimpuk rambut Avrin pelan. Ketika menoleh, Tiva tersenyum di belakangnya.

"Itu idenya Bastian," Tiva menerangkan. "Dia gambar satu atau beberapa garis. Kadang juga bentuk. Terus gue yang ngelanjutin. Semua objeknya jadi abstrak deh."

"Tapi brilian," Avrin mulai menggosok rambutnya, lalu mengikuti Tiva duduk di salah satu sofa. "Jujur, gue masih nggak ngerti kenapa lo ngajak gue ke sini."

"Refreshing, Rin," jawab Tiva. Dia memberi jeda saat Bastian masuk membawa nampan berisi teko dan tiga cangkir. Cewek itu menuangkan teh untuk Avrin sebelum melanjutkan, "Atau, bersenang-senang. Lo kelihatan tertekan banget sama semua latihan ekskul lo. Sama kayak gue yang nggak bisa ikut lomba semester kemarin. Padahal harusnya, kreativitas itu menemukan cara untuk bersenang-senang. Kayak lukisan-lukisan di sini."

Langit-langit rumah Tiva memang tinggi, dan tiap ruangannya lebar banget. Avrin merasa bisa berlarian di sana tanpa menyandung satu barang pun. Terakhir kali kemari, dia hanya menemukan dua pajangan standar berbentuk oval. Kacanya melapisi gambar pedesaan dengan orang-orang yang mengangkut sejumput padi. Begitu invasi Bastian dan Tiva merajalela, ruangan itu terkesan hidup dan nggak monoton. Penataan kanvasnya yang penuh perhitungan pun bisa mempertahankan keluasan ruangan itu.

"Orangtua lo nggak keberatan?" cetus Avrin, mengangkat cangkir dan langsung menyeruput tehnya tanpa dituang dulu di tatakan.

"Malah seneng bisa mamerin karya anaknya," timpal Bastian. Cowok itu tersenyum lebar, lalu menambahkan, "Lo bilang, tahun kemarin karangan Faizal hancur, kan? Mungkin, lo bisa tetep nyantai tapi serius, Rin. Pokoknya, udah berusaha maksimal."

"Sebenernya gue cuma nggak suka digembleng habis-habisan sih," Avrin mengedikkan bahu, entah kenapa merasa perlu membela cowok itu. "Tapi, makasih sarannya ya. Rasanya gue tercerahkan."

Menit berikutnya, Avrin sibuk melihat-lihat buku sketsa Tiva. Cewek itu berlatih menggambar wajah orang-orang di sekitarnya—orangtua, mungkin saudara (Avrin nggak familier dengan wajah mereka), dan Bastian.

"Tiv, lo gambar Bastian kayak cewek aja jadinya," Avrin langsung menutup mulutnya. Tiva yang konsentrasi nonton DVD Doraemon langsung menoleh. "Nih, liat." Karena sudah kepalang basah, Avrin menyodorkan gambar itu saja di hadapan dua temannya.

Bastian mengerutkan dahi dengan serius, lalu mengerucutkan bibir. "Sial, gue jadi kayak crosdressing di sini."

"Nah, kan," Avrin membalas, seolah puas penilaiannya nggak meleset.

"Tapi coba ngaca deh, Bas, lo emang cantik kalo mau," Tiva memainkan pipi cowoknya dengan telunjuk. "Gue bisa gambarin Kandika buat lo kalo mau juga, Rin."

Avrin menurunkan buku sketsa di genggamannya. "Kenapa tiba-tiba?"

Tiva mengedikkan bahu. "Lo tahu sendiri, anak-anak Evolusi pada rame setelah lo upload foto liburan kalian di Instagram."

Yah, toh bukan yang di jembatan kuning, pikir Avrin. "Terus? Eh, omong-omong, Evolusi udah jarang keluar lagi."

"Gue sendiri lagi males keluar-keluar sih," jawab Tiva. "Bentar. Jangan ngalihin pembicaraan dong!" Gantian Tiva yang cemberut, dan Bastian tertawa terpingkal-pingkal seolah dirinya yang berhasil mengibuli cewek itu. "Apa tadi? Oh ya. Entah gimana grup ekskul gue—terutama anak kelas sebelas—pada gencar juga ngomongin kalian. Terutama Kak Kandika."

Avrin mengamati Bastian. Cowok itu hanya mengedikkan bahu. "Gue jadi bertanya-tanya, apa semua orang tahu kalo Kak Kandika cuma anak angkat."

"Jadi kalian pacaran?" pancing Bastian, mulai melirik sarat godaan.

Tangan Avrin menggaruk leher yang nggak gatal. Dia pura-pura mencari posisi duduk yang lebih pas, sengaja mengulur-ulur waktu. "Ya..." Dia mengerjap-kerjapkan mata, lirik sana-sini. Membiarkan Tiva menunggu. "...enggak sih."

Tiva menepuk lengan Avrin, lumayan keras tapi nggak sakit. Mereka masih melanjutkan cerita sampai jam menunjukkan pukul empat sore.

***

Hujan sudah reda saat Avrin naik ke mobil Bastian—sengaja memilih duduk di tengah. Sepanjang waktu, Tiva tampak baik-baik saja. Ikhlas. Tanpa pancaran permusuhan.

Atau, Avrin justru harus waspada dengan perubahan tiba-tiba ini?

Ingat Tiva, Avrin baru sadar, awal minggu bulan Maret adalah ulang tahun temannya itu. "Bas, lo nggak nyiapin surprise apa gitu buat ultahnya Tiva?"

"Masih jauh, kan?"

"Singkatnya," Avrin sedikit terkekeh, heran ide ini tiba-tiba muncul di benaknya, "gue request lo nyanyiin sesuatu yang spesial buat dia. Atau kita sekelas nyanyi bareng juga nggak masalah."

Bastian mengangguk-angguk. "Gue tanyain rekomendasi lagu dari temen gue dari Halftone."

Halftone adalah nama ekskul paduan suara di SMA mereka. Semua murid tahu, awalnya, beberapa pihak ngotot menamainya Exorcist. Hanya, karena artinya kurang enak, pembina mereka memberi pilihan alternatif—Halftone—yang langsung disetujui.

"Lo kenal Tiva sejak kapan, Rin?" Bastian bertanya, melihat Avrin dari kaca pengemudi. Dia nggak merasa keberatan dianggap sopir atau apa lah. Justru, dia tahu betul kenapa Avrin melakukannya.

"Pas MOS dulu, gantungan tas Tiva narik perhatian gue," jawab Avrin. Dia ingat, rencengan kepala-kepala Doraemon kecil dalam bentuk fiber glass itu mendorongnya menghentikan Tiva.

"Yang Doraemon itu?" Bastian memastikan.

Avrin mengangguk. "Gue sapa, ajak duduk bareng. Ya gitu deh." Cewek itu mengamati ekspresi Bastian, seolah dengan melakukannya, dia bisa mendapat jawaban bagaimana dua orang itu bisa kenal sampai pacaran. "Belakangan, gue tahu dia suka AKB48, film Larva—nggak beda jauh sama gue lah." Dia baru hendak menyebut warna favorit cewek itu saat Bastian menyela.

"Menurut lo, kenapa Faizal ngasih dia boneka Larva?"

Oh, Avrin mengembuskan napas, jadi ini inti pembicaraannya. Ngebiarin gue ngintilin mereka ke mana-mana, ujung-ujungnya cuma jadi narasumber dadakan?

"Entahlah, Bas. Gue buntu dan nyerah kalo kalian lagi nyusun strategi perang ngerebut hatinya Tiva," Avrin mengembuskan napas lagi, kali ini sedikit memajukan badan supaya cowok itu mengerti dia serius. "Tapi, gue punya teori sendiri."

Bastian mengangguk, memberi sinyal bahwa dia menyimak.

"Kak Kandika itu sengaja ngusik gue supaya jauh-jauh dari lo—semata karena lo pacarnya Tiva. Nah, dia merintahin Faizal deket-deket gue supaya waktu dia bareng cewek lain, gue sadar siapa yang gue kangenin sebenernya." Avrin menyeringai, Bastian geleng-geleng. Nggak ada satu pun dari mereka yang kaget dengan fakta itu. Sekarang, memetakan perasaannya terhadap Bastian jauh lebih rumit dan asing. Menelaah perasaannya atas hubungan Kandika dan Faizal memberinya kesempatan untuk berpikir keras, meski keengganan akutnya sangat transparan.

"Jadi, apa lo suka Faizal?" Bastian masih mengejar.

"Ya nggak lah, gila! Dari elo, langsung turun ke dia. Itu degradasi banget. Kak Kandika bisa semaput!"

Tawa Bastian mengudara berbarengan dengan gelak Avrin yang menjadi-jadi. Cewek itu sampai membungkuk-bungkuk menahan sakit perut, sedangkan Bastian berusaha berkonsentrasi pada jalan sambil menarik napas panjang-panjang.

"Sejujurnya," Bastian berdeham, setelah berhasil menguasai dan menenangkan diri, "gue pengin ngasih lo satu nasihat penting."

"Ya?"

"Mungkin subjektif. Tapi gue harap, lo mau mempertimbangkannya." Mata Bastian terus menatap ke arah jalan. Laju mobilnya memelan saat rumah Avrin sudah tampak dua meter di depannya. "Jauhin Faizal, Rin."

"Kenapa?" Avrin terperanjat, tapi cepat-cepat memasang tampang tenang.

"Jauhi aja, sebelum terlambat."

"Faizal kan—"

Bastian nggak mau mendengarnya lagi. Begitu mobil berhenti, dia hanya membuang muka dari Avrin.

"Makasih, Bas." Avrin turun, benar-benar memaknai ungkapannya.

Mungkin, masalah yang dia temui—apalagi yang terjadi setahun lalu—justru lebih besar dan rumit dari yang dia kira.

***

Kalo Kandika berusaha memisahkannya dari Bastian, sementara mantan gebetannya itu me-nyarankannya untuk mejauhi Faizal, apa mungkin Kandika dan Bastian punya hubungan dengan longsornya student center?

Tapi, seluruh anak kelas sepuluh, sejauh pengamatan Avrin, kurang tahu-menahu soal student center. Hanya angkatan kakak kelas saja yang suka melempar pandangan penuh kode rahasia, entah apa yang mereka rahasiakan.

Sudah pukul tujuh. Kandika belum memunculkan batang hidungnya. Jempol Avrin sampai capek mengiriminya pesan berulang-ulang, tanpa mendapat balasan. Dia sudah mandi sejak diantar pulang Bastian, mengerjakan PR asal-asalan sampai selesai, dan turun ke ruang tengah, menemani orangtuanya nonton TV.

"Ma," panggil Avrin, akhirnya. "Kak Kandika kok nggak pulang-pulang sih?"

"Mungkin kerja kelompok?" jawab Savina, meragukan.

"Tapi nggak bales pesan. Biasanya masih sempat," kata Avrin lagi, menegakkan punggungnya dan mengangkat rambutnya agar bisa nyaman disandari.

"Kamu ngejailin dia lagi, kali," seloroh Riady, lalu terkikik-kikik sendiri.

"Apa mungkin ke rumah saudara? Dia pasti udah minta izin, kan?"

"Makanya kalo Kandika masih di sini, kekepin terus..."

"Papa!" Savina menepuk lengan suaminya.

Dalam kondisi normal, Avrin pasti tertawa mendengar ucapan papanya. Hanya saja, hatinya ingin semua ini cepat beres. "Apa ke rumah Faizal?"

Nah. Mamanya langsung terdiam. Pandangannya lurus dan sedikit tegang, tapi cepat-cepat mulutnya membalas, "Nggak usah khawatir, Rin. Nanti dia pasti pulang."

Avrin memberengut. Huh, sama sekali nggak membantu.

***

Pandangan Kandika buram. Dia mengerjap-kerjapkan matanya, berusaha memfokuskan penglihatan pada satu titik saja, dan hasilnya tetap nihil. Mulutnya sedikit terbuka dan dia mencondongkan tubuh, lalu aroma alkohol tiba-tiba menggerayangi atmosfer di sekelilingnya.

Samar-samar, otaknya menampilkan kelebatan bergelas-gelas absinthe, cairan hijau pahit yang terus-menerus dia teguk tanpa menghilangkan kesadarannya. Selanjutnya, yang Kandika ingat hanya cairan warna cokelat. Barangkali manhattan. Atau kirsch.

"Kan," seseorang menarik-narik lengannya, "Kandika, kita udah di depan rumah lo."

Kandika menoleh, merendahkan kepala tanpa sengaja, lalu tertawa sedikit. "Fai... zal?" Dia terkekeh-kekeh. "Gue... eh, aku... di mobil lo ya?"

"Lo bawa kunci? Lo bisa jalan ke sana? Mana kuncinya, gue anterin." Faizal meraih ransel Kandika yang tergeletak di kursi tengah. Detik berikutnya, dia sibuk merogoh bagian depan tas yang berisi macam-macam barang. Berbatang-batang pensil, dua penghapus, satu type-ex. Gumpalan kertas buram juga melesak di sana.

Faizal menyampirkan ransel dan keluar dulu, membukakan pintu Kandika. Dia setengah menyeret cowok itu, heran bagaimana bisa beratnya seolah-olah bertambah lebih banyak. Sedikit susah-payah, dia mengunci mobilnya, dan kembali mengarahkan Kandika berjalan ke arah rumah. Cowok itu memejamkan mata dan menyandangkan lengan seolah tidak berdosa di bahunya. Arah jalannya miring ke sana kemari. Faizal cuma bisa berharap, Avrin nggak semaput melihat versi kakaknya yang ini.

Selesai membuka kunci dan menyerahkannya pada Kandika, Faizal mengalihkan ransel di pundaknya ke cowok itu. Ya, dia tega melakukannya. Dia tidak mau disangkut-pautkan dengan keputusan Kandika yang membawanya ke kondisi ini. "Habis masuk, kunci pintunya, oke?" Dia menepuk bahu Kandika. "Gue tunggu di sini. Kunci dulu sebelum lo naik tangga. Gue jebol kalo lo masih—"

"Iya, iya...." Kandika mengangguk-angguk, pelan. Tangannya mengusir-usir Faizal, sambil masih terpejam. "Gue deng—aku denger kok. Hhhh..."

Faizal baru pergi saat yakin mendengar suara kunci diputar, dan mendorong pintu itu untuk mendapatinya tetap bergeming.

Di dalam, Kandika menyesuaikan mata dengan kegelapan. Dia berjalan sempoyongan ke arah tangga dan menitinya perlahan-lahan hingga mencapai pintu kamar Avrin. Tanpa mengetuk seperti biasa, dia langsung nyelonong masuk dan menjatuhkan ranselnya.

Avrin terbangun seketika. Dia melihat sosok tinggi berjalan menghampirinya. Kak Kandika! Insting pertamanya memberitahu dan dia langsung bangkit dari ranjang. Tangannya mencari sakelar dan memencetnya tepat waktu. Cowok itu sudah ada di depannya dengan senyum ganjil yang membuat ekspresinya makin... mengenaskan.

"Kak...?" Avrin sendiri terkejut dengan suara seraknya.

"Ssshhhh. Aku... nggak mau dihukum," Kandika menggeleng-geleng sambil tersenyum lebar, menampakkan gigi-giginya. Telunjuknya sudah maju, tapi tubuhnya keburu oleng dan menghantam kasur Avrin. Cukup ganas.

Air mata Avrin sudah merebak. Dia menahan air-air itu untuk nggak keluar sekarang. Langkahnya menuntun ke arah pintu. Selesai menutupnya, dia meletakkan ransel Kandika dekat meja belajarnya. Aroma alkohol memenuhi kamarnya sekarang. Sambil sedikit terisak, dan mengusap matanya, Avrin melepas sepatu kakaknya dan mendorong bahunya. Membuat posisinya terlentang.

Cewek itu sedikit tidak percaya, Kandika menenggak berliter-liter alkohol di suatu tempat yang membuatnya pede memakai kaus polos dan celana training. Mana seragamnya?

Malam itu, menyingkirkan semua dugaan aneh yang memberati hatinya, Avrin berbaring di sofa. Dia sudah mengambil selimut baru dari lemari, memejamkan mata erat-erat, hanya untuk mendapati bulir demi bulir rasa sesak membasahi pipinya.

Setidaknya, merekaberdua bisa terlelap.

___________________

I do have fun writing this. Semoga kalian bisa ngerasain juga apa yang kurasain. :3

Terima kasiiiiih banyak karena betah baca sampe sini. Kalian pembaca terbaik yang ngasih aku bensin buat bikin Berlawanan jadi lebih baik lagi. :")

Btw, kemarin aku udah namatin cerita ini. Jadi, sekali lagi, makasih banyaaak. >3< {}

Bonus fotonya Sama slash Ferrari.

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

658K 25.8K 37
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
1.9M 93K 40
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
6.1M 337K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...