Berlawanan

By inas_nee

7.9K 343 57

Didekati bad boy secara instan, lalu di-PHP, dan malah melihat cowok idamannya menjalin hubungan dengan teman... More

1. Confident Booster
2. EXPO Ekskul
3. "Kalo Bastian emang jodoh gue, gimana?"
4. Sesaat
5. Minggu Percobaan
6. Pembuka Masa Lalu
7. Terjebak Stigma
8. Perayu Ulung
9. Di Luar Zona Nyaman
10. Manusia Egois
11. Bahagia yang Tak Kasatmata
13. Sejejak Kepedulian
14. Tetap Terlelap
15. Sekadar Pernah
16. Pelukan Keabadian
17. Yang Terbaik Belum Tentu untuk Semuanya
18. Takaran Positif
19. Menyalahgunakan Cinta
20. Melimpahkan Tanggung Jawab
21. Final Word
[Cuap-cuap] What I Miss on Berlawanan

12. Melengkapi dan Menggenapi

211 13 1
By inas_nee

12. Melengkapi dan Menggenapi

Minggu-minggu setelahnya dihabiskan Avrin dengan belajar—sekadar membaca dan membolak-balikkan halaman sih. Kandika merongrongnya dan demi membuatnya berhenti lalu menguarkan senyum andalan itu, Avrin menurutinya. (Walau pada akhirnya, Kandika cuma mengangguk, dan sibuk mengerjakan latihan soal lagi.)

Kabar perlombaan yang diikuti Bastian pun baik. Dia memenangkannya, menduduki juara tiga. Tapi dia mematahkan harapan seluruh teman sekelasnya untuk acara traktiran. Bagaimanapun, itu hasil kemenangannya. Tabungannya. Jadi, mereka hanya bisa memberi ucapan selamat dan semangat setulus mungkin, yang diimbali terima kasih oleh cowok itu.

Anak-anak di sekeliling Avrin benar-benar serius berkutat dalam kegiatan ekskul mereka. Obrolan tentang proyek demi proyek mengudara, silih berganti. Salah satu temannya si-buk membuat artikel teknik pencak silat untuk mading di lantai satu. Yang lain merekomendasikan aplikasi mengedit foto terbaru untuk mading di lantai dua. Ada lagi yang memonopoli kelas bergiliran sepulang sekolah, sebagian untuk merekam tari tradisional dan modern, sisanya untuk drama ekskul Public Speaking. Semuanya akan diunggah di YouTube. Semua-nya memperjuangkan nilai rapor akhir semester.

Cengiran miris Avrin keluar saat mengingat ucapan Pak Wahab beberapa minggu lalu. Juga salah satu anak paduan suara yang nggak enak melihat huruf C. Selama ini, dia sibuk menggali rahasia SMA-nya, atau rahasia Kandika. Bahkan sampai mengirim pesan pada Joash demi memuaskan rasa penasarannya.

Avrin nggak bakal heran kalau huruf E menari-nari di kolom ekskulnya.

Sore ini pun, dia hanya duduk-duduk di ruang flower arrangement. Menonton video merangkai bunga, bagaimana memotong batang, mengikatnya, memasukkannya ke dalam air. Cara-cara mempertahankan nyawa tanaman agar tetap awet. Memilih bentuk wadah yang sesuai—untuk dipajang di kamar mandi, ruang keluarga, atau koridor perkantoran. Bagaimana mengkombinasikan warna-warna mereka agar cocok dengan interior yang akan diselaraskan.

Setidaknya, informasi-informasi itu lebih cepat ditangkap otaknya daripada mencoba menghafal rumus percepatan sentripetal.

Beberapa hari belakangan, Avrin rajin membawa laptopnya. Wi-fi di area sekolahnya memang cukup ngebut. Kebiasaan beberapa kakak kelas yang ngetem sampai malam demi mengunduh film sudah menjadi topik umum. Bahkan, sampai ada yang iseng merekam perjalanan pulangnya dari kelas ke gerbang depan, dalam cahaya remang-remang dan jalan yang sangat gelap. Hanya ditemani suara-suara serangga mencurigakan dan tapak-tapak kaki yang tersandung. Entah sengaja atau memang diedit. Sampai diunggah di Instagram.

Kalau Kandika tahu Avrin menyerap berita-berita itu, kakaknya pasti akan geleng-geleng, tak habis pikir.

Sekali lagi, laman blog yang membuat Avrin penasaran terpampang di hadapannya. Sepertinya belum ada yang melapor pada Aralyn, atau menyuruh cewek itu memprivat seisi blognya. Untuk ini, dia sangat berterima kasih pada Joash. Hanya saja, dia terus-menerus menggeluti jalan pikirannya untuk menemukan sesuatu yang tenang tapi mendebarkan.

Student center. Avrin memasukkannya sebagai kata sandi.

Eror.

Firasat yang dia dapat terus-menerus menuju sejarah ekskulnya terbentuk. Bagaimana Aralyn begitu antusias dengan berbagai kegiatannya di student center. Mencarikan lomba dan mengimbau sebanyak mungkin siswa untuk berpartisipasi. Memberi saran yang tepat untuk menghadapi guru tertentu. Berkonsultasi dalam memilih jurusan. Semua fasilitas itu disediakan student center. Bahkan jumlah personelnya pun mencukupi.

Tapi, hasil yang sekarang dia telan justru memasuki masa kebobrokan. Lantai satunya dijadikan perpustakaan, sedangkan lantai dua didesain ulang menjadi auditorium. Tempat selebar itu, yang menyimpan ribuan lembar data dan arsip, ditukar menjadi ruang kecil di pojokan. Terabaikan. Terisolasi.

Mungkin, berkas yang ada di lemari itu hanya segelintir serpihan yang bisa diselamatkan. Sisanya, raib entah ke mana. Itu pun tidak cukup memberi Avrin informasi.

Hubungan Aralyn dan Kandika yang semanis gula, madu, berbaur menjadi satu. Ruang di pojokan. Student center. S dan C.

"Sweet corner...?" desis Avrin, skeptis. Dia cepat-cepat mengetikkan dua kata itu. Lingkaran yang berputar-putar muncul di layar. Jantungnya berdebar-debar. Penuh antisipasi. Perutnya mulas seketika. Otaknya tahu pasti, hasilnya gagal.

Dan Aku Merindukan Masa-masa Itu

Mata Avrin membelalak. Sebuah judul muncul. Perasaan waswas menyergapnya, takut isi entrinya sudah diganti. Jarinya menggulir touchpad cepat-cepat, melewati tulisan-tulisan panjang yang beberapa diksinya terkesan ganas dibanding entri-entri sebelumnya. Sampai dia berhenti di bagian paling akhir.

Jantungnya berdetak makin cepat, meligat ugal-ugalan seiring dengan napasnya yang tertahan. Satu gambar di depannya jelas merupakan serpihan yang hilang. Gambar itu menampilkan mading yang ditempeli foto kira-kira 3R, dengan tulisan yang menyarankan dibubarkannya student center.

Foto Kandika mengunci Faizal di dinding. Kedua lengan terentang. Wajah terlalu dekat. Walau pipinya merona hebat tanpa bisa ditahan, Avrin menarik laptopnya, mendekatkan matanya ke layar.

Sulit dipercaya. Itu pasti editan.

Dia mengerjap-ngerjap. Bukan. Editan nggak akan menghancurkan satu tempat besar dan nyaman begitu saja.

"Avrin?"

Avrin terperanjat. Tanpa sadar, pipinya dialiri cairan basah. Kandika berdiri beberapa meter di hadapannya, berjalan ke arahnya. Tergeragap, dia mencoba meraih pinggiran layar laptopnya, lalu menutupnya dengan susah-payah. Terlalu pelan. Terlalu tiba-tiba. Terlalu dibuat-buat.

"Kamu nggak pa-pa?" Wajah Kandika tiba-tiba saja sudah mencondong ke arahnya. Udara di sekitar Avrin terasa sesak. Matanya pedih. Hatinya... entahlah. Remuk, mungkin. Tergilas. Tertindas. Teronggok menjadi rongsokan.

Selagi mendegut ludah, ingatan Avrin berlarian ke saat-saat Kandika melarangnya berinteraksi dengan Faizal. Saat cowok itu tampak antusias akan hasil pertandingan basketnya dengan Faizal. Saat cowok itu nggak suka Faizal menggodanya dekat lampu merah. Atau raut tak terdefinisikan begitu dia datang pertama kali ke ruang ini untuk mendaftar, sesudah berkeliling ke beberapa ekskul.

Bahkan saat kakaknya berbagi cupcake dengan Faizal.

Jadi ini, yang selalu kakaknya gembar-gemborkan tentang confident booster?

"Avrin?" Kandika bertanya sekali lagi, mengusap pipi cewek itu pelan-pelan. "Kalo kamu capek belajar, atau ngawatirin nilai rapor, istirahat aja nggak pa-pa. Nggak usah mak-sain diri."

Avrin hanya menggeleng. Mulutnya terkunci, sulit menelurkan kosakata yang tepat untuk menjelaskan perasaannya. Lagi pula, Kandika nggak boleh tahu kalau dia tahu.

Masih gemetaran, dia mendekap laptopnya, lalu memasukkannya perlahan ke tempat laptop di ranselnya. Perlahan, diam-diam, dia menggeser baterainya tanpa kentara, mematikan gawainya dengan harapan siapa pun bisa lepas dari kecurigaan terhadapnya.

"Aku anter pulang, ya?" Kandika tetap bertanya, menatap adiknya khawatir, saat Avrin terus diam. Malah memakai ranselnya dan memaksakan diri untuk bangkit. Menumpukan beban di kedua kakinya. Begitu Kandika ikut beranjak, tahu-tahu saja tangis Avrin berubah jadi senggukan. Menggerung-gerung. Guncangan bahunya keras sekali sampai Kandika yakin, ikan peliharaan mereka bisa mengerti situasi.

Sedetik kemudian, raungan Avrin memudar, terdengar sayup-sayup, tertahan kemeja putih beraroma mint yang langsung menyegarkan hidung. Avrin kembali menelan ludah. Tenggorokannya sakit. Harusnya dia tetap diam dan nggak menjadi-jadi. Harusnya Kandika membiarkannya, bukan malah meredam suaranya dengan pelukan erat. Pelukan yang mem-buat Avrin enggan sama sekali untuk menerima kenyataan sekaligus melepaskan fantasinya.

Untuk pertama kali, Avrin ingin membunuh keingintahuannya, merenggut kebahagiaan kakaknya, lalu membuat semangatnya lebih mementingkan dirinya sendiri.

***

Avrin menyadari keabsenan Tiva di grup Evolusi. Cewek itu biasanya yang paling gencar nongol, mencari topik baru dan mampu mempertahankannya hingga waktu yang lama, dan nimbrung secara alami di setiap percakapan. Namun, akhir-akhir ini, jangankan di grup, di kelas saja dia sering sakit. Yang paling parah adalah seminggu yang lalu, raib tiga hari. Mungkin kalau pekan UAS nggak mengadang, dia masih ingat untuk mendekati Bastian.

Atau minimal memikirkan cowok itu sedetik saja, kalau dia sungkan tanpa alasan pada Tiva.

Nada dering yang meneriakkan kata LINE terdengar. Sekelebat nama Kandika muncul di bagian atas paling pinggir, lalu cepat-cepat digantikan nama lain dari grup Evolusi. Avrin langsung memencet nama kakaknya, tanpa membaca pesannya yang terlihat lebih dulu.

Rey?

Avrin mendengus. Rey? batinnya. Faizal Reynaldy? Bola matanya berputar. Bisa-bisanya Kandika salah ketik! Jempol Avrin langsung sibuk mencari stiker yang pas. Cony yang menatap ponsel sambil cemberut dan menahan tangis—batal. Cony yang membeku dalam es—batal. Cony yang mengerling sambil tersenyum sinis—batal. James yang frustrasi, menarik kausnya, dan memamerkan udel—batal. Moon beraksesori bunga dan menari gila—batal. Akhirnya, dia memilih Moon yang menopang dagu sebal di samping sebuah kopi.

Matanya masih sembap dan pedih. Dia jadi makin nggak mood belajar apa-apa. Toh, sepertinya, Kandika menyarankannya untuk istirahat. Cowok itu juga bisa jadi sudah menjelaskan macam-macam pada orangtuanya.

Suara LINE lain kembali mengalun. Kali ini dari Faizal. Gue tadi mau ngeganti airnya Ferrari, tapi liat kalian asyik, akhirnya nggak jadi.

Avrin langsung bangkit dari baringannya. Ranjangnya berkeriut ketika dia mencari posisi duduk yang enak. Punggung tangan kirinya mengusap air yang sesekali membelai pipinya. "Goblok!" rekamnya, lalu mengirim pada Faizal.

Tunggu.

"Ferrari itu siapa?" tanyanya.

"Ikan yang ngejogrok di pojokan," balas Faizal, ikut merekam pesan suara.

"Gue namainnya Sama!" Avrin jadi ngotot. Pokoknya, di saat seperti ini, dia menganut satu paham paling absolut sedunia: cewek selalu benar.

Jeda sejenak, beberapa detik, sebelum balasannya muncul. "Oooh... lo namainnya sama? Ferrari juga? Canggih dong! Kita sehati!"

Ganti Avrin yang memberi jeda. Wajahnya melukiskan ekspresi terperangah. Mulutnya terbuka. Matanya terbelalak. Sialan! makinya dalam hati. Masa debat sederhana gini aja, dia masih kalah sih? Pantesan Kandika gencar banget ngelirik Faizal!

Dengan ganas, Avrin mulai mengetikkan maksudnya. Sama pake huruf S besar, pe'a!

"Rin..." Ketukan tiga kali pada pintu mengiringi seruan namanya. "Kamu pasti nggak ngunci kamar deh."

Kaki Avrin baru menjejak ketika pintu kamarnya sudah berayun ke dalam. Kandika tersenyum simpul melihat Avrin yang masih terperangah. Cowok itu membawa nampan dengan dua cangkir kopi. Di sisa ruang yang masih ada, sepiring nasi dengan sup wortel, kentang, dan buncis mengepulkan asap. Dengan santai, Kandika melangkah ringan ke arah sofa pink pucat dekat ranjang Avrin, dan meletakkan nampannya di meja persegi.

Tanpa bisa membantah, Avrin mengekori kakaknya, duduk di sebelahnya. Memandangi kopi instan, mengirup aroma manis-pahitnya yang mengisi udara. Dia hanya mengirim satu stiker, kenapa diartikan seharfiah ini? Apa kakaknya punya semacam telepati kuat dengan Faizal, apa-apa dianggap serius?

Duh. Seandainya hari ini dia tidak dianugerahi intuisi cemerlang, dia mungkin bahagia bisa dekat-dekat Kandika dan menerima sisi manisnya. Ya, bukan hanya kalem, tapi penuh perhatian, dibarengi senyuman, dan mungkin sedikit kekhawatiran. Apa lagi yang bisa Avrin minta dan harapkan kalau semua itu menjadi nyata?

Too good to be true, tentu saja.

Masih tersenyum, Kandika mencondongkan badan, menuangkan kopi ke tatakan. Dia mengangkatnya dan meniupnya perlahan, lalu menyodorkannya ke Avrin. "Minum, gih. Aku pegangin. Udah jam delapan lho. Kasihan perut kamu, belum kemasukan apa-apa dari tadi siang," ujarnya, penuh kesabaran.

Nah, itu benar-benar baru bagi Avrin. Sedikit ragu, dia memajukan wajah, dan menyesap kopinya sedikit. Dia bukannya takut panas, sih. Dia bisa saja meminum kopi itu sekali teguk, membiarkan lidahnya kepanasan, dan kerongkongannya menghangat. Sekarang, dia hanya tidak tahu harus bersikap risi, pasif, atau...

"Kak," panggilnya, langsung mendapat perhatian Kandika sepenuhnya. "Apa gue masih berengsek? Kurang ajar? Nggak sesuai ekspektasi lo karena masih nolak aku-kamuan?" Rentetan pertanyaan Avrin dibarengi matanya yang menyorot penuh tanya, sekaligus luka.

"Kamu kenapa sih? Lagi PMS?" Pertanyaan Kandika benar-benar di luar dugaan, sangat menyiratkan karakter aslinya: penuh protes dan langsung tepat sasaran. Namun, sinar matanya memancarkan pengertian. Kelopaknya bahkan mengerjap perlahan. Dan walau senyum itu hilang, bibirnya menyuguhkan lengkung tanya berbalut kecemasan.

Avrin memalingkan wajah, bersandar ke sofa, dan membiarkan dirinya merosot sedikit. Gawat. Kalo siklus gue aja ketahuan, jangan-jangan yang kemarin juga ketahuan.

"Waktu gue SMP," Avrin memberanikan diri buka suara, "gue ikut-ikutan ngerekam video don't judge challenge. Lo tahu. Lo nggak suka. Marah. Apa..." sebelum melanjutkan pertanyaannya, Avrin kembali menatap Kandika. Lekat. "...gue emang separah itu?"

"Rin—"

"Lo bilang, gue cantik kalo jadi diri sendiri, kan? Apa definisi cantik di kamus lo, khususnya buat gue, itu bersyarat?"

"Kamu bisa jadi diri sendiri," jawab Kandika, mengartikan kebisuan Avrin sebagai kesempatannya bicara. "Tapi, kadang, kamu nggak bisa seenaknya ngapa-ngapain atas dasar jadi diri sendiri. Kamu nggak bisa memilih apa pun sesukamu tanpa mikirin akibatnya buat orang lain. Bayangin kalo semua orang di dunia jadi diri sendiri sesuai definisimu, siapa yang bakal saling membantu, gotong royong?

"Itu sebabnya, kan, jadi diri sendiri itu penuh tantangan. Pengorbanan. Kamu memikirkan dirimu sekaligus orang lain. Bebas sekaligus terkekang."

Avrin menyipitkan mata. Kandika ini sebenarnya memihak siapa? "Kenapa jadi diri sendiri harus ngelibatin orang lain? Kalopun semua orang egois, dan jatuhnya jadi saling memanfaatkan satu sama lain, bukannya mereka bisa mencapai ketenteraman? Bahagia selama-nya?"

"Avrin," Kandika menyebut nama adiknya dengan cara yang sama sekali berbeda. Asing. Jauh. Berjarak. Menciptakan kesenggangan dalam kedekatan erat mereka. "Jadi diri sendiri itu nggak selamanya egois. Ada orang yang memang terbiasa memikirkan orang lain. Karena diri mereka pada dasarnya udah kayak gitu." Kandika melihat Avrin menegakkan badan, siap menyanggah, tapi tangannya terulur, mengelus rambut Avrin pelan. "Karena seandainya kamu punya adik, kamu nggak mungkin membiarkan dia sengsara dan berlarut-larut dalam kesedihan, kan?"

Napas Avrin tercekat. Pandangannya jatuh pada mata Kandika, lama. Jantungnya berdegup gugup, mencepat detik demi detik. Matanya yang tadi sembap kembali pedih. Dia tidak menyangka, semua yang dipikirkan, dilakukan, dan didedikasikan Kandika selama ini... hanya demi dirinya. Mengalah untuknya.

Walau dia tidak berani berharap terlalu jauh.

***

Pukul 9.00, Kandika menutup pintu di belakangnya, pelan. Dia mengerjap sekali, memerhatikan kondisi kamarnya yang mirip kapal pecah. Tumpukan soal berserakan di lantai, hampir nggak ada ruang untuk berjalan. Kasurnya langsung dibaringkan di ubin, seprainya kusut dan keluar dari garis, bantal dan guling entah hilang ke mana. Meja belajar yang ada di sebelah kiri, merapat ke dinding, juga dipenuhi buku-buku tebal. Kertas mencuat dari sela-selanya.

Begitu menghirup oksigen, aroma kertas—harum bercampur apak—memerangkap hidungnya. Kandika melangkah lebar-lebar, sesekali berjingkat, hingga mencapai meja belajar di ujung ruangan. Dia meraih ponselnya, mendapati pesan LINE dari Joash.

Adik lo minta sandi entrinya Ara. Udah sekitar dua hari lalu, kalo gak salah, ketik Joash dibarengi satu tangkapan layar pesan Avrin.

Kamu tau semua orang udah seharusnya bungkam, balas Kandika. Atau efeknya bakal kayak nitrogliserin.

Sip, man. Semangat buat UAS.

Kandika menarik napas dalam, mengembuskannya perlahan dengan penuh penghayatan.

Kamu juga.

***

Teman-teman Avrin tiba-tiba saja memutuskan menjenguk Tiva. Sebagian cowok di kelasnya mengetahui gelagat Bastian yang siap pulang sejak masuk kelas, jadi mereka ngotot ngintilin cowok itu selekat lintah. Cewek-cewek yang lain pada ribut mencarikan oleh-oleh untuk Tiva, sampai patungan dadakan pun dilaksanakan.

Sebagai teman sebangkunya, Avrin hanya bisa mengikuti arus. Dia tidak tahu, harus mengkhawatirkan Tiva atau mencari kesempatan mendekati Bastian. Setelah percakapannya dengan Kandika kemarin, dia merasa pegangannya, pendiriannya yang telah dia pertahankan, terancam jatuh begitu saja.

Tentu saja, bukan Avrin namanya kalau nggak melawan apa yang orang harapkan darinya, kan?

Jadi, di sinilah mereka, di ruang tengah rumah Tiva yang mampu menampung sebelas cewek termasuk Avrin, sisa tujuh cowok yang lain harus mau duduk manis di ruang tamu. (Sebagian dari mereka hanya ikut menyisihkan uang saku, terpaksa absen, dan mementingkan kursus atau kegiatan ekskul.)

Dinding ruang itu terlihat seperti batu, kelabu mendung menye-limuti permukaannya. Sebuah meja panjang menopang miniatur-miniatur sederhana seperti menara Eiffel, Big Bang, Pisa, Monas, sampai ukiran LOVE. Mereka duduk di atas karpet hitam berbercak putih, mirip kulit sapi, hanya saja terasa halus dan menggelitik kulit.

Sambil menunggu, Avrin menyimak perbincangan seru yang dipimpin Bastian di ruang tamu. Cowok itu membicarakan microbial art yang dipresentasikan saat kunjungannya di Universitas Cahaya Angkasa beberapa hari lalu. Berawal dari para ilmuwan dari universitas-universitas ternama yang menumbuhkan bakteri, jamur, dan mikroba lain dalam cawan petri membentuk lukisan tertentu, Fakultas Sastra mengadakan kerja sama dengan Fakultas MIPA. Karya mereka dipamerkan di Galeri Kesan Pesan. Salah satu cowok bertanya, kenapa sastra menaungi kesenian. Bastian, dengan suara renyah dan penuh antusiasme, menjelaskan bahwa lukisan termasuk sastra dalam bentuk gambar. Karena itulah, seni dimasukkan sastra.

"Rin," salah satu temannya, Nafa, tiba-tiba berkata lirih, "lo nggak ngerasa jadi temen yang flaky, apa?"

"Hah?"

"Semacam temen yang nggak bisa dipercaya, gitu. Ada masalah, lo malah nggak mau tau." Nafa memandangi ekspresi Avrin, entah sengaja menantangnya, iseng, atau memang pura-pura nggak peka. Satu sisi rambut pendeknya jatuh asimetris saat menelengkan kepala.

Avrin menggeleng. Pertanyaan gila. "Fa, lo boleh mikir sesuka hati lo—"

Balasan Avrin terpotong dengan sahutan panjang sok ceria dari arah ruang tamu. Cowok-cowok langsung ramai. Beberapa sapaan dan tepukan antar telapak tangan terdengar, tapi telinga Avrin nggak menangkap seruan Bastian.

Hanya Faizal yang berani melongok sampai ke ruang tengah dan melambai-lambai bahagia ke arah cewek-cewek di sekitar Avrin. Mereka memang menunggu kehadiran Tiva, karena di luar perkiraan mereka, cewek itu sedang periksa ke dokter. Pembantu rumah itu yang mempersilakan mereka duduk dan menyuguhi mereka dengan sirup dan camilan.

"Zal, perasaan gue cuma izin ke Kak Kandika deh," sungut Avrin, nggak terima. Kalau kakaknya nggak terima dia dekat-dekat dengan Faizal sebelumnya, keengganannya melihat Avrin dengan Bastian pasti jauh lebih besar. Avrin refleks mendengus, kehabisan logika atas keberpihakan Kandika.

"Cupcake lo enak banget, makasih," Faizal mengalihkan pembicaraan dengan mulus, sengaja mengeluarkan nada yang sangat manis dan penuh antusiasme. Membuat beberapa cewek menahan napas dan menjerit kecil.

Avrin balas tersenyum, walau memang setengah hati. "Poster Hiro sama Baymax lo juga mood booster banget. Kapan-kapan jangan yang bekas, ya." Seringai puas dan keji menghiasi bibirnya seusai menyelesaikan kalimat.

"Buat gue aja, Rin!" sahut cewek di sebelah Nafa, yang juga ikut fangirling-an begitu Faizal muncul.

Tatapan Avrin tertuju ke mata Faizal, rekat. "Lo, secara nggak langsung, udah nurunin pasaran cowok-cowok lain dan herannya mereka terima aja." Mereka belum berbicara sejak pemberian kunci dan pesan LINE kemarin malam, dan sekalinya bertemu langsung mengobarkan perang seperti ini. Avrin bertanya-tanya, bagaimana itu semua bisa terjadi seolah otaknya tetap polos dan belum teracuni informasi apa pun dari entri sialan itu.

Kepala Faizal mengangguk sekali. "Tiva tadi masih beberapa meter di belakang waktu gue masuk gerbang," katanya. Dia menoleh ke arah pintu depan dan melanjutkan, "Tuh. Kalian siap-siap nyambut dia, gih."

***

Jantung Avrin berdetak kencang saat melihat wajah Tiva jauh lebih pucat dari biasanya. Matanya memerah, dan entah bagaimana mata Avrin mengirim proyeksi seorang gadis yang sangat kurus.

"Tiva!" Cewek-cewek lain langsung mengerubungi Tiva, meninggalkan Avrin di belakang.

Setelah mengembuskan napas dan menenangkan dadanya yang masih bergemuruh, Avrin melangkah perlahan dan mendekati teman-temannya yang sibuk menanyakan keadaan dan kondisi Tiva. Sebelum Tiva sempat melihatnya, Avrin bertemu pandang dengan mamanya. Sorot itu lelah, juga menyimpan kerumitan saat mengenali Avrin. Ada hal yang disembunyikan di sana, sekaligus juga tak sabar dilontarkan.

Tiva akhirnya digiring ke ruang tengah, didudukkan dengan hati-hati di karpet. Dia masih bisa tersenyum, walau entah memaksakan diri atau memang masih kuat melakukannya.

Avrin, seolah tersihir, hanya bisa mengekori teman-temannya yang lain. Lidahnya kelu dan otaknya beku, kehabisan ide hendak bertanya apa. Pikirannya jelas terusik, karena entah bagaimana, kondisi Tiva menghancurkan seluruh rencana masa depannya terhadap Bastian.

Suara kerisik kantong plastik putih terdengar saat Faizal menjulurkannya. Jauh dari belakang, tepat di sanding Avrin. "Nih, gue nggak ke sini asal numpang yang lain lho," jelasnya, menyeringai penuh kepercayaan diri. Gumpalan kuning dan merah terlihat samar di balik plastik itu. Wajah Tiva tiba-tiba merekah hebat. "Katanya sih, orang yang suka main Facebook tuh pinter stalking," Faizal mengedipkan mata ketika Tiva menerima bingkisannya. Boneka Larva kuning dan merah menjadi ide yang terpikirkan spontan setelah melihat status-status dan foto-foto Tiva di beberapa media sosial. Nggak sulit menebak selera cewek itu—dia suka yang merah, tapi mending sekalian sama yang kuning, kan.

Avrin mengembuskan napas diam-diam. Dadanya terasa sesak tanpa alasan jelas. Faizal lebih suka memberinya barang bekas, yang berarti mempercayakan propertinya untuk dia jaga. Tapi memberi barang yang benar-benar baru pada Tiva. Entah dia harus bersyukur atau terharu sampai nangis darah.

Ini bukan salah satu rencana Kandika untuk membuatnya merasa Faizal lebih berharga daripada Bastian, kan?

"Ma..." Tiva berusaha membuka suara, tapi yang keluar adalah bunyi serak yang sarat penderitaan. Melihat usaha itu, Faizal hanya menganggukkan kepala beberapa kali, paham maksudnya.

Bastian tentu saja langsung menentang mata Faizal, sengit. Jantungnya berdebar kencang, dan napasnya memburu begitu saja tanpa bisa ditahan. Dia bukannya tidak menyadari pendekatan Avrin selama ini, tapi dia selalu yakin, seluruh perhatiannya terlimpah hanya pada Tiva. Sembari mengerjapkan mata, menarik napas, dan menenangkan diri, Bastian berusaha membaca sinyal yang Faizal maksud. Berhenti merespons Avrin? Menyadari perasaan mereka yang sama besarnya terhadap Tiva? Nggak mungkin! Faizal kan...

Lamunan itu pecah di antara canda dan tawa anak-anak lain yang menghibur Tiva. Mereka membicarakan betapa hampanya suasana kelas tanpa Tiva yang sering maju mengerjakan soal ke depan atau bahkan memberi mereka sontekan PR.

Di antara keriuhan itu, Avrin mengamati mama Tiva yang mendekati Bastian. Bisikan bukan pilihan wanita itu, mungkin untuk menghindari kecurigaan—kalau pembicaraan mereka memang sangat rahasia. Avrin sengaja menoleh ke sana kemari, sekaligus memasang telinga tegak-tegak. Mama Tiva baru mengatakan sepotong frase "kenapa Tiva pinjam uang kamu" ketika ponsel Avrin menjeritkan kata LINE.

Goblok, Avrin merutuki diri sendiri. Harusnya, dia mematikan paket datanya.

Pesan dari Tiva. Avrin langsung mengangkat kepala, mencari temannya. Cewek itu tersenyum, membuat Avrin membaca kalimatnya cepat-cepat.

Nggak semua cowok bakal merhatiin lo, kan, Rin? Kalo Faizal ngubah pikirannya, mungkin kali ini gue yang bakal lebih populer dari lo.

Saat Avrin kembali menegakkan badan untuk mencuri dengar pembicaraan Bastian, cowok itu sudah memisahkan diri dari mama Tiva dan bergabung dengan cowok lainnya. Dia berdecih lirih. Sekarang, pikirannya terbelah menjadi dua. Persaingannya di antara Tiva bukan menjadi prioritas. Kalau cewek itu ingin mereka memperebutkan Faizal juga, silakan. Dia tidak peduli. Hasilnya tetap saja akan gagal.

Jari-jari Avrin dengan ganas mengetik balasan, Tiv, gue nggak pernah pengin populer. Yang selalu gue pengin adalah, jadi semanis lo, sefeminin lo, sekalem elo, serajin elo. Bahkan Kandika ngasih senyum mautnya buat lo yang baru ngomong beberapa menit sama dia, bukan sama gue. Kita saling melengkapi dan menggenapi kok.

Miris, memang. Salingmenginginkan sesuatu yang bukan milik mereka, dan membiarkan diri terjebak didalamnya terlalu lama.

__________________________

Haiiii! Apa yang kalian rasain setelah baca bab ini? Bab 12-13 yang nulisnya paling lama dan alot, menurutku. :') Semoga yang ada di pikiranku bisa tersampaikan dengan baik ya.

Entah kenapa tiba-tiba satu kalimat lagunya d'Masiv cocok buat keadaannya Avrin.

Makasih udah baca! Tetep penasaran, ya! >3<

Continue Reading

You'll Also Like

54.6M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
6.8M 290K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
867K 12.3K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
871K 65.4K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...