My Perfect CEO

Por Talinaa_

17M 725K 10.2K

Dihianati dan ditinggal nikah. Dua hal yang membuat Celin terpuruk dan tidak mau mengenal lagi kata Cinta. Te... Más

Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
????
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36 - The End
Extra part-1
Extra part-2 (END)
SEQUEL

Bab 16

372K 18.4K 654
Por Talinaa_

Celin merasa tidak tenang saat harus berdiam di dalam mobil dengan aura gelap Vano yang menguar sejak mereka pergi dari acara pernikahan Davian.

Sebenarnya Celin sudah ingin berterimakasih tapi bungkamnya Vano membuat dia menunda niatnya apalagi dengan sifat Vano yang selalu menghadap ke luar jendela tanpa berniat menoleh kepadanya.

Celin menghembuskan nafasnya dengan kasar. Diane, yang kebetulan adalah sopir dari mobil yang ditumpanginya mendengarkan helaan nafas itu dan terkekeh.

"Jangan terlalu dipikirkan Cel, beri dia waktu untuk berfikir," katanya yang disambut dengan tatapan tajam Vano.

"Diam." Hanya satu kata itu tapi berimbas pada penghuni mobil yang tidak berani mengeluarkan suara lagi sampai mereka sampai tujuan.

"Turun," perintah Vano yang jelas ditolak oleh Celin. Lebih baik dia pulang saja sekarang daripada harus berada di tempat ini lagi, berdua dengan Vano.

"Turun atau aku gendong." Celin otomatis turun mendengar ancaman bernada serius itu, dia tidak mau hari ini menjadi bahan perhatian publik dua kali.

Diane terkikik geli. "Bagaimana bisa dia menggendongmu dengan tangan dan kaki seperti itu?" Celin menolehkan kepalanya ke arah Diane yang masih berada di kursi kemudi. Kenapa dirinya sebodoh itu? Benar kata Diane, Vano tidak bisa apa-apa kali ini dengan keadaan yang seperti itu.

"Jangan mengujiku." Sepertinya mood lelaki di depannya benar benar sudah buruk. Sedari tadi selalu berkata dengan datar dan tanpa ekspresi. Baru tadi pagi dia bertingkah seperti anak kecil saat di apartemennya, tapi sekarang lihatlah apa yang terjadi pada wajahnya.

Diane hanya terkekeh dan melambaikan tangannya. Meninggalkan Celin yang berdiri kikuk di depan Vano.

Vano melangkahkan kakinya menuju salah satu apartemen mahal yang jelas tidak akan bisa Celin pikirkan berapa biaya yang harus dikeluarkan hanya untuk tidur di tempat ini, dan dengan terpaksa Celin mengikuti lelaki itu dari belakang.

Sampai mereka sudah berada di dalam ruangan yang beraroma musk itu tidak ada yang membuka suara. Celin baru bisa melihat keseluruhan dekorasi apartemen Vano kali ini, mungkin karena dia dulu terlalu panik saat tiba tiba terbangun di salah satu kamar apartemen yang menjadi injakannya sekarang.

Vano dengan perlahan duduk di sofa dengan mencoba mengatur kaki dan tangannya senyaman mungkin, laki laki itu lalu berpaling ke arah Celin.

"Duduk." Dengan patuh Celin mengambil tempat di depan Vano yang dipisahkan oleh meja berkaca hitam.

"Bukan di situ tapi di sini." Tunjuk Vano ke arah sampingnya yang membuat Celin mengerutkan dahi, tidak terlalu lama, karena melihat ekspresi Vano yang tetap datar dan seperti menunggu reaksi Celin, wanita itu akhirnya menghela nafas pasrah dan berpindah.

"Bagaimana dia bisa menciummu seperti itu?" Lontar Vano langsung tanpa mengawali dengan embel embel pembukaan.

"Jangan salahkan aku. Dia yang memulai."

"Dan kau menerimanya?" Celin cukup tersinggung mendengar tuduhan tak beralasan itu. Bukannya Vano juga berkata kepada Kanya siapa yang memaksa dan siapa yang mencoba meronta, jadi pasti Celin berada dalam keadaan yang kedua.

"Aku mencoba mendorongnya tapi kau tahu sendiri kekuatanku tidak sebanding dengannya. Dan akhirnya aku hanya bisa diam saja."

Vano sepertinya masih belum bisa menerima alasan Celin terlihat dari dia yang mengalihkan wajahnya dan tidak mengatakan apapun.

Kenapa dia harus mempersalahkan itu? Tapi jangan pikir bahwa Celin juga menikmati ciuman itu, tidak, dia malah jijik melihat kelakuan Davian yang seperti ini. Apalagi dengan terang terangan tujuannya hanya ingin menjebak Celin. Tapi sekarang sebanding 'kan, pernikahannya tidak akan pernah terlupakan oleh siapapun yang melihat kejadian itu, miris sekali pengantin pria mencium wanita lain di pernikahannya sendiri.

Celin cukup lega saat kemudian Vano membuka mulutnya dan suaranya sudah tidak setajam tadi.

"Oke, sekarang kau harus menuruti perintahku. Tidak ada bantahan. Ingat, aku yang menolongmu. Jadi turuti saja."

"Apa?" Celin mengerutkan dahinya, tapi kemudian dia menatap Vano curiga saat lelaki itu kembali kesikap semulanya, tersenyum miring misterius.

"Kita akan membersihkan bibirmu dari bekas pria brengsek itu." Dan Celin tahu bahwa ini bukan tanda yang baik.

***

"Van kau gila? Ini sudah yang kelima kalinya. Cukup, aku lelah melakukannya, bibirku juga sangat sakit."

"Tidak, ayo lanjutkan."

Celin melotot mendengar penuturan Vano. Bagaimana tidak? Dari tadi Celin dipaksa Vano untuk mensucikan kembali bibirnya dengan cara menggosokan bibirnya berulang kali dengan kain yang sudah direndan air hangat. Tidak sampai itu saja, bahkan Celin harus menggosok giginya dan berkumur sampai 6 kali untuk mensterilkannya.

"Dia menciummu kan? Pasti juga sampai ke dalam mulutmu. Karena itu bakteri dan kumannya pasti akan tertinggal." Begitu katanya tadi saat Celin berulang kali menolak permintaannya yang cukup gila.

Bahkan sekarang bibirnya juga mulai sakit dan dirinya juga sudah lelah bolak balik ke kamar mandi untuk menggosok gigi.

Celin melemparkan kain putih yang sudah tak terhitung jumlahnya berulang kali membasahi bibirnya.

"Bibirku sudah bersih. Bahkan nafasku juga sudah tidak bau. Cukup. Sekarang aku akan pergi." Jika saja Vano bukan orang yang menyelamatkannya, dia sudah pergi dari tadi dan tidak akan mau melakukan hal konyol seperti ini. Bahkan Vano sempat mengusulkan agar membersihkan bibirnya dengan sabun yang langsung ditolak mentah mentah oleh Celin. Dia pikir bibirnya baju yang bisa dicuci dengan sabun lalu kembali bersih?

"Baiklah baiklah." Vano mengalah, merasa cukup untuk sedikit memberi hukuman kepada Celin. "Tapi jangan pergi, ini sudah larut malam."

Celin mendengus, melihat jam dinding yang sudah menunjukkan tepat pukul 23.00.

"Tidak apa , aku bisa menelpon taksi."

Vano tidak menghentikan Celin yang mengambil clutch bag-nya, mungkin karena lelaki itu sedang berbicara dengan seseorang disebrang ponselnya. Dan jelas itu akan menjadi kesempatan emas bagi Celin.

Dengan perlahan Celin menuju pintu tanpa menimbulkan kebisingan.

"Kau tidak akan bisa pergi." Celin cukup terkejut mendengar suara Vano yang orangnya saja masih setia duduk di sofa tanpa ingin berpindah.

Lagipula jika Vano mengejarnya pasti juga tidak akan bisa dengan keadaan kaki yang seperti itu. Celin tidak menghiraukan dan tetap membuka pintu apartemen Vano.

Dengan sekali lihat, Celin sudah tahu apa yang terjadi dengan pemandangan di depannya ini. Celin menolehkan kepalanya ke arah Vano yang disambut dengan senyuman miringnya, seperti biasanya.

"Maaf nona, kami diperintahkan untuk melarang anda keluar dari apartemen ini. Mohon turuti jika tidak maka kami bisa bertindak dengan menggunakan kekerasan." Dua penjaga yang sudah berdiri di depannya entah sejak kapan, sudah menghadangnya bak preman yang ingin menagih uang di pasar. Dengan sedikit erangan, wanita itu menutup pintu lagi dengan kasar. Dia baru ingat, betapa liciknya pria satu ini.

"Tidak perlu malu malu. Disini ada lebih dari 1 kamar. Tapi jika kau memilih tidur bersamaku, aku tidak keberatan."

Celin membuang mukanya dan segera menuju kamar yang sempat tadi dilihatnya sekilas.

Sejenak Celin merasa flashback , lalu dia ingat bahwa kamar yang dia tuju ini adalah kamar yang sama sewaktu dia terbangun dari mabuk berat.

"Kau benar benar ingin tidur denganku eh?" Lelaki itu sudah berada di ambang pintu kamar dan terkekeh. Celin merutuki dirinya, jelas saja ini pasti kamarnya Vano.

"Sepertinya aku tersesat, permisi." Dengan mempertahankan egonya yang sudah mulai menciut, Celin berbalik, mengangkat kepalanya dengan angkuh dan melewati Vano untuk pergi ke kamar lainnya. Tanpa dia sadari kelakuannya itu membuat Vano tidak bisa berhenti tersenyum sedari tadi.

"Wanita aneh."

***

Vano sedikit mengumpat saat dilihatnya matahari belum benar benar terbit. Siapa tamu yang dengan kurang ajarnya memencet belnya berkali-kali dan datang sepagi ini?

Dengan kesusahan dia mencoba bangun dengan kondisinya yang acak acakan khas orang bangun tidur. Tidak perlu bertanya tanya terlalu lama lagi, karena Vano sudah meliahat Mamanya yang sudah berdiri dengan terkejut saat melihat bahwa Celin-lah yang membukakan pintu.

Sepertinya dia harus mempersiapkan alasan yang bagus.

"Hai Ma ... kenapa datang sepagi ini. Mama menganggu aku dan Celin saja." Vano mendekat dan menaikkan salah satu alisnya kepada Celin dengan tatapan menggoda.

"Kau ini." Martha memukul bahu anaknya dengan cukup keras sampai membuat Vano mengaduh.

"Kalian harus mempersiapkan penjelasan mengenai Celin yang berada disini, tapi itu nanti. Sekarang ada yang lebih penting." Martha tanpa dipersilahkan langsung masuk yang mengharuskan Celin dan Vano untuk mengikutinya.

"Ada apa Ma?" Vano memulai saat semua sudah berada di posisi ternyamannya untuk duduk.

"Ada apa? Mama yang seharusnya bertanya ada apa denganmu sampai sampai wajahmu banyak beredar dimana-mana."

"Oh pasti kejadian kemarin. Mama tidak perlu takut." Vano memandang Mamanya santai seakan itu bukanlah hal yang penting.

"Bagaimana kalau sampai orang yang kau pukul itu menuntutmu ke pengadilan?" Mamanya benar benar terlihat khawatir. Entah darimana Mamanya bisa mendapat kabar itu di pagi buta seperti ini.

"Ma ... tenang saja. Jika dia menuntut, Vano juga bisa menuntut balik. Jika mama ingin tahu cerita aslinya  ...." Vano mulai menceritakan secara singkat mengenai apa yang terjadi kemarin malam saat pesta pernikahan Davian berlangsung.

Tebak Vano, mamanya hanya mengetahui sebatas bahwa Vano telah memukul sesorang tanpa tahu permasalahannya. Terbukti saat Vano telah selesai dengan ceritanya, Martha terbelak tidak terpecaya menatap Celin.

"Dia melakukan itu? Menciummu? Kurang ajar, berani sekali dia mencium calon menantuku. Aku akan menghubungi pengacara sekarang juga." Lihat? Siapa sekarang yang ingin menuntut ke meja hijau.

"Tidak perlu Tante. Lagipula dengan Davian melakukan itu sama saja dia merusak namanya sendiri di depan publik, meskipun saya juga agak jijik."

Martha menghembuskan nafas dengan pasrah. Memang benar apa yang dikatakan Celin. Tanpa perlu ikut campur tangannya pun Davian akan merugi bagaimanapun caranya.

"Baiklah, aku mengerti. Sekarang jelaskan mengenai kalian berdua, aku juga baru ingat bahwa kemarin Vano menginap di apartemenmu dan dengan gampangnya kau membohongiku tentang keberadaannya yang mebuatku kebingungan untuk mencarinya." Celin merasa gugup dengan sindiran yang terang terangan dilontarkan oleh Martha itu. Bahkan Celin tidak bisa menjawab apapun, seakan lidahnya telah kelu.

"Aku yang menyurunya untuk tidak memberitahu Mama." Vano angkat bicara dan tanpa gentar menjawab pertanyaan Mamanya.

"Dasar anak muda jaman sekarang. Tapi Celin, jujur padaku. Vano tidak melakukan hal yang aneh aneh kepadamu 'kan? Seperti menggerayangimu saat tidur? Atau mengintipmu saat mandi?" Martha memajukan duduknya dan menatap Celin dengan penasaran, sedangkan yang ditatap hanya bisa membelakkan matanya tidak mempercayai apa yang barusan diucapkan oleh Martha.

"Kenapa? Mama sangat ingin punya cucu ya? Tenang saja Ma, aku dan Celin masih mengusahakannya." Celin sengaja menyenggol dengan kasar kaki Vano yang sedang diperban yang membuat lelaki itu meringis kesakitan.

"Sakit sayang," bisiknya pelan tapi masih terjangkau oleh pendengaran Martha.

"Ehmm. Vano jaga bicaramu. Tapi jika memang Celin nantinya benar benar hamil, Mama tidak masalah untuk menikahkan kalian dalam jangka waktu yang dekat." Martha menanggapi dengan serius, berbeda dengan Vano yang sedari tadi mengumbar senyum usil yang berkebalikan dengan tatapan galak Celin.

"Tante ..., jangan percaya apa yang Vano katakan. Saya tidak mau bahkan tidak ingin disentuh oleh lelaki ini."

"Kenapa? Apa Vano bisulan? Atau dia punya panu di tubuhnya?" Pertanyaan itu sontak membuat Vano mendelik tajam ke arah Mamanya.

Tega sekali Mamanya mengatakan kata kata kejam seperti itu kepada anaknya sendiri.

"Tidak tante bukan begitu. Saya juga tidak tahu kalau Vano mungkin saja bisulan atau panuan," jawabnya sambil melirik Vano yang ganti mendelik ke arahnya karena bisa bisanya bersekongkol dengan Mamanya "Tapi saya hanya ingin menjaganya untuk suami saya kelak."

"Aku 'kan calon suamimu." Vano menyahut cepat yang sekali lagi mendapat tatapan galak dari Celin.

Martha terkekeh melihat kelakuan Vano dan Celin di depannya. "Aku hanya bercanda. Sekarang aku benar benar yakin bahwa kau memang calon menantu idamanku. Baiklah aku akan pergi sekarang juga." Martha bangkit dari duduknya, dan pergi meninggalkan Celin dan Vano yang masih terdiam di tempatnya.

"Kau lihat? Kau sudah mendapat restu."

"Lalu? Aku memang calon menantu idaman para mertua." Celin membuang mukanya dan berdiri. "Aku akan pergi sekarang dan jangan coba coba menghentikanku."

Vano terkekeh dan kali ini membiarkan Celin yang bersiap siap untuk meninggalkan apartemennya.

"Oh ya, terimakasih untuk kemarin," ucap Celin dengan gugup saat sudah mencapai pintu, lalu dengan cepat wanita itu pergi tanpa menoleh lagi kepada Vano yang tetap setia menyungging senyumannya.

***

Seguir leyendo

También te gustarán

3.4M 35K 31
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
5.7M 275K 51
Cerita ini bisa membuatmu gila!! Hati-hati jadi SARJANA BUCIN🚫🚫 [Follow dulu sebelum baca] *** Ini tentang Ana si gadis polos dan pekerja keras. Da...
3.4M 238K 77
Luna Allen, terpaksa melakukan pernikahan kontrak dengan cinta pertamanya di masa sekolah, saat itu mereka sempat menjalin hubungan pacaran selama se...
5.9M 452K 95
"Ayo kita nikah." Agmi terdiam sejenak. Sepertinya ada yang salah dengan pendengarannya. Apa mungkin karena dia kelaperan banget otaknya jadi agak ge...