LOVE STORY

By serafindaph

35.6K 862 36

Seandainya saja dirinya bisa berpaling, pasti ia akan berpaling pada Mario, pemuda tampan yang notabenenya se... More

1
2
3
5
6
7a
7b
8
9a
9b -Ending-
Epilog (1)
Epilog (2)

4

1.8K 58 2
By serafindaph

 And crazier when I know who you are.

 Hari ini adalah hari pertama hujan turun ketika musim hujan di Surabaya. Mendung. Angin memainkan kasar rambut sebahunya. Membuatnya harus mau menunggu hujan reda karena tidak mungkin juga dirinya bersepeda di tengah hujan lebat seperti ini.

 “Eh, ada Beibi gue nih. Gue duluan ya, Bro !”

 Mendengar sebutan yang dilontarkan penggemar somplaknya itu membuat dirinya menghela nafas kasar dan mengayunkan kaki ke kursi panjang di koridor utama. Sudah satu semester ini hari-harinya terus diusik oleh pemuda tampan yang bernama Mario. Bukannya apa-apa, tapi pemuda itu terus menggodanya dan mengikutinya kemanapun dirinya pergi.

 “Hai, Beib ! Belum pulang ?” Sapa pemuda tampan itu. “Beib, kok diem aja sih ?!” Tambahnya ketika Racha sama sekali tak menggubrisnya. “Farascha !”

 Racha tersenyum ketika akhirnya pemuda sinting bin somplak ini memanggil namanya dengan baik dan benar. Tak ada embel-embel ‘Beib’ seperti biasanya.

 “Kenapa ?!” Semburnya tiba-tiba. Membuat Mario mau tidak mau harus mengelus dadanya karena suaranya yang menggelegar seperti petir.

 “Ya… biasa aja bisa kali, Beib. Kan gue nyapanya baek-baek.” Terlihat pemuda itu terkekeh menanggapi cibiran tanpa suara yang baru saja ia lakukan. “Kok belum pulang ?”

 “Menurut mu ?”

 “Belum dijemput.”

 “Kalo itu udah dari tadi.”

 “Terus ? Yang jemput lo mana ? Jangan bohong deh, Beib.”

 “Bab-beb-bab-beb aja seh ! Tuh ! Jemputanku.”

 Ia terkekeh geli saat menatap Mario yang hanya melebarkan matanya memperlihatkan warna iris cokelat terang sambil ternganga. Begitu konyol !

 “Lo dijemput sepeda ?” Racha hanya mengangguk pasti sembari menatap hujan yang tak kunjung berhenti. “Cewek secantik lo naik sepeda ? Tapi no wonder juga deh, lo kan setengah cewek setengah cowok yang kebetulan berwajah cantik.”

 Sontak Racha melayangkan tinjuan kecilnya ke lengan pemuda yang tengah duduk disampingnya ini lantas tertawa bersama. “Cha…”

 “Hmm ?”

 “Jadi cewek gue ya ?”

 Dengan gerakan cepat Racha mengalihkan pandangannya untuk menatap mata pemuda tampan di sampingnya ini.

 “Bercandamu kali ini bener-bener nggak lucu tau !”

 “Siapa coba yang bercanda ! Gue serius ! Seratus-rius tambahan.” Kemudian terdengar helaan nafas yang begitu kasar dari Mario. “Gue itu beneran suka sama lo. Cinta ! Jadi, lo mau ya jadi cewek gue ?”

 Racha menatap wajah serius di hadapannya ini. Wajah tampan di hadapannya ini begitu tampan. Nyaris tanpa cela. Sekilas ia mendapati siluet wajah seseorang dalam wajah tampan Mario.

 Sudah sering kali dirinya mendapati Mario begitu mirip dengan Sanders dari sudut pandang tertentu. Karena itulah batinnya sering bertanya-tanya apakah Mario ini memliki hubungan dengan Sanders.

 “Cha !”

 “Eh ! Ya ? Kenapa, Mar ?”

 “Jadi ? Gimana ?”

 Damn you boy ! Bagaimana bisa dirinya menerima seorang pemuda tampan yang cukup sering menggoda cewek yang menurutnya menarik ?

 “Gue janji deh, kalo lo jadi cewek gue, gue bakalan insaf… saf… saf… Soalnya lo itu udah lebih dari cukup.”

 Racha menatap intens mata Mario. Mencoba mencari sesuatu yang membuatnya tertarik dengan pemuda tampan ini.

 Nihil ! Ia tak bisa menemukan sutu ketertarikan dari mata Mario. Beda rasanya jika dirinya menatap mata Sanders. Walaupun tak seintens ini, ia bisa merasakan ada suatu hal yang mampu membuatnya terus menatap mata Sanders.

 “Mungkin lebih baik kita temenan aja, Mar.”

 Oh God ! Semakin besar saja rasa bersalahnya ketika pemuda tampan di hadapannya ini tersenyum. Senyum yang dipaksakan tentunya.

 “Karena gue nggak pantes jadi cowok lo ?”

 “Bukan !” Sergahnya cepat. Meskipun ini bukanlah pertama kalinya ia menolak cowok, ia merasa semakin bersalah. “Bukan, Mar. Bukan !”

 “Terus ?”

“Aku suka sama orang lain.”

“Oh ya ? Siapa ? Beruntung banget tuh cowok.”

“Tapi dia udah punya pacar.” Ia memejamkan matanya. Perasaan sesak semakin melandanya ketika dirinya mengingat jawaban kakaknya yang membenarkan tebakkannya selama ini. Walaupun ia tak melihat langsung si gadis beruntung yang diperebutkan oleh dua pangeran di kampus kakaknya saat wisuda beberapa bulan yang lalu.

 “Kak, Riko ! Kok ekspresi kakak aneh banget waktu di foto ini ?” Tanyanya saat dirinya hang out bersama kakaknya. Sambil menunjukkan foto di tangannya.

 “Dapet darimana ?”

 “Kapan hari. Waktu kakak nyuruh Racha ambil dompet. Eh tau-tau fotonya jatuh.”

 Terlihat jelas kakaknya mencoba tersenyum. Walaupun Racha tau bahwa senyuman itu begitu getir. “Waktu itu kakak lagi patah hati, Dek.”

 “Sama cewek cantik yang ada disini ?”

 “Iya, itu cewek yang dulu kakak kasih tau ke kalian. Dia umurnya sepantaran sama kamu.”

 “Clara, bukan ?” Ia masih mengingat dulu kakaknya sering bercerita tentang gadis yang usianya sepantaran dengannya. Clara. Kakaknya mengenal gadis cantik blasteran Jawa-China itu saat Clara sedang mengikuti lomba yang diadakan salah satu fakultas di universitas tempat kakaknya berada. Dan kebetulan kakaknya menjadi panitia lomba.

  “Emang Clara kenapa ?” Dengan berat hati ia mencoba meredam rasa sesaknya. Mencoba membuang jauh-jauh bayangannya selama ini demi rasa penasaran. Mencoba menguatkan diri terhadap apa yang akan didengarnya dari bibir kakaknya ini.

 “Dia pacarnya Sanders.”

 JDER !

 Hatinya berasa disambar petir di dalam Mall di siang yang terik. Racha hanya bisa tersenyum getir. Meratapi nasib kakaknya sekaligus dirinya. Ia menamati foto yang ada di tangannya itu sekali lagi.

 Sanders dan Clara. Mereka memang serasi. Dari wajahnya saja ia bisa menebak bahwa Clara adalah gadis cantik yang baik dan lemah-lembut. Benar-benar nyaris… ris… ris… sempurna. Sampai tak ada celah untuknya.

  Terdengar klakson yang begitu nyaring memekakkan telinga. Membuat lamunannya buyar seketika. Ia menatap heran pemuda yang tengah bangkit dari motor Ducati hitam. Jantungnya berdetak kencang.

 Ia menyipitkan matanya untuk mempertajam pengelihatannya. Orang yang tengah berjalan menuju ke arahnya itu benar-benar mirip Sanders dari postur tubuh sampai cara berjalan.

 “Sampai kapan mau disitu ?” Tanyanya. Membuat dirinya dan Mario saling pandang. Namun, ia yakin ia mengenal suara pemuda di hadapannya ini.

 “Aku ? Atau dia ?” Tanya Racha sembari mengarahkan telunjuknya ke wajahnya kemudian beralih ke arah Mario.

 “You are, Miss Devonne.”

 “Kak Sanders ?” Tanyanya singkat. Entah mengapa pertanyaan itu muncul secara tiba-tiba dan tak terkoordinir. Atau mungkin karena dirinya memang tengah memikirkan pemuda manis itu. Namun, sedetik kemudian mata bulatnya melebar ketika sang pemuda itu melepas helm full facenya dan tersenyum manis. “Beneran Kak Sanders ?”

 “Iyalah.”

 Dengan gerakan cepat, ia langsung memeluk erat pemuda dihadapannya ini. Membuat Mario yang sedari tadi bungkam malah melongo menatap Racha yang tiba-tiba memeluk pemuda dihadapannya itu.

 “Kok tiba-tiba ke sini lagi ?” Tanyanya ketika ia sadar karena sudah memeluk Sanders. Wajahnya memanas. Ia benar-benar yakin, kini wajahnya sudah seperti tomat.

 “Nggak boleh ?”

 “Boleh ! Yang penting ada oleh-oleh.” Jawabnya. Membuat Sanders terkekeh geli sembari mengacak rambutnya lembut. “Eh iya. Kak ini Mario. Temenku.” Tambahnya “Mar, ini Kak Sanders, sahabatnya kakakku.”

 “Sanders.” Ucap Sanders sembari mengulurkan tangannya kepada Mario yang masih mematung.

 “Mar ! MARIO !” Teriak Racha yang langsung membuat Mario tersadar dari lamunannya.

 “Eh… Oh… Anu, Gue Mario. Mario Jeremy.”

 Terlihat jelas baik Sanders atau Mario langsung tegang ketika berkontak mata.

 “Sorry, nama panjang lo siapa ?” Tanya Mario tiba-tiba. Ekspresi wajahnya tak terbaca.

 “Alexanders Revian.”

 “Oliver ?” Pertanyaan dan ekspresi Mario membuatnya mampu merasakan suasana semakin kaku ketika kedua pemuda di hadapannya ini saling tatap. Ekspresi yang tak pernah Racha temui sebelumnya. Menyiratkan semacam rasa...

 Kecewa dan kerinduan.

 “Ehm ! Hai, Kak Sanders. Apa kabar ? Gimana kabar Mama ? She’s still alive or…” Ucap Mario sembari menyeringai lebar. Membuat Racha bergidik ngeri. Mario yang dihadapannya saat ini bukanlah Mario yang seperti biasanya. Tak ada senyum hangat dari bibir tipisnya. Melainkan seringaian yang cukup membuatnya gemetar. Tak ada juga tatapan teduh dari matanya, melainkan tatapan tajam seperti milik Sanders.

 “Rio.”

 Astaga ! Apa-apaan ini ? Apakah mereka saling kenal ?

  Racha benar-benar dilanda takut. Keduanya memancarkan aura kemarahan yang begitu mencekam. Terlihat Sanders mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Sedangkan Mario masing dengan seringaiannya.

 “Kita pulang.” Dengan pasti ia mengikuti langkah panjang Sanders yang menggenggam erat tangannya.

 Namun, baru satu langkah kakinya bergerak. Tangan kirinya yang bebas kini berada dalam genggaman Mario.

 “Not with her, big brother.”

 “Jangan lo bawa Racha. Dia nggak ngerti sama…”

 “Emang. Tapi gue suka sama dia dan sepertinya lo kenal dia. Jadi dia berhak ngerti everything between us, Kak Sanders.”

 “Rio !” Racha bisa mendengar jelas Sanders menghembuskan nafas dengan kasar. Kemudian mata tajamnya menatap tajam pada Mario yang tengah menatapnya tajam. “What do you want, hm?” Nada dingin yang mengancam milik Sanders membuat bulu romannya merinding total.

 Terdengar suara tawa Mario menggema di lorong yang kosong. Kemudian tatapan matanya menyorot tajam ke arah Sanders yang menatapnya lebih tajam. “Lo ngerasain apa yang gue rasain saat gue teriak-teriak nama lo tapi lo malah pergi ninggalin gue sama Mama ! Simpel, kan?”

 Racha semakin was-was. Suasanya disekitarnya semakin memanas, kaku, dan mencekam.

 “Asal lo tau, gue ngalamin yang lebih parah dari lo.” Dengan gerakan cepat ditariknya Racha dan membiarkan Mario dengan pikiran dan batinnya.

 *=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

 “Jadi Mama bakalan ikut laki-laki itu dan nitipin Sanders di rumah nenek ?” Tanyanya parau sembari menatap mamanya yang telah melakukan upacara sakral untuk yang kedua kalinya.

 “Maafin Mama, Sayang. Tapi Mama nggak bisa kalo harus ngajak kamu ikut. Maafin Mama, Sayang. Mama pergi dulu.” Balas Mamanya sembari mengecup puncak kepalanya lama.

 Kini, dirinya hanya bisa meratapi nasib dirinya yang hanya sebatang kara. Hanya ditemani neneknya. Mamanya menikah dengan laki-laki lain dan meninggalkannya begitu saja.

 Lama menatap mobil yang membawa Mamanya pergi, air matanya semakin deras membanjiri pipinya. Baru tiga tahun yang lalu ia kehilangan kasih sayang seorang ayah, kini Mamanya pergi. Entah kemana. Yang pasti Mamanya meninggalkannya untuk waktu yang lama. Atau mungkin untuk selamanya.

“Sanders.” Terdengar suara neneknya yang mengelus puncak kepalanya lembut sembari menatapnya sayu. Biasanya, Mamanya lah yang melakukannya.

Dan sekarang ?

“Mama, Nek. Mama.” Lantas di peluknya erat tubuh neneknya. Ia benar-benar merasa kehilangan.

“Sanders !”

Tubuhnya tersentak dan terbangung. Ia menatap Riko yang tengah menatapnya heran. Ia menghela nafasnya kasar. Kenangan itu. Tiba-tiba saja mengusik hidupnya lagi.

 "Kenapa lo, Bro ? Dari kemaren tingkah laku lo aneh !”

 Kepalanya menggeleng pelan. Bukannya ia tak ingin membagi rasa sakitnya pada Riko. Namun, entah mengapa ada sesuatu dalam dirinya yang mengunci rapat-rapat mulutnya agar tidak menceritakan semua tentang dirinya. Selain itu, ia juga tak ingin merasa dikasihani oleh siapapun yang mengetahui tentang dirinya.

 “Kalo gitu buruan lo sholat terus mandi gih. Habis itu gue anterin lo ke perusahaan tempat bokap gue kerja.”

 “Thanks ya, Ko. Sorry gue jadi ngrepotin elo.”

 “It’s okay kali ! Gue juga butuh nih, San !”

 Selepas Riko pergi tatapan matanya menerawang jauh. Sudah dua belas tahun lamanya ia tak bertemu Mamanya. Mungkin, Mamanya sendiri juga sudah lupa telah meninggalkan seorang anak.

 Tiba-tiba saja wajah Mario berkelebat di benaknya. Seorang Mario Jeremy. Ada perasaan rindu yang menyeruak keluar saat ia menatap mata sendu bermanik mata cokelat terang itu. Membuatnya ingin memeluk Mario erat. Namun, sepertinya Mario benar-benar telah membencinya.

 Dan tentu saja, Mamanya.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Dari pagi sampai detik ini Racha melihat sahabatnya, Sindy, begitu kacau. Matanya bengkak dan wajahnya pucat. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan biasanya. Sampai-sampai pelajaranpun lewat begitu saja di hadapannya. Membuatnya sering kali terkena teguran guru.

 Ia tersenyum simpul. Pasti masalah intern. Hanya masalah itulah yang mampu membuat Sindy seperti ini. Terdiam dengan tatapan kosong. Membuat perasaannya ikut merasa sedih.

 “Sin, kalo kamu mau. Kamu boleh kok nginep di rumahku. Sama adikmu.” Ucap Racha sembari mengelus bahu sahabatnya lembut.

 Namun, sahabatnya itu malah sesenggukan. Menangis lagi rupanya. “Nggak usah, Cha. Aku udah terlalu sering ngrepotin kamu.”

 “Sin, Aku sahabatmu dari kelas satu SMP. Kalo kamu mau, kamu bisa stay dirumahku sampe kita nenek-nenek. Aku nggak rela kalo kamu mesti kayak gini gara-gara masalah itu. You need your own happiness, Sin. Lagi pula kalo kamu nginep di rumahku kan aku jadi ada temen belajar.”

 Alih-alih menjawab, Sindy malah memeluknya erat dan menangis kencang dipelukannya. Membuat teman-temannya menatap mereka dengan tatapan bingung.

 Dengan sabar Racha membelai lembut rambut panjang sahabatnya ini. Mencoba menyalurkan kekuatan untuknya.

 “Sabar ya, Sin. Semua pasti ada akhirnya.”

 Dirasakannya Sindy menganguk dalam pelukannya. Membuatnya tersenyum lega. Ia sungguh tak bisa membayangkan jika dirinya diposisi Sindy. Begitu menyakitkan.

 “Kalo gitu aku traktir kamu makan di kantin sepuasmu deh. Barangkali kamu bisa baikan. Gimana?”

 “Ciyus ? Enelan ? Nggak takut bokek ?” Balas Sindy sembari mengusap bekas air matanya yang masih ada di pipi dan sekitar matanya.

 “Kenapa takut ? Paling-paling porsi makanmu kalah sama porsiku.” Sontak Sindy tertawa. Membuatnya ikut tersenyum. Setidaknya, ia bisa mengurangi beban sahabatnya ini.

 “Ini aku lagi laper loh, dari semalem belom makan. Dijamin bokek loh kamu nanti.”

 “Udah deh, apa sih yang enggak buat sahabatku ?” Ia terkekeh melihat sabahatnya mencibir geli ucapannya barusan.

 “Cha.”

 “Hm ?” Tiba-tiba saja Sindy memeluknya erat. Sangat erat. Membuatnya kesulitan bernapas. Namun, ia rela di peluk seperti ini agar sabahatnya tidak besedih lagi. Cukup ia merasa gagal menjadi sahabat ketika melihat Sindy sesenggukan seperti tadi.

 “Makasih, ya.”

 “Buat ?” Balasnya dengan napas yang tersengal-sengal karena Sindy malah memeluknya semakin erat.

 “Semuanya. Kamu udah mau jadi sahabat aku. Kamu ada waktu aku seneng, waktu aku sedih. Makasih ya, Cha.”

 “'Cause you’re my bestfriend, Sin.” Ucap Racha sembari menepuk punggung Sindy pelan. “Udah ah, kayaknya betah banget meluk aku kayak gini ! Bikin sesak napas tau !”

 “Hehehe, Sorry. Abis terbawa suasana sih ! Ayo ke kantin ! Kita jadi kan ngorek habis dompetmu hari ini ?”

 “Ya nggak sampek habis juga kali, Sin !” Balasnya sambil mengerucutkan bibirnya dan disambut kekehan tawa sahabatnya.

 *=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

 Sial ! Sore ini ia diminta adik tingkatnya untuk melatih basket ketika menghadapi musuh bebuyutan mereka. Karena menurut mereka permainannya benar-benar langka. Bahkan mereka baru menemui permainan yang dimainkan Racha. Begitu santai dan tenang, namun pasti dan tepat.

 Sehingga mau-tak mau ia juga ikutan pulang malam seperti dulu, saat dirinya masih aktif basket. Untung saja belakangan ini ia selalu membawa sepeda gunungnya. Jadi tak perlu menunggu jemputan.

 Walaupun ia sudah berusia tujuh belas tahun, entah mengapa ia tak dibolehkan untuk naik motor atau mobil sendiri. Padahal sudah cukup lama ia belajar untuk mengendarai kedua kendaraan tersebut.

 Suasana malam ini begitu gelap, tak ada bulan dan bintang yang menghiasi langit. Angin yang berhembus juga begitu dingin, membuatnya merinding.

 Tiba-tiba saja ada suara motor meraung-raung berhenti tepat di hadapannya. Memaksanya untuk mengerem laju sepedanya. Dua orang berpenampilan seperti anak punk yang serba hitam dan ditindik sana-sini membuatnya bergidik ngeri. Membuatnya kembali teringat masa lalunya yang melibatkan orang berpakaian serba hitam.

 “Sendirian aja, Non ?” Tanya salah satunya.

 Racha hanya menghela napas kesal kemudian mengayuh sepedanya agar segera sampai rumah karena tugas menanti. Selain itu Racha ingin segera enyah dari hadapan berandalan yang memakai kostum serba hitam seperti itu. Membuatnya takut.

 “Wah, dingin banget sih, nona ini. Kita bisa kok bikin non jadi anget.” Sahutnya lagi sambil berhenti tepat di depan Racha.

 Sontak Racha menghentikan laju sepedanya dan menatap ganas dua berandalan itu. Mencoba menyisihkan rasa traumanya.

 “Apaan sih ! Minggir !”

 “Wah, nona ini ganas banget, Cak ! Seru, nih !” Ujar salah satunya kemudian menarik lembut lengan Racha.

 Dengan gerakan cepat Racha memelintir lengan pemuda itu ke punggungnya. Membuat si berandalan itu mengerang keras.

 “Masih berani ? Eh !” Sialaaan ! Umpatnya. Ia lupa kalo berandalan ini membawa teman. Ia meronta hebat. Lehernya diapit oleh lengan besar dari belakang. Laki-laki yang tadi ia pelintir tangannya kini sudah berdiri dengan seringaiannya. Membuatnya menggigit bibir menahan tangis.

 “Udahlah, Non ! Ikut aja ! Seru kok !”

 Racha semakin bergetar ketika pemuda di hadapannya ini mendekat dan semakin dekat. Membuat traumanya menyeruak keluar. Sudut matanya mulai dihiasi dengan butiran air mata yang keluar.

 Baju hitam ! Baju hitam !

 Dengan kekuatan yang tersisa, Racha menggelengkan kepalanya keras untuk mengusir bisikan-bisikan itu kemudian mengayunkan kakinya ke belakang dan menggigit keras lengan yang sedari tadi mengapit lehernya. Setelah itu Racha berlari ke arah sepedanya berada.

 “Aaaa !” Tiba-tiba tangannya di tarik paksa dan saat itu juga sorotan lampu mobil menyorotinya dan berandalan-berandalan ini. Membuatnya reflek menyerang secara ganas dan cenderung ngawur karena ia sudah tak bisa lagi menahan air matanya. Namun sialnya, lehernya kembali di apit oleh lengan besar yang tadi juga mengapit lehernya.

 “Heh ! Brengsek ! Lepasin tuh cewek !” Teriak seseorang yang baru saja keluar dari mobil. Membuatnya menyipitkan matanya untuk memperjelas sosok yang berupa siluet itu.

 “Siapa situ, Mas ? Mau jadi pahlawan kesiangan ?”

 “Jangan banyak bacot deh lo ! Lepasin !”

 “Kalo kita nggak mau ?”

 Sontak pemuda di hadapannya terdiam. Lengan jaketnya ia tarik sampai ke siku. Memperlihatkan telapak tangannya yang tergenggam erat siap melayangkan pukulan. “So, say hello to the hell !” Desisnya tajam. Membuatnya merinding. Ia bisa merasakan aura yang di pancarkan pemuda itu. Begitu mencekam.

 “Mario !”

 Racha berteriak tertahan ketika mengetahui pemuda itu adalah Mario. Dan yang pasti pemuda itu menatap berandalan-berandalan yang mencekalnya erat dengan tatapan yang ia lontarkan pada Sanders kemarin. Begitu tajam. Membuatnya tak yakin bahwa dihadapannya adalah Mario. Seorang pemuda yang humoris dengan tatapan terduh dari matanya.

 Dengan gerakan cepat Mario melepas lengan pemuda yang sedari tadi mengait lehernya dan memlintirnya. Membuat di berandalan yang postur tubuhnya giant itu menjerit sembari mengumpat keras.

 “Mario !”

 Namun, sepertinya tubuh Mario kalah besar jika dibandingkan dengan berandalan giant super gede itu sehingga dengan sekali tarikan pada kakinya, Mario langsung terjatuh dan si berandalan giant itu mengambil kesempatan untuk menghabisi Mario.

 “Damn ! Lapo seh kon iku, ha ?!” Racha memaki berandalan itu dengan bahasa Surabaya beserta dengan umpatannya. Persetan dengan manner yang selama ini bundanya ajarkan. Dengan sekali tindakan, berandalan bertubuh kurus itu sudah terkapar karena ia pelintir tangannya  dan ia menghantam tengkuk berandalan itu dengan sikunya.

 Kemudian saat ia berbalik, ia mendapati Mario menyeringai ke arahnya. Membuatnya kaget sekaligus takut. Tatapannya masih menyalang dan tajam. Sama seperti tadi. Diliriknya berandalan giant yang sudah terkapar dengan darah di wajahnya. Membuatnya memekik tertahan.

 “Ternyata lo bisa bela diri juga ya, Farascha !”

 Racha hanya mengangguk pelan. Sembari melangkah mundur karena Mario semakin mendekat ke arahnya. Sampai akhirnya ia menggapai sepedanya dan berniat untuk segera mengayuhnya.

 Namun, belum sampai ia menaiki sepeda gunungnya, Mario sudah mencekal lengannya dan memeluknya erat. Begitu erat sampai-sampai dirinya susah bernafas.

“Mar, aku…”

“Biarin bentar aja, Cha.”

Setelah begitu lama Mario memeluknya erat seperti itu, ia menguraikan pelukannya dan tersenyum seperti biasanya. Tanpa ada tatapan mata tajam dan aura mencekam sepeti tadi. Membuatnya melongo hebat.

“Kamu kesurupan ya tadi ?”

Pertanyaannya jelas langsung membuat Mario tertawa terbahak-bahak. Sampai-sampai pemuda itu membungguk untuk menahan kaku pada perutnya. “Nggaklah. Emang kenapa ? Hm ?”

“Kamu aneh kalo lagi gitu. Kayak orang kesurupan. Nakutin orang aja, deh !”

“Lo takut ?” Tanyanya lembut. “Sorry. Gue nggak bermaksud buat bikin lo takut.”

Racha tersenyum lembut sembari menepuk bahu teman sekelasnya ini pelan. “Nggak papa kali ! Biasa aja ! By the way, kok kamu bisa kesini ?”

“Awalnya sih, pingin liatin permainan basket lo, eh taunya kata mereka lo udah pulang. Yaudah, gue juga balik, ternyata ketemu elo disini. Emang kayaknya gue jodoh sama lo deh !” Ujarnya sambil terkekeh, membuatnya mencibir.

“Udah ah ! Mau pulang dulu. See you, Mario.” Belum selangkah kakinya melangkah, lagi-lagi lengannya dicekal oleh Mario. Membuatnya berbalik.

“Apa ?”

“Gue anterin lo pulang !”

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

No matter how far we go… I want the whole world to know… I want you bad… And I won't have it any other way…”

Suara ini begitu merdu, saking merdunya suara ini mampu membuatnya merinding. Suara gadis ini mampu membuatnya teralih dari pikirannya. Membuatnya ingin untuk menghabiskan seluruh waktunya untuk mendengarkan suara gadis cantik yang mampu membuatnya terbayang-bayang selama di Bandung.

Entah mengapa ia begitu merindukan candaan-candaannya, ekspresi salah tingkahnya, wajah meronanya, tatapan matanya, suaranya, dan permainan basketnya. Itu semua membuatnya mengalihkan dunianya yang kelam.

Kedua sudut bibirnya tertarik saat melihat punggung gadis dihadapannya ini. Sepertinya gadis manis itu belum menyadari kehadirannya. Membuatnya benar-benar leluasa untuk memperhatikan Racha walaupun dari belakang.

“No matter what the people say… I know that we'll never break… Cause our love was made… Made in the USA…”

“Eh, Kak Sanders ? Sejak kapan disitu ?”

Ekspresi Racha membuatnya geli. Ingin tertawa. Namun, kedua sudut bibirnya hanya membentuk seulas senyuman. Membuat gadis dihadapannya salah tingkah sembari mengacak rambut belakangnya.

Dilihatnya gadis itu berjalan ke arahnya dan duduk menempatkan diri di sampingnya. Kemudian gadis itu meletakkan gitarnya dan membenahi letak kacamatanya.

“Sejak kapan lo bisa main gitar ?”

“Emm… sejak kecil sih, sebelum aku tertarik sama basket malahan. Soalnya kepengaruh Kak Tian. Emang kenapa, Kak ?”

“Pantes, faseh banget.” Balasnya membuat gadis disampingnya terkekeh. Kemudian terdengar helaan nafas gadis itu. Membuatnya menoleh dan mendapati siluet wajah Racha yang sungguh sempurna sedang menatap kolam renang di hadapannya. Rambut pendeknya bergerak mengikuti angin yang berhembus. Membiarkannya membelai wajah cantiknya.

“Kak…”

“Hm ?”

“Kak Sanders kenal Mario ?” Seperti yang ia tebak sebelumnya. Gadis ini pasti penasaran dengan hubungannya dengan Mario. Ia hanya mampu terdiam. Membiarkan batinnya berdebat untuk membagi bebannya pada gadis yang tengah duduk disampingnya atau tidak. Ia memejamkan matanya, ia merasakan sesak yang menghimpit rongga dadanya saat melihat Mario mengacak rambut Racha saat tadi ia mengantarnya pulang.

Ada rasa sesak yang begitu nyeri, membuatnya tersenyum getir karena kenangan kelamnya menyeruak keluar ketika ia pertama kali menatap mata Mario yang sama kelamnya dengan miliknya.

Begitu lama ia membiarkan gadis di sampingnya ini menatapnya. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menceritakan semuanya. Entah mengapa.

Yang jelas… Gadis ini adalah orang asing pertama yang mengetahui kenangan kelamnya selain dirinya dan Mario.

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Lima belas tahun yang lalu…

Sanders tengah menemani adiknya yang tertidur karena Rio –adiknya –sedang sakit demam. Namun, tak beberapa lama terdengar suara pecahan entah apa itu menembus kamar adiknya yang cukup kedap suara.

Karena penasaran, ia segera mengganti kompresan di kening adiknnya dan keluar untuk melihat apa yang tengah terjadi. Betapa terkejutnya ia saat Papanya menampar Mamanya dengan keras sampai Mamanya terlempar cukup jauh.

“Mama !” Pekiknya kemudian berlari ke arah Mamanya yang tengah terduduk sembari memegangi pipinya. “Ya ampun, Mama berdarah! Papa jahat ! Papa jahat sama Mama.”

“Cukup ! Sanders, cepat ke atas ! Jangan dekati wanita jalang itu !” Gertak Papanya.

“Papa !” ujarnya lirih.

“Sanders ! Naik ke atas ! Right now !”

“Papa kasihan Mama ! Papa jangan marah gitu.” Ia masih menatap Papa dan Mamanya bergantian.

“SANDERS ! How dare you !” Papanya yang memang sudah emosi semakin marah kepada dirinya dan menamparnya keras.

“SANDERS !”

Teriak Mamanya, ia dapat melihat Papanya tertegun sembari menatap tangannya yang ia gunakan untuk menamparnya. Anak sulungnya. Kemudian mengusap wajahnya yang lusuh. “Sanders, dengerin Papa ! Go to your room right now, Alexanders !”

Dengan berat hati, ia menuruti perkataan Papanya dan meninggalkan Mamanya yang masih menatapnya dengan tatapan yang sulit ia artikan. Kemudian ia berjalan gontai ke kamar adiknya untuk kembali merawat adiknya yang sedang sakit.

Ia menatap foto keluarga yang ada di kamar adiknya dengan tatapan kosong. Setelah ditampar seperti itupun air matanya tak kunjung keluar, padahal ia benar-benar merasa rongga dadanya terhimpit sampai terasa sesak.

Apakah keluarganya tak bisa seperti ini lagi ? Akankah nasibnya sama dengan temannya yang memiliki masalah keluarga ?

Mungkin umurnya belum cukup untuk memikirkan hal itu, namun ia merasa nasibnya akan sama seperti temannya yang memiliki masalah keluarga dan berujung broken home.

“Ya Allah… Biarkanlah... Biarkanlah kami utuh.”

Hanya itulah doa yang terlontar ketika ia menatap foto keluarganya sebelum akhirnya ia kembali duduk di samping ranjang adiknya untuk mengganti kompresan adiknya.

Namun, sepertinya doanya belum dikabulkan. Keesokan harinya ketika ia asik menyuapi adiknya bubur ayam, Mamanya tiba-tiba masuk kemudian menciumi wajah Rio sampai Rio tertawa geli.

“Mama sayang sama Rio. Cepet sembuh ya, Nak.” Ucap Mamanya sambil memeluk erat Rio sambil menangis. Membuatnya bingung.

“Rio juga sayang banget sama Mama kok.”

Kemudian tatapan sendu mamanya beralih padanya. “Sanders, ikut mama bentar, yuk !” Ucapnya sembari mencium puncak kepala adiknya sekali lagi.

Ia pun mengangguk dan mengikuti Mamanya yang sudah lebih dulu keluar dari kamar adiknya.

“Kak Sanders jangan lama-lama ya, Kak.”

Lagi-lagi ia hanya mengangguk sambil mengacak lembut rambut adiknya, kemudian mengikuti Mamanya.

“Mama mau kemana ?” Tanyanya begitu ia melihat Mamanya membawa koper besar di tangan kanannya.

“Ke rumah nenek.” Jawab Mamanya singkat. Kemudian tatapannya beralih pada Papanya yang hanya terdiam. Biasanya,Papalah yang menjadi pelopor. Namun, kali ini…

“Papa nggak ikut ?”

Bukannya menjawab, Papanya malah memeluknya erat dan mencium puncak kepalanya lama.

“Nggak, kan adikmu lagi sakit. Siapa yang nungguin nanti ?”

Ia hanya mengangguk sambil tersenyum. “Sanders ikut Mama dulu ya, Pa. Bilangin Rio.”

Dilihatnya Papanya hanya mengangguk sembari tersenyum lesu. Kemudian Papa menghampiri Mama yang sedari tadi menangis. Entah mengapa dirinya sendiri juga tidak paham. Papanya mencium puncak kepala Mamanya lama, seperti yang dilakukan Papanya sebelum berangkat kerja. Namun, firasatnya lain. Ada hal baru yang terjadi.

Kemudian Papanya berjongkok dan memeluknya erat. “Hati-hati di jalan ya, Nak. Jaga Mamamu ya, Sanders. Papa sayang sama Sanders.”

Sedangkan dirinya hanya mengangguk bingung. “Sanders juga sayang sama Papa.” Apa maksud semua ini ? Ada apa ?

“Aku berangkat, Mas.” Ucap Mamanya yang diangguki Papanya.

“Sanders juga ya, Pa. Assalamualaikum.” Ucapnya sambil tersenyum kemudian mencium tangan Papanya.

“Waalaikumsalam.”

Ketika ia mendapati di depan rumah ada taksi yang berhenti, Sanders berhenti dan menatap Mamanya heran. Apa yang terjadi ? Kenapa semuanya begitu aneh menurutnya ?

“Mama nggak naik mobil sendiri ?” Mamanya hanya menggeleng pelan kemudian menggenggam tangan Sanders erat.

“Kak Sanders ! Jangan tinggalin Rio disini sendirian ! Rio pingin ikut Mama sama Kak Sanders ! Mamaaa ! Kak Sanders !” Teriak adiknya ketika ia dan Mamanya sudah berada di luar pagar.

Seandainya ia mampu untuk menenangkan adiknya yang tengah menangis  itu, ia akan lakukan. Ia akan menenangkan dan menjelaskan semuanya. Namun, apa daya ? Tenaga Mamanya jauh lebih besar darinya yang hanya sebesar guling.

“Rio !” Teriaknya sebelum Mamanya mengajaknya masuk kedalam taksi. “Ma, biarin Rio ikut, Ma !”

“Rio.” Ia hanya menatap sendu adiknya yang tengah menangis itu. Ia benar-benar bingung dengan kedua orang tuanya. Mengapa Mamanya pergi dan hanya mengajak dirinya seorang tanpa Rio ataupun Papa ? Walaupun Rio dalam keadaan sakit, semua penjuru dunia pun tahu bahwa dirinya dan Rio saling menyayangi, saling melengkapi. Rio juga bisa dirawat di rumah neneknya. Tapi…

“Jalan, Pak !”

“Riooo !”

“Kak Sandeeeers !!”

*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*

Racha hanya bisa menatap Sanders sembari tersenyum. Ternyata dibalik sorot mata tajamnya, kehidupannya begitu menyakitkan. Jika ia menjadi Sanders, belum tentu dirinya akan setegar Sanders. Membuatnya ingin terus berada disamping Sanders untuk membuat Sanders tertawa seperti saat menanggapi candaannya.

“Aku percaya semua pasti ada hikmahnya, Kak.” Ucapnya sembari mengusap bahu Sanders lembut, menyalurkan kekuatan yang ia punya. Ia tak kan pernah menunjukkan rasa simpati yang berlebihan ketika menghadapi seseorang yang sedang bersedih karena menurutnya hal itu akan membuat orang itu tambah tenggelam dalam kesedihannya. Seperti yang biasa ia lakukan pada Sindy jika gadis itu sedang menghadapi masalah yang cukup mirip dengan yang Sanders alami.

“Boleh gue peluk elo ?” Pertanyaan Sanders kontan membuatnya melongo sembari mengerjapkan mata bulatnya. “Kalo nggak boleh juga nggak apa.”

Sedetik kemudian Racha terkekeh geli sembari menatap Sanders. “Boleh-boleh aja kalo yang meluk cakep.” Ujarnya kemudian berdiri menghadap Sanders dan mengulurkan tangannya untuk memeluk pemuda yang tengah menunjukkan sisi rapuhnya. “Kalo kakak tabah pasti bakalan happy ending.”

Lama rasanya jantungnya berdebar kencang karena Sanders sedari tadi masih memeluknya erat. Seperti tak ada niatan untuk melepas pelukannya. Kalau saja jantungnya bisa diajak kompromi, pasti ia juga betah lama-lama dalam pelukan Sanders. Betah banget malahan. Tapi masalahnya di rumah sakit, stok jantung pasti kosong. Membuatnya harus menjaga agar jantungnya tak sekarat karena terlalu sering berdetak kencang.

“Ehm, kayaknya Kak Sanders betah banget ya meluk aku.” Candanya namun tak membuat Sanders melepaskan pelukannya, malah mempereratnya.

Ia dapat merasakan bahwa Sanders mengangguk dalam pelukannya. “Boleh dong elo gue bawa pulang ke Bandung.”

Good Sanders. Dasar ! Bukannya berterima kasih malah minta yang aneh-aneh !

Didengarnya Sanders terkekeh pelan karena mungkin merasa punggungnya dipukul pelan. Kemudian Sanders menatapnya dalam dengan mata elangnya. Membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari sebelumnya “Thanks. Rasanya lega banget cerita ke elo.”

“Emang sebelumnya nggak pernah cerita ke orang lain ?” Sanders  yang masih menatapnya menggeleng lembut. Membuat wajahnya merona. Cause she’s the first one !

Damn you Sanders ! You make me crazier than before !

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Tadaaaa... Disamping ketemu sama Alexanders nih :D

Continue Reading

You'll Also Like

4.6M 172K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
535K 6.8K 29
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
4.9M 61.1K 40
Cerita Dewasa! Warning 21+ Boy punya misi, setelah bertemu kembali dengan Baby ia berniat untuk membuat wanita itu bertekuk lutut padanya lalu setela...
4.8M 264K 52
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...