Filantropi

By aileum

1M 117K 7K

Dinikahi oleh pria sejenis Andreas Junial Adinegoro adalah impian semua wanita. Selain harta yang dimiliki me... More

Prolog
Minus Satu
Butuh Psikiater
Taring Tuan Sempurna
Kebebasan Selangkah
Buah Simalakama
Adam yang Berbeda
Silih Berganti
Teka-Teki Kemunculan
Janggal yang Bertambah
Mati Satu Tumbuh Satu
Taring Tuan Sempurna
Hingga Mencium Kaki
Huru Hara Sidang
Cukup
Terbentur Terbentur Terbentur Terbentuk
Seseorang di Suatu Waktu
Si Mini
Sisi lain
Mania dan Depresi
Koin Dua Sisi
Dikejar Dosa
Celah
Member Boyband Korea
Ikatan
Kesadaran
Tragedi Mencium Kaki
Secercah Cahaya
Masih Terkunci
Rival Sepadan
Kelam yang Terkuak
Mantik Tuan Sempurna
Jaga Mama, ya
Menanti dengan Lapang Dada
Bumerang yang Kembali
Satu Demi Satu
Belum Berhenti
Usai
Terbentur Lagi
Tirai Mulai Tersingkap
Pelukan Pesan
Mereka yang Telah Pamit
Senyap yang Hakiki
Epilog

Pencarian Penyempurna

28.6K 3.1K 74
By aileum

Kediaman Andreas langsung luluh lantak begitu tuan rumah tahu istrinya pergi. Bukan ke warung untuk beli garam, bukan pula ke rumah sakit tempat Livia kerja. Laudya menghilang. Tanpa kabar. Tanpa informasi. Tanpa ada yang tahu.

"Dasar jongos nggak berotak! Kenapa bisa Laudya pergi tanpa pamit?" hardik Andreas menggebu-gebu. Baik Mang Ujang maupun Bik Nining tak bisa menjawab. Keduanya ketakutan. Anjing tetangga bahkan sudah mengeluarkan air mata saking gemetarnya.

"Ma ... ma ... maaf. Ta ... ta ... "

"Ngomong yang jelas!" sentak Andreas dengan suara makin keras.

"Tadi saya lagi nguras kolam renang, Tuan."

"Saya lagi cuci mobil."

Andreas menendang kaki meja di ruang tamu. Amarahnya makin membuncah manakala alasan tolol itu keluar dari mulut pembantunya. Dasar pembantu kampung! Jagain satu wanita saja nggak becus!

Tanpa ba-bi-bu lagi Andreas meraih kunci mobil lalu menyisir Ibu Kota.

Mati kau, Laudya! Ia mengulang-ulang kalimat tersebut. Pikirannya sangat kacau, kalut, dan tak mampu berpikir rasional. Andreas mengunjungi beberapa tempat yang memungkinkan istrinya berada. Yang paling mungkin tentu saja bekas kontrakan sang istri.

Tapi yang terjadi sesuai dugaan. Rumah sempit itu kosong. Ketika ia mencari di naungan sebelahnya——alias rumah Dion, tempat itu juga tak berpenghuni.

Tak menemukan Laudya di rumahnya tak kan membuat Andreas berhenti. Otak cerdasnya terus berputar. Memikirkan kemungkinan tempat yang didatangi Laudya. Tak peduli tubuhnya lelah setelah seharian kerja, ia terus mencari.

"Jangan bohong, Livia! Kamu pasti tahu Laudya ke mana!" Kali ini Livia yang jadi korban. Pasien-pasien yang sedang mengantre jadi makin meriang. Apa pula pria ini marah-marah pada sang dokter? Apa ia sakit jiwa?

"Sumpah, Ndre. Aku saja baru tahu Dya hilang."

"Kamu, kan, teman dekatnya. Masa kamu nggak tahu?"

Livia mendecakkan lidah. Matanya mendelik tak suka, sedang wajahnya memasang mimik jijik. "Lalu kamu sendiri gimana? Kamu suaminya," ungkap Livia santai. "Kamu pernah ngaca nggak, sih? Dya stres punya suami kayak kamu. Terkekang."

Andreas mendengkus ketika Livia bicara begitu. Terkekang? Persetan! Kata siapa istrinya terkekang? Bukankah Andreas suami yang sempurna? Apa yang kurang darinya?

"Kamu dengar ya, Livia. Kalau sampai aku tahu kamu terlibat dalam menghilangnya Laudya, kamu akan menyesal!" Andreas mengancam sambil menunjuk-nunjuk muka Livia. "Kulapor polisi biar rumah sakit ini tutup selamanya. Bahkan kalau perlu, aku jeblosin kamu ke penjara. Awas kamu, ya!"

*
*
*

Di rumah tak ada, di tempat sahabatnya pun tak terdeteksi. Andreas merasa kepalanya pening karena memikirkan keberadaan istrinya. Ditambah perut keroncongan, kepalanya makin berdenyut gila. Sambil menahan sakit di puncak tubuh, Andreas membaca daftar kontak di ponsel. Berharap nama-nama tersebut memberinya sedikit petunjuk. Mulai dari A hingga Z, semua diperhitungkan nilai probabilitasnya. Dari aksi tersebut ia mendapat beberapa nama. Dan yang menurutnya paling mungkin adalah Herman, mertuanya.

Andreas percaya kalau ayah adalah orang pertama yang akan didatangi anak perempuannya saat terjadi masalah. Mengingat Laudya yang tidak punya ibu, Andreas makin memantapkan hati untuk mendatangi rumah tahanan.

"Jadi kamu menyakiti putriku? Dasar bajingan!" Herman langsung mencekik Andreas begitu menantunya bicara. Seandainya tak ada petugas yang berjaga, barangkali Andreas sudah diterkam bulat-bulat.

"Yang harus disalahkan adalah Dya, bukan saya," tukas Andreas sambil memegang leher yang agak nyeri. "Dia bukan istri yang baik karena dia pergi tanpa izin."

Herman tak sempat menjawab sebab petugas sudah menggusur ke lapas. Padahal ia ingin sekali menghajar menantunya sampai bonyok. Ia merasa ditipu. Dikhinatani! Janji Andreas yang akan menjaga Laudya ternyata hanya dusta. Sialan!

Seharian itu Andreas tidak pulang. Semakin mendidih ubun-ubunnya saat Laudya tak juga ditemukan, bahkan ketika waktu melompat ke hari berikutnya. Tapi meskipun badan lelah karena tak henti menyisir Ibu Kota, Andreas belum mau berhenti. Ia datang ke destinasi selanjutnya, yakni tempat orang-orang tak berotak. Merekalah teman-teman Laudya.

"Lah, baru sekarang, nih, Laudya ninggalin lo?" si Botung Nuri mengomentari dengan nada mengejek. "Kalau gue jadi dia, gue sudah tinggalin lo dari dulu."

Sialan! rutuk Andreas dalam hati. Kalau saja punya banyak waktu, ia pasti membalikkan hinaan tersebut. Awas kamu, Botung! Kamu akan menyesal.

"Alhamdulillah. Akhirnya Dya sadar. Harusnya dia pergi dari dulu, Ndre."

...

"Jangan khawatir, Ndre. Ada internet, kok. Cari saja pakai Google. Pasti ketemu."

...

"Nggak tahu, tuh. Gue senang banget dengarnya. Tuhan sudah memberi petunjuk terbaik buat Laudya. Hahaha."

...

Andreas mengacak rambut dengan kasar. Teman-teman Laudya yang tak berotak itu malah menghinanya. Bilang kalau ini anugerahlah, ini petunjuk Tuhan buat Laudyalah, dan kata-kata lain yang tidak pantas diucapkan. Tak tahukah kalau Andreas sudah pusing sembilan keliling?

Dua hari kemudian pencarian masih tak menghasilkan apa-apa. Andreas mengeparatkan urusan kantor, juga telepon dari ayahnya. Tak terhitung berapa kali ia isi bensin untuk mengitari Kota Jakarta demi mencari istrinya. Tak terhitung pula berapa kali ia isi pulsa untuk menelepon orang-orang yang mungkin bisa memberi petunjuk.

"Jadi, Bu Dya benar-benar pergi?" Perkataan Dokter Yani yang tenang membuat alis Andreas menekuk ke pusat dahi. "Biarkan saja, Pak Andre. Bu Dya memang butuh waktu sendiri."

"Apa maksud Anda?"

"Bu Dya ingin lepas dari Anda beberapa waktu. Sayalah yang memberi saran begitu."

"Apa?!" Memerah muka Andreas mendengarnya. "Jadi ini permainan Dokter? Istri saya pergi karena anjuran Anda?"

"Sabar dulu, Pak Andre." Dokter Yani masih kelihatan tenang. Ia memang sudah berpengalaman menghadapi berbagai jenis manusia. Ia psikiater. Pasiennya aneh-aneh. Ada yang tertawa sepanjang keluhan, ada yang menangis saat menceritakan keadaannya, bahkan yang sebentar menangis sebentar tertawa pun banyak.

"Dokter harus mempertanggungjawabkan hal ini." Andreas melipat tangan di dada, muka terangkat, dan wajahnya terkesan angkuh. "Saya lapor polisi!"

"Silakan saja lapor pada yang berwajib. Saya tidak takut."

Andreas meremas tangan hingga buku-bukunya memutih. Si Tua Bangka ini mau main-main rupanya. Uh, ingin sekali Andreas menusuknya pakai jarum. Biar badan yang gendut itu bisa meletus.

"Tapi sebelum itu, apakah Bapak tahu alasan Bu Dya pergi?"

"Dia terkekang oleh saya."

"Nah, itu Bapak paham."

"Yang saya nggak paham justru alasannya. Kenapa dia terkekang? Saya suami yang baik. Apa-apa yang ia butuhkan tersedia lengkap. Harta, jiwa, raga, pokoknya semuanya lengkap. Apa yang kurang dari suami sesempurna saya?"

Dokter Yani mengurai senyum. "Yang Bapak katakan memang benar. Bu Dya pun menilai Anda seperti itu. Anda suami yang baik dan sempurna."

Kan, sudah kubilang dari tadi. Aku ini suami yang baik. Aku sempurna.

"Tapi, Pak, bolehkah saya tanya sesuatu?" Dokter Yani lagi-lagi tersenyum. "Apa alasan pria sesempurna Anda mau menikah dengan Laudya?"

*
*
*

"Kamu itu suaminya! Bagaimana bisa istri kamu hilang seperti ini?"

Prasetyo langsung murka ketika anak bungsunya datang. Ia memanggil Andreas ke rumah untuk memberi peringatan sebab sudah tiga hari tak masuk kantor. Semua kerjaan terbengkalai dan klien-klien protes. Begitu Andreas menjelaskan, kemarahannya beralih subjek.

"Andre juga nggak tahu, Yah. Orang-orang bilang dia terkekang."

"Omong kosong," cibir Triana. "Ada-ada saja kelakuan istri kamu."

"Kamu sudah cari ke mana saja?" Amzar ikut bersuara. Ia terpaksa meninggalkan laboratorium kala ibunya melaporkan masalah si bungsu.

"Semua tempat sudah Andre telusuri. Bekas rumah, teman-temannya, lapas ayahnya, klinik Dokter Yani, dan rumah sakit Livia."

"Bagaimana dengan Dion?"

Andreas langsung diam atas pertanyaan Amzar yang tiba-tiba. Benar juga, batinnya dengan kemarahan yang mulai mendidih. Selama ia mencari, tak sekali pun bertemu Dion.

Dia pasti yang membawa Dya! Sialan! Dasar pencuri! Istri orang berani diembatnya juga!

"Akan Andre cari Dion secepatnya."

Prasetyo menghela napas. Ia sudah siap dengan ponsel. Tinggal pencet beberapa tombol, maka menantu tengilnya bisa ditemukan oleh kaki tangannya.

"Ayah mau apa?" tukas Andreas sebelum ayahnya siap menelepon.

"Tentu saja cari istri kamu," celetuk Triana. Ia juga sudah siap dengan gawai. Meski Laudya adalah sumber darah tingginya, ia masih seorang ibu. Kasihan kalau Andreas kelimpungan sendiri.

"Kalian nggak usah ikut campur!" Andreas melarang. Ia sangat tahu tabiat keluarganya. Ketiganya tak mungkin hanya menemukan Laudya. Mereka pasti memberi pelajaran setimpal sebelum mempertemukan dengan Andreas.

"Kamu gimana, sih? Kenapa kami dilarang ikut campur?" Amzar sewot.

"Laudya itu istri Andre. Andrelah yang akan menemukannya."

"Kamu bilang sudah mencari dia ke mana-mana, tapi nggak berhasil. Lalu kenapa kamu tidak membiarkan kami ikut cari?"

"Ini masalah rumah tangga Andre, Bu. Biar Andre yang urus."

"Masalahnya, hal ini sudah menggusur kamu pada kelalaian. Terutama soal kantor."

"Lama-lama berita ini akan nyebar. Itu bakal jadi aib buat keluarga kita."

"Ibu sama Ayah benar, Ndre. Masalah ini harus diselesaiin secepatnya. Maka dari itu, biarkan kami bantu cari Laudya. Agar semua tenang."

Andreas menggaruk rambut dengan kasar. Kantor, harga diri, dan ketenangan. Kenapa yang mereka pikirkan cuma itu, sih?

"Andre tekankan sekali lagi. Cuma Andre yang boleh nemuin Dya. Titik!"

-bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

4.7M 158K 40
Satya, anak muda yang memiliki gairah yang berapi-api. Khususnya gairah dalam tanda kutip. Dia melakukan s*ks bebas, balapan, mabuk-mabukan dan hal l...
3.5M 390K 67
"Lo kenapa segitunya bela gue sih?" "Gue berada di titik dimana gue bisa kasih seluruh hati gue untuk lo Ra." °°° "Hera, lo udah suka sama gue?" "Gue...
15.3M 1.7M 31
[SUDAH TERBIT] "Sahara, hidup itu perihal menyambut dan kehilangan. Kamu tahu lagu Sampai Jumpa-nya Endank Soekamti, kan? ya kira-kira begitu lah. Ta...
2.5M 247K 50
[READY EBOOK 📱] LINK PEMBELIAN EBOOK BISA DM/BUKA DI PROFIL AKU, TEPATNYA DI BERANDA PERCAKAPAN YA☺️ "Ngapain di sini? Jual diri ya." Luna memejamk...