HARUSKAH?

By zahirra

108K 8.5K 444

Haruskah aku berkorban untuk mereka? Posisi Sonda yang hanya anak angkat keluarga tidak mampu. Harus rela ban... More

part 1
part 2
part 3
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19

Part 4

5.7K 482 16
By zahirra

Sehari sebelum pernikahannya di gelar, Sonda membicarakan banyak hal dengan Ibu, ia takut kelak kalau sudah menikah dan punya istri, ia tidak bisa lagi membicarakan hal apapun dengan Ibu karena sibuk dengan keluarga barunya.

Seperti janjinya pada Daniel dan pada diri sendiri, Sonda akan terus menjaga Ibu dan ketiga adiknya, meski kelak ia sudah punya istri dan punya kehidupan yang baru ia tidak akan serta merta melepaskan tanggung jawabnya sebagai anak tertua, ia akan tetap membiayai kehidupan Ibu dan ketiga adiknya sampai adik-adiknya bisa membiayai hidupnya sendiri. Tapi Ibu tidak ingin membebani Sonda, Ibu bersikeras meminta Sonda untuk lebih memperhatikan istri dan anaknya kelak dibanding dengan keluarganya saat ini.

Sonda menjawab dengan senyuman lalu menggenggam tangan Ibu. "Tidak, bu. Ibu adalah keluarga yang aku miliki, aku anak tertua sekarang. Sudah sepatutnya meringankan beban Ibu, lagi pula kalau aku tidak membantu Ibu darimana Ibu akan dapat uang untuk biaya sekolah si kembar."

"Omongan kamu itu selalu benar Sonda, Ibu tidak mungkin bisa membiayai sekolah mereka dengan hanya mengandalkan berjualan kue."

"Nah, untuk itu bu, biarkan aku membantu Ibu." Dan Ibu lagi-lagi menangis tapi kali ini tangis bahagia yang keluar dari mata Ibu, ia kemudian mengangguk sambil tersenyum.

"Terima kasih nak, sudah mau menjadi anakku."

"Sama-sama bu, terima kasih juga karena Ibu sudah mau menjadi Ibuku." Sonda melepaskan genggaman tangannya dan mengusap air mata Ibu yang lagi-lagi di tepis oleh tangan ringkih Ibu.

"Ibu bisa sendiri." Katanya.

Hening sesaat, Ibu dan Sonda sama-sama terdiam sambil memperhatikan Kirana yang sedang duduk di lantai di dekat mereka sambil memeluk boneka teddybearnya, Kirana tidak melakukan hal apapun selain hanya duduk diam.

Ibu menghela napasnya dan memutuskan untuk berbicara duluan. "Sonda bagaimana dengan Kirana? Apa yang akan kamu lakukan terhadapnya? Ia sudah cukup lama tinggal denganmu. Sebaiknya kamu cari sanak saudaranya yang bersedia merawatnya. Besok kamu akan menikah dan punya kehidupan baru, tidak mungkinkan Kirana ikut bersamamu?"

Satu lagi masalah yang harus di hadapi Sonda, yaitu tentang Kirana yang sampai sekarang belum ada penyelesaiannya, ia tidak tahu masa depan Kirana akan seperti apa kalau ia menelantarkannya.

"Kalau untuk keluarganya Kirana, aku betul-betul tidak tahu mereka berada di mana karena Ibunya Kirana datang ke sini seorang diri dan sampai dia meninggal pun tidak ada yang datang atau mengaku sebagai saudara atau keluarganya... Tapi Ibu tidak usah khawatir aku akan mencari jalan keluarnya, mungkin aku akan membicarakan masalah ini dengan calon keluarga baruku, semoga saja mereka mengerti...dan untuk beberapa hari kedepan aku nitip Kirana ya, bu? Ibu tidak keberatankan?"

"Kalau Kirananya anteng seperti itu, Ibu tidak keberatan sama sekali tapi Ibu selalu kewalahan kalau dia ngamuk." Sonda mengerti, tidak mudah memang menghadapi anak seperti Kirana yang mempunyai emosi tidak stabil. Sonda saja sering kewalahan kalau Kirana sudah menangis dan menyakiti dirinya sendiri. Dan lagi Ibu sudah semakin tua sekarang, ia sering sakit-sakitan semenjak di tinggal Bapak. Tidak mungkin bagi Ibu untuk menjaga Kirana dua puluh empat jam penuh.

"Aku janji akan membawa Kirana sesegera mungkin, setelah aku membicarakannya dengan keluarga baruku."

"Semoga mereka tidak keberatan membantumu merawat Kirana... Terlepas dari sikap anehnya, Kirana gadis kecil yang mudah untuk dicintai. Dia sangat manis." Mau tidak mau Ibu kembali mengenang masa kecil Disa anak gadisnya. Disa sama manisnya seperti Kirana sewaktu kecil cuma bedanya Disa sangat aktif tidak seperti Kirana yang pendiam dan penurut.

Sonda tersenyum mengikuti tatapan Ibu yang sedang menatap Kirana, Ibu terlihat bahagia.

"Dia gadis yang cantik, Sonda. Kamu lihat matanya, bulat sempurna. Kulitnya juga putih hanya sayang bekas luka disana-sini tapi kalau dirawat baik-baik dia pasti akan menjadi gadis yang sangat cantik...Ibu jadi penasaran seperti apa rupa ibunya?"

Ibu Kirana memang cantik untuk ukuran seorang PSK ia lebih pantas menjadi artis atau istri simpanan seorang pejabat. Ia tidak pantas hidup dan tinggal di lingkungan prostitusi meski ia menjadi primadona di lingkungannya tersebut.

"Ibunya memang cantik bu, pertama kali melihatnya saja aku sudah langsung mengakui kecantikannya." Diperhatikanya Kirana yang tidak jauh beda dengan ibunya, Kirana mewarisi bentuk mata milik ibunya yang bulat sempurna dengan bulu mata lentik dan panjang hanya saja bola mata Kirana berwarna coklat persis sama dengan warna rambutnya yang lurus. "Atau mungkin juga ayahnya memang tampan."

"Kamu tahu siapa ayahnya Kirana?"

"Tidak ada yang tahu siapa Ayah biologisnya Kirana, Ibu tahu sendiri seorang PSK setiap malamnya berganti pasangan dan kalaupun hamil siapa yang mau mengaku sebagai suaminya?"

"Kasihan sekali dia, masih kecil sudah hidup sebatang kara."

"Dia tidak akan hidup sendiri bu, kalau kita mau menjadi keluarganya." Ibu hanya mengangguk-anggukan kepalanya.

Apapun yang terjadi kelak, Sonda tidak akan membiarkan Kirana hidup sendiri, ia tidak ingin kehidupan masa lalunya terulang pada Kirana.

***

Acara pernikahan di gelar sangat sederhana di sebuah Kantor Urusan Agama setempat tanpa dihadiri mempelai wanita yang tidak memungkinkan untuk datang karena sedang sakit, entah sakit apa yang di derita mempelainya, Sondapun tidak tahu. Hanya sedikit keterangan yang disampaikan calon Ayah mertuanya tentang sakitnya Kinara.

Tidak dihadiri mempelai wanita bukan berarti pernikahannya batal, Ijab qobul dapat dilaksanakan kalau ada wali dan saksi. Dengan hadirnya Adnan Kusuma sebagai wali dan Dito Arinto, SH sebagai saksi, Sonda dapat melakukan ijab qobul di depan penghulu dan dinyatakan sah sebagai suami dari Kinara Asmarani putri tunggal Adnan Kusuma seorang pengusaha property yang aset kekayaannya tidak akan habis meskipun mereka menghambur-hamburkannya untuk bersenang-senang.

Pernikahan adalah hal sakral yang akan dilaksanakan setelah kedua belah pihak sepakat dan setuju satu sama lain. Pernikahan adalah sebuah komitment dua orang yang saling mencintai. Pernikahan adalah janji kedua pasangan untuk sehidup semati.

Tidak satupun dari ketiga hal tersebut yang mencerminkan pernikahan dirinya dengan Kinara. Sonda harus menikah dengan terpaksa karena keadaan, Sonda harus menikahi wanita yang belum pernah ditemuinya dan Sonda harus menjadi suami sekaligus ayah bagi bayi yang dikandung Kinara.

Sebetulnya bukan pernikahan seperti ini yang diinginkan Sonda, ia ingin menikahi wanita yang dicintainya dan wanita yang mencintainya, ia ingin menikah tanpa embel-embel perjanjian apapun, dengan begitu mungkin hidupnya akan bahagia.

Tapi semua sudah diatur yang Maha Kuasa, Sonda tidak bisa berbuat apa-apa selain hanya mengikuti garis hidupnya. Dia harus tetap kuat demi Ibu dan ketiga adiknya, demi Kirana juga.

Adnan Kusuma menepuk bahu Sonda yang sedang melamun sambil memegang buku nikah yang telah ditandatanganinya.
"Terima kasih nak, sudah rela menggantikan Kakakmu menjadi menantuku." Gurat-gurat kesedihan tergambar jelas di wajah pria paruh baya yang sekarang sedang memeluknya.

Adnan Kusuma, pria berusia limapuluh tahun tampak bahagia dan juga sedih. Ia bahagia karena tidak jadi menanggung malu atas kehamilan putri tunggalnya tapi ia juga sedih melihat kondisi putrinya yang sudah seperti mayat hidup.

Baginya kebahagian putrinya adalah segala-galanya, ia akan bahagia melihat putrinya bahagia dan ia akan ikut sedih kalau melihat putrinya bersedih. Dan sekarang ia ikut menderita melihat penderitaan putrinya.

***

Dari awal Sonda sudah merasa tidak nyaman duduk berdampingan dengan ayah mertuanya di dalam mobil mewah yang dikemudikan sopir. Terlebih lagi setelah mobil berhenti tepat di depan bangunan megah bak istana bercat putih. Sonda keluar dari mobil menyusul ayah mertuanya, ia berdiri dan menatap bangunan kokoh yang disebutnya sebagai rumah. Ini rumahnya sekarang, rumah yang akan ia tinggali bersama istri dan mertuanya, rumah yang sangat megah dan besar. Sonda tidak yakin bisa tinggal di rumah ini dengan nyaman karena ia tidak terbiasa hidup dalam kemewahan.

Tiba-tiba saja Sonda merasa kecil dan kotor, ia merasa tidak pantas disebut sebagai menantu keluarga Adnan Kusuma yang kaya dan terhormat. Kalau boleh memilih Sonda lebih baik tinggal di bagian belakang rumah sebagai asisten rumah tangga dibanding menjadi tuan rumah yang melihat penampilannya saja orang tidak akan ada yang percaya.

"Lagi-lagi melamun. Apa yang sedang kamu pikirkan, nak?" Adnan Kusuma mengerti kegalauan hati Sonda, ia lalu mengikuti arah tatapan mata Sonda yang sedang menatap rumah megahnya. Terlihat sekali Sonda enggan untuk masuk.

"Kelak rumah ini akan menjadi milikmu dan Nara. Jangan sungkan, anggap saja rumah sendiri. Mau tidak mau suka tidak suka kamu memang harus tinggal di sini sebagai menantuku." Ucapan Ayah mertuanya memang benar, Sonda tidak mungkin membawa istrinya keluar dari rumah ini, mau tinggal dimana mereka sementara Sonda sendiri tinggal didalam ruko yang hanya sepetak dan tidak ada tempat tidurnya.

"Masuklah," Adnan Kusuma melangkahkan kakinya berjalan terlebih dahulu dan diikuti Sonda.

Tepat ketika didepan pintu masuk yang kokoh Sonda menahan langkah ayah mertuanya. "Pa, tunggu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Papa."

"Tentang apa? Keluargamu? pekerjaanmu atau statusmu yang hanya adik angkat Daniel... semua itu tidak perlu kau ceritakan Papa sudah tahu semuanya."

"Bu-bukan itu Pa." Sonda menelan ludahnya pahit, sebetulnya ia memang ingin membicarakan jati dirinya tapi orang kaya yang sekarang berdiri dihadapannya ini sudah mengetahui semuanya. Sonda melupakan satu hal, apa yang tidak bisa dilakukan orang kaya sekelas Adnan Kusuma.

"Ini...ini menyangkut anak yatim piatu yang tinggal bersamaku beberapa bulan terakhir ini." Akhirnya Kiranalah yang dibicarakan Sonda.

"Anak Yatim piatu? Kamu mengadopsi anak?" Rentetan pertanyaan dilontarkan Adnan Kusuma atas ketidaktahuannya.

"Belum Pa, aku belum mengadopsinya, aku hanya merewatnya. Namanya Kirana usianya baru empat tahun, ibunya meninggal dua bulan yang lalu dan dia tidak mempunyai siapapun selain keluargaku. Kalau Papa tidak keberatan aku akan mengajaknya tinggal bersamaku tapi kalau Papa tidak mengijinkan ia tinggal bersamaku aku akan cari cara supaya dia mendapat kehidupan yang layak."

Adnan Kusuma tersenyum, belum apa-apa menantunya sudah membuatnya bangga. Jiwa sosial Sonda sangat tinggi sama seperti dirinya, meskipun ekonomi Sonda terbatas tapi tidak menyurutkan niatnya untuk membantu sesama.

"Tentu saja boleh, rumah ini terlalu besar untuk kami tinggali bertiga. Setidaknya tambahan dua orang anggota keluarga akan membuat rumah ini ramai. Papa suka anak-anak bawa dia kemari Nara pasti senang."

"Terima kasih sebelumnya Pa." Sonda merasa lega masalah Kirana sudah terselesaikan, itu artinya ia tidak akan menambah beban Ibu karena ia sendiri yang akan merawat Kirana.

"Jangan sungkan. Masuklah,"

Dengan menjinjing tas ransel berisi pakaiannya, Sonda mengikuti langkah Ayah mertuanya memasuki bagian dalam rumah, ia sempat tertegun sesaat melihat lantai rumah yang mengkilap, licin dan bersih, ditambah lagi dengan furniture mahal yang tertata apik, satu set sofa dari kulit asli lengkap dengan lemarinya dan beberapa hiasan dinding yang mungkin juga harganya tidak murah. Ini baru satu ruangan yang Sonda masuki yaitu ruang tamu dan Sonda yakin ruangan yang lainnyapun tidak kalah sama dengan ruangan ini.

Seorang perempuan cantik dan elegan tersenyum ramah menyambut kedatangan Sonda dan Adnan Kusuma, ia berjalan menghampiri dua orang pria yang baru datang, ia tidak seorang diri di belakangnya wanita paruh baya yang berjalan tergopoh mengikutinya.

Sonda sempat bertanya dalam hati siapa wanita tersebut? Tidak mungkin dia Ibunya Kinara, dia terlalu muda untuk menjadi seorang Ibu. Sonda yakin umur wanita ini belumlah empat puluh tahun dan mungkin saja hanya terpaut beberapa tahun darinya. Kakaknya kah? Tapi menurut keterangan data yang diberikan Dito. Nara anak tunggal dan ia tidak mempunyai Kakak atau adik. Atau jangan-jangan ini memang Kinara wanita yang dinikahinya. Ditatapnya wanita yang sekarang berdiri dihadapannya, dia memang cantik dengan blouse warna birunya sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Tapi kalau memang benar ini Kinara kenapa tidak ada kemiripan sama sekali dengan yang ada di dalam foto dan kenapa jantungnya tidak berdebar sedikitpun sementara ketika ia menatap foto Kinara desiran aneh itu selalu hadir.

"Sonda, kenalkan ini istriku Mieke Ibunya Nara." Tanpa sadar Sonda menghembuskan nafasnya.

"Oh, maaf... aku tidak tahu, Sonda." Dengan cepat ia mengulurkan tangannya memperkenalkan diri, ia tidak menyangka Ibu mertuanya masih sangat muda dan sudah mempunyai anak sebesar Kinara, Kalau Ibunya semuda ini berapa umur Kinara? disurat nikah disebutkan Kinara berusia dua puluh lima tahun.

"Dia Ibu tirinya Nara, aku menikahinya tujuh tahun yang lalu ketika Nara baru menyelesaikan SMU nya." Adnan Kusuma menjawab rasa penasaran Sonda.

Mengertilah ia sekarang kenapa Ibu mertuanya masih sangat muda dan jujur ia merasa lega ternyata orang yang menjabat tangannya adalah Ibu mertuanya bukan wanita yang dinikahinya. Tapi dimana istrinya berada? Kenapa ia tidak menyambut kedatangannya? sedang sakitkah? atau dia memang enggan mememuinya.

"Papa ini bicara apa sih, aku kan sudah mengaggap Nara sebagai putriku sendiri dan dia putri kandungku juga."

"Papa sudah mendengar itu dari mulut mama ratusan kali. Terima kasih sayang." Dan Adnan Kusumapun mengecup kening istrinya, sungguh keluarga yang sangat harmonis. Adnan Kusuma tahu betul untuk membuat hati istrinya senang.

"Sonda, selamat datang di rumah barumu dan selamat atas pernikahanmu?" Mieke tersenyum ramah, senyum yang datang dari hatinya.

"Terima kasih."

"O ya, Bi. Tolong bawa tas Sonda ke kamarnya?" Dia menyuruh wanita paruh baya yang tadi mengikutinya untuk membawa tas Sonda ke kamarnya.

"Tidak apa-apa biar saya sendiri yang membawanya." Sonda sempat menahan tasnya.

"Tidak Den, biar bibi yang menyimpannya. Di kamarnya Mbak Nara kan Bu?" Dengan paksa si bibi merebut tas ransel Sonda dan ternyata tenaganya sangat kuat sampai membuat Sonda mengalah.

"Iya di kamarnya Nara, dia kan suaminya Nara masa bajunya di simpan di kamar Bibi."

"Ibu bisa aja." Si bibi terkikik geli.

Adnan Kusuma merangkul bahu istrinya lalu mengusapnya. "Mieke yang mengatur semuanya dirumah ini jadi jangan heran kalau dia sangat dekat dengan asisten rumah tangga kami." Dia memberi penjelasan singkat tentang nyonya rumah dan Sonda pun mengangguk mengerti.

"Jam berapa ini?" Lanjutnya lalu melihat jam yang melingkar di pegelangan tangannya. " Sudah waktunya makan siang, kita makan sekarang, dimana Nara?"

"Nara ada diruang makan, dia sedang menunggu Papa. Yuk Sonda kita makan sekarang?" Sonda mengangguk lalu mengikuti langkah ayah beserta Ibu mertuanya memasuki ruang makan yang letaknya di bagian belakang rumah tepatnya berhadapa dengan halaman belakang tanpa ada sekat pemisah sedikitpun, susana sejuk nan asri memenuhi ruangan yang luasnya dua kali lipat lebih besar dari rumah yang Sonda tinggali bersama Ibu dan ketiga adiknya.

"Itu istrimu, temuilah dia." Suara Ayah mertuanya berubah sedih kala menunjuk seorang wanita yang sedang duduk diatas kursi roda menghadap meja makan.

Sonda mematung, ia membeku di tempatnya berdiri, ia tidak menyangka istrinya akan secantik ini dan sangat jauh beda dengan yang ada di dalam foto yang sekarang ia simpan di dompetnya. Kinara begitu cantik aslinya, dia sangat lembut dan feminin, meskipun kulitnya pucat dan wajahnya yang menampakkan ketidak bahagian di dalam hidupnya tapi tidak sedikitpun mengurangi kecantikkannya.

"Duduklah dekat istrimu dan jangan lupa perkenalkan dirimu," Adnan menepuk bahu Sonda yang masih mematung.

"I-iya Pa." Jawabnya tegagap, di tatapnya sekali lagi wanita yang sedang duduk melamun di atas kursi rodanya, makanan yang tertata diatas meja tidak ia hiraukan sedikitpun.

"Nara masih sakit, dia belum bisa menerima kematian Daniel, bahkan beberapa kali dia mencoba menggugurkan kandungannya. Dia tidak menginginkan buah cintanya dengan Daniel." Ungkap Adnan Kusuma ketika melihat Sonda sedikit canggung dan merasa tidak nyaman.

"Apa Nara menyesal telah mengandung anak Daniel?"

"Awalnya dia sangat bahagia mengetahui dirinya hamil karena Daniel berjanji akan menikahinya dan menjadi Ayah untuk bayi yang dikandungnya. Tapi Tuhan berkata lain Daniel lebih memilih mengakhiri hidupnya dibanding harus menikahi putriku." Adnan Kusuma menarik napasnya berat, "entah apa yang salah dengan diri putriku sampai-sampai semua calonnya memilih mundur. Dulu sebelum bertemu Daniel Nara pernah menjalin hubungan dengan seorang pria dan hampir menikah tapi dia ditinggalkan begitu saja lalu datang Daniel dan lagi-lagi tidak jadi. Semoga denganmu Nara bisa meraih kebahagiannya. Papa berharap banyak padamu."

Sonda hanya bisa diam dan merasa bersalah terhadap keluarga Adnan, ia menyalahkan takdirnya kenapa ia harus terlibat dalam kejahatan yang dibuat seseorang.

"Daniel anak yang baik, ia tidak pernah membuat cela di mataku. Papa turut berduka atas meninggalnya Daniel... kamu pasti merasa sangat kehilangan di tinggal orang sebaik Daniel. Yang sabar ya," Sonda tersenyum pahit. Daniel saudaranya yang ia kenal dari kecil benar-benar membuat rencana yang sangat sempurna.

"Dan ketika Papa tahu Daniel punya saudara kandung, Papa langsung menyuruh Dito sahabat baik Papa untuk mencarimu karena Papa tahu kamu akan sama baiknya dengan Daniel. Papa yakin kamu akan dengan suka rela menjaga Nara dan bayi yang dikandungnya." Kasihan sekali Adnan Kusuma tidak mengetahui niat jahat sahabatnya, pikir Sonda pilu.

Mengertilah ia sekarang kenapa Daniel memutuskan bunuh diri karena ia tidak ingin menyakiti lebih jauh lagi keluarga Adnan terutama setelah melihat kebaikan mereka.

***

'Mulailah dengan menyebutkan nama Daniel'

Perintah Dito sebelum Sonda benar-benar masuk kedalam keluarga Adnan untuk memulai aksinya. Nara akan langsung histeris ketika nama Daniel di sebut.

Sonda berdiri tepat di samping istrinya, kursi yang akan ia tarik untuk didudukinya hanya ia pegang sandarannya, ia begitu gugup dan mulutnya tiba-tiba saja terasa kering, beberapa kali ia mencoba menelan ludahnya untuk menghilangkan kegugupannya tapi tidak berhasil karena jantungnya pun ikut berdetak lebih keras, ia berusaha menarik napas dan menghembuskannya secara teratur untuk mengontrol semuanya supaya lebih normal.

Setelah semuanya terkendali akhirnya Sonda menarik kursi dan duduk disamping Nara sambil memperhatikan wajah cantiknya.

"Ha-i..." Sapa Sonda susah payah, ia tidak mengerti kenapa debaran di jantungnya malah semakin menggila sampai-sampai keringat dingin mulai keluar dari pori-pori tubuhnya. Jatuh cinta kah ia pada pacar kakaknya? terlalu dini untuk menyimpulkan ia jatuh cinta. Ia hanya tidak biasa menyakiti hati seseorang, terlebih lagi seorang wanita.

"Aku... aku Sonda suamimu? maksudku mulai sekarang aku yang akan menjagamu menggantikan Daniel." Sonda diam menahan napasnya menunggu reaksi Nara dan beberapa detik kemudian...

"Daniel...Daniel..." Mendengar nama Daniel di sebut, Nara mencari-cari keberadaan Daniel, matanya liar menatap setiap sudut ruangan.

"DANIEL..." Teriaknya berharap Danielnya datang menemuinya.

"Daniel...Daniel kamu dimana? Bukankah kamu janji akan menikahiku? DANIEL." Nara berusaha turun dari kursi rodanya.

Refleks Sonda berdiri dan tangannya menahan bahu Nara untuk tetap duduk di kursi rodanya. "Tenanglah, Daniel tidak ada di sini, ia tidak di sini."

"Dimana Daniel? aku harus bertemu dengannya. Tolong antarkan aku?"

"Aku akan mencari Daniel dan membawanya kemari." Bisik Sonda.

"Daniel sudah meninggal bagaimana kamu bisa membawanya kemari!" Nara menepis tangan Sonda dengan kasar.

"Kalau kamu tahu Daniel sudah meninggal kenapa masih mencarinya?"

Mata Nara menatap Sonda pilu, terlalu banyak kesedihan di mata indah itu. "Karena Daniel...karena Daniel Ayah dari bayi yang... sedang aku kandung." Dan tiba-tiba saja Nara jatuh pingsan.

Semua panik termasuk Sonda yang tidak tahu harus berbuat apa. Dito keparat dia sudah berhasil membuat Sonda merasa bersalah.

"Sonda tolong bawa Nara kekamarnya!" Perintah Adnan yang langsung dituruti Sonda tanpa protes.

"Iya, Pa." Dengan sigap Sonda menggendong Nara tanpa beban seolah-olah berat badan Nara tidak ada artinya. Nara terlalu ringan.

"Kamarnya dimana?"

"Bi tolong antar Sonda." Perintah Adnan yang sedang sibuk menghubungi Dokter pribadi keluarga mereka.

***

Gak terasa udah 3rb kata aja yang aku ketik. Udah terlalu banyak...

Aku bagi dua ya,,, sambungannya di part selanjutnya.

enjoy it,

Continue Reading

You'll Also Like

2.8M 22.5K 44
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
213K 1.4K 11
Naziela atau akrab di panggil ziel atau iel adalah seorang gadis yang baru saja lulus dari sekolah SMA dan sekarang dia sedang Kuliah di kejurusan ke...
2.7M 287K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.7M 24.4K 41
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...