Endorphins

By fateflying

313K 12.4K 934

Anka, sebagai anak baru pindahan berkat wajahnya yang cantik walau otaknya kurang berguna, langsung digaet ol... More

1. Hari pertama
2. Gosip heboh
3. Geng gosip
4. Brian si galak
5. Pura-pura
6. Tragedi koridor
7. Cabut
8. Niko?
9. Not Bad
10. Hujan
11. Curcol
13. Study hater
14. Kena lagi

12. Ke taman

9.7K 841 59
By fateflying

Anka tidak mau menerima risiko berpacaran dengan anak kelas 10. Memang sih lumayan berwajah bersih tapi ternyata Alvian sama sekali bukan tipenya. Jadi tadi Anka sudah menolak pernyataan cinta adik kelasnya itu.

Kembalinya Anka ke kelas ternyata sedang ada diskusi terbuka mengenai acara bazar yang akan diadakan hari Senin. Karena ada guru masuk, terpaksa diskusi dilanjutkan pulang sekolah.

Anka sungguh malas mengikuti kegiatan yang melibatkan kerjasama begitu. Dia sempat berpikir untuk tidak usah mengikuti acara bazar tersebut. Karena yang memegang bazar kelas pasti anak-anak itu saja, Tari dkk.

Kelas mereka akan menjual jagung manis, tahu kan jagung yang diberi kelapa dan gula. Untuk keperluan membeli bahan baku, dimintai uang 20ribu rupiah per-anak.

Usai pembagian tugas membawa peralatan bersih-bersih Anka langsung pulang. Baru keluar dari gerbang pertama Anka sudah dihadang oleh Brian. Pemuda itu sudah lengkap berjaket biru dongker, tas ransel besar dan menenteng helm, matanya menyipit saat pandangan mereka bertemu.

"Hai. Ngapain lo di sini?" sapa Anka sok ramah. "Tumben udah mau pulang jam segini," katanya lagi.

Sepengetahuannya, Brian sering masih di sekolah sampai jam 5.

"Nungguin lo. Ada acara sore ini? Jalan yuk!" Ajaknya seolah mengajak teman sebayanya bermain kelereng.

Anka nyengir lebar mendengar ucapan yang aneh dan konyol itu, kemudian langsung terperanjat saat sadar ucapan Brian tadi ditujukan untuk dirinya. Hah?

Anka menggigit bibir untuk menutupi salah tingkah. "Gue? Jalan sama lo? Kenapa ngajak gue? Emang mau ke mana? Kenapa nggak sama cewek--" cerocos Anka masih speechless.

"Ke suatu tempat yang ingin gue datangi dari dulu. Mau apa nggak?" potong Brian cepat.

Tempat seperti apa yang ingin didatangi cowok ini yah? Anka jadi penasaran sendiri tanpa sadar mengangguk sekuat mungkin tidak takut kalo nanti kepalanya bisa copot.

"Ayo!"

Anka mengekor Brian pergi menuju parkiran yang tinggal tersisa beberapa kendaraan.

Brian menyalakan motornya dan memerintahkan Anka agar naik di belakangnya. Lalu mengendarai motornya keluar dari gerbang sekolah membawa Anka ke suatu tempat yang dirahasiakannya itu.

Wah, tempat apa ya?

🎓🎓🎓

Brian menghentikan kendaraannya di sebuah taman bermain yang luas. Anka menatap takjub pada sebuah patung burung Garuda di sebuah tugu, sebuah plang besar bertuliskan "Taman Garuda".

Waaah, keren banget.

Anka loncat turun dari motor Brian. Setelah mengunci motor Brian meminta Anka agar duduk di kursi taman yang teduh dan rindang. Sementara Brian pergi meninggalkan gadis itu entah ke mana, Anka tidak tahu daerah sini. Tetapi, Anka menurut saja memilih salah satu kursi taman di bawah pohon bunga kamboja yang sedang bermekaran bunganya.

Bagus banget.

Tidak lama Brian datang membawa plastik dengan logo sebuah minimarket ternama. Dia duduk di sebelah dan menyerahkan plastik itu kepada Anka, "lo kan suka piknik," cetusnya.

Anka memanyunkan bibir sebal. Tangannya menyentuh bagian yang dingin, isinya apa ya dingin sekali. Anka meletakkan plastiknya ke sebelah.

Brian melepas ranselnya dari punggung lalu mengelus rambutnya pelan ke belakang.

"Jadi pengen banget ke sini?" tanya Anka memulai pembicaraan.

"Iya. Udah dari lama pengen ke sini, tapi nggak ada temannya sih," ucap Brian, tangannya yang panjang melewati paha Anka dan mengambil plastik tadi.

Anka melongo melihat aksi barusan. Brian terlihat mencari sesuatu di dalam plastiknya, setelah berhasil menemukannya dia menghela napas lega.

Ternyata daritadi Brian mencari ice cream, dia menyodorkan ice cream kemasan yang berbentuk corong, sementara dirinya sudah membuka ice cream dengan kemasan mangkuk kecil dan menyendok topping-nya dengan sendok kecil.

"Kok lo makan yang kecil?" tanya Anka tak tahan melihatnya. Diperkirakan harganya sama saja, karena ice cream yang sedang Brian makan yang meski ukurannya kecil harganya lumayan sama dengan ice cream yang Anka pegang.

"Kalo makan yang gede seperti itu nggak abis, nanti malah kebuang. Udah ya dimakan keburu encer!" Brian menarik tutup ice cream milik Anka dan memaksa agar cepat memakan ujungnya.

Anka sudah asyik menjilat-jilat ice cream tersebut sementara Brian hampir menghabisi ice cream-nya.

Anka menoleh, "Capek juga makan yang begini."

"Masa? Lo makannya banyak gitu. Ya, nanti gue bantuin kalo nggak abis," sahutnya santai lalu menyendokkan ice cream dan menyuapinya ke mulut Anka.

Anka berjengit menolak suapannya, tapi Brian memaksa agar Anka membuka mulut. Akhirnya Anka menerima suapan ice cream-nya juga.

Anka kembali melahap ice cream dan menggigit cone-nya memutar mengikuti letak ice cream yang sudah mendalam.

Waduh, ternyata gue memang rakus beneran yah? Lihat saja ice cream-nya sudah sangat begitu mendalam.

Brian membuang tempat ice cream-nya beserta sampah lainnya ke drum tempat sampah yang tidak jauh dari mereka. Anka memandang tangannya yang lengket sisa ice cream, Anka sudah menghabiskan satu buah ice cream itu sendirian.

Dasar rakus beneran! rutuknya.

Brian mengeluarkan tissue dari tasnya. Heh? Cowok ini membawa tissue ke sekolah. Dia menyerahkan tissuenya. Ternyata dari tadi Brian memperhatikan tangan Anka yang lengket.

Brian minum air mineral dari botol dan jakunnya bergerak-gerak, seirama turunnya air ke tenggorokannya. Antara seksi dan keren. Anka terpesona sesaat menganga.

Ah, sial!

Anka mendecak sebal. Dia baru saja melihat cowok minum air mineral loh tapi gayanya seperti iklan minuman energi.

"Kenapa? Gelisah banget!" sindir Brian saat menyadari Anka menggelengkan kepala mencurigakan.

"Nggak apa-apa."

"Waktu masih kecil kami sering ke sini. Gue, kakak, ibu dan ayah." Brian sandaran di kursi menerawang masa kecilnya.

Anka jadi ikut membayangkan masa kecil Brian beserta keluarganya. Mereka pasti berasal dari keluarga yang baik-baik, terbukti Brian memiliki kepribadian yang rajin, otak cerdas, dan baik jika diminta. Juga tidak merokok seperti cowok kebanyakan, jadi bisa dipastikan berasal dari keluarga yang sama cerdas dan baiknya.

"Yah, sekarang lo sudah besar jadi bisa ke sini sendiri, bisa sama teman, pacar atau gebetan."

Anka baru menyadari ekspresi Brian berubah menjadi diam dan muram. Anka memajukan wajah beberapa senti agar bisa mengamati dirinya.

"Bukan karena gue sudah besar makanya mereka nggak ngajak gue ke sini lagi, tapi keadaannya sudah berubah," tukasnya muram.

Anka masih tidak mengerti. "Berubah?"

"Iya." Brian melirik Anka agak terkejut, wajahnya berubah jadi aneh. Karena sekarang wajah Anka tepat di bawah dagunya. "Ibu sama ayah udah bercerai, kakak gue meninggal saat gue kelas 3 SMP, korban pemerkosaan."

Anka membekap mulut tidak percaya setelah mendengar ceritanya, tidak mudah bagi Brian untuk menceritakan rahasianya itu kepada Anka, rahasia keluarganya.

Seketika Anka dapat merasakan rasa kesepian yang selama ini menggerogoti hati Brian perlahan-lahan. Anka juga pernah mengalami masa-masa saat papanya ketahuan selingkuh dengan wanita lain, Mama marah dan kecewa sehingga memutuskan untuk berpisah. Setelah itu mereka berjuang bertiga, Mama, Anka dan Dinda, yang mereka cuma memiliki satu sama lain. Meski Anka bandel dan sulit diatur, Mama tidak pernah patah semangat mendukungnya, Mama tidak pernah mengusir Anka dari rumah padahal itu adalah cara termudah untuk membuatnya jera.

"Jadi sekarang lo tinggal sama ibu?" tanya Anka.

Brian menggeleng pelan, "Nggak. Ibu sudah pindah ke Bali tahun lalu, gue tinggal di rumah keluarga om sampai lulus SMA."

"Oh," ada rasa yang begitu sakit dan menyesakkan di dada Anka. Tapi apa yah? "Setelah lulus sekolah lo mau ikut pindah ke Bali?"

Ternyata rasa yang sekarang menyesakkan di dadanya adalah kenyataan bahwa Brian akan pindah ke luar kota. Aduh, kenapa dia sesedih ini?

"Awalnya begitu tapi rencana sudah berubah. Tetapi untuk tetap berada di sini ada syarat yang diberikan itu cukup berat," ujar Brian.

"AH!" Anka tersenyum lebar. "Syaratnya apaan?"

"Gue harus masuk FK UI, gue harus jadi dokter."

"Kereeeen banget!!! Gue sih yakin lo bakalan masuk ke sana, nilai lo juga bagus-bagus pasti diterima lewat jalur undangan!" pekik Anka heboh sampai Brian menoleh lagi.

Sepertinya suara Anka cukup keras, sampai Brian mengusap-usap telinganya dengan raut wajah kesal.

"Pastinya dong," sahut Brian congak. Cowok itu berhak belagu kok karena memang memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan.

Anka mengacungkan jempol tanda kagum. "Pasti lo bisa!"

"Lo sendiri apa cita-citanya setelah lulus ini?"

"Cita-cita gue adalah menemukan cita-cita yang diinginkan sejak kecil," jawaban Anka membuat Brian mengernyit tak suka, Anka segera meralatnya, "Ck. Okelah cita-cita gue sederhana, sekarang ini cuma mau lulus aja."

"Cuma lulus?" ulang Brian speechless.

"Ho'oh. Gue lulus aja susah, kalo gue nggak pindah dari sekolah lama, gue nggak dinaikin ke kelas 12 loh."

Mata Brian membelalak, punggungnya sudah tidak menempel di kursi lagi, lalu memandang Anka tak percaya.

Anka nyengir agak jemu melihat reaksi berlebihan Brian. "Kenyataannya begitu kok. Katain saja gue sepuasnya, gue memang bodohnya udah parah banget, juga nakal, keras kepala dan malas," Anka mencerocos panjang lebar. Brian menghentikan ocehannya dengan sekali pelototan.

"Itu yang gue nggak suka dari orang bodoh dan pemalas. Mereka semaunya saja, mereka juga pasrah banget nggak mau belajar untuk mendapatkan sesuatu," sindirnya pedas dan jutek.

"Ya, lo jangan mengira cuma orang cerdas saja yang menggosipi orang bodoh. Orang bodoh juga melakukan hal yang sama, menggosipi orang cerdas," kata Anka sambil tersenyum lebar.

"Apa yang mereka katakan?" tanya Brian penasaran.

"Orang cerdas terlalu serius mengejar sesuatu, padahal bisa diraih dengan cara mudah."

"Cara mudah itu menyontek? Kunci jawaban? Masuk kampus lewat jalur belakang? Kotor semua caranya? Terus apa salahnya menjadi pribadi yang serius," ujar Brian.

"Ahhh," desah Anka sebal karena hobinya disebut-sebut. "Lo tuh cowok teraneh yang pernah gue temuin. Baru kali ini gue ketemu orang kayak lo. Serius banget deh, rajin belajar, rapi, dan ambisius. Tapi lo kaku banget dan ribet. Lo emang butuh hiburan deh. Istilah zaman sekarang, lo butuh piknik. Kurang piknik--" Anka langsung diam setelah dipelototin Brian.

"Seumur hidup cuma lo cewek yang berani sama gue. Gue jadi terkesan."

Terkesan ya? Apa ini cara cowok judes dan serius menyatakan rasa suka? Hahaha, lucu banget.

Anka tertawa dalam hati, ketika menoleh Brian sudah memandangnya dengan sorot mata hangat, sama seperti saat dia memandang gadis itu di bawah pohon tempo hari. Sesaat mereka saling bertatapan dalam diam.

"Lo bilang gue butuh hiburan, jadi saat gue mengajak lo pergi. Jangan pernah lo tolak," kata Brian seketika Anka melotot.

Kemudian Anka tersenyum, "Um, lo merasa terhibur kalo sama gue ya?" tanya Anka centil sambil mengedipkan mata menggoda.

Brian memundurkan wajahnya dengan ekspresi ngeri. Dia sudah memalingkan wajah salah tingkah. Anka menikmati reaksinya yang lucu dan menggemaskan. Wajah Brian sedikit memerah, sampai ke telinganya.

"Mungkin. Tapi jangan menjerumuskan gue ke pergaulan yang bebas." Brian melirik sinis.

"Nggaklah. Gue ini bersih kok. Gue anak baik-baik, cuma nggak pinter aja. Tapi gue pastiin lo nggak bakal ketularan jadi bego." Anka berbicara meyakinkan bagai sales menawarkan jasa.

"Bagus deh," angguknya. "Mungkin kita bisa saling menguntungkan satu sama lain? Dalam hal life balance."

Anka langsung terkikik geli. Dia mau menggoda Brian. "Enggak cuma gitu aja. Mungkin kita ditakdirkan untuk satu sama lain?"

"Mimpi aja sana!" seru Brian galak dan tegas. Wajahnya menyebalkan banget.

"Idih, kasar banget." Anka membelokan matanya dengan raut wajah syok berat. "Lo aneh, ngajak kerja sama dalam hal berbagi dunia keseimbanan hidup, tapi menolak ucapan gue?"

"Ya, ucapan lo seolah-olah kita ini berjodoh!" balas Brian kecut.

"Idih, ya gue ogah juga, bisa stroke ringan kalo gue terus-terusan sama lo!"

"Sayangnya itu kayak bakal kejadian beneran." Brian nada suaranya mau tertawa.

"Gue nggak mau mati muda!!" Anka menjerit syok.

"Makanya makin biasain diri sama gue. Lo bisa nggak sih mundur sedikit aja, posisi lo bikin risih." Brian menggerutu dengan nada masam ngeselin banget.

Anka baru sadar kini posisinya sangat dekat dengan tubuh Brian, bahkan lengannya bertopang di atas paha Brian.

"Eh, sori!!" Wajah Anka sudah memanas, lalu memegang kedua pipi salah tingkah.

Bagaimana harus kembali bersikap biasa saja setelah Anka berperilaku begitu centilnya menggoda Brian.

"Jangan menggoda gue lagi, sekarang udah bahaya. Kita kan sudah gede, nggak mau kan kalo sampe terjadi sesuatu apalagi di sini sepi," celetuk Brian membuat Anka bergidik ngeri.

"Nggak. Nggak mau!!" seru Anka heboh lalu menggeser posisi duduk agak menjauhi Brian.

Dia tetap cowok normal, Anka!

Brian menenggak air mineral dari botol lagi dengan gaya seksi banget.

"Lo juga suka menggoda tuh, bisa nggak sih minum dengan cara yang biasa aja!" seru Anka protes.

"Gue biasa aja kok, lo aja yang saking terpesonanya sama gue," jawab Brian menyebalkan.

Anka memanyunkan bibir.

Oke, mungkin Anka saja yang terlalu menganggapnya seksi lantaran baru pertama kali sedekat ini dengan Brian. Mungkin saja Anka baru tahu kalo gaya minumnya memang seperti itu. Anka meniup poni berkali-kali hingga melayang ke atas.

"Lo harus lulus, Anka. Selama lo berjuang untuk lulus lo pasti akan menemukan impian lo. Kalo lo memiliki impian dan cita-cita, lo pasti akan berjuang mendapatkannya, salah satunya dengan belajar," bisiknya membuat hati Anka bergetar.

"Sebenarnya...." Anka menggigit bagian dalam mulut, "Setelah lo menyemangati agar lulus, gue ingin segera membuktikan bisa lulus dengan belajar, tapi belajar sangat membosankan. Nilai gue sudah agak bagus loh sekarang. Nilai ulangan harian Matematika gue udah naik jadi 50."

"Ya ampun, itu masih jauh dari kesan bagus!" Brian mendengkus. Lantas Brian teringat Anka pernah memiliki nilai cuma 10. Cowok itu langsung pasang wajah aneh dan datar.

"Nilai yang bagus nggak harus sempurna kan," senyum Anka tengil.

"Ngaco! Nilai sempurna itu bagus. Kalo punya target itu ya setinggi-tingginya, nilai 100. Target dibuat setinggi mungkin."

"Target nilai Ujian Nasional yang gue tempel di tembok kamar 100 semua kok. Ya namanya juga cuma tulisan, cuma lembaran kertas. Gue nggak bener-bener bisa dapetin 100. Jadi akan gue kejar nilai KKM dulu itu, yeah," kata Anka penuh keyakinan.

Anka mengambil salah satu bunga kamboja putih dengan semburat kuning di kelopaknya, lalu memberinya ke Brian.

Cowok itu menerimanya dengan raut wajah heran. "Ngapain?"

"Terima kasih sudah sedikit demi sedikit menyadarkan gue," kata Anka sambil tersenyum tipis. "Bahwa gue memang bodoh banget. Gue tau gue nih malas dan bodoh, tapi nggak pernah bergerak maju. Lo pasti tau kalo gue memang sebodoh itu, dan layak didorong biar semangat belajarnya."

"Nggak perlu berterima kasih, karena gue ingin lulus bersama lo. Kita bakal lulus bareng-bareng. Gue nggak tau gimana cara mengungkapkannya, kalo gue suka sama lo."

Hah?

Jantung Anka spontan mengalami percepatan gila-gilaan, mana bisa menyetop degub jantung ini?

Barusan Brian mengatakan menyukainya?

Brian memainkan bunga yang tadi berikan oleh Anka, lalu menyematkan bunga tersebut ke belakang telinga Anka. Cewek itu bukan anak kemarin sore yang baru pertama kali jatuh cinta, pacar-pacarnya yang terdahulu sangat berbeda dengan Brian.

Mereka sudah menunjukkan tanda-tanda menyukai dirinya sejak awal pendekatan, saat dimintai nomer ponsel dan digoda biasanya Anka sudah tahu kalo mereka mengincar dirinya. Tapi hari ini, Anka sama sekali tidak menyangka, tidak pernah benar-benar menyadari kalau Brian menyukainya, entah sejak kapan memulainya.

Jadi begini cara cowok robot menyatakan cinta?

Anka memegang bunga kamboja yang sudah terselip ke belakang telinganya.

"Tunggu-tunggu maksudnya suka gimana? Hah?"

"Ya suka." Brian menjelaskan begitu saja.

"Lo kan udah punya pacar. Lagian kita baru kenal beberapa hari. Semua yang terjadi di antara kita cuma kebetulan, lo cuma lagi jenuh. Ini semua salah gue. Kasihan Rena, dia—"

"Kenapa kalo gue punya pacar, nggak boleh kagum sama lo? Kenal beberapa hari? Setelah kita bertemu di kursi taman lo udah tahu gue kan? Lo selalu menghindar dari gue. Benar begitu? Gue lebih nyaman sama lo daripada sama Rena. Gue memang salah. Tapi gue serius sama lo," jelas Brian seraya menyentuh pipi Anka dan mengelusnya lembut. "Gue kagum sama lo, ini aneh. Lo terlihat bebas, menyenangkan dan seru. Lo sangat hangat dan asyik. Gue rasanya kagum."

Baru kali ini Anka tak berdaya di hadapan seorang cowok, biasanya dia yang selalu menggoda centil.

Ini akibat ulah lo, Anka, yang selalu menggodanya. Dasar lo cewek centil penggoda pacar orang!

Brian juga tidak bodoh kala itu, dia pasti menyadari Anka yang langsung mencari tempat bersembunyi kalau melihat sosok yang sangat mencolok di antara murid lain karena tingginya yang menjulang.

Tapi, Anka jadi gelagapan kesulitan berpikir gara-gara pengakuan si cowok pintar yang tampaknya lagi error karena stress belajar Matematika dan Kimia.

"Gue ini cewek. Kasihan Rena, gue mengerti perasaannya dia." Anka menatap Brian sedih.

"Hubungan kami dari awal memang nggak baik tapi nggak ada yang mau mengakhirinya duluan. Nggak usah peduliin dia, itu akan jadi urusan gue sama dia karena sekarang cuma ada gue dan lo," ucap Brian lagi membuat lutut Anka lemas.

"Tapi di pihak Rena, gue ini adalah orang ketiga."

"Kita kan cuma berteman, gue suka sama lo sebagai teman. Ngerti maksudnya, kan?" Brian menegaskan itu.

"Ohh? Oke."

Suka sebagai teman? Apa bedanya dengan rasa suka yang itu ya?

"We're just friend."

"Tapi gue tetep bisa jadi orang ketiga buat Rena." Anka mendesah kesal.

"Bukan. Jangan pernah sebut nama dia di depan gue! Gue marah kalo lo sebut nama dia lagi. Dan satu lagi, jangan dekat sama Niko, gue nggak suka lo dekat-dekat sama dia!"

Jleb.

Anka tahu mereka satu organisasi tapi kenapa mereka seperti musuh dalam selimut begitu sih?

"Kenapa si Niko? Dia lumayan cute kok, senyumnya juga manis. Kalian kenapa sih saling menjatuhkan satu sama lain di hadapan gue?"

"Cute? Manis? Lo suka sama dia?" Nada suara Brian meninggi. "Dia bilang apa tentang gue, ngatain apaan?"

"Rahasia, tanyain aja sama dia. Nggak acih dong kalo gue ngadu."

"Itu anak benar-benar ya!" Brian bangkit dari duduknya, "Pulang yuk! Gue anter sampe rumah lo. Mulai sekarang jangan kabur atau menghindar. Lo udah tau perasaan gue ke lo."

Anka ikutan bangkit dari duduknya, lalu menatap Brian dengan sorot penasaran. "Kenapa suka sama gue? Brian, ini nggak boleh!"

"Stop! Jangan banyak tanya!" tandas Brian penuh penekanan. "We're just friend." Menunjukkan imejnya sebagai manusia yang tidak bisa dibantah.

Anka menggigit bibirnya, meski dia menyukai Brian juga. Tapi hubungan ini terlalu tidak sehat. Brian sudah memiliki kekasi. Namun, memperlakukannya manis dan menyatakan rasa suka juga. Anka khawatir perasaannnya pada Brian membutakan mata hatinya, dan merebut cowok itu dari Rena. Dia tidak mau menghancurkan hubungan orang.

Tidak salah lagi, kemungkinan Brian habis keracunan cairan Kimia saat praktik di sekolah. Cairan itu merusak fungsi kerja otaknya, lalu tak lama lagi Brian akan kembali seperti biasanya. Dan, melupakan kejadian tadi. Sepertinya itu lebih baik.

🎓🎓🎓

Setelah Brian menghilang dari pandangan, Anka segera masuk ke dalam rumah, di balik pintu rumah sudah ada Dinda dan Mama ketahuan mengintip Anka yang diantar oleh seorang cowok.

Mereka saling melirik salah tingkah dan menyenggol lengan satu sama lain.

Anka menghela napas, "Ma... Dinda... Kalian ngapain sih ngintipin aku? Aku udah gede loh."

"Yah, Mama khawatir kamu kecemplung dalam pergaulan yang buruk, apalagi ini Jakarta. Mama harus tahu siapa teman dekatmu, siapa pacarmu, Mama juga harus tau kamu habis pergi sama siapa, kok nggak disuruh masuk dulu buat mampir?" oceh Mama.

"Capek jadi harus langsung pulang. Aku juga capek ya, jadi mau masuk dulu."

"Abis ngapain tuh kok pada capek?" celetuk Dinda seakan menuang bensin ke api.

Anka melirik bengis ke arah adiknya itu yang lagi tersenyum meledek.

Mama memandang Anka dan Dinda bergantian dengan raut muka polos tidak mengerti ucapan Dinda.

Anka menyahut, "Kepo banget. Ma, Dinda punya cowok tapi nggak diusik. Mama curang."

"Dinda sih beda, cowoknya anak baik dan ramah. Nah kamu, pacarmu tuh mencerminkan perilaku kamu. Kalo perilaku kamu bengal luar biasa, gimana cowokmu," cetus Mama membuat Anka melongo tapi Dinda tertawa puas.

"Cowok yang kali ini baik, Ma. Cerdas, ranking 1 pararel, mantan ketua OSIS, pokoknya top deh!" pamer Anka sambil menjulurkan lidah penuh percaya diri.

"Ranking 1 di sekolahmu? Wah, lumayan sih pasti setara sama anak-anak di sekolah Dinda." Mama mengangguk.

Namun, ucapannya menohok hati Anka.

"Iya deh sekolah Dinda mah elit anak-anaknya beda. Nggak kayak anak sekolahanku yang biasa aja. Tapi, percaya deh Ma, dia itu antik banget. Sayang banget kenapa dia sekolah di tempat itu, kan biasa aja!" seru Anka.

Anka menjadi tertohok lagi. Namun, rasanya tak pantas memikirkan pilihan orang lain. Dia sendiri dijebloskan ke sekolah itu karena biayanya di sana tak mahal. Dan kualitas muridnya juga biasa aja, tak akan membuat dirinya terintimidasi. Jika Anka masuk sekolah yang sama dengan Dinda, sudah pasti akan menjadi masalah besar seperti kesulitan berbaur, dan mengejar anak murid lainnya. Apalagi mengejar pola pembelajaran yang lebih susah di sekolahnya Dinda.

"Oh, begitu. Ya udah kamu mandi deh, Mama mau masak nih." Mama pergi ke dapur untuk mempersiapkan makan malam sementara yang di sana tinggal hanya ada Anka dan Dinda.

"Kak, kayaknya gue pernah ketemu cowok itu deh," ujar Dinda menghentikan ekspresi semringah Anka.

"Di mana?"

"Depan rumah, sering duduk di warung Bu Jumin. Gue kira dia anak sekitar sini, dan logo di seragamnya SMA Palagan."

Kenapa Brian sering ke sini? Apa dia benar-benar sering mengikutiku?

"Sejak kapan?"

"Pertama kali setelah kita pindahan, lalu setelah itu dia sering muncul kok, nggak tau ngapain. Kok pacar lo seram sih, Kak!" Dinda bergidik ngeri.

"Mungkin dia kepoin gue karena naksir berat. Yaa seperti cowok normal pada umumnya?" guyon Anka cekikikan. "Udah, ah, gue mau ke kamar!"

Anka melangkahkan kaki menuju kamarnya untuk beristirahat. Ponselnya bergetar dari dalam tas. Dia membuka tasnya untuk mengecek siapa yang mengirimnya pesan atau menelepon?

Anka mengernyitkan dahi melihat nomor baru memanggilnya. Menggeser tombol hijau, dia menempelkan ke telinga.

"Halo?"

"Assalam mu alaikum."

Deg.

Anka terkejut dengar suara berat khas Brian. Dia menutup mulutnya tak percaya, memang tadi saat di depan rumah, Brian meminta nomornya. Tapi secepat ini langsung menghubunginya? Cowok itu benar-benar gila, sudah punya pacar masih menggoda cewek lain. Aduh, bagaimana bisa menolak pesona seorang Brian?

"Wa alaikum salam," jawab Anka. Dia jarang mengucap salam di telepon.

"Ini gue Brian. Simpen ya nomornya."

Klik.

Tut...

Tut...

Tut...

Gitu doang? batin Anka menganga tak percaya.

"Gue belum jawab!!"

Lalu ada pesan masuk dari Brian tak lama Anka menggerutu kesal.

Brian:
Sori teleponnya terputus, batrenya mau abis

Anka:
Oke
Oh ya, gue nanya ini karena gue lagi berhadapan sama orang yg bikin gue bingung. Elo.
Kenapa lo ngajak gue pergi ke sana? Kenapa lo cerita tentang keluarga lo seakan kita udah akrab?

Brian:
Itu sebabnya gue cerita ttg keluarga gue, biar lo tau di sana ada kenangan yg pernah gue lalui
Gue ke sana karena kangen sama kenangan itu
Biar itu jadi awal lo akan mengenal gue

Anka:
Lo nggak setertutup itu ternyata
Oke kita udah jadi temen sekarang, awalan yang bagus utk mengenal satu sama lain

Brian:
Enggak lah, gue udah milih orang2 yg bisa jadi temen gue
Gue mau percaya sama lo

🎓🎓🎓

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 124K 27
Madava Fanegar itu pria sakit jiwa. Hidupnya berjalan tanpa akal sehat dan perasaan manusiawi. Madava Fanegar itu seorang psikopat keji. Namanya dike...
Say My Name By floè

Teen Fiction

1.2M 70.1K 34
Agatha Kayshafa. Dijadikan bahan taruhan oleh sepupunya sendiri dengan seorang laki-laki yang memenangkan balapan mobil malam itu. Pradeepa Theodore...
791K 22.2K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...
1.7M 73.4K 52
"Jangan deket-deket. Mulut kamu bau neraka-eh, alkohol maksudnya!" Ricardo terkekeh mendengarnya lalu ia mendekatkan wajah mereka hingga terjarak sat...