Not Finished Yet [Completed]

By aprilianatd

1.6M 146K 6.1K

Hidup Gama seperti sebuah quote "Cintaku habis di kamu, sisanya aku hanya melanjutkan hidup." Setelah perpis... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Pengumuman
Bab 35 [end]
Epilog
Extra Part

Bab 29

33.6K 3.3K 277
By aprilianatd

Liburan telah tiba. Hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh Alula dan Aruna. Beberapa hari sebelumnya, mereka berdua sudah sibuk sendiri menyiapkan barang-barang yang nantinya akan dibawa. Mulai dari baju renang, baju-baju lucu, tas, sepatu, dan masih banyak lainnya. Mereka sampai minta beli jaket baru, karena jaket yang lama sudah kekecilan.

"Kenapa beli jaket baru?" tanya Jenia kala itu.

"Kan di Malang dingin, Mi. Aku sama Alula perlu jaket biar badan kita hangat."

Mendengar jawaban anak-anaknya yang masuk akal, akhirnya Jenia mengajak mereka untuk belanja di mall. Mereka hanya belanja bertiga tanpa ditemani Gama. Laki-laki itu harus menyelesaikan beberapa pekerjaan sebelum liburan bersama.

Liburan ke Malang ternyata tercetus oleh Mama setelah Jenia bercerita rindu dengan Ibu dan Ayahnya. Karena Mama tahu kalau selama ini Jenia tinggal di Malang, akhirnya Mama berinisiatif memfasilitasi liburan ke Malang. Mulai dari transportasi, makanan, dan hotel, semua sudah disiapkan oleh Mama. Bahkan kemanapun destinasi wisata yang akan dituju Jenia dan si kembar, akan ditanggung juga. Jenia sampai terharu saat mengetahui alasan sebenarnya ketika Mama menyuruh dirinya ikut liburan ke Malang.

"Kamu pasti kangen sama Ibu dan Ayahmu. Nggak ada salahnya kamu ziarah ke makam mereka. Si kembar pasti senang kalo diajak ziarah ke makam nenek sama kakeknya."

Jenia yang semula tidak terlalu bersemangat dengan liburan, tapi langsung berubah pikiran begitu mendengar perkataan Mama. Ia memang sudah lama tidak ke Malang. Selama ini kerindunaan kepada orang tuanya hanya disampaikan lewat doa. Tidak ada salahnya kali ini ia mengunjungi makam orang tuanya.

"Mami, jaket biru atau pink?" tanya Alula memegang dua jaket berbeda warna di tangan kanan dan kirinya.

"Terserah kamu aja. Dua-duanya bagus kok."

Alula memajukan bibirnya kesal. "Jawaban Mami nggak membantu sama sekali."

"Kamu bisa pilih warna yang kamu suka."

"Aku bingung, makanya aku nanya ke Mami."

"Kamu coba dulu keduanya. Pasti salah satu ada yang benar-benar kamu suka."

Mendengar saran dari Maminya, akhirnya Alula mencoba memakai jaket itu secara bergantian.

"Mami, aku pilih ambil warna kuning." Aruna berjalan ke arah Maminya sambil memegang jalet bewarna kuning pastel.

"Yaudah, nanti kita bayar sama-sama. Alula masih bingung pilih warna jaketnya."

"Tapi, jaket ini agak kekecilan. Mami bisa minta tolong bilangin ke Mbaknya buat cariin ukuran yang lebih besar?"

Jenia mengambil alih jaket dari tangan Aruna. Kemudian ia mendekati satu pramuniaga dan meminta diambilkan jaket yang ukurannya lebih besar. Setelah mendapat jaket sesuai dengan ukuran yang diinginkan, ia menyerahkan kepada Aruna untuk dicoba kembali.

"Pas banget, Mi. Nggak kekecilan kayak tadi." Aruna tersenyum lebar begitu mencoba jaketnya.

"Kayaknya aku pilih yang warna biru aja deh," ucap Alula setelah bimbang menentukan piluhan warna jaketnya.

Selesai berbelanja, Jenia mengajak anak-anaknya untuk makan. Kebetulan jam sudah menunjukkan pukul dua belas, sudah waktunya untuk makan siang. Ia sempat kesulitan mencari tempat makan yang sepi, karena banyaknya pengunjung di mall. Hari ini adalah hari Sabtu, wajar jika suasana mall lebih ramai dibanding hari biasa. Bahkan beberapa tempat makan sampai harus waiting list karena saking membludaknya pengunjung yang datang.

Setelah berputar-putar mencari tempat makan, akhirnya Jenia masuk ke salah satu tempat makan yang antriannya tidak terlalu banyak. Hanya menunggu beberapa saat, akhirnya ia bisa mendapatkan meja. Jenia mulai melihat-lihat buku menu dan memesan makanan yang ia inginkan. Begitu juga yang dilakukan oleh anak-anaknya.

Sembari menunggu makanan datang, Alula dan Aruna membahas tempat-tempat wisata yang ingin dikunjungi selama di Malang.

"Kata Oma, liburan di Malang satu minggu. Aku sama Aruna udah bikin list tempat-tempat yang bagus."

"Emang mau kemana aja?"

"Yang pasti aku mau berenang. Terus mau main-main di alam. Pokoknya mau lihat yang ijo-ijo," jawab Aruna.

"Aku mau naik kuda, Mi. Ada nggak tempat wisata yang ada kudanya?"

Jenia menggaruk belakang kepalanya. "Waduh, Mami juga kurang tau."

Aruna menoleh menatap kembarannya. "Emangnnya kamu nggak takut naik kuda?"

Alula menggeleng.

"Kalo nanti kamu disruduk kuda gimana?"

"Kan aku di atas kudanya, ngapain aku disruduk?" Balas Alula santai.

"Gimana kalo kudanya tantrum dan bikin kamu jatuh?"

Alula berdecak. "Kan ada petugas yang jagain," jawabnya santai. "Atau nanti minta tolong Papi buat pegangin kudanya."

"Kalo Papi pegangin kudanya, nanti Papi yan disruduk sama kuda."

"Nanti aku suruh Papi jadi bestie-nya kuda. Biar Papi nggak disruduk sama kudanya."

Jenia tersenyum mendengar percakapan anak-anaknya.

"Hari ini kenapa Papi nggak ikut kita sih, Mi?" tanya Aruna yang tiba-tiba menatap Maminya.

"Papi lagi sibuk."

"Ish, kan ini hari Sabtu. Emang ada orang yang kerja di hari Sabtu?" tanya Aruna lagi.

"Ada," jawa Alula cepat. Melihat Aruna yang menatapnya lekat seakan menunggu jawabannya,  kemudian ia menampilkan senyum lebar. "Om Kamil di hari Sabtu masih suka kerja," lanjutnya.

"Kalo Om Kamil kan bisnis sama Mami. Makanya hari Sabtu atau Minggu masih suka kerja. Kalo Papi kan kerja sama Opa. Kan bisa aja Opa nyuruh Papi libur," keluh Aruna.

Jenia mengulum senyum. "Meskipun kerja sama Opa, tapi bukan berarti Papi bisa seenaknya," ucapnya menatap Alula dan Aruna secara bergantian. "Hari ini Papi nggak ke kantor kok. Semua pekerjaan dibawa pulang. Biasanya kalo hari Minggu Papi libur. Karena bentar lagi Papi akan liburan sama kita, jadi Papi harus nyelesaiin pekerjaannya dulu."

"Papi sekarang dimana? Di rumah Oma sama Opa?" tanya Alula.

Jenia mengedikkan bahu. "Mami nggak tau."

"Emang kalo nggak di rumah Oma sama Opa, Papi dimana lagi?" tanya Aruna menatap Alula.

"Siapa tau Papi lagi di apartemennya sendiri," jawab Alula.

"Emang Papi nggak punya rumah ya, Mi?" tanya Alula dengan wajah polos.

"Papi tinggal di apartemen karena lebih dekat dari kantor."

"Kenapa Papi nggak tinggal bareng Oma sama Opa?" tanya Aruna. "Om Adam juga gitu. Kenapa mereka tinggal sendiri-sendiri, padahal rumah Oma sama Opa kan besar banget."

"Hmmm ... karena Papi sama Om Adam sudah dewasa. Makanya mereka lebih nyaman untuk tinggal sendiri."

"Kenapa kok tinggal di apartemen, bukan tinggal di rumah?" tanya Aruna lagi. "Kalo kata temen-temenku yang tinggal di apartemen, mereka tuh nggak kenal sama tetangganya."

"Coba nanti kalo ketemu Papi atau Om Adam, kalian langsung nanya."

"Jadi, kalo aku udah besar boleh tinggal terpisah dari Mami?" tanya Alula.

Pertanyaan Alula tidak bisa langsung dijawab oleh Jenia. Bayangan anak-anaknya tumbuh dan akan meninggalkannya di kemudian hari, tiba-tiba membuatnya sedih. Ia tidak yakin bisa berpisah dengan anak-anaknya atau tidak. Mungkin kalau suatu saat si kembar bisa kuliah di luar negeri, mungkin ia akan ikut.

"Mami?"

"Itu dipikirin nanti aja. Kalian kan sekarang masih SD. Perjalanan kalian untuk bisa tinggal sendiri masih jauh."

"Coba Mami tanya ke Papi," pinta Aruna.

"Tanya apa?"

"Tanyain sekarang Papi lagi ada dimana. Nanti habis selesai makan, kita samperin Papi," jawab Aruna. "Aku mau pamer jaket baru ke Papi," tambahnya.

Jenia menurut. Ia akhirnya mengirim pesan ke Gama dan menanyakan lokasi laki-laki itu. "Masih belum dibales."

"Mi," panggil Alula dengan suara pelan.

"Iya?"

"Aku sama Aruna beberapa hari lalu ngobrol berdua." Alula memasang tampang serius.

"Kalian ngobrol apa?"

"Kami nggak keberatan kalo Mami sama Papi balikan."

Jenia seketika diam terpaku. Tidak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut anaknya. "Kenapa kok bilang gitu?"

"Aku sama Alula tau kok kalo Mami sama Papi udah cerai. Teman-teman kita juga banyak yang orang tuanya cerai," ucap Aruna menatap Maminya.

"Kalo menurut cerita dari teman-teman, orang tuanya cerai karena sering berantem. Bahkan setelah cerai, mereka masih suka berantem di depan anaknya."

Jenia kembali diam.

"Mami sama Papi kelihatan hormanis. Mami lebih banyak senyum kalo lagi semenjak ketemu sama Papi," ucap Alula yang tanpa sadar memilin-milin jarinya sendiri. "Jadi, aku bingung kenapa kalian pisah?"

Belum sempat Jenia membuka suara, pelayan datang untuk mengantarkan pesanan ke meja. Obrolan sebelumnya langsung hilang begitu saja. Selama makan, tidak ada obrolan yang terjadi diantara mereka bertiga. Sembari makan, Jenia sesekali melihat kedua anaknya yang sibuk melahap makanan masing-masing. Ia jadi memikirkan apa yang baru saja dikatakan anak-anaknya. Siapa yang mengira kalau pemikiran mereka jauh lebih dewasa dari yang ia bayangkan

***

"Mbak, aku mau cerita kalo udah punya pacar."

"Serius?"

Kamil mengangguk.

Jenia langsung tersenyum lebar. "Alhamdulillah...."

Kamil tersenyum tipis.

Jenia merasa ada yang aneh dengan ekspresi Kamil. "Kenapa kayaknya kamu nggak happy udah punya pacar?"

"Bukan nggak happy...." Kamil menggantung kalimatnya.

"Terus?"

"Pacarku namanya Amel. Keluarga dia kurang suka kalo anak-anaknya pacaran. Kalo emang serius, disuruh langsung nikah."

"Kamu belum yakin buat nikah sama dia?"

Kamil menghela napas keras. "Kalo aku nikah, Mbak Jenia sama siapa nanti?" tanyanya dengan raut wajah serius. "Aku berasa ngelangkahi Mbak Jenia kalo nikah duluan."

Jenia sontak tertawa lebar. "Aku udah pernah nikah. Nggak ada istilah kamu ngelanglahi aku," ucapnya disela-sela tawanya. "Aku beneran ikut senang kalo kamu udah ada pikiran buat nikah. Kamu nggak perlu pusing mikirin aku. Sekarang aku bahagia kok."

"Mbak nggak ada niatan buat nikah sama Mas Abi?"

Jenia mengerutkan kening dalam. "Kok Abi?"

"Emang ada cowok lain yang dekat sama Mbak Jen selain Mas Abi?"

Jenia diam.

Kamil mengamati ekspresi diamnya Jenia. Meski diam, wajah Jenia seperti mengkhawatirkan akan sesuatu. "Aku nggak setuju ya kalo Mbak Jen balikan sama Mas Gama."

"Kenapa?" tanya Jenia dengan suara seperti tikus kejepit.

Kamil mendesah lelah. "Mbak Jen kalo sama Mas Gama, kayak baca buku yang sama untuk kedua kalinya. Padahal Mbak udah tau ending-nya gimana."

"Jadi, kamu nggak setuju kalo aku sama Mas Gama balikan?"

"Mas Gama baik, tapi kalo untuk balikan aku kurang setuju, Mbak. Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik dari Mas Gama. Salah satu contohnya Mas Abi."

"Aku sama Abi udah jarang ketemu karena dia sibuk ada kerjaan ke luar kota."

"Iya sih. Waktu itu ulang tahun si kembar, Mas Abi sempat aku undang, tapi nggak bisa karena lagi ada di Jakarta," ucap Kamil menimpali. "Kalo emang nggak bisa sama Mas Abi, bisa cari laki-laki yang lain, Mbak. Pokoknya jangan Mas Gama."

Jenia lagi-lagi hanya bisa diam. Kalau kemarin si kembar memintanya untuk menjalin lagi hubungan dengan Gama, tapi kini Kamil justru berkata hal yang berkebalikan. Ia jadi bingung dengan perasaannya sendiri.

"Mbak malam ini jadi berangkat ke Malang?" tanya Kamil.

Jenia mengangguk.

"Dijemput Mas Gama jam berapa?"

"Sekitar jam empat sore. Sekarang Mas Gama lagi kerja."

"Ingat ya Mbak, Mbak Jen perginya sebagai orang tua si kembar, bukan pasangannya Mas Gama. Itu dua hal yang berbeda." Setelah mengatakan itu, Kamil meninggalkan Kakaknya sendirian di ruang tengah.

***

Sepanjang perjalanan menuju Malang, Jenia lebih banyak diam. Dua anaknya di kursi tengah sibuk mengoceh, membuat suasana mobil menjadi lebih hidup.

"Kamu nggak papa?" tanya Gama berbisik pelan. Ia merasa heran dengan sikap Jenia semenjak masuk mobil.

Jenia menyunggingkan senyum tipis. "Nggak papa kok."

"Kamu lebih banyak diam. Kamu pusing?"

Jenia menggeleng. "Nanti kalo ada rest area, berhenti sebentar ya, Mas. Aku mau kencing sama sekalian beli kopi."

"Mau berhenti di rest area?" tanya Aruna yang tidak sengaja mendengar percakapan orang tuanya.

"Nanti kita turun beli cemilan ya, Pi," ucap Alula memajukan duduknya, mendekat ke Papinya.

Gama tersenyum tipis. "Iya, nanti Papi temenin kalian turun."

"Yes!" seru Alula dan Aruna bebarengan.

Setibanya di rest area, Gama memarkirkan mobilnya di depan mini market. Jenia segera turun dan berjalan ke arah toilet. Gama juga menyusul turun bersama anak-anaknya, masuk ke mini market.

Setelah selesai buang air kecil, Jenia belum menemukan Gama dan si kembar di mobil. Sepertinya mereka belum selesai berbelanja. Akhirnya ia melipir sebentar untuk membeli kopi. Tidak lupa ia membelikan kopi untuk Gama juga. Sekembalinya dari membeli kopi, lagi-lagi ia belum menemukan Gama dan anak-anaknya di mobil. Ia memutuskan bersandar di mobil sambil menunggu kedatangan mereka. Saat berdiri di samping mobil, tak sengaja telinganya menangkap percakapan dua perempuan yang duduk di depan mini market.

"Kamu lihat kan cowok yang lagi milih-milih jajan tadi?"

"Iya. Yang gandeng dua anak cewek kembar, kan?"

"Ganteng banget cuy. Wajahnya setengah bule, tapi nggak bosenin buat dilihat. Tipe cowokku banget. Manly dan peluk-able banget."

"Aku kalo punya laki kayak gitu, nggak bakalan aku biarin keliaran sendirian. Takut dimangsa cewek-cewek genit."

"Iyalah, njir. Bakal aku kekepin di kamar. Kalo perlu dia nggak perlu keluar kamar."

"Anak-anaknya juga cantik banget. Beneran bule dan matanya belo banget."

"Aku nggak keberatan punya anak sambung secantik itu."

Jenia yang mendengar percakapan itu jadi kesal sendiri. Untung saja tak lama kemudian Gama dan anak-anaknya muncul dengan membawa dua tote bag yang penuh dengan cemilan.

"Mami, lihat deh. Papi beliin kita banyak cemilan!" teriak Aruna beralih ke arah Maminya.

"Mami tenang aja, kita nggak lupa buat beliin Mami juga kok," sahut Alula yang ikut berlari juga.

Sebelum masuk ke dalam mobil, Jenia sempat melirik ke dua perempuan yang jelas tengah menatap ke arahnya. Ia tersenyum penuh kemenangan, membuat dua perempuan itu langsung memalingkan wajah.

"Habis kencing sama beli kopi kayaknya mood-mu lebih baik," komentar Gama sembari menyalakan mesin mobil.

Jenia mengulum senyum. "Tadi nahan pipis. Makanya agak bad mood," jawabnya asal. Untung saja Gama percaya dengan alasannya. Sisa perjalanan, ia jadi lebih banyak berbicara. Ia menanggapi obrolan Gama atau si kembar dengan antusias

***

Sorry for typo and thankyou for reading❤

Author Note:
Aku update lebih cepat karena sadar beberapa hari yang lalu nggak bisa update.

Kalian tim si kembar (rujuk) atau tim Kamil (nggak rujuk)??? Jenia jadi bimbang sama perasaannya sendiri🤭🤭

Btw, akhir-akhir ini jumlah kata tiap bab meningkat pesat. Semoga kalian sadar dan cukup puas😅

Continue Reading

You'll Also Like

218K 40.2K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
733K 57.5K 24
Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga. Remi sedikit berdebar, apalagi saat Bum...
951K 74.5K 64
》Love Makes Series 4《 • • • Hari itu merupakan hari tersial bagi sosok Auristela Darakutni. Ia mengalami kecelakaan hingga mengalami patah tulang di...
1.2M 96.8K 54
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...