Not Finished Yet [Completed]

By aprilianatd

1.6M 148K 6.1K

Hidup Gama seperti sebuah quote "Cintaku habis di kamu, sisanya aku hanya melanjutkan hidup." Setelah perpis... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Pengumuman
Bab 35 [end]
Epilog
Extra Part

Bab 26

35.5K 3.7K 191
By aprilianatd

Aruna tidak bisa menahan tangisnya ketika sebuah bola basket mendarat di wajahnya. Ia memegangi wajahnya yang baru saja terkena lemparan bola. Belum cukup rasa sakit di wajahnya, ia harus merasakan sakit saat mendengar ejekan dari temannya.

"Haduh, cengeng banget. Baru kena bola gitu aja udah nangis."

Aruna makin menangis karena dikatai cengeng. Ia memegangi matanya yang terasa berdenyut nyeri. Ia menoleh ke kanan dan kiri, berusaha mencari kembarannya.

Dari kejauhan, Alula yang sedang berjalan bersama Mikala, buru-buru menghampiri Aruna yang menangis di pinggir lapangan,

"Kenapa nangis?" tanya Alula panik. Ia  baru kembali dari toilet, dan mendapati kembarannya menangis sambil memegangi wajah.

Aruna membersit hidungnya. Ia berusaha untuk meredakan tangisnya. "Kena lemparan bola," jawabnya sesenggukan.

Alula seketika naik pitam mendengar itu. "Siapa yang ngelempar?!"

Aruna tidak menjawab. Tapi tatapan matanya tertuju pada segerombolan teman-temannya yang duduk tak jauh dari mereka. Kebetulan jam olahraga baru saja selesai, semua siswa diperbolehkan untuk istirahat.

Alula menghampiri gerombolan yang ditatap oleh Aruna, tidak lupa sambil membawa bola basket di tangannya. Di belakangnya ada Mikala yang ternyata mengekorinya.

"Siapa yang ngelempar bola ke wajahnya Aruna?" tanya Alula dengan wajah memerah padam karena marah. Ditatapnya satu persatu temannya yang ada di sana. Kebetulan ada empat anak yang duduk di sana, dan salah satu diantara mereka telah melempar Aruna dengan bola basket.

"Aku."

Tangan kiri Alula terkepal kuat. Tatapannya menghunus tajam pada teman laki-lakinya yang bernama Reon. "Kenapa?" tanyanya dengan napas berat.

Reon, laki-laki yang baru mengaku kalau melempar Aruna dengan bola basket, mengedikkan bahu ringan. Wajahnya tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. "Nggak papa. Emang mau ngelempar Aruna aja," jawabnya santai.

Mendengar jawaban itu membuat Alula naik pitam. Seketika bola yang ada di tangannya meluncur begitu saja mengenai tepat di wajah Reon. Semua yang ada di sana berteriak terkejut, tak terkecuali Aruna.

Aruna segera menghampiri Alula yang tampak marah. "Kenapa kamu ngelempar bolanya ke Reon?" tanyanya panik.

"Nggak papa. Emang aku mau ngelempar bola itu ke dia," jawab Alula melirik Reon yang berteriak kesakitan.

Reon bangkit berdiri, mendorong bahu Alula dengan kuat sampai perempuan itu hampir terjengkang. Dorongan itu memicu Alula untuk menendang kaki Reon. Teman-teman yang ada di sana berusaha memisahkan Reon dan Alula yang mulai saling menyerang.

Saat terjadi pertengkaran diantara Alula dan Reon, seorang guru segera menghampiri mereka. Aruna dan Reon dibawa ke ruang kesehatan, yang lainnya dibawa ke ruang guru. Karena pernyataan beberapa teman, guru akhirnya tahu kalau Reon pertama kali yang melempar bola pada Aruna, kemudian Alula membalas dengan melempar bola pada Reon. Karena itu, orang tua Reon dan si kembar dipanggil ke sekolah untuk menyelesaikan masalah ini.

***

Ini pertama kalinya Jenia dipanggil ke sekolah. Saat menerima telepon dari sekolah, kebetulan ia sedang bersama Gama. Laki-laki itu langsung heboh dan meminta untuk ikut ke sekolah si kembar.

Amarah Gama langsung tersulut melihat putri kecilnya mendapatkan memar di bagian mata. Ia sudah bersiap menyemburkan amarahnya, tapi ada Jenia yang mencegahnya. Ia tidak tega melihat wajah Aruna sudah bengkak dan membiru.

Miss Becca, sebagai wali kelas menjelaskan kejadian yang sebenarnya terjadi pada kedua wali murid yang duduk di hadapannya. Reon dan Alula diminta untuk saling meminta maaf. Meski dilakukan dengan setengah hati, tapi tetap mereka lakukan.

Tindakan yang dilakukan Alula tidak lepas dari hukuman. Dengan sengaja ia melemparkan bola ke wajah Reon. Bukan hanya Alula yang mendapat hukuman, tapi Reon juga mendapatkan hukuman yang sama. Mereka berdua akan diskros selama tiga hari dan mereka diminta menuliskan sebuah renungan atas apa yang telah mereka perbuat sebanyak lima lembar. Hukuman terakhir adalah setumpuk tugas dari beberapa mata pelajaran yang harus mereka kerjakan. Melihat betapa banyaknya tumpukan kertas itu, mampu membuat siapa saja mual.

Alula dan Aruna pulang lebih cepat dari sekolah. Di dalam mobil, tidak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara. Sesampainya di rumah, Jenia menyuruh Alula dan Aruna untuk mengganti baju sebelum menemuinya di ruang keluarga.

"Untung aja Mamanya Reon nggak marah," gumam Jenia.

"Emang harusnya nggak marah. Anaknya yang mulai duluan, wajar kalo anak kita balas," sahut Gama dengan nada kesal. "Yang seharusnya marah itu kita. Aku nggak terima lihat wajah Aruna lebam kayak gitu."

"Tapi nggak seharusnya Alula ngelempar balik bola itu ke wajah Reon."

"Reon duluan yang ngelempar bola itu ke Aruna. Kalo aku ada di posisi Alula, mungkin bukan cuma bola yang kulempar, udah kupukul wajah anak itu."

"Mas!" seru Jenia tertahan.

"Harusnya Alula pukul wajah Reon biar makin biru," desis Gama dengan wajah penuh amarah.

Jenia hanya diam mendengar ucapan Gama. Ia tahu kalau laki-laki itu begitu sayang terhadap si kembar. Tidak ada orang tua yang ingin anaknya terluka, begitu juga dengan Jenia dan Gama.

"Aku mau punya anak-anak yang bisa membela dirinya sendiri. Dan dalam kasus ini, Alula cuma ngebela saudara kembarnya," ucap Gama tiba-tiba.

Jenia mengusap wajahnya frustrasi.

"Kita harus bawa Aruna ke rumah sakit."

"Tadi di ruang kesehatan udah diperiksa."

"Kita tetap harus bawa Aruna ke rumah sakit. Make sure kalo kondisinya semua baik. Sekalian minta obat nyeri."

Jenia menarik napas panjang, sebelum akhirnya mengangguk setuju. "Yaudah, nanti sore kita bawa Aruna ke rumah sakit."

Gama dan Jenia sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Sebagai orang tua, mereka juga ingin yang terbaik untuk anak mereka. Kejadian hari ini cukup membuat mereka kaget, marah, kesal, sedih, semuanya bercampur aduk menjadi satu.

"Gimana kalo Aruna sama Alula kita suruh belajar taekwondo? Jadi, kalo ada yang gangguin mereka biar langsung--"

"Wait." Jenia mengangkat satu tangan, mencoba menghentikan kalimat Gama. "Aku nggak mau mereka jadi anak yang suka berantem."

"Bukan berantem, Jen. Aku cuma mau mereka bisa membela diri. Terutama untuk Aruna. Aku nggak mau mereka sampai ditindas sama temannya," ucap Gama memberi alasan.

Percakapan antara Jenia dan Gama harus terhenti ketika melihat Alula dan Aruna berjalan memasuki area ruang tengah. Si kembar langsung duduk di sofa, tepat di hadapan orang tuanya.

"Ini salah aku, bukan salah Alula," ucap Aruna membuka suara.

"Bukan. Aruna nggak salah. Aku yang yang salah. Aku yang ngelempar bola basket ke wajah Reon. Aku juga yang bertengkar sama Reon" sela Alula cepat.

"Kalian berdua salah," ucap Jenia dengan menatap tajam anak kembarnya secara bergantian.

"Mereka nggak salah, Jen," desis Gama dengan suara berbisik.

Jenia mengabaikan ucapan Gama. "Untuk beberapa hari ke depan, kalian berdua nggak boleh pegang iPad, handphone dan nonton TV."

"Mami!" protes Alula dan Aruna bersamaan.

"Tiga hari ke depan Alula belajar di rumah. Kamu harus tulis renungan sebanyak lima halaman. Selain itu, semua tugas yang dikasih sama gurumu harus dikerjain dan dikumpulin begitu kamu masuk sekolah."

"Tugasnya banyak banget, Mi," keluh Alula.

"Itu sebagai hukuman karena kamu berantem sama teman sekelasmu," ucap Jenia. "Mami harap kamu bisa jera dan nggak ngelakuin kesalahan yang sama untuk kedua kalinya," lanjutnya.

"Alula cuma ngebela aku. Reon duluan yang cari gara-gara. Dia ngelempar wajahku pakai bola basket. Dia ngatain aku cengeng. Dia yang salah, bukan kami berdua!" seru Aruna berteriak kesal.

"Itu bukan alasan Aruna," sela Jenia tegas.

"Dari dulu Reon emang terkenal nakal. Sebelumnya kita emang nggak pernah sekelas sama dia. Kata teman-teman yang lain, dia emang trouble maker." Aruna diam sejenak, mengamati ekspresi Mami dan Papinya sebelum melanjutkan kalimatnya. "Dan ternyata Reon emang trouble maker. Dia selalu cari gara-gara sama anak lain, bukan hanya aku atau Alula. Selama ini kamu berusaha nggak terlalu dekat sama Reon."

"Kalo kalian ngebalas, itu nggak akan menyelesaikan masalah," ucap Jenia.

"Harusnya aku lempar bolanya lebih keras," gumam Alula dengan suara pelan.

"Alula, masuk ke kamar!" seru Jenia tegas.

Alula menunduk. Dengan langkah gontai ia meninggalkan area ruang tengah.

"Aruna, dengar Mami." Jenia berpindah duduk ke sebelah anaknya. "Mami paham kamu ngerasa sakit ketika dilempar bola sama Reon. Mami tau kamu sedih karena dikatain cengeng. Itu hal yang wajar kamu lakuin, tapi bukan berarti kamu harus membenarkan tindakan Alula. Kamu bisa lapor ke guru atas tindakan Reon."

"Nggak ada guru di sana. Pelajaran olahraga baru aja selesai. Kebetulan udah waktunya istirahat."

Gama menyentuh lengan Jenia. Ketika perempuan itu menatapnya, ia menggeleng-gelengkan kepala. "Udah, biarin Aruna istirahat."

"Reon pantas dapat memar yang sama kayak aku," gumam Aruna sebelum masuk ke kamar diiringi dengan bantingan keras pada pintu.

"Oh my God," Jenia mendesah lelah  begitu anaknya pergi. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil memijat pangkal hidungnya.

Gama menepuk-nepuk punggung tangan Jenia pelan. "Hey, they need time."

"Aku nggak nyangka mereka kayak gitu."

"Akan ada masanya anak membangkang. Selagi masih dalam batas normal, kayaknya masih aman. Kita akan terus pantau Alula dan Aruna."

"Aku...." Jenia tidak sanggup melanjutkan ucapannya.

Gama memeluk Jenia. "Kamu nggak sendiri. Ada aku di sini."

Jenia balas memeluk Gama dengan erat. Saat ini butuh seseorang di sisinya, memastikan kalau ia tidak sendiri. Ia sadar kalau menjadi Ibu bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Selama ini ia melakukan semuanya sendirian. Sekarang ada Gama yang bisa menjadi tempatnya berbagi apapun soal si kembar. Dia tidak sendiri.

***

Pulang dari rumah sakit, Jenia menyuruh Aruna untuk minum obat dan Alula untuk mulai mengerjakan tugas yang sudah diberikan.

Setelah meminum obat, Aruna kembali ke kamar. Sebelum masuk ke kamar, dari pintu yang tidak tertutup rapat, ia melihat kembarannya sedang mengerjakan setumpuk kertas yang berisi soal-soal. Ia yakin kalau Alula sedang pusing mengerjakan soal sebanyak itu. Dilihat dari cara Alula hanya memutar-mutar pensil tanpa menuliskan apapun di kertas.

Bukannya masuk ke kamar untuk membantu Alula, Aruna malah menghampiri Papinya yang berada di ruang makan.

"Papi," panggil Aruna dengan suara pelan.

"Kenapa? Wajahmu masih sakit? Udah diminum obatnya?" tanya Gama memegangi wajah Aruna dengan hati-hati.

Aruna menggeleng. "Aku boleh bantu Alula ngerjain tugasnya?" tanyanya dengan suara pelan.

Gama tidak langsung menjawab. Ia mengingat kalau tadi Jenia menyuruh Alula untuk mengerjakan semuanya sendiri.

"Nggak boleh!"

Aruna tersentak dan segera memutar badannya. Ia menelan ludahnya susah payah saat melihat Maminya berdiri berkacak pinggang di hadapannya.

Aruna memandang Mami dengan wajah memohon. "Tugasnya terlalu banyak, Mi. Alula kasihan kalo harus ngerjain sendirian."

"Itu tugas Alula. Kamu nggak boleh bantuin. Tugas itu dikasih agar Alula jera dengan apa yang udah dia lakuin."

"Mami tega banget sama Alula!"

Mendengar itu membuat Jenia terpaku di tempat untuk beberapa saat. Ia menarik napas panjang, sebelum melangkah pergi meninggalkan Aruna dan Gama, berdua di ruang makan.

Gama menarik tangan Aruna agar anaknya mendekat padanya. "Hey, it's okay. Alula pasti bisa ngerjain sendiri."

Aruna mencebikkan bibirnya dengan mata berkaca-kaca.

Gama menghapus air mata Aruna yang sudah turun. "Mau ikut Papi?"

"Kemana?"

"Hmmm ... jalan-jalan aja."

"Alula nggak diajak?"

"Dia lagi ngerjain tugas," jawab Gama menggelengkan kepala. Melihat Aruna yang nampak ragu, ia memegang kedua pundak anaknya, memaksanya agar menatap tepat di matanya. "Kita jalan-jalan sebentar biar kamu nggak jenuh di rumah. Nanti pulangnya kita bisa beliin Alula cemilan. Gimana?"

Akhirnya Aruna mengangguk setuju.

Gama meminta izin pada Jenia untuk mengajak Aruna keluar. Awalnya ia kira Jenia tidak akan mengizinkan, tapi ternyata Jenia langsung mengizinkannya.

"Aruna perasaannya lebih sensitif. Dia lebih perasa dibanding Alula. Aku harap Mas Gama bisa ngehibur Aruna. Dia kelihatan ngerasa bersalah karena Alula harus dihukum."

Gama mengangguk.

"Jangan pulang terlalu malam," ucap Jenia mengingatkan.

Lagi-lagi Gama mengangguk. Kemudian ia keluar dari kamar Jenia dan membawa Aruna masuk ke dalam mobilnya.

***

Gama membelikan Aruna kebab. Ia membiarkan anaknya makan di dalam mobil yang terparkir di depan mini market sementara ia sedang menunggu pesanan martabak dan terang bulan.

"Enak?"

Aruna menoleh sekilas, lalu mengangguk.

"Masih sakit?"

Aruna menggeleng."

"Kalo ngerasa sakit, kamu langsung bilang ke Papi."

"I'm fine," ucap Aruna meyakinkan.

"Aruna," panggil Gama membuat Aruna mengangkat pandangan menatapnya. "Kalo waktu bisa diputar, apa yang bakal lakuin begitu Reon ngelempar bola ke kamu?"

Aruna mengunyah kebab yang ada di dalam mulutnya sambil memikirkan jawaban yang akan diberikan. "Aku akan tetap nangis kalo dilempar bola sama Reon. Apalagi Reon ngelemparnya keras banget."

"Terus?"

"Aku yang akan ngelempar bola itu ke Reon biar Alula nggak dapat hukuman."

Gama meringis mendengar jawaban itu. "Di sekolah ada eskul bela diri kayak taekwondo, judo atau semacamnya?"

Aruna mengangguk.

"Gimana kalo tahun depan kalian berdua ambil eskul itu."

"Biar kita bisa berantem sama teman yang lain?"

Gama tertawa pelan. "No, bukan itu maksud Papi."

"Terus?"

"Kalo suatu saat kamu atau Alula ada yang gangguin, paling nggak kalian bisa membela diri." Gama membersihkan saos di ujung bibir Aruna. "Bisa bela diri nggak berarti kalian harus berantem. Papi nggak mau kalo kalian memulai pertengkaran duluan. Dan Papi juga nggak mau kalian diam aja ketika ada yang ganggu kalian."

Aruna berhenti menggigit kebab. "Papi marah karena hari ini dipanggil ke sekolah?"

"No," jawab Gama dengan tersenyum. "Papi sama Mami sama sekali nggak marah sama kalian. Kami cuma cemas sama kalian. Dan Mami agak kaget karena Mami bilang ini pertama kalinya kalian bermasalah di sekolah," lanjutnya sambil mengusap puncak kepala anaknya.

Setelah Aruna menghabiskan kebabnya, ia bergerak memeluk Papinya. Ia tidak mengeluarkan satu katapun. Pelukannya semakin mengerat saat Papinya balas memeluknya.

***

Sorry for typo and thankyou for reading❤

Author Note:
Ini jumlah katanya udah banyak banget lho, ya. Awas aja kalo kalian masih bilang kurang banyak😡

Maaf kalo beberapa hari ini aku nggak update. Karena udah mau puasa, aku bantu ibuku buat nyiapin megengan. Terus, aku juga sibuk beli bahan kue, karena aku malas beli waktu puasa.

Continue Reading

You'll Also Like

953K 74.6K 64
》Love Makes Series 4《 • • • Hari itu merupakan hari tersial bagi sosok Auristela Darakutni. Ia mengalami kecelakaan hingga mengalami patah tulang di...
970K 47.3K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
600K 50.9K 34
Menjadi janda di umur 20 tahun, membuat Riyuna harus pandai-pandai menata hidup dan hatinya. Ia akui ini bukanlah perkara yang mudah. Bukan ditinggal...
252K 17.6K 38
Sebelum meresmikan hubungan pacaran, sepasang anak manusia sudah mengetahui perasaan satu sama lain. Saling mencintai, saling menyayangi, saling meng...