Not Finished Yet [Completed]

By aprilianatd

1.6M 148K 6.1K

Hidup Gama seperti sebuah quote "Cintaku habis di kamu, sisanya aku hanya melanjutkan hidup." Setelah perpis... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Pengumuman
Bab 35 [end]
Epilog
Extra Part

Bab 19

39.6K 3.5K 98
By aprilianatd

Tanpa sadar Jenia tersenyum saat orang tua Gama datang dan langsung memeluk Alula secara bergantian. Anaknya itu hanya bisa pasrah dipeluk dan dicium oleh Oma dan Opanya. Sementara Mama sibuk menangis sambil memeluk Alula, Papa sudah berdiri bersandar di tembok, tepat di sampingnya.

"Makasih, Jenia," ucap Papa tiba-tiba.

Jenia menoleh. "Kenapa bilang makasih, Pa?"

"Makasih karena kamu sudah berbesar hati mau maafin keluarga kami. Pasti berat untuk kamu melakukan ini."

Jenia diam agak lama, karena sejujurnya ia bingung harus menanggapi seperti apa. Kemudian, ia berdeham pelan. "Setelah Mas Gama tau soal si kembar, Mas Gama selalu rajin transfer uang ke rekening Jen, Pa."

"Harus itu," sela Papa cepat. "Hampir sepuluh tahun dia nggak berperan di hidup Alula dan Aruna, sudah saatnya Gama terlibat di hidup mereka. Salah satu keharusannya adalah menafkahi Alula dan Aruna."

Jenia mengulum senyum. Selama hidupnya, ia tidak pernah merasa kekurangan dari segi ekonomi karena ia bekerja keras untuk dirinya dan anak-anaknya. Kemunculan Gama di hidupnya sedikit mengubah hidup Jenia. Semula ia harus menanggung semua biaya Alula dan Aruna, kini tanggung jawab itu sudah berpindah tugas ke Gama.

"Kalo kamu butuh apa-apa, boleh langsung bilang ke Gama. Atau bisa juga ke Papa, sebisa mungkin Papa akan bantu kamu."

"Iya, Pa."

"Setelah Alula sembuh, sempatin main ke rumah, ya. Nanti kita makan malam bareng," pinta Papa dengan wajah penuh harap.

Jenia diam sebentar mendengar permintaan itu, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mengangguk.

"Alula, kalo udah sembuh main ke rumah Oma mau, kan?" tanya Mama menatap cucunya.

Bukannya menjawab, Alula malah menatap Maminya.

Jenia mengambil duduk di tepi ranjang Alula. "Iya, nanti kalo udah sembuh kamu sama Aruna boleh main ke rumah Oma sama Opa," ucapnya membantu Alula memberi jawaban.

"Kamu suka nggak sama hadiah yang Oma kasih?"

Alula berpikir sejenak hadiah yang dimaksud oleh Omanya, lalu tiba-tiba teringat kalau pernah mendapat satu kardus besar berisi banyak hadiah. Kala itu Aruna yang memberikan hadiah-hadiah itu padanya setelah kembarannya pulang dari rumah Oma dan Opa. "Aku suka. Makasih, Oma," ucapnya sambil menatap Oma. Kemudian ia beralih menatap Opa. "Makasih juga, Opa."

"Opa senang karena selain Papimu, ada kamu yang warna rambutnya kayak Opa," ucap Papa menatap rambut cucunya dengan perasaan penuh haru. 

"Tapi aku nggak suka," sela Alula membuat semua mata menatap ke arahnya.

"Kenapa?" tanya Mama mengusap puncak kepala cucunya.

"Aku kayak anak pungut karena warna rambutnya beda sendiri dari warna rambut Mami sama Aruna," ucap Alula dengan wajah polos.

Gama tidak bisa menahan senyum melihat ekspresi kaget Mami dan Papinya. Kalau dirinya sudah tidak kaget lagi dengan jawaban Alula yang cenderung ceplas-ceplos. "Sekarang kan udah nggak beda. Ada Papi sama Opa yang warna rambutnya sama kayak kamu."

"Iya sih...." Alula memilin jari-jarinya.

"Setelah kamu sembuh, gimana kalo jalan-jalan? Kamu sama Aruna boleh minta kemanapun yang kalian mau. Oma sama Opa bakal kabulin," ucap Mama antusias.

"Mau liburan ke luar kota atau ke luar negeri boleh. Pokoknya kamu sama Aruna tinggal sebut, biar nanti Opa langsung beli tiketnya," ucap Papa menyahuti.

"Cuma aku sama Aruna aja?" tanya Alula menatap Oma dan Opanya secara bergantian. "Mami sama Papi nggak diajak?" tanyanya lagi.

"Diajak kok. Nanti kita liburan keluarga sama-sama," jawab Mama menggenggam tangan cucunya yang bebas dari infus.

Obrolan Alula masih terus berlanjut. Awalnya Jenia sempat khawatir kalau anaknya tidak bisa menerima orang tua Gama dengan baik. Namun, kekhawatirannya terlalu berlebihan. Apa yang ia takutkan tidak terjadi. Alula cukup aktif ketika ditanya oleh Oma ataupun Opanya.

Gama melirik ke Jenia, yang ternyata tatapan matanya tidak lepas dari Alula. Melihat kehangatan saat ini, ia benar-benar merasa bahagia. Sepuluh tahun menduda, ia bahkan tidak terpikir untuk kembali membangun rumah tangga. Saat melihat pemandangan ini, keinginan untuk kembali bersama Jenia semakin kuat. Rasa cintanya untuk Jenia tak pernah berkurang sedikitpun. Mengetahui Jenia melahirkan anak-anaknya, malah membuat rasa cintanya bertambah besar. Tugasnya sekarang adalah meyakinkam Jenia kalau mereka bisa membangun rumah tangga kembali dengan versi lebih baik.

***

Malam harinya Alula sudah diperbolehkan pulang. Awalnya Gama berniat mengantar dan juga menginap di rumah Jenia, tapi perempuan itu tidak mengizinkan. Kalau di rumah sakit ia bisa dengan leluasa menjaga dan merawat Alula, tapi tidak di rumah Jenia.

Keesekoan harinya, Gama sengaja mengambil cuti panjang agar bisa memiliki waktu lebih banyak dengan anak-anaknya. Untung saja ia bekerja di perusahaan keluarga, jadi selama apapun ia cuti, Papanya tidak akan mempersalahkan itu. Pagi-pagi sekali ia sudah berdiri di depan rumah Jenia. Yang membukakan pintu untuknya adalah Aruna. Putri kecilnya itu sudah memakai seragam dengan rambut dikuncir satu dengan rapi.

"Papi, aku lagi sarapan. Ayo, masuk!" Aruna menarik tangan Papinya, menuju ruang makan.

Sudah ada Jenia dan Alula yang duduk di sana. "Alula nggak pakai seragam sekolah?" tanya Gama begitu sadar kalau Alula masih memakai piyama.

"Dia baru masuk sekolah besok," jawab Jenia.

Gama manggut-manggut mendengar itu. Tanpa disuruh, ia menarik kursi di hadapan Jenia. Di sebelahnya ada Aruna yang sudah sibuk dengana makanannya.

"Mas Gama nggak ngantor?" tanya Jenia heran. Ia menawari Gama untuk sarapan juga, tapi laki-laki itu menolak dengan gelengan kepala.

Gama menggeleng.

"Terus, ngapain Mas Gama ke sini?"

"Aku mau lihat anak-anakku. Emangnya nggak boleh aku lihat mereka?"

Jenia menghela napas keras. "Habis ini aku sama Alula bakal ngantar Aruna ke sekolah. Habis itu aku harus ke toko karena ada yang harus aku kerjain."

"Alula gimana?"

"Alula ikut aku ke toko. Di sana ada kamarnya buat Alula istirahat."

"Alula biar di rumah aja," ucap Gama.

Jenia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kemungkinan hari ini aku bakal sibuk banget. Aku nggak berani ninggal Alula di rumah. Walaupun nanti ada pembantu yang datang buat bersih-bersih rumah, tapi tetap aja aku lebih ngerasa aman kalo Alula aku ajak kerja."

"Alula di rumah aja. Biar aku yang jagain. Terus, nanti sore aku aja yang jemput Aruna di sekolah."

"Mas Gama beneran nggak ngantor?" tanya Jenia sekali lagi.

Gama mengangguk.

"Beneran nggak papa kalo Mas Gama jagain Alula seharian?"

Gama berdecak. "Alula anak aku juga. Kenapa harus nanya kayak gitu sih?" tanyanya dengan nada kesal.

Jenia menendang kaki Gama di bawah meja. Matanya melirik ke Alula dan Aruna secara bergatian, seakan mengingatkan Gama agar tidak meninggikan suara.

Gama langsung sadar maksud dari tatapan Jenia, kemudian ia menghela napas panjang. "Kamu tenang aja. Alula akan aman sama aku," ucapnya dengan nada suara lebih pelan. 

Aruna menoleh, menarik-narik lengan baju Papinya. "Berarti, nanti aku dijemput sama Papi?"

Gama mengangguk.

"Nanti kalo jemput Aruna, aku ikut," sahut Alula pelan.

Gama mengalihkan tatapannya ke Alula yang sibuk memakan nasinya. "Oke."

Jenia tidak sadar kalau waktu berjalan begitu cepat. Kalau ia tidak segera berangkat, sudah dipastikan Aruna akan terlambat masuk sekolah. Buru-buru ia menyelesaikan makannya, lalu menyambar tasnya sendiri dan tas sekolah Aruna. "Alula hari ini istirahat dulu. Jangan main hp atau ipad terus. Kamu yang nurut sama Papi," ucapnya berpamitan pada Alula.

Alula mengangguk patuh. "Iya, Mi."

"Yaudah, Mami mau ngantar Ar ke sekolah." Jenia mencium puncak kepala Alula, lalu beralih ke pipi kanan dan kiri.

"Papi nggak dicium juga, Mi?" tanya Aruna menggoda Maminya.

Gama berdeham keras, mencoba menahan senyumnya saat melihat wajah Jenia sudah memerah karena pertanyaan Aruna.

Jenia tidak menjawab, lalu buru-buru membawa Aruna masuk ke dalam mobil.

Gama menunggu sampai mobil Jenia menghilang dari pandangannya, sebelum menyusul Alula yang sudah lebih dulu masuk ke rumah. Ia melihat anaknya itu sedang berbaring miring di sofa dengan tatapan mata mengarah ke layar TV yang menayangkan film kartun. Saat kakinya melangkah lewat di depan Alula, kakinya otomatis berhenti saat mendengar anaknya memanggil.

"Papi nggak lupa sama janjinya, kan?" tanya Alula begitu Papinya sudah berbalik badan.

"Nggak lupa kok."

"Boleh nggak kalo aku bilang permintaanku sekarang?"

"Boleh," jawab Gama cepat. Sebelum Alula berbicara, ia buru-buru melanjutkan kalimatnya. "Kita bicarain setelah Papi ke kamar mandi. Papi udah kebelet pipis," ucapnya yang diangguki oleh Alula.

Begitu melihat Papi keluar dari kamar mandi dan berjalan menghampirinya, Alula bangun dari posisi tidurnya.

"Kamu mau minta apa?" tanya Gama begitu sudah duduk di samping anaknya.

"Foto keluarga."

"Apa?" Gama berusaha memastikan kalau ia tidak salah dengar.

"Aku bilang, aku mau minta foto keluarga."

Gama tidak menyangka Alula akan meminta hal itu padanya. "Papi kira kamu akan minta ulang tahun dirayain besar-besaran."

Alula menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aruna dari dulu suka iri sama teman-teman yang punya foto keluarga lengkap. Dia kadang suka sedih karena di rumah ini nggak ada foto keluarga satupun. Cuma ada foto-fotoku sama Aruna aja."

"Ini kemauanmu atau kemauan Aruna?" tanya Gama kebingungan.

"Kemauannya Aruna, tapi dia nggak pernah berani bilang ke Mami."

"Kenapa?"

"Karena dia tau kalo minta ke Mami, nggak akan terwujud. Sebelum Mami ngasih tau kalo Papi nggak ada, Aruna masih berharap bisa foto satu keluarga lengkap," jawab Alula menjelaskan. "Begitu Mami bilang kalo kita udah nggak punya Papi, aku sama Aruna nggak pernah bahas apapun. Kita cuma bisa berdoa biar Papi masuk surga."

"Papi belum butuh doa untuk masuk surga."

Alula berdecak. "Itu kan doa sebelum aku sama Ar tau kalo Papi ternyata belum meninggal," sahutnya. "Jadi, Papi bisa kabulin permintaanku atau nggak?" tanyanya sekali lagi.

Permintaan yang sederhana, tapi hati Gama seperti dicubit ketika mendengarnya. Siapa yang sangka kalau anak-anaknya mendambakan hal sederhana seperti itu.

"Gimana, Pi?"

Gama memeluk Alula erat. "Nanti Papi cari waktu ya. Kita akan foto keluarga."

"Mau foto keluarga di studio. Biar kayak teman-teman yang lain."

Gama mengangguk. Ia menciumi puncak kepala anaknya berkali-kali. Alula tidak menghindar sedikitpun saat ia peluk. "Kita ajak juga Om Kamil, Om Adam, Oma sama Opa."

Alula mengangguk setuju. "Tapi, kita tetap ada foto berempat, kan?" tanyanya mendongakkan wajahnya.

"Iya, dong," sahut Gama.

Alula melepaskan diri dari pelukan Papinya. "Satu permintaan lagi boleh, gak?"

"Apa?"

"Nanti kalo foto, warna bajunya harus samaan."

"Kalo gitu, Papi bakal pesan baju buat semuanya khusus untuk foto keluarga."

"Makasih, Pi."

"Sama-sama," sahut Gama tersenyum tipis. "Jadi, sebenarnya foto keluarga itu keinginan kamu atau Aruna?" tanyanya sekali lagi.

Alula bergerak-gerak salah tingkah. Ia bangun dari posisi duduknya, lalu beralu meninggalkan Papinya di ruang tengah sendirian.

Gama hanya bisa geleng-geleng melihat gengsi Alula masih sangat tinggi. Kemungkinan besar foto keluarga memang menjadi keinginan si kembar, tapi ia yakin Alula yang lebih berani untuk mengungkapkan hal itu. Selama ini Alula lebih vokal menyuarakan apa yang dimau dibandingkan dengan Aruna. Terlepas dari hal itu, apapun yang menjadi keinginan Alula atau Aruna, sebisa mungkin ia akan menurutinya.

***

Sorry for typo and thankyou for reading❤

Author Note:
Aku lagi agak sibuk, tapi diusahain update satu hari sekali. Entah itu update-nya sore atau malam.

Btw, sadar gak sih kalo bulan depan udah masuk bulan puasa. Aku baru ingat masih ada beberapa hutang puasa yang belum dibayar, makanya hari ini mulai nyicil. Untung aja bulan-bulan sebelumnya aku udah rajin nyicil bayar puasa.

Kalian yang punya hutang puasa juga, jangan lupa dibayar ya. Mumpung masih ada waktu.

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 210K 33
[Mengandung banyak kebucinan, menggelikan, tulisan lama, dan belum revisi] Tetangga dan teman sekelas kompak mengataiku gadis jutek. Mereka juga bila...
90.3K 8.9K 38
[ End. Cerita Lengkap ] Soraya Mekarwati, seorang gadis berparas ayu dari kampung yang mendapat beasiswa kuliah ke Jakarta dan memberanikan diri teta...
733K 57.5K 24
Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga. Remi sedikit berdebar, apalagi saat Bum...
463K 32.4K 43
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...