Not Finished Yet [Completed]

Por aprilianatd

1.6M 148K 6.1K

Hidup Gama seperti sebuah quote "Cintaku habis di kamu, sisanya aku hanya melanjutkan hidup." Setelah perpis... Más

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Pengumuman
Bab 35 [end]
Epilog
Extra Part

Bab 17

45.6K 3.8K 175
Por aprilianatd

Gama mengawasi setiap gerak-gerik laki-laki yang barusan memperkenalkan diri dengan nama Abimana. Laki-laki itu datang tidak dengan tangan kosong. Ada dua boneka beruang yang diberikan untuk Alula dan juga Aruna. Kepala Gama sudah mengebul, melihat keakraban Abimana yang sedang mengobrol dengan anak-anaknya.

Kamil melirik ke Abimana yang bisa berinteraksi dengan si kembar tanpa canggung. Laki-laki itu bahkan melemparkan candaan yang membuat Alula dan Aruna tertawa. Saat melirik ke arah Gama, perbedaan jelas terlihat. Wajah Gama tertekuk, menyiratkan kekesalan yang teramat dalam. Tidak ada senyum sedikitpun menghiasi wajah mantan Kakak iparnya. Kalau saja ia tahu ada Gama di rumah sakit, mungkin ia tidak akan mengajak Abimana untuk ikut bersamanya.

"Oh ya, Om lupa kalo ada cokelat buat kalian." Abimana mengeluarkan dua kotak cokelat dari tas ranselnya.

Alula dan Aruna sontak saling pandang.

Gama berdeham, lalu mengambil alih cokelat dari tangan Abimana. "Makasih udah ngasih anak-anak saya cokelat," ucapnya sambil menekankan kata anak-anak saya. "Tapi maaf banget, si kembar nggak bisa makan cokelat karena alergi."

Abimana memandang Jenia. "Maaf, aku nggak tau," ucapnya. "Aku kira semua anak kecil suka sama cokelat."

Jenia tersenyum tipis. "Nggak papa. Kan Mas Abi nggak tau kalo mereka nggak bisa makan cokelat," ucapnya menenangkan.

Gama berdeham keras. "Biar nanti saya aja yang makan," ucapnya menatap Abimana dengan tatapan menghunus tajam. "Sekali lagi, makasih cokelatnya."

Kamil merasa kondisi kamar rawat semakin memanas. Ia bisa merasakan kalau Gama tidak terlalu suka dengan kehadiran Abimana. Melihat itu, ia langsung mengajak Abimana untuk keluar ruangan dengan alasan membeli kopi.

"Aku nyusulin mereka dulu," ucap Jenia pada Gama, setelah melihat Kamil dan Abimana keluar ruangan.

"Ngapain?" tanya Gama dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Nggak papa," jawab Jenia cepat. "Mas Gama tolong jagain Alula sama Aruna dulu ya."

Belum sempat Gama membuka suara, Jenia sudah meraih tas dan berjalan keluar dari ruangan.

"Papi kenapa?" tanya Aruna menatap lekat wajah Papinya.

Gama mengalihkan tatapannya ke Aruna, lalu beralih menatap Alula. Dua anaknya ternyata sedang menatap ke arahnya. Sebelum menjawab, ia duduk di kusi yang ada di sebelah ranjang Alula. "Menurut kalian Om Abi baik, nggak?"

Alula dan Aruna kompak mengangguk semangat. "Baik."

Gama melengos melihat jawaban anaknya. Jawaban yang tidak ia harapkan.

"Emang menurut Papi, Om Abi nggak baik?" tanya Aruna yang sudah duduk di ranjang, bersama dengan Alula.

"Papi dapat cokelat dari Om Abi yang harusnya buat kita," sahut Alula.

"Karena kalian nggak boleh makan cokelat, makanya Papi yang gantiin kalian," ucap Gama memberi alasan. "Menurut kalian, lebih ganteng Papi atau Om Abi?" tanyanya lagi.

"Harus banget Papi nanya kayak gitu?" tanya Aruna.

"Papi jealous lihat Mami dekat sama Om Abi," ucap Alula meledek.

Gama terbatuk keras sambil memandang Alula. "Ngapain Papi harus jealous?"

"Karena Om Abi kayaknya lagi berusaha dekatin Mami," jawab Alula santai.

"Jadi, menurut kalian gantengan mana Papi sama Om Abi?" tanya Gama lagi.

"Papi," jawab Alula.

Gama tak bisa menahan senyumannya. Ia tak menyangka jawaban itu keluar dari mulut Alula, bukan Aruna.

"Aku kira kamu bakal jawab Om Abi yang lebih ganteng," ucap Aruna menatap Alula keheranan.

"Maunya sih gitu, biar Papi kesal," sahut Alula santai.

"Terus, kenapa jawab Papi yang lebih ganteng?" tanya Gama penasaran. 

"Karena dimataku, emang Papi lebih ganteng."

"Aku juga," sahut Aruna.

"Percuma ganteng kalo ujung-ujungnya Mami lebih pilih Om Abi."

Gama lagi-lagi hanya bisa melongo mendengar jawaban Alula. Baru saja ia dilambungkan karena dibilang lebih ganteng, sekarang ia kembali dijatuhkan. Ucapan anaknya sama sekali tidak salah. Karena ucapan Alula barusan, berhasil membuatnya kepikiran.

***

Setelah Kamil dan Abimana pamit pulang, tak lama kemudian ada Adam yang datang bersama Viola dan Mikala. Mereka datang dengan membawa satu keranjang buah dan dua kotak lapis legit.

"Berarti besok kalian nggak masuk sekolah dong?" tanya Mikala pada Alula dan Aruna.

"Iya dong," jawab si kembar kompak. Tidak lupa dengan wajah girang mereka.

"Yang sakit cuma Al, kenapa Ar nggak masuk sekolah juga?" tanya Mikala.

"Aruna besok masuk kok. Yang nggak masuk cuma Alula aja," ucap Jenia ikut menimpali.

"Lho, kok Ar masuk sekolah?" tanya Alula memprotes. "Kalo Ar sekolah, nanti aku sama siapa di rumah sakit?"

"Sama Mami."

"Terus, Ar diantar sekolah sama siapa?"

"Sama Papi."

Alula memajukan bibirnya, wajahnya tertekuk kesal. "Aku sama Ar kembar. Jadi, kalo aku nggak masuk sekolah, Ar juga harusnya ikut nggak masuk."

"Teori dari mana kayak gitu?" Kali ini Gama ikut menimpali. "Yang sakit cuma Al, jadi yang nggak masuk sekolah cuma Al."

Aruna menatap kembarannya. "Nggak papa. Besok aku masuk sekolah aja. Nanti kalo ada catatan, kamu bisa pinjam bukuku."

"Yaudah deh," sahut Alula pasrah.

Jenia duduk di sofa bersama Viola, sedangkan Gama dan Adam berada di luar ruangan.

"Aku agak kaget waktu dikasih tau Mas Adam," ucap Viola memulai pembicaraan.

"Aku juga nggak nyangka ternyata Mas Adam itu pacarmu."

Viola terkekeh. "Mas Adam awalnya nggak tau kalo si kembar itu keponakannya."

Tatapan Jenia tertuju pada ranjang. Di sana anak-anaknya dan Mikala sedang tertawa keras. Entah apa yang sedang mereka bertiga bicarakan.

"Karena si kembar main sama Mikala, mereka jadi ketemu sama Mas Adam yang ternyata Om mereka. Dan si kembar bisa ketemu sama Papi mereka.

Jenia mengangguk membenarkan.

"Maaf."

Jenia menoleh cepat, menatap Viola. "Nggak perlu minta maaf. Mungkin emang udah waktunya mereka tau soal Papinya."

"Tiga tahun anak kita di sekolah yang sama, dan baru tahun ketiga kita bisa ngobrol seakrab ini."

"Aku emang menghindari kumpul-kumpul dengan orang tua murid yang lain."

"Kenapa?"

"Aku membatasi diri karena nggak mau terlalu dekat secara personal sama mereka."

"Aku beberapa kali ikut pertemuan sama ibu-ibu yang lain. Kadang menyenangkan, tapi lebih banyak membosankan," ucap Viola memberitahu.

"Udah berapa lama pacaran sama Mas Adam?" tanya Jenia mengubah topik pembicaraan.

"Mungkin sekitar tiga tahun," jawab Viola mengulum senyum.

"Kalian cocok."

"Thanks," sahut Viola.

***

Sekitar jam sepuluh malam, Alula dan Aruna sudah pada tidur. Saat ini Jenia sedang duduk di sofa sendirian. Satu jam yang lalu Gama pergi meninggalkannya dan ia tidak sempat bertanya kemana laki-laki itu akan pergi.

Jenia merebahkan tubuhnya di sofa panjang. Hari ini berjalan begitu lambat. Dimulai dari pagi hari yang menghebohkan, sampai akhirnya ia berakhir tidur di sofa rumah sakit untuk menunggui anaknya yang sakit.  Saat tiba-tiba Jenia mengingat sesuatu, ia bangun dari posisi tidurnya. Ia membuka tas yang tadi dibawakan oleh Kamil. Tidak ditemukannya baju seragam Aruna untuk sekolah besok.

Jenia mengusap wajahnya kasar. "Kenapa aku lupa nyuruh Kamil bawain seragam sama tas sekolah Aruna."

"Kenapa?"

"Astaga!" seru Jenia berjingkat kaget. Matanya menangkap sosok Gama yang berjalan mendekatinya. "Aku nggak dengar suara pintu kebuka. Kapan Mas Gama datang?"

"Barusan." Gama meletakkan tas ranselnya di lantai dan bungkusan kresek di atas meja. "Makan dulu. Aku beli nasi goreng buat kamu. Sudah ada sendoknya juga,"  lanjutnya sambil mendorong bungkusan kresek ke hadapan Jenia.

"Makan di jam sepuluh?" tanya Jenia ragu.

"Tadi siang kamu cuma makan dikit. Sore juga cuma makan setengah roti. Aku nggak mau kamu sakit," ucap Gama menatap Jenia. "Dan tadi kamu sempat minum kopi sama laki-laki itu."

"Aku nggak minum kopi. Aku cuma nemenin aja." Sebenarnya Jenia tidak perlu memberitahu hal ini pada Gama. Mengingat apapun yang ia lakukan, tidak perlu dilaporkan pada laki-laki yang saat ini duduk di sampingnya. "Walaupun aku nggak minum kopi atau makanku cuma sedikit, aku nggak mau makan jam segini."

"Kamu harus tetap kuat biar bisa jagain Alula," sahut Gama. Melihat Jenia yang masih diam saja, akhirnya ia membantu membukakan bungkusan kresek itu. "Aku beli dua. Jadi, kamu nggak makan sendirian," lanjutnya.

Jenia menghela napas lelah. Daripada meneruskan perdebatan yang ia yakin akan tetap kalah, akhirnya ia memilih pasrah. "Makasih."

Gama mengangguk singkat. Kemudian mereka sama-sama terdiam dan fokus menghabiskan makanan.

"Mas," panggil Jenia setelah mengunyah habis nasi goreng di dalam mulutnya.

"Apa?" sahut Gama dengan nada suara lembut.

"Tas yang dibawa Kamil, nggak ada baju seragamnya Aruna. Aku lupa bilang Kamil buat bawain baju seragam sama tas sekolah Ar."

"Besok pagi-pagi banget aku ke rumahmu buat ambil baju seragam sama buku sekolah Ar."

"Ajak Ar aja sekalian. Jadi dari rumah langsung berangkat ke sekolah."

Gama diam, nampak berpikir dulu. "Besok pagi biarin dia mandi di sini. Jadi, sampai di rumah dia udah tinggal ganti baju seragam sama nyiapin tas sekolah."

Jenia mengangguk setuju.

"Besok Mama sama Papaku mau datang buat jenguk. Boleh, kan?"

"Boleh."

"Mereka belum pernah ketemu langsung sama Alula."

Jenia diam sebentar, untuk mengingat. Apa yang diucapkan Gama memang benar. Hanya Aruna yang sudah bertemu dengan orang tua Gama. Setelah pertemuan Aruna dengan orang tua Gama, kemudian terjadilah pertemuan Jenia dengan Mama. Beberapa kali Mama memang melakukan panggilan video dengannya, tapi Alula tidak terlalu sering muncul.

"Sekarang Mama lagi ikut Papa kerja ke luar kota. Makanya belum sempat ngajak si kembar ke rumah."

"Aku baru ingat kalo cuma Aruna yang udah ketemu sama Mama."

"Mama?" Gama kaget mendengar panggilan Jenia tidak berubah. "Kamu masih manggil dengan sebutan Mama?" tanyanya dengan wajah penuh harap.

Jenia mengangguk. "Mama yang nyuruh aku," jawabnya sebelum melakukan suapan terakhir ke dalam mulutnya.

Gama diam. Selesai makan, ia memasukkan sampah ke dalam kresek. Begitu juga milik Jenia. "Jen," panggilnya sambil mengikat kresek yang berisi sampah.

"Apa?" tanya Jenia menatap Gama. Melihat Gama yang belum merespon, ia mengambil satu botol air mineral dan membuka tutupnya.

"Jangan terlalu dekat sama laki-laki tadi."

"Hah?" Jenia menatap Gama dengan wajah bingung. "Maksudnya Mas Abi?" tanyanya memastikan.

Gama mengangguk.

"Kenapa?"

"Aku nggak mau si kembar punya Papi lain selain aku."

Jenia tertawa kecil. "Mas Gama tetap Papinya si kembar."

"Aku juga nggak mau ada laki-laki lain yang dekat sama kamu."

"Mas...."

Gama meraih tangan Jenia yang tidak memegang botol air mineral. "Kasih aku kesempatan Jen. Aku akan buktiin kalo aku layak untuk dikasih kesempatan kedua. Aku mau coba dari awal lagi sama kamu."

Jenia tidak menjawab. Ia hanya menatap Gama dengan tatapan yang sulit diartikan. Seperti terhipnotis dengan tatapan Gama, ia sampai tidak bergerak sedikitpun.

***

Sorry for typo and thankyou for reading❤

Author Note:
Maaf ya dari Senin kemarin nggak update. Soalnya lagi pusing disuruh bantuin ponakan gambar peta. Padahal udah aku bikinin, sama dia diwarnainnya ngasal. Alhasil nggak diterima sama gurunya dan disuruh gambar lagi. Tentu saja bukan ponakanku yang gambar, tapi aku😭😭

Btw, besok kalian jangan golput ya. Gunain hak suara kalian dengan baik. Perbedaan pilihan itu wajar. Pilih yang menurut kalian paling mendingan.

Seguir leyendo

También te gustarán

267K 18.9K 38
Protektif dan diktator adalah sifat yang mendarah daging gadis itu, hingga membuat Iqbaal jengah dan memutuskan mengakhiri semua. Tak perduli secanti...
1.9M 10.6K 24
Menceritakan kehidupan seorang lelaki yg bernama Nathan. dia dikenal sebagai anak baik yg tidak pernah neko neko dan sangat sayang pada keluarganya...
733K 57.5K 24
Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga. Remi sedikit berdebar, apalagi saat Bum...
308K 9K 25
Dulu Alicia pernah menjadi saksi perjalanan cinta sahabatnya yang terukir apik hampir tanpa celah. Saksi bagaimana kebahagiaan sang sahabat bersama k...