Not Finished Yet [Completed]

By aprilianatd

1.6M 147K 6.1K

Hidup Gama seperti sebuah quote "Cintaku habis di kamu, sisanya aku hanya melanjutkan hidup." Setelah perpis... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Pengumuman
Bab 35 [end]
Epilog
Extra Part

Bab 14

46.4K 4K 241
By aprilianatd

"Mama bilang apa ke Jen?" tanya Gama memastikan bahwa ia tidak salah dengar kalimat yang barusan keluar dari mulut Mamanya.

"Mama nyuruh kalian rujuk."

Gama menggeram kesal. "Mama nggak perlu bilang kayak gitu ke Jen. Aku sama Jen baru ketemu lagi setelah sepuluh tahun. Pasti dia nggak nyaman Mama bahas soal itu."

Mama menyelesaikan menata bahan makanan di kulkas, sebelum berjalan menghampiri Gama. "Selama sepuluh tahun kamu nggak pernah dekat sama perempuan lain. Setiap kenal sama perempuan, ada aja kurangnya di mata kamu. Semua kamu bandingin sama Jen. Kamu jadiin Jen standar untuk cewek-cewek yang mau dekat sama kamu."

"Ma...."

"Mama cuma mau Alula dan Aruna punya orang tua lengkap. Anak yang dibesarkan dengan orang tua yang lengkap, pasti akan lebih bahagia," selama Mama cepat. "Emang Mama salah mau kalo si kembar bahagia?"

"Aku tau maksud Mama, tapi caranya nggak gitu. Mama baru aja minta maaf ke Jen soal kejadian sepuluh tahun lalu, terus sekarang Mama bikin Jen nggak nyaman."

"Jangan dikira Mama nggak tau kalo kamu masih cinta sama Jen. Selama sepuluh tahun ini nggak ada cewek yang benar-benar menarik perhatianmu. Setiap Mama suruh kamu nikah lagi, ada aja alasannya," omel Mama dengan ekspresi kesal.

Gama menghela napas keras. "Kalopun aku masih cinta sama Jen, bukan berarti aku maksa dia untuk rujuk. Semua yang terjadi, nggak harus sesuai sama kehendak Mama."

"Tap--"

"Jangan pernah bahas soal ini lagi sama Jen. Aku yakin seratus persen kalo dia nggak nyaman sama pembahasan soal rujuk."

"Mama cuma mau bantu kamu." Mama menduduki sofa dengan kaki disilangkan.

Gama melipat kedua tangannya di depan dada. "Dengan Mama bahas soal rujuk sama Jen, itu nggak ngebantu sama sekali. Yang ada dia makin ngehindar dari aku."

Mama mencibir pelan. "Awas aja kalo sampai kamu nyesal. Kalo Jen punya pacar, kamu akan ada saingan. Akan ada laki-laki lain yang dipanggil dengan sebutan Papi sama si kembar."

Gama terdiam. Ia tidak mau membayangkan ada laki-laki lain dipanggil dengan panggilan yang sama dengannya. Sampai kapanpun, si kembar adalah anak-anaknya.

***

"Makasih udah mau aku ajak ketemu lagi."

Jenia mengangguk dengan memberikan senyum simpul. Saat pelayan datang, ia mulai menyebutkan pesanannya. Begitu juga laki-laki di hadapannya yang melakukan hal sama dengannya.

"Hari Sabtu kayak gini kamu nggak sibuk?" tanya Abimana begitu pelayan sudah pergi.

"Biasanya kalo hari Sabtu aku lebih banyak habisin waktu di rumah sama anak-anak."

"Wah, berarti aku ngambil waktumu sama si kembar dong?"

Jenia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Hari ini si kembar akan dijemput sama Papinya. Mereka berencana mau ngehabisin hari Sabtu bareng."

"Hubunganmu sama mantan suami masih baik ya ternyata." Kalimat ini bukan sebuah pertanyaan, melainkan sebuah pernyataan dari Abimana.

Jenia nyengir. "Bisa dibilang kayak gitu," sahutnya sekenannya. "Aku berusaha menjaga hubungan baik sama mantan suami karena ada anak-anak diantara kami. Aku nggak mau anak-anak lihat Mami sama Papinya punya hubungan yang buruk," lanjutnya menjelaskan.

"Benar, kalo hubungan orang tuanya buruk, akan berdampak buruk juga ke perkembangan emosional mereka. Kalo ada anak, ego orang tua akan berusaha dihilangkan. Walaupun udah mantan, kalian harus tetap berhubungan baik," sahut Abimana menanggapi. Jeda sejenak, sebelum akhirnya Abimana berbicara lagi. "Hubunganku sama keluarga mantan istri juga cukup baik."

Jenia mengerjapkan matanya. Ia tidak bisa menutupi wajah kagetnya. "Mantan istri?"

Abimana menatap Jenia untuk beberapa saat. "Kamil nggak bilang kalo aku duda?"

Jenia mencoba mengingat-ingat, tapi sepertinya ia belum pernah mendengar soal ini dari Kamil.

"Kebetulan aku duda yang ditinggal meninggal istri," beritahu Abimana.

"Maaf, aku nggak tau."

Abimana menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Nggak papa. Aku juga lupa bilang soal statusku dipertemuan pertama kita."

"Kalo boleh tau, kapan istrinya Mas Abi meninggal?"

"Empat tahun yang lalu."

"Karena apa, Mas?"

"Sakit kanker payudara."

Jenia termangu mendengar jawaban Abimana.

"Sebelum menikah, aku sudah tau kalo dia sakit kanker. Waktu itu masih stadium awal, jadi aku pikir masih bisa disembuhkan. Pengobatan sekarang sudah semakin canggih, harapan untuk hidup juga lebih tinggi," ucap Abimana mulai bercerita. "Setelah melewati serangkaian pengobatan, dokter bilang kalo dia udah sembuh. Sampai akhirnya satu tahun sebelum meninggal, kami baru tau kalo kankernya muncul lagi dan bahkan udah menyebar ke tempat lain. Kami berusaha lagi untuk berobat, sampai akhirnya dia nggak kuat dan meninggal," lanjutnya.

"Kenapa Mas Abi masih tetap memilih melanjutkan pernikahan walaupun udah tau istrinya sakit kanker?" tanya Jenia dengan suara pelan.

Abimana diam agak lama, sebelum akhirnya tersenyum kecil. "Karena udah cinta. Aku pikir bisa berjuang sama-sama untuk ngelawan kanker dan hidup bahagia bersama dia. Ternyata bahagianya cuma sebentar, yang menang tetap si kanker."

"Mas Abi hebat mau nerima itu semua," ucap Jenia penuh kekaguman.

"Emang kamu akan mundur setelah tau calon suamimu menderita kanker?"

Kali ini Jenia yang diam agak lama setelah ditodong pertanyaan seperti itu. "Sejujurnya aku nggak tau, Mas. Aku nggak pernah ada di posisi itu, jadi aku nggak bisa kasih jawaban."

Abimana mengangguk paham. "Butuh waktu untuk bisa membuka diri dan dekat lagi sama perempuan. Sampai akhirnya Kamil bilang mau ngenalin Kakaknya ke aku. Akhirnya, aku pikir nggak ada salahnya ketemu dan kenal dengan orang baru."

"Aku juga berpikir hal yang sama," sahut Jenia cepat. "Nggak ada salahnya ketemu dengan orang baru. Menurutku, setiap pertemuan yang terjadi nggak melulu harus berakhir menjadi pasangan."

Percakapan mereka harus terhenti lantaran pelayan datang untuk mengantarkan pesanan mereka. Satu persatu hidangan ditata di atas meja. Begitu pelayan sudah selesai menyelesaikan tugasnya, pelayan berjalan meninggalkan meja mereka.

"Kalo habis makan aku ajak kamu jalan, kamu mau?"

Jenia tidak langsung menjawab. Ia mengamati wajah Abimana untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.

Abimana langsung tersenyum senang.

***

"Aku ngajak anak-anak jalan, ya," ucap Gama sambil mengambil alih dua tas dari tangan Kamil.

"Si Al agak cranky. Sebelum Mbak Jenia berangkat, dia udah coba ditenangin. Harusnya aman kalo Mas Gama ngajak mereka jalan-jalan."

Gama mengangguk mengerti. "Jenia mana?" tanyanya sambil matanya melirik kenan dan ke kiri, mencari keberadaan Jenia.

"Udah pergi dari tadi."

Gama mendesah kecewa saat tahu Jenia tidak ada di rumah. Padahal ia berencana mengajak Jenia untuk ikut bersamanya. "Gimana kalo kamu ikut aku sama si kembar jalan-jalan?" tanyanya menawari Kamil.

"Maaf banget, Mas. Hari ini aku mau ke toko ngecek barang. Kemarin ada masalah resi juga. Jadi, banyak kerjaan yang harus aku selesaiin."

"Yaudah kalo gitu. Aku izin bawa si kembar dulu ya." Setelah Gama menyuruh Alula dan Aruna berpamitan pada Kamil, ia menyuruh anak-anaknya masuk ke mobil.

Alula menarik lengan Aruna yang hendak masuk ke kursi depan.

"Kamu mau duduk di depan?" tanya Aruna menatap Alula.

Alula menggeleng. "Temenin aku duduk di tengah," ucapnya nyaris berbisik.

"Hah?" Aruna tidak mendengar jelas apa yang diucapkan oleh kembarannya.

"Temenin aku duduk di tengah. Kamu jangan duduk di depan," ulang Alula dengan suara lebih keras.

"Teru Papi gimana?" tanya Aruna menatap Alula, lalu beralih menatap Papinya. "Nanti Papi kasihan kalo duduk di depan sendirian," lanjutnya dengan wajah bimbang.

"Biarin aja," sahut Alula dengan wajah datar. "Kamu temenin aku duduk di tengah. Aku nggak mau duduk sendirian," lanjutnya.

"Tap--"

"Kalo kamu nggak mau duduk di tengah, aku nggak mau ikut jalan-jalan," ucap Alula mengeluarkan ancamannya. 

"Nggak papa. Kalian duduk di tengah aja," sela Gama menengahi.

Akhirnya Alula menarik tangan Aruna agar masuk lebih dulu ke kursi tengah, kemudian ia segera menyusul. Kursi di samping Gama ditempati oleh tas ransel kedua anaknya.

Begitu mobil sudah bergerak, Aruna dan Alula mulai mengobrol. Gama mendengarkan semua obrolan anaknya. Sampai mereka membahas soal Jenia, telinganya langsung menajam. 

"Harusnya aku ikut sama Mami aja," ucap Alula.

"Mami kan lagi pergi sama Om Abi."

"Kamu pernah ketemu sama Om Abi?" tanya Alula.

"Nggak pernah," jawab Aruna.

"Sama, aku juga belum pernah ketemu sama Om Abi," sahut Alula terkekeh. "Lagian kita tau tentang Om Abi dari Om Kamil," lanjutnya.

Aruna manggut-manggut.

Gama berdeham keras. "Om Abi itu siapa?" tanyanya ikut nimbrung obrolan anak-anaknya.

"Temannya Om Kamil," jawab Aruna.

"Sekarang jadi teman Mami juga," jawab Alula ikut menimpali.

"Jangan-jangan Mami sama Om Abi pacaran," ucap Aruna menatap Aruna dengan wajah serius.

Alula mengedikkan bahu. "Mungkin aja."

"Kayak Tante Viola sama Om Adam. Aku yakin Mami sama Om Abi juga pacaran," sahut Aruna sambil memegangi dagunya, seakan berpilir keras.

Gama tersedak air liurnya sendiri mendengar semua percakapan yang keluar dari mulut anak-anaknya. Anak yang usianya belum genap sembilan tahun sudah membahas soal pacaran dengan wajah polos mereka.

"Kalo Om Abi pacaran sama Mami, kita bakal punya dua Papi," celetuk Aruna.

Gama mengeratkan cengkraman pada kemudinya. "Kenapa kok gitu?"

"Karena kalo Om Abi pacaran sama Mami, itu berarti Om Abi bakal jadi Papi kita juga," jawab Aruna tanpa dosa.

"Siapa yang ngasih tau Ar soal itu?" tanya Gama dengan perasaan kesal.

"Mikala," jawab Alula mewakili kembarannya.

"Mikala bilang, Om Adam nanti bakal jadi Papanya karena pacaran sama Tante Viola. Jadi, kalo Mami pacaran sama Om Abi, itu berarti Om Abi bakal jadi Papi kita juga. Kayak gitu kan, Pi?" tanya Aruna memajukan duduknya mendekati Papinya.

Gama tidak langsung menjawab. Membayangkan ada laki-laki lain yang dipanggil dengan sebutan Papi oleh si kembar, membuat dadanya terbakar. Ia tidak ikhlas anak-anaknya harus bermanja-manja dengan laki-laki selaij dirinya. "Emang kalian mau punya Papi baru?" tanyanya tanpa menjawab pertanyaan Aruna sebelumnya.

"Kalo lebih baik, kenapa nggak?" sahut Alula yang langsung membuang pandangannya ke luar jendela.

Gama ternganga mendengar respon dari Alula. Seperti biasa, walaupun tidak banyak omong, kalimat yang keluar dari mulut Alula selalu setajam silet. Ia bahkan heran, sifat siapa yang nurun pada Alula.

***

Sorry for typo and thankyou for reading❤

Author Note:
Kalian ngerasa cepat banget gak sih? Tanggal 20 Januari aku upload prolog cerita ini, tapi di tanggal 7 Februari udah masuk Bab 14.

Gimana kalo aku nggak usah terlalu sering double update biar ceritanya nggak cepat selesai? Kalian setuju, kan????

Continue Reading

You'll Also Like

733K 57.5K 24
Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga. Remi sedikit berdebar, apalagi saat Bum...
251K 17.6K 38
Sebelum meresmikan hubungan pacaran, sepasang anak manusia sudah mengetahui perasaan satu sama lain. Saling mencintai, saling menyayangi, saling meng...
1.2M 98.3K 54
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
952K 74.5K 64
》Love Makes Series 4《 • • • Hari itu merupakan hari tersial bagi sosok Auristela Darakutni. Ia mengalami kecelakaan hingga mengalami patah tulang di...