Not Finished Yet [Completed]

By aprilianatd

1.6M 148K 6.1K

Hidup Gama seperti sebuah quote "Cintaku habis di kamu, sisanya aku hanya melanjutkan hidup." Setelah perpis... More

Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Pengumuman
Bab 35 [end]
Epilog
Extra Part

Bab 11

50.7K 4.5K 399
By aprilianatd

"Kenapa nggak bilang kalo kamu udah ketemu sama Mas Gama dan Mas Adam?" todong Jenia begitu Kamil baru masuk ke rumahnya.

"Maaf, Mbak." Kamil mengambil duduk di dekat Kakaknya.

"Harusnya kamu bilang ke aku. Jadi, aku nggak perlu kaget begitu dia muncul tiba-tiba di depanku."

Kamil meringis, merasa bersalah. "Kembar udah tau kalo Mas Gama itu Papi mereka?"

"Belum," jawab Jenia cepat. "Mas Gama berencana datang ke rumah hari Sabtu."

"Ngapain Mas Gama datang ke sini?"

"Karena aku dan Mas Gama perlu ngasih tau Al dan Ar kalo ternyata Papi mereka masih hidup. Aku pilih hari Sabtu, karena di hari itu mereka berdua libur. Aku takut informasi yang aku kasih akan buat mereka kepikiran dan ganggu kosentrasi belajar mereka."

"Kenapa Mbak Jenia nyuruh Mas Gama buat datang ke rumah?"

"Terus, menurutmu dimana tempat yang cocok untuk bicarain hal sesensitif ini selain di rumah?" balas Jenia melipat kedua tangannya di depan dada. "Aku nggak mau orang lain dengar apa yang sedang kami bicarain. Aku juga antisipasi dengan reaksi kembar nantinya. Kalopun dia marah, nangis, kecewa, mereka bisa langsung luapin di kamar."

Mendengar jawaban Kakaknya yang masuk akal, membuat Kamil mengangguk setuju. "Mbak cuma berniat ngasih tau si kembar soal Mas Gama itu Papi mereka, kan?"

"Maksudmu apa?"

Kamil menatap Kakaknya dengan raut wajah serius. "Mbak nggak berniat rujuk sama Mas Gama, kan?"

Jenia lantas terbahak. "Nggak mungkin aku rujuk sama dia."

"Gimana kalo si kembar nggak mau nerima Mas Gama sebagai Papi mereka?"

Jenia mengedikkan bahu. "Itu urusan Mas Gama. Yang terpenting, tugasku untuk mengenalkan mereka akan aku lakukan dengan baik," sahutnya santai. "Terlepas nantinya Al dan Ar nggak bisa terima Papinya, itu jadi urusan Mas Gama. Biar dia yang cari cara untuk ngambil hati mereka."

"Oh ya, Mbak." Kamil mengambil cemilan dari toples yang ada di atas meja, kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya. "Temanku ada yang mau kenalan sama Mbak Jenia," lanjutnya.

Jenia menaikkan sebelah alisnya. "Emang kamu punya teman?"

Kamil berdecak keras sambil memandang Kakanya sebal. "Aku beneran, Mbak. Temanku itu mau ngajak Mbak Jenia ketemu dan kenalan. Cuma ngobrol aja kok, nggak ada maksud apa-apa."

"Umur berapa?" tanya Jenia tanpa basa-basi.

"Empat tahun lebih tua dari Mbak Jenia."

Jenia mendesah lelah. "Aku malas kenalan sama orang baru."

"Hmmm ... tapi, aku udah terlanjur ngeiyain. Nanti kalo Mbak Jenia nggak mau nemuin dia, aku yang nggak enak sama dia."

Jenia mendengus sebal. "Nyebelin banget sih. Bikin repot orang aja."

"Gimana, Mbak?"

"Cuma ketemu doang, kan?"

Kamil mengangguk cepat. "Anggap aja nambah-nambah relasi, Mbak," sahutnya. "Btw, dia tau kok statusnya Mbak Jenia yang janda dan udah punya dua anak."

Jenia menarik napas, lalu menghembuskannya keras. "Kapan?"

"Hari Jumat, ketemunya jam setengah tujuh."

"Dimana?"

"Nanti tempatnya aku kasih tau."

"Terus, si kembar sama siapa di rumah?"

"Biar aku yang jaga. Hari Jumat aku berencana nginap di sini."

Jenia manggut-manggut.

***

Jenia memakai celana kulot bewarna putih tulang dengan atasan crop top dengan warna senada. Tubuhnya tampak lebih tinggi menganakan perpaduan outfit ini. Rambut panjangnya ia tata dengan style half top knot. Serupa dengan gaya rambut cepol, tapi half top knot hanya perlu sebagian rambut saja yang ditata.

Sekarang Jenia sedang duduk di salah satu restoran, menunggu kedatangan laki-laki bernama Abimana. Menurut informasi dari Kamil, laki-laki yang akan ia temui adalah salah satu teman dekat Kamil.

"Jenia?"

Mendengar namanya dipanggil, Jenia mengangkat pandangannya. Di depannya berdiri seorang laki-laki tinggi yang sedang tersenyum manis padanya. Kedua lesung pipi tercetak jelas saat laki-laki itu tersenyum.

"Maaf ya. Kamu nggak nunggu lama, kan?"

Jenia menggeleng. Ia berdiri dan mengulurkan tangan lebih dulu.

"Jenia."

"Abimana."

Jenia mempersilakan Abimana untuk duduk di depannya. Saat pelayan datang, ia dan Abimana mulai menyebutkan pesanan mereka masing-masing.

"Kamil banyak cerita soal kamu," ucap Abimana setelah kepergian pelayan dari meja mereka.

"Aku harap dia nggak cerita hal yang buruk tentang aku," sahut Jenia tersenyum tipis.

Abimana menggeleng. "Kamil bilang kamu punya dua anak."

Jenia mengangguk. "Iya."

"Mereka umur berapa?"

"Sembilan tahun."

"Satu lagi umur berapa?"

"Dua-duanya sembilan tahun."

"Wow, mereka kembar?" tanya Abimana takjub.

Jenia terkekeh. "Iya."

"Pasti seru banget punya anak kembar," ucap Abimana.

"Hmmm ... seru sih, tapi repot juga."

"Nggak kebayang betapa ramainya rumahmu setiap hari karena ada anak kembar."

Obrolan Jenia dan Abimana terus berlanjut. Bahkan setelah pelayan datang untuk mengantarkan makanan, mereka tetap melanjutkan obrolan sambil menghabiskan makanan yang sudah dipesan.

Bertemu orang baru tidak semengerikan yang dibayangkan oleh Jenia. Meski baru pertama kali bertemu, Jenia cukup nyaman mengobrol dengan Abimana. Laki-laki itu tahu cara membangun orbolan agar tidak membosankan. Dari cara mengobrol, pembawaan laki-laki itu terbilang cukup dewasa.

Tidak terasa sudah lebih dari dua jam Jenia dan Abimana mengobrol. Sekitar jam setengah sepuluh, Jenia pamit pulang karena anak-anaknya menelepon dan menanyakan dirinya. Abimana mengerti dengan kondisinya, dan menyuruhnya untuk cepat pulang. Laki-laki itu sempat menawari untuk mengantarnya pulang, tapi Jenia menolak dengan sopan karena ia memgendarai mobil sendiri. Sebelum pulang, mereka sempat bertukar nomor telepon. Abimana berjani akan mengajaknya bertemu lagi di lain kesempatan.

***

Hari Sabtu, Gama datang ke rumah Jenia sekitar jam sembilan. Jenia sudah menyajikan minuman dan cemilan kering di atas meja untuk Gama. Laki-laki itu sedang mengelilingi area ruang tamunya, melihat-lihat foto yang ia pajang. Kebanyakan foto yang Jenia pajang adalah foto si kembar mulai dari kecil sampai saat ini. Jenia suka mengabadikan momen pertumbuhan si kembar, dan memajangnya di rumah.

Setelah kedatangan Gama, Alula dan Aruna belum keluar kamar sama sekali. Hampir sepuluh menit belum ada tanda-tanda anak-anaknya akan keluar kamar, akhirnya Jenia menghampiri kamar mereka.

Begitu pintu kamar dibuka, Jenia melihat Alula dan Aruna sedang tidur-tiduran di kasur, sibuk dengan ponsel masing-masing. Jenia mengambil ponsel dari tangan Alula dan Aruna, membuat mereka berdua protes.

"Keluar dulu. Ada yang mau Mami bicarain sama kalian," ucap Jenia pada anak-anaknya.

Alula dan Aruna menyeret langkah kakinya keluar kamar dengan enggan. Begitu sampai di ruang tamu, betapa terkejutnya saat melihat ada sosok laki-laki yang beberapa hari lalu tidak sengaja bertemu dengan mereka di cafe dekat sekolah. Akhirnya, Alula dan Aruna duduk bersebelahan di sofa panjang.

"Ngapain Om Gama datang ke rumah kita?" tanya Aruna keherenan.

Gama hanya mengulum senyum, memilih tidak menjawab pertanyaan Aruna.

Jenia berdeham, membuat perhatian anak-anaknya tertuju padanya. "Ada yang mau Mami kasih tau ke kalian."

"Apa?" tanya Alula.

"Sebenarnya...." Jenia menatap Gama, berusaha untuk meminta bantuan. Ternyata laki-laki itu hanya balik menatapnya, menunggu kelanjutan ucapannya. Jenia menelan ludahnya susah payah, lalu melanjutkan kalimat yang akan diucapkan. "Om Gama ini Papi kalian."

Satu detik.

Dua detik.

Lima detik pertama, tidak ada reaksi apapun dari Alula dan Aruna. Mereka hanya saling tatap, dengan wajah kebingungan.

Jenia juga ikutan diam, menunggu reaksi apa yang akan dikeluarkan oleh kedua anaknya.

"Papi nggak jadi meninggal? Atau Papi nggak betah di surga?" tanya Aruna yang bereaksi pertama kali.

"Apa selama ini Papi nggak masuk surga, tapi masuk neraka? Makanya Papi nggak betah, karena kata Pak ustad di neraka panas," ucap Alula menimpali. Kemudian ia menatap Aruna dengan wajah serius. "Kayaknya doa kita kurang khusyuk deh, makanya Papi nggak bisa masuk surga."

Jenia diam-diam melirik Gama. Ekspresi wajah Gama tampak kaget dengan jawaban dari si kembar. "Bukan gitu, sebenarnya Papi belum meninggal."

Alula dan Aruna sontak menatap Maminya penuh tanya.

"Selama ini Mami cuma bilang kalo Papi pergi, bukan meninggal," ucap Jenia memberi penjelasan. "Selama ini Al sama Ar sudah salah paham. Mami minta maaf karena nggak pernah ngoreksi kesalahpahaman itu."

Lagi-lagi Alula dan Aruna kembali diam. Sepertinya mereka masih mencoba mencerna semua informasi yang baru mereka terima.

"Emang bisa orang yang ketemu baru sama Mami, tiba-tiba jadi Papi kita berdua?" tanya Aruna.

"Kita baru ketemu beberapa kali. Bahkan Om Gama baru ketemu sama Mami dua kali. Nggak mungkin Om Gama tiba-tiba jadi Papi kita," ucap Alula menimpali. "Apa buktinya kalo Om Gama itu Papi kita?" tanyanya akhirnya.

Gama senang memiliki anak cerdas. Mereka berdua benar-benar kritis dalam menanggapi informasi yang baru didapat dari Mami mereka. Ia juga melihat kalau Jenia berusaha memberi penjelasan dengan sabar.

"Bukti...." Jenia sontak kebingungan. Ia menggaruk belakang kepalanya, memikirkan bukti yang diminta anaknya. Ia menatap Gama, yang ternyata laki-laki itu sedang menatapnya juga.

Gama berdeham. Kemudian ia berpindah duduk di dekat anak-anaknya. Ia mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto pernikahannya dengan Jenia pada si kembar. Foto pernikahan yang selalu ia simpan di galeri, meskipun sudah beberapa kali ia ganti ponsel dalam sepuluh tahun ini.

"Ini Mami." Tunjuk Alula pada layar ponsel dengan mata terbelalak.

"Dan ini Om Gama." Tunjuk Gama pada foto di sebelah Jenia.

"Jadi, Om Gama beneran Papi kita?" tanya Aruna.

Gama mengangguk.

Aruna tersenyum lebar. "Akhirnya aku punya Papi!" serunya dengan wajah berbinar.

Berbeda dengan Aruna yang tampak senang, Alula malah memasang wajah datar. "Ngapain aku harus punya Papi?"

Semua sontak menatap Alula ketika pertanyaan itu meluncur begitu saja.

"Al nggak suka kalo punya Papi?" tanya Jenia dengan lembut.

Alula menggeleng. "Selama ini aku sama Ar nggak masalah walaupun nggak punya Papi. Lagian banyak temanku yang nggak punya Papi. Terus, kenapa sekarang tiba-tiba aku harus punya Papi?"

Gama tertohok mendengar kalimat tajam yang keluar dari mulut Alula.

"Tapi, kita jadi punya Papi dan bisa diantar jemput kayak teman-teman yang lain," ucap Aruna sambil memegang tangan Alula.

Ada emosi yang tidak bisa dijelaskan dalam raut wajah Alula. "Kenapa tiba-tiba muncul?" tanyanya dengan nada datar. "Kenapa munculnya waktu aku sama Ar mau ulang tahun yang ke sembilan?"

"Alula," panggil Jenia.

"Aku nggak mau punya Papi, Mi," ucap Alula menatap Maminya. "Selama ini kita bahagia kok hidup tanpa Papi. Aku punya Aruna, punya Mami dan punya Om Kamil. Aku nggak perlu Papi."

Gama sedih mendengar itu. Satu anaknya menerima dengan tangan terbuka akan kehadirannya, sedangkan satu lagi menolaknya mentah-mentah. Semua kalimat tajam yang keluar dari mulut Alula, tak lantas membuat Gama membenci anaknya.

Alula melepaskan pegangan tangan Aruna di tangannya, kemudian ia meninggalkan area ruang tamu, berjalan memasuki kamarnya.

Jenia dan Gama terlonjak saat mendengar suara pintu yang ditutup dengan bantingan keras.

Aruna menatap ke arah pintu kamarnya yang sudah tertutup. Di satu sisi ia ingin menghampiri kembarannya, di sisi lain ia masih ingin bersama dengan Papinya. Sesuatu yang selalu ia inginkan, kini ada di depan matanya. Dari dulu, ia ingin sekali memiliki seorang Papi. Begitu terwujud, ternyata Alula tidak memiliki pemikiran yang sama dengannya.

"Aruna ngobrol dulu sama Om Gama," ucap Jenia tersenyum menatap Aruna. "Maksud Mami, kamu ngobrol dulu sama Papi. Biar Mami susulin Alula ke kamar," lanjutnya meralat ucapannya.

Aruna mengangguk.

Gama tersenyum menatap Aruna. Tanpa berkata apapun, ia memeluk anaknya seerat mungkin sambil mengumamkan kata maaf berulang kali.

***

Sorry for typo and thankyou for reading❤

Author Note:
Gama playing: Tak segampang ituuuu~

Perjuangan Gama bakal panjang bestie. Mungkin Aruna nerima dengan tangan terbuka, tapi tidak dengan kembarannya. Alula karakter anak yang lebih cuek. Dia bahkan udah nggak peduli sama kehadiran Papi kandungnya.

Dan di saat kehadiran Gama, Jenia malah mencoba membuka diri untuk dekat dengan laki-laki lain.

Yuk, semangatin Gama. Jangan doain dia masuk surga dulu, ya. Nanti dia ngamuk, wkwkwk...

Btw, aku tau kalian pasti senang karena aku double update. Iya, kan???

Continue Reading

You'll Also Like

90.3K 8.8K 38
[ End. Cerita Lengkap ] Soraya Mekarwati, seorang gadis berparas ayu dari kampung yang mendapat beasiswa kuliah ke Jakarta dan memberanikan diri teta...
733K 57.5K 24
Enam tahun setelah Remi membantu Bumi, dia kembali dipertemukan dengan lelaki itu dalam situasi tak terduga. Remi sedikit berdebar, apalagi saat Bum...
994K 2.7K 6
Kisah Perselingkuhan penuh gairah, dari berbagai latar belakang Publish ulang di wattpad!
460K 32.1K 43
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...