Flower

By anythinganiya

9K 925 44

Bagaimana mungkin dua orang yang selalu bersama tak pernah sekali pun memiliki perasaan satu sama lain? "I fe... More

prolog
1. little things
2. something between us
3. lust
4. ilusm
5. broken
6. one cloudy day
7. inevitable consequence
8. hide and seek
9. unbreakable bond
10. all the guts i had
11. a silly morning
12. the cure and the cause
13. talking to the wind
14. invisible string
15. missed connection
16. complication of words
17. clarity
18. above the clouds
19. starting anew
20. before the storm
22. dwelling place
23. we've been through
24. poinsettia; and the flower that bloom at night
epilog
catatan kecil (dan mungkin sedikit pemberitahuan)

21. a nightmare

217 25 1
By anythinganiya


cw// toxic relationship, mention of abortion

***

Jeonghan masih gemetar dalam pelukannya. Air matanya kering, tapi tangannya mengerat di kemeja Seungcheol.

Seungcheol tidak mendapatkan ide apa pun tentang apa yang terjadi. Ia meninggalkan meja untuk mengangkat telepon di saat bersamaan Jeonghan bilang ingin ke toilet. Sekembalinya ia dari luar, ia melompat dengan tergesa ke dalam. Meraih tubuh Jeonghan yang sedang berjalan mundur, nyaris menabrak pelayan yang sedang membawa makanan.

Tubuh Jeonghan berkeringat, dan satu air mata lolos dari matanya. "Aku mau pulang. Kita pulang," ucapnya tercekat. Seolah ada batu yang mengganjal di tenggorokannya.

Seungcheol tidak bertanya mengapa. Ia bahkan juga belum sempat berpamitan ataupun mengirim pesan pada Mingyu untuk bertanya ada apa sejak sampai di apartemen tadi. Ia hanya berbaring menyamping, dengan Jeonghan dalam pelukannya yang tak berhenti gemetaran.

Jeonghan seperti berada di tempat lain. Begitu jauh hingga tidak bisa digapainya. Seungcheol berulangkali mengusap punggungnya, membelai rambut, hingga dua-tiga kali mencium pelipis Jeonghan. Tapi Jeonghan tak juga menggubris, terjebak dalam ketakutan dan kecemasan yang Seungcheol tak pernah pahami.

Sedikit kecurigaan Seungcheol menitik pada satu hal. Tapi semua itu terlihat mustahil. Bagaimana? Dengan cara apa jika hal itu kembali mengusik Jeonghan?

Seungcheol tersentak saat mendapati Jeonghan meringis sembari memegang perutnya. Ia bangkit berdiri dan berujar, "Kita ke rumah sakit."

Dan untuk pertama kalinya, Jeonghan akhirnya menatap matanya. Kembali ke realitasnya.

"Cheol," katanya terbata. Pria itu menelan ludah, masih meremas baju di atas perutnya. "Aku pernah membunuh seseorang," lanjutnya tiba-tiba.

Air mata keringnya kini mencipta jejak di pipi. Jeonghan menangis tanpa suara, tanpa isak, hanya bekas air mata dan wajah merah menahan sesak yang tak terkira.

Jeonghan benci dikasihani, dan itulah yang menyelamatkan ia setelah bertahun-tahun. Ia memeram luka itu begitu keras hingga tak ada setitik pun yang akan menyeruak dan mengungkapkan diri.

Dan ketika ia berpikir telah datang hari di mana ia diberi kesempatan untuk menyelamatkan kehidupan bayi lain. Luka lama itu membuka kembali, melesat seperti ombak dan menarik paksa segala hal yang sudah ia pendam sedemikan rupa.

Jika ini memang jalan penebusan dosanya, mengapa semua terasa begitu mencekiknya?

Jeonghan ingat ia menangis di pelukan Seungcheol setelah hari itu. Jeonghan ingat ia meminta Seungcheol untuk tidak meninggalkannya dan pria itu melakukannya hingga saat ini—hingga semua kemelut yang terjadi. Jeonghan ingat ia tersenyum pertama kali, merasa hidup setelah semua peristiwa itu karena Seungcheol duduk dengannya di depan tenda—awal di mana rutinitas camping musim gugur pertama mereka lakukan—membuatnya berpikir betapa banyak hal yang seharusnya ia syukuri, yang masih bisa ia tebus suatu hari nanti.

Jadi mungkin tak apa. Mungkin tak apa jika Jeonghan menceritakan semuanya. Semua gelap yang selama ini membelenggunya. Gelap yang juga ia gunakan sebagai tameng untuk menjauhkan perasaan Seungcheol darinya.

"Aku pernah membunuh orang. Aku pernah menghilangkan nyawa seseorang, Cheol."

Yang semua orang tahu, Jeonghan dicampakkan karena pacarnya selingkuh. Kebohongan yang diciptakan Jeonghan atas sakit dan tangis-tangisnya. Jeonghan mungkin kehilangan orang yang dipikirnya mencintainya, tapi Jeonghan lebih kehilangan satu hal lain. Satu nyawa lain yang tak bisa ia selamatkan.



"Aku hamil," ucapnya. Kata pertama yang diucapkan pada Soowon sekembalinya pria itu ke apartemen studio mereka. Soowon baru saja mendapatkan pekerjaan baru. Dan sudah satu bulan ini tinggal terpisah dari Jeonghan yang masih menyelesaikan tahun terakhir kuliahnya.

Soowon yang sedari tadi menciumi lehernya berhenti. Menatap tidak percaya ke arah Jeonghan. Dari sakunya, Jeonghan kemudian mengeluarkan test pack dengan dua garis merah di atasnya.

Jeonghan tidak berbohong. Dan Soowon tiba-tiba beringsut berdiri, menjauhinya. "Bagaimana bisa? Kau lupa meminum alat kontrasepsimu? Atau kau tidur—"

"Telan kembali apa yang hendak kau katakan!" pekik Jeonghan. "Aku hanya tidur denganmu, brengsek!"

"Lalu kenapa, Han? Kenapa kau melewatkan kontrasepsimu?"

Jeonghan benar-benar muak dengan semua ini. Kebodohannya, kecerobohannya. Terakhir kali mereka tidur bersama adalah minggu-minggu yang sibuk. Tugas-tugas kuliah, acara organisasi—yang sebenarnya tidak bisa ia tinggalkan karena Mingyu mendadak harus exchange ke luar negeri, dan junior-juniornya memaksanya untuk ikut. Ditambah Soowon yang juga hanya bisa sekali dua kali pulang ke apartemen sewaan mereka.

Mereka mengejar sex singkat. Malam-malam panas seperti kelinci di musim kawin. Alkohol, dan dekapan kabut ketidaksadaran yang seringkali mereka jadikan pelarian di tengah kesibukan.

Air mata Jeonghan merebak. Tangisnya tak dapat dihindari.

"Apa tujuanmu sebenarnya? Ini semua tidak pernah dan tidak boleh ada dalam rencana hubungan kita. Kau pikir kita akan mencintai selamanya?"

Mata Jeonghan terbelalak. "Apa maksudmu?"

"Kau ingin menghancurkanku! Karirku, masa depanku. Semuanya akan berantakan hanya dari kesalahan kecil seperti ini. Itu sebabnya aku memintamu menggunakan kontrasepsi." Soowon mengusap wajahnya kasar. "Kita harus menyingkirkannya."

Itu kata terakhir yang didengarnya dari mulut Soowon sebelum pria itu menghilang. Mereka hanya berkomunikasi lewat pesan setelahnya, dan pada akhirnya sepakat untuk membuangnya. Jeonghan menyetujuinya meski ini terdengar begitu menakutkan. Tapi Soowon meminta maaf karena sudah berkata buruk dan berjanji menemaninya melewati ini. Setidaknya begitu bunyi pesannya sampai tak lagi bisa dihubungi.

Tapi Jeonghan saat itu hanyalah pemuda naif dan bodoh. Bagaimana bisa ia mempercayai pria yang memintanya meminum pil kontrasepsi alih-alih memakainya sendiri. Pria yang menyalahkannya dan memintanya membuang nyawa dengan entengnya tak peduli apakah tubuh Jeonghan bisa menerima atau tidak nanti.

Mungkin Soowon bahkan tidak peduli jika nyawa Jeonghan kemudian mati di meja aborsi. Soowon hanya selalu memikirkan dirinya sendiri. Demi keuntungannya sendiri.

Dan Jeonghan baru menyadarinya saat ia berbaring di ranjang dokter kandungan yang jauh dari kediamannya, sendirian. Ia meraba perutnya yang masih rata itu, mengabaikan ocehan dokter tentang prosedur aborsinya, risiko apa yang akan terjadi setelahnya. Pikirannya disibukkan dengan betapa menyedihkannya dirinya saat ini. Dicampakkan, dibiarkan menghadapi segala kengerian ini sendirian.

Jeonghan tiba-tiba teringat Seungcheol—satu-satunya tempatnya melarikan diri. Sahabatnya itu sekarang pasti sedang sibuk bekerja part time di salah satu kafe depan kampusnya. Pria yang ditemuinya seminggu yang lalu, yang langsung menyadari ada yang tidak beres dengannya. Tapi Jeonghan tidak bisa mengatakan apa-apa kala itu. Ia tidak sanggup menceritakan semua ini tanpa dibayangi pikiran bahwa Seungcheol mungkin akan merasa jijik padanya. Pada keputusan yang akan ia lakukan setelahnya. Belum lagi jika Jisoo kemudian tahu. Oh, saudaranya itu pasti akan membuhuhnya setelah itu.

Pikirannya masih berkelebat tentang hal yang salah dan benar. Ia tahu ia salah dan ia mencoba menyingkirkan kesalahan itu sama seperti yang diinginkan Soowon. Tapi apa kesalahan bayi ini? Apa kesalahannya sehingga Jeonghan punya hak untuk membuangnya? Semua itu terasa semakin menyedihkan karena ia sendiri pun dibuang. Mengapa ia ingin menimpakan hal itu juga pada bayi ini?

Jeonghan benar-benar ketakutan setengah mati sekarang. Berharap ia bisa berlari pada Seungcheol dan meminta sahabatnya itu menemaninya, menceritakan segalanya dan memintanya untuk memaafkan segala kebodohan yang telah dilakukannya.

Air mata Jeonghan terus mengalir sampai dokter itu menyentuh bahunya. "Kau baik-baik saja?" tanya sang dokter.

"Maaf," katanya parau. Ia baru menyadari kalau pemeriksaannya telah selesai dilakukan.

"Kau tidak perlu melakukan aborsi," kata dokter itu selanjutnya—yang membuat Jeonghan mengatakan 'kenapa' tanpa bersuara. "Bayi itu tidak berkembang," lanjut sang dokter. "Kau hanya perlu melakukan prosedur kuretase. Aku akan menjadwalkannya untukmu setelah ini."

Apa yang sudah dilakukannya? Apa yang sudah Jeonghan pikirkan?



"Aku melakukannya dalam pikiranku. Aku akan melakukan semuanya ketika ... ketika yang terjadi setelahnya dia benar-benar dihilangkan dariku. Oleh pikiranku yang berharap dia tak pernah ada."

"Han, bukan. Kau tidak melakukannya." Seungcheol menangkup wajah Jeonghan, mencoba meyakinkannya. Tapi hatinya sendiri pun diremat habis-habisan. Melihat Jeonghan hancur di depan matanya benar-benar membuat seluruh dunianya seperti lumpur pekat yang menenggelamkan.

"Itu sebabnya aku mendorongmu pergi. Cinta itu perasaan yang palsu! Dua orang yang berkata bahwa mereka saling mencintai itu hanya membutuhkan sex dalam hubungan. Dan setelah itu salah satunya hanya perlu menyingkirkannya setelah merasa puas dengannya. Tapi alih-alih membuatmu pergi, aku melakukan kesalahan yang sama.

"Aku ... aku tidak ingin lagi dianggap sebagai bom waktu yang menghancurkan kehidupan orang lain. Aku tidak ingin menjadi lemah, sementara banyak keputusan dibuat tanpa memikirkanku. Itu sebabnya aku merasa bertanggung jawab atas bayi ini sendiri. Aku tidak ingin suatu hari kau menyesal, menyalahkanku lalu membuangku begitu saja."

Seungcheol bergeming, tak mampu mengatakan apa pun selain menarik Jeonghan dalam pelukannya. Kecurigaannya kini terbuka lebar. Ia akan mendengarkan apa pun yang Jeonghan katakan. Ia akan menerimanya. Semua trauma yang membelenggu Jeonghan. Semua ketakutan yang menyebabkan pemikiran Jeonghan menggelap hari ke hari.

Seungcheol tidak ingin menanyakannya. Mengapa Jeonghan memendam semua ini sendirian. Menahannya hingga lebur, dan hancur sedemikian rupa. Dan ia sendiri juga merasa gagal sebab tak tahu apa-apa. Sebab membiarkan Jeonghan terpuruk sendirian dan terluka.

Seungcheol telah gagal menyelamatkan pria yang begitu berarti di hidupnya. Dan yang bisa ia lakukan kini hanyalah merapatkan pelukannya pada Jeonghan.

"Ada aku, Han. Aku tidak akan pergi. Tidak akan pernah sekali pun."

***

Jeonghan baru terlelap satu jam kemudian. Dan Seungcheol kemudian bangkit dengan hati-hati. Ia meraih ponselnya, mengetik sesuatu dan bergegas pergi.

Pria yang ia kirimi pesan tadi menelepon saat Seungcheol menghidupkan mesin mobilnya.

"Apa terjadi sesuatu pada Kak Han?" ucap Mingyu. "Kalian berdua pergi begitu saja tadi. Oh ya, kau pasti tidak percaya siapa yang kutemui tadi. Yah, secara teknis dia teman lama tapi, haha ... dia mantan Kak Jeonghan. Gilaa, kau—"

Seungcheol memotong kalimat Mingyu. "Temanmu itu? Kau masih bersamanya?"

Mingyu terdiam sejenak mendengar nada tergesa dan amarah dari Seungcheol. "Aku baru saja kembali dari minum-minum dengannya."

"Kau tahu di mana ia sekarang?"

"Ya ... dia tadi sempat bilang hotel tempatnya menginap."

"Antarkan aku ke sana. Kujemput kau sekarang."

Kebingungan Mingyu kini terjawab sudah. Setiap cerita Seungcheol tentang Jeonghan meresap ke dalam tubuhnya. Ia tidak pernah tahu apa yang terjadi setelah pindah ke luar negeri. Ia bahkan tidak pernah tahu mengapa dulu Jeonghan dan Soowon tiba-tiba menghilang, mengganti nomor dan seluruh media sosial yang ia tahu. Ia masih merasa tidak percaya hal itu menimpa Jeonghan.

Saat mereka sampai di depan pintu kamar hotel Soowon, Mingyu masih diam. Bahkan ketika Seungcheol melayangkan pukulan ke arah pria itu begitu pintu terbuka, Mingyu juga diam saja. Ia malah menutup pintu, membiarkan Seungcheol melakukan apa pun pada (mantan) temannya itu.

"Gyu! Apa yang terjadi? Siapa pria ini?" teriak Soowon yang sedang dipojokkan Seungcheol di dinding. Bibirnya berdarah, dan tubuh kecilnya tak bisa mengimbangi tubuh Seungcheol yang besar.

Tapi Mingyu tidak menjawab. Ia berdiri jauh dari keduanya dan memalingkan wajah, menolak menatapnya.

Seungcheol tidak memukulnya. Dan itu memberi kesempatan Soowon melihatnya dengan jelas dari jarak sedekat ini. Meski bibirnya sakit, ia justru menyeringai. "Oh, aku ingat kau. Pria malang yang terjebak cinta platonik dengan Jeonghan."

Seungcheol mendengus. "Tutup mulutmu!"

"Jadi bagaimana rasa Jeonghan? Kau sudah merasakannya bukan? Dia bahkan mengizinkanmu menghamilinya."

Jawaban setelahnya hanyalah bunyi tulang yang beradu dengan benda keras.

Tangan Seungcheol terluka karena menghantam dinding saat Soowon memiringkan kepalanya untuk menghindari tinju darinya. Tulang Seungcheol terasa nyeri, tapi semua itu tak sebanding dengan amarah dan luka yang selama ini Jeonghan simpan sendirian.

Seungcheol sebenarnya juga marah pada dirinya sendiri. Bagaimana bisa pria di hadapannya ini memberikan Jeonghan penderitaan, bahkan ketika Jeonghan masih dalam pengawasannya, masih dalam perlindungannya.

Soowon mencoba memberontak, hendak membalas pukulannya. Tapi tangan Seungcheol lebih cepat menangkapnya, tak membiarkan pria itu melukai wajahnya barang sedikit pun. Ia mengunci tangan Soowon, lalu membanting tubuhnya ke lantai dan terus memukulinya tanpa ampun.

Suara Seungcheol serak saat ia berteriak, memaki, mengumpat, menyumpahi lelaki brengsek yang sudah terkapar itu. Ia akan melayangkan pukulannya untuk kesekian kali saat Mingyu akhirnya menarik tubuhnya menjauh.

"Kak, cukup," kata Mingyu. "Kak Han di rumah sendirian, 'kan? Pulang, ya. Biar aku urus yang di sini."

Seungcheol masih terengah. Amarah belum juga meninggalkan wajahnya bahkan meski telah melihat Soowon nyaris pingsan dengan wajah penuh lebam dan lecet. Ia menatap Mingyu, kata-kata seolah hilang ditelan darahnya yang masih mendidih.

"Pulang ya, Kak." Mingyu menyerahkan kunci mobil Seungcheol yang tadi sempat terlempar saat memukuli Soowon.

Besi dingin di tangannya itu membuat Seungcheol akhirnya tersadar. Jeonghan sendirian, Jeonghan mungkin bangun dan menangis lagi. Jeonghan mungkin mencarinya dan apa yang akan ia jawab jika Jeonghan menyadari apa yang sudah dilakukannya barusan.

Seungcheol menggenggam kunci itu erat, menyentuh bahu Mingyu dan bergegas pergi lebih dulu.

***

Apartemen Jeonghan sepi, seperti terakhir kali Seungcheol meninggalkannya. Ia kemudian membuka pintu kamar, mengintip Jeonghan—yang syukurlah—masih tertidur lelap. Seungcheol ingin mengambil botol anggur, kaleng bir atau alkohol apa pun yang disimpan Jeonghan di kabinetnya sejak hamil dan tak pernah dibuka lagi. Tapi urung ia lakukan, ia tidak ingin bau alkohol di depan Jeonghan. Ia tidak seharusnya terlihat lebih buruk. Jeonghan lebih membutuhkan ia yang waras dan mampu terkendali. Bagaimana mungkin ia bisa menjaga dan membersamai Jeonghan jika ia tak mampu menjadi tempat teduh untuk segala trauma ini.

Maka ia kesampingkan segala semburan adrenalin yang masih tersisa itu. Toh ia sudah menghajar bajingan itu. Ia kemudian meraih botol air, meneguknya dengan cepat. Tangannya bertumpu pada meja dapur saat ia menghela cukup keras. Saat amarahnya akhirnya mereda, ia berjalan ke kamar mandi, membersihkan diri, lalu bergabung kembali dengan Jeonghan di ranjang.

Seungcheol merengkuh tubuh Jeonghan dari belakang. Meletakkan tangannya di atas perut Jeonghan, merasakan napas Jeonghan yang teratur. Ia ingin merasakan keduanya hidup, dua kehidupan yang tak akan pernah ia biarkan terpuruk dalam keputusasaan yang dalam. Ia ingin memastikan bahwa Jeonghan dan bayi mereka aman, jauh dari orang-orang yang akan menyakitinya.

Continue Reading

You'll Also Like

439 84 8
Bagaimana jalan kisah cinta wonwoo yang ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian, dan bagaimana kisah cinta mereka terjalin? Cerita ini te...
11.1K 793 27
Ini hanya cerita yang sudah pasaran Pembalasan dendam sang kakak karena kehilangan adiknya Di bumbui dengan intrik perselingkuhan Happy reading šŸ”žšŸ”žšŸ”ž
37.3K 3.2K 25
怋 SEVENTEEN - CARAT Pairing : Jeon Wonwoo dan Hong Jisoo šŸ‘‘ #2 - joshua (20 April 2022) šŸ‘‘ #1 - crackpair (29 Juli 2023) šŸ‘‘ #2 - jeonwonwoo (21 Juni...
124K 17.7K 29
Karena musibah yang tiba-tiba menimpa Kerajaan, Baekhyun menjadi korban tuduhan dari rakyat. Baekhyun bergeming, namun tatapannya menyiratkan kelelah...