Warning!!!
17+
Part ini nyambung sama part Epitasio. Jadi, kalau lupa, bisa dibaca ulang.
...
“Gue bakal biarin lo hidup, asal lo kasih tahu siapa Andri sebenarnya.”
Mendengar itu, bukannya menjawab, Rudi justru menyenggih, menyunggingkan senyum miring pada tawaran Galen.
Galen yang merasa diremehkan, lantas mengangkat tinggi tongkat pemukulnya untuk kembali menghajar Rudi.
“Aakkh!”
Sebuah pekikan membuat gerakan Galen terhenti. Ia berbalik, mendengar derap langkah dua orang yang tengah berlari menjauh.
Lidahnya mendecak. Satu orang saja belum selesai ia bereskan, sudah muncul masalah baru.
Satu pukulan kuat melayang ke kepala Rudi, hingga tubuh pria itu ambruk dan mengalami kejang. Tanpa belas kasihan, Galen langsung meninggalkannya, keluar dari ruangan itu sambil menajamkan telinga, mendengar suara langkah dua orang itu semakin menggema yang artinya mengarah ke lantai atas.
Galen menyeringai. Dua orang pengintipnya baru saja melakukan kesalahan fatal. Galen jadi ingin mempermainkannya. Diketukkannya tongkat baseball-nya ke besi pegangan tangga hingga menimbulkan dentingan yang menggema di lorong.
Kakinya terus melangkah naik ke lantai 6, lantai teratas gedung itu. Menyusur ruang demi ruang dengan menggesekkan ujung tongkatnya ke dinding yang jelas membuat suasana semakin mencekam.
Semua ruangan yang ia lewati tampak kosong, tapi dari cahaya lampu yang redup, ia bisa melihat gesekan alas kaki membekas di lantai berdebu yang tengah dilewatinya. Ia ikuti jejak itu hingga membawanya ke sebuah ruangan.
Baru saja ia melewati gawang pintu, sebuah benda panjang mengayun ke arahnya. Reflek Galen melangkah mundur menghindari serangan itu.
Sudut bibirnya terangkat begitu melihat seorang gadis kini tengah mengacungkan gagang sapu ke arahnya dengan napas tersengal.
“Lo pikir bisa ngelawan gue pakai itu?” sindir Galen.
Kamila menatap tajam ke arahnya. Ada rasa takut yang mendera, tapi ia berusaha mempertahankan keberanian yang ia punya.
“Lo nggak akan bi--”
Belum sempat Galen menyelesaikan kalimatnya, Kamila lebih dulu menyerangnya. Nahasnya, Galen yang punya reflek lebih cepat mengayunkan pemukulnya ke gagang kayu Kamila hingga benda itu patah dan terlepas dari genggaman gadis itu.
Melihat itu, Kamila spontan bergerak mundur. Membuatnya semakin terjebak di dalam ruangan. Lelaki itu tak segan untuk menyerang. Meski sempat berhasil menghindar, tapi beberapa pukulan juga sukses mengenai tubuh hingga membuat Kamila meringis kesakitan.
“Gue nggak ada waktu buat main-main. Jadi, kita selesaikan ini dengan cepat,” kata Galen pada Kamila yang tengah berdiri terengah sambil memegangi bahunya yang sempat terkena pukulan.
Galen bergerak cepat, melayangkan pukulan ke arah gadis itu. Kamila yang berniat menghindari serangan itu justru menciptakan celah. Galen memanfaatkan itu untuk menendang tungkai kaki Kamila hingga tubuh gadis itu limbung dan ambruk dengan posisi lutut membentur lantai.
Kesempatan itu langsung Galen pergunakan untuk menghantam kuat kepala Kamila dengan tongkatnya.
Gadis itu mengerang. Kulit kepalanya sobek hingga mengucurkan darah segar. Tak menunggu lama, Galen langsung menjambak rambutnya, menyeret tubuh Kamila turun ke lantai tempat tubuh Rudi berada.
Setelah mengumpulkan dua tubuh tak berdaya itu, Galen kembali naik ke lantai atas, mencari satu orang lagi yang mungkin masih bersembunyi di suatu tempat. Sayangnya, tak ada siapa pun yang ia temukan. Saat tiba di persimpangan lantas 6 ke lantai 5, ia melihat sebuah loker. Awalnya, ia mengabaikan keberadaan loker itu dan melewatinya begitu saja. Namun, tiba-tiba ada hal yang mendorongnya untuk kembali dan memeriksanya.
Dibukanya satu per satu dari tiga pintu loker yang ada. Begitu membuka pintu yang terakhir, mata Galen seketika terbelalak. Tongkat dalam genggamannya langsung terlepas. Kakinya melemas, hingga membuat tubuhnya merosot jatuh terduduk di lantai.
“Z-Zita.” Galen tergagap menatap anak kecil yang matanya terpejam dan wajah basah karena air mata tengah meringkuk di dalam kotak kecil itu.
Melihat lubang angin yang terdapat di pintu loker membuat napas Galen tercekat. Tubuhnya gemetar. Jantungnya berpacu dengan cepat. Ia mulai membuat prasangka dalam otaknya.
Apa Zitania melihat semua yang ia lakukan? Apa Zitania melihatnya sebagai sosok monster yang menakutkan?
Galen menggeleng. Zitania tak seharusnya melihatnya dalam keadaan seperti itu.
Galen lantas teringat data keluarga angkat Zitania tentang Andri yang memiliki satu anak perempuan berusia 16 tahun. Apa gadis yang ia serang tadi adalah anak perempuan itu?
Berbagai pikiran buruk mulai terlintas.
Apa Zitania akan dibuang ke jalanan jika Andri tahu bahwa dirinya--kakak kandung Zitania--telah membunuh putri semata wayangnya? Atau ... apakah Zitania akan balas disiksa sebagai timbal balik perbuatannya? Apa yang harus Galen lakukan jika itu benar terjadi? Lalu, bagaimana jika Zitania benar-benar melihat perbuatannya malam ini? Apa yang akan terjadi jika dirinya muncul di hadapan gadis itu? Apa Zitania bisa tetap menerimanya sebagai kakak atau justru berteriak ketakutan saat melihatnya?
Galen menatap tangannya yang penuh darah, lalu mengepalkannya dengan erat.
Zitania tak boleh mengenalnya. Zitania harus melupakannya. Zitania tak seharusnya menyimpan kenangan buruk.
“Kakak ....” Panggilan lirih itu membuat Galen mengangkat muka. Gadis kecil itu bergumam dengan mata terpejam.
Air mata Galen luruh tanpa bisa ia cegah. Itu adalah panggilan yang sangat ia rindukan. Dengan tubuh gemetar, Galen mendekat, mengulurkan tangannya, merengkuh tubuh kecil Zitania ke dalam pelukannya.
Sebenarnya, apa yang sudah ia lakukan?
Maria meminta mereka hidup dengan bahagia, tapi ia baru saja menghancurkan salah satu pondasi rumah yang telah memberikan Zitania kebahagiaan.
“Maaf, maafin kakak.” Galen berucap sambil menitikkan air mata. Ia memeluk erat tubuh Zitania. “Maaf. Maaf.”
Berulang kali Galen merapal penyesalan dan sebuah pemikiran muncul dalam benaknya.
Apa yang terjadi jika penyamaran Andri terbongkar? Bagaimana jika bosnya tahu Andri adalah mata-mata dan berniat menghabisi nyawa pria itu seperti yang baru saja ia lakukan pada Rudi?
Galen meremas bahu Zitania.
Tidak. Ia sudah kehilangan kesempatan untuk membawa Zitania pulang, jadi seharusnya ia turut bahagia melihat keluarga Zitania memperlakukan adiknya dengan baik. Sudah cukup ia melakukan kesalahan dengan menghabisi nyawa kakak angkat Zitania. Selanjutnya, ia tak akan membuat Zitania kembali merasakan kehilangan.
Galen melepaskan pelukannya, mengembalikan tubuh Zitania ke dalam loker dengan hati-hati.
“Kakak ...,” panggil Zitania dengan suara lirih, kali ini mata gadis kecil itu sedikit terbuka, berkedip lemah, lalu kembali tertutup rapat.
“Lupakan kejadian malam ini,” ucap Galen sambil mengusap pipi Zitania. “Benci kakak kalau itu bisa buat kamu bahagia. Tumbuhlah besar dan kuat. Temui kakak saat udah dewasa, dan bunuh kakak dengan tangan kamu sendiri. Bunuh kakak karena nggak bisa jadi kakak yang baik. Bunuh kakak karena udah bikin memori buruk buat kamu. Bunuh kakak yang udah jadi perusak kebahagiaan kamu.”
Air mata Galen kembali jatuh. Bibirnya mendekat, mengecup kening sang adik untuk terakhir kalinya.
...
Zivana menyambut kepulangan Galen dengan ceria seperti biasa. Namun, sang kakak yang biasanya akan membalas sambutannya, kali ini justru bersikap aneh.
“Kakak capek. Kamu main sama Evan aja, ya,” kata Galen yang kemudian melangkah masuk ke kamarnya.
Iddar yang melihat itu langsung menghampiri Zivana. “Kak Galen kenapa?”
Zivana hanya menggeleng. Menatap pintu kamar sang kakak dengan perasaan yang sama bingungnya.
Keesokan harinya, sikap Galen masih seperti sebelumnya. Zivana melihat kakaknya itu jadi lebih banyak diam.
“Kak,” panggil Zivana saat Galen akan keluar dari rumah.
“Ya?” Galen menatapnya. Berjongkok di depan Zivana untuk menyamakan tinggi mereka.
“Boleh nggak aku ketemu sama Zita?” Pertanyaan itu akhirnya terucap setelah beberapa hari terus melintas di pikiran Zivana.
Meski terpisah, Zivana masih mengingat Zitania dengan jelas. Setelah beberapa tahun terlewati, entah kenapa, tiba-tiba Zivana merasa ingin bertemu. Galen pun langsung memahami, mungkin itu adalah ikatan batin antara saudara kembar. Zivana pasti merasakan ketakutan yang tengah Zitania rasakan hingga ingin bertemu.
Galen menatap Zivana dengan penuh rasa bersalah. “Zi ....”
“Zita pasti udah lupa ya sama kita?” tanya Zivana. Ia sudah mengetahui perkara adopsi Zitania. “Dia pasti happy sama keluarga barunya.” Zivana kini memasang wajah murung. “Karena itu, kakak nggak pernah ngasih tahu di mana keberadaan Zita. Karena itu juga, kakak nggak jemput Zita dari keluarga barunya.”
Iddar yang berada di belakang Zivana hanya diam, menatap sepasang kakak beradik itu tanpa menyela.
“Zi, apa kamu ngerasa kurang bahagia tinggal sama kakak dan Evan?” tanya Galen.
Zivana langsung menggeleng cepat. Bukan itu maksud dari pertanyaannya. Ia sudah sangat bahagia. Hanya saja, bukankah akan terasa lengkap jika Zitania bisa hidup bersama mereka?
Menyadari Zivana masih memasang wajah masam, Galen lantas mengelus puncak kepalanya, lalu menoleh pada Iddar. “Van, kalau saudara mama kamu tiba-tiba datang buat minta kamu tinggal sama mereka, apa kamu bakal ninggalin kita?”
Iddar tampak berpikir sejenak, lalu menggeleng. “Mereka dulu ngebuang aku. Walau mereka keluarga aku, tapi cuma Kakak dan Zi yang mau nerima aku setelah Mama dan Papa meninggal.”
Galen kembali menatap Zivana. “Kamu denger apa kata Evan? Dia memilih kita karena menganggap keluarga orang tuanya sudah membuang dia. Kakak takut, Zita juga berpikir kalau kakak sudah ngebuang dia makanya dia ada di panti asuhan dan diadopsi keluarga barunya.”
“Tapi Kakak nggak pernah ngebuang kami,” sahut Zivana lirih dengan wajah muram.
Galen menoleh lagi pada Iddar. “Van, gimana kalau ternyata saudara mama kamu sebenarnya nggak membuang kamu? Gimana kalau ternyata ada alasan lain yang membuat mereka nggak bisa membawa kamu ke keluarganya? Apa akhirnya kamu mau tinggal sama mereka dan ninggalin kami?”
Iddar menatap Galen dan Zivana bergantian, lalu menggeleng pelan. “Aku udah seneng tinggal di sini sama kalian.”
Zivana menundukkan pandangannya. Paham atas alasan sang kakak tidak menjemput saudara kembarnya.
“Kalau gitu ....” Zivana menatap Galen ragu-ragu. “Boleh nggak, kalau nanti SMP, aku lanjut di sekolah yang sama dengan Zita?”
Pria di depannya mengerutkan alis.
“Kalau nggak bisa bawa dia pulang, seenggaknya aku mau jadi temannya.”
...
Tbc
...
Galen ini sebenernya kakak yang baik, cuma ketutup pekerjaan kotornya yang bikin dia kelihatan jahat.