HER LIFE (OTW TERBIT)

By ay_ayinnn

4.8M 259K 16.5K

Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarg... More

Baca dulu beb
PROLOG
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
PART 21
PART 22
PART 23
PART 24
PART 26
PART 27
PART 28
PART 29
PART 30
PART 31
PART 32
PART 33
PART 34
PART 35
PART 36
PART 37
PART 38
PART 39
PART 40
PART 41
PART 42
PART 43
PART 44
PART 45
PART 46
PART 47
PART 48
PART 49
PART 50
PART 51
PART 52
PART 53
PART 54
PART 55
PART 56
JUST FOR FUN BEB!

PART 25

111K 5.9K 596
By ay_ayinnn

"Van," Ayumi mendatangi Vanya yang sedang berbaring di kamar.

Posisinya sekarang Vanya membelakangi Ayumi. Dia meringkuk dengan mata kosong memandang tembok triplek di depannya.

"Bangun dulu, makan," Ucap Ayumi duduk di samping Vanya.

Tidak ada jawaban dari Vanya sebab pikiran orang itu masih berada di luar kepala. Vanya belum bisa berpikir jernih setelah kejadian tadi pagi.

"Ayo, Ibu bantu kamu duduk," Vanya diam. Ayumi menghela nafas sabar dengan kelakuan putrinya saat ini.

"Vanya..." Ayumi terus-terusan memanggil nama Vanya

"Elen, dimana?" Lirih Vanya masih meringkuk.

"Elen ke rumah El. Dia takut sama kamu."

"Aku kasar banget ya, bu, sama dia?"

"Udah, Van. Makan dulu."

Vanya menggeleng sambil memposisikan diri duduk. Dia menatap sayu wajah Ayumi. Jujur badannya sekarang lemas banget.

"Ibu suapin mau?" Tanya Ayumi.

"Enggak," Vanya menjauhkan sendok yang Ayumi sodorkan.

"Van, besok laki-laki itu mau bicara berdua sama kamu," Kata Ayumi membuat Vanya linglung.

"Nggak, aku gak mau bicara sama dia. Nggak."

"Kalau kalian gak bicara, masalah ini gak bakal selesai."

"Ibu, aku takut. Kalau dia kasar lagi gimana? Kalau temen-temennya--"

"Ssttt, itu cuma pikiran kamu. Ibu rasa dia baik. Mungkin dulu kasar, gak punya etika, tapikan itu dulu. Kamu harus lihat dia yang sekarang, dia bener-bener mau berusaha memperbaiki diri."

Vanya menggeleng, bayangan masa lalunya terlintas jelas dibenak. Yang Vanya tahu Gavin adalah orang yang keras. Semua kemauannya harus dituruti. Dan Vanya takut Gavin akan nekat kalau tidak dia turuti.

Sebentar, hari sudah hampir gelap. Mengapa Elen belum juga pulang?

"Bu, Elen masih di rumah El? Kenapa pulangnya lama?" Ucap Vanya mengganti topik. Rautnya terlihat gelisah.

"Elen..."

Belum sempat Ayumi selesai bicara, Vanya menyela. Ia berdiri lalu keluar dari kamar secara tergesa. Lagi-lagi dibuat panik, Ayumi langsung mengikuti Vanya dari belakang.

"Van kamu mau kemana?" Tanya Ayumi menaruh piring di meja terdekatnya.

Vanya sibuk berjalan dari pintu dapur ke pintu utama guna mencari sandal. Ayumi rasa dia mau menyusul Elen di rumah El. Padahal kan belum tentu Elen masih ada di sana atau enggak. Lagian Gavin kok gak bawa pulang Elen sih? Udah mau malam ini.

Menemukan sandal di pojok pintu, Vanya bergegas memakainya. Kalau boleh menyerah, Ayumi hampir menyerah mengurus Vanya karena sikapnya belakangan ini sangat berbeda dari yang biasanya.

"Vanya, Van, tunggu dulu," Dia mencekal tangan Vanya.

"Kenapa, Bu? Aku harus cari Elen. Kalau laki-laki itu masih ada disini gimana? Aku gak mau Elen--"

"Tenang Vanya, nafas dulu." Sela Ayumi sesak sendiri mendengar kalimat Vanya tanpa titik koma. "Dia gak mungkin nyakitin Elen. Kamu percaya kan sama ibu?"

Belum sempat Vanya jawab, kedua perempuan itu mendengar suara anak kecil tertawa. Vanya memutar badan, sedangkan pandangan Ayumi langsung fokus terhadap dua orang itu.

Melihat Elen sangat bahagia di gendongan Gavin membuat Ayumi tersenyum kecil. Anak itu terus tertawa. Entah apa yang sedang mereka bicarakan.

"Ibu, Elen?" Vanya tak suka melihatnya. Dia bergegas mendekat ke arah Gavin.

Sadar Vanya menghampiri, Gavin mempererat gendongannya. Elen pun spontan diam dan mengalungkan tangan di leher Gavin.

"P-pa," Lirih Elen takut Vanya marah kepadanya.

"Gak apa Sayang," Ucap Gavin mengelus punggung putrinya.

"Balikin!" Bentak Vanya mengambil paksa Elen dari gendongan Gavin.

"M-ma, aku ma-mau sa-sama Pa-papa," Ucap Elen. Sempat ia eratkan lagi kalungan tangan di leher Gavin.

Awalnya Gavin juga menahan badan Elen, namun ia rasa sekarang bukan waktu yang tepat untuk memperebutkan Elen. Setelah berhasil menggendong Elen, Vanya pergi kembali masuk ke dalam rumah.

Gavin menatap punggung Vanya dari belakang. Ada yang tidak beres dengan perempuan itu.

Ayumi terus-terusan bersabar. Dia pun berjalan menghampiri Gavin yang tak jauh dari pintu masuk rumah ini.

"Elen udah tahu?" Tanya Ayumi diangguki Gavin. "Dia bahagia sama kamu."

"Mungkin karena dari kecil gak pernah ngerasain kasih sayang dari sosok Ayah?" Sahut Gavin.

Ayumi tersenyum kecut. "Besok jadi mau bicara berdua sama Vanya?"

"Vanya udah baikan?" Tanya balik Gavin.

"Lumayan. Besok jadwalnya Elen terapi di Puskesmas. Jadi, selama saya dan Elen tidak di rumah, kamu bisa gunakan waktu itu sebaik mungkin buat bicara berdua sama Vanya." Ucap Ayumi.

"Baik, bu. Em, jadwal Elen terapi tu hari Sabtu?" Tanya Gavin memastikan. Dia juga ingin mengantarkan anaknya terapi.

"Dulu seminggu sekali dokternya kesini. Tapi saya rasa tempat ini gak bagus buat seorang dokter menerapi pasiennya. Makannya saya meminta agar jadwal Elen di ganti sebulan sekali setiap tanggal 25 di Puskesmas," Lagi, Gavin mengangguk.

Anggukan dia kali ini menandakan kesedihan. Gara-gara dia, seorang anak tak bersalah mendapat hukuman kayak gini.

"Maaf, bu, setelah ini saya tidak akan menyia-nyiakan Vanya ataupun Elen lagi. Saya berjanji akan bertanggung jawab."

"Ya, melihat kamu, sepertinya kamu itu orang berada yang mampu menghidupi sebuah keluarga. Kalau bisa juga, tolong bawa Vanya ke keluarga kandungnya. Dia lebih berhak hidup enak bersama mereka dari pada susah bersama saya."

"Ibu udah tahu siapa keluarga kandung Vanya?" Tanya Gavin memastikan satu hal dulu.

"Saya sempat bertemu dengan ibu kandungnya waktu di rumah sakit."

"Jadi Vanya udah ketemu sama Tante Clara?" Ayumi menganggukkan kepala lalu mengangkat kedua bahu pertanda tak tahu.

"Waktu itu beliau datang ke ruang inap Elen. Jujur, saya sedikit takut waktu beliau mengajak Vanya pulang. Tapi mendengar Vanya menolak hati saya mendadak lega. Dan sekarang, setelah saya pikir-pikir, saya rasa Vanya berhak untuk pulang ke keluarga aslinya."

"Memang ibu ikhlas kalau suatu hari nanti Vanya, saya bawa pulang?" Ayumi hanya tersenyum kecil.

Membayangkan Vanya dan Elen pergi dari kehidupannya itu sangat berat. Apalagi selama kurang lebih 5 tahun ini mereka pernah menjadi keluarga bahagia.

Tapi, Ayumi juga tidak boleh egois. Vanya bukan siapa-siapanya, Vanya hanya seorang gadis yang ia tolong saat sedang terpuruk. Dia harus pulang ke rumah yang sebenarnya sebab tugas Ayumi disini telah selesai.

Tangan Gavin mengelus-elus lengan atas Ayumi sebagai tanda penguat. Walaupun tidak pernah merasakan, Gavin tahu betul rasa sedihnya ditinggal keluarga itu seperti apa.

"Terima kasih aja gak cukup buat ibu." Gavin memeluk tubuh Ayumi.

Tangisan Ayumi runtuh saat itu juga. Dia benar-benar tidak ingin Vanya pergi dari kehidupannya.

"Gavin yakin, Vanya nggak mungkin semudah itu buat jauh dari ibu."

•••••

22.40 wib.

"Kirimin gue cash 10 juta. ATM gue ada di kamar."

"Lah lo bawa ATM kan bodoh?" Sahut orang dari seberang sana dengan jiwa yang setengah sadar.

"Disini gak bisa narik ATM, Jing. Buruan gue butuh uang sekarang."

"Buat apa sih anying? Ganggu orang tidur aja lo! Udah malem nih."

"Besok gue mau ngedate sama Vanya."

"Alahh, ngedate. Mau beli apaan lo pake uang 10 juta?"

"Ck bacot! Buruan. Suruh supir Mama gue kirim kesini. Gue gak mau lo, lo, pada yang malah dateng kesini."

"Hm."

Setelah telfon dengan Marvel selesai, Gavin langsung merebahkan diri di kasur yang lumayan keras ini. Ya setidaknya ia tidak tidur di tikar, bisa remuk tulangnya.

"Lo tenang aja Van, hutang-hutang lo beres sama gue. Kemarin gue udah nge-clear-in hutang yang sama pak RW 300 ribu, terus uang gue abis. Tapi tenang, besok gue lunasi semuanya." Ucap Gavin kepada angin.

Setelah pulang dari rumah Vanya tadi, Gavin sempat meneghubungi pak RW. Dia menanyakan soal hutang-hutang Vanya kepada orang disekitaran sini.

Merasa Vanya belum mampu membayar hutang-hutangnya, Gavin memiliki inisiatif untuk membayarnya. Toh ini termasuk tanggung jawabnya kan? Vanya nekat hutang karena Elen dan Elen sendiri adalah anaknya. Ya udah seharusnya Gavin membantu Vanya.

"Ternyata hidup sendiri gini ada enaknya ada gak enaknya. Lo selama lima tahun ini pasti punya banyak cerita, kan, Van? Gue minta maaf. Gue emang buruk banget di kisah lo. Tapi gue dateng buat memperbaiki hubungan kita. Seenggaknya sebagai teman."

"Terus habis itu sebagai istri. Ya gak sih?" Setelahnya, Gavin terkekeh sendiri.











Bersambung.


Btw gak lagi-lagi aku kasih rules buat up.


Maaf banget we kemarin ga lngsng up😭 ya aku ga expect kalo bakal cepet tembus 390+nya.

Terima kasih yang udah bacaa🤍✨

MAU VOTE SEBANYAK-BANYAKNYA! harus tembus lebih bnyk dri pada part kemarin.

Yang belum vote dari prolog sampai part ini juga vote dulu lahh. Masa ada kesenjangan vote, kan dilihatnya ga enak.

8 12 23

Continue Reading

You'll Also Like

19.3K 1.4K 47
"Kata siapa dia pacar gue?" Tanya Kavi yang masih belum melepaskan cekalan tangan nya pada tangan Khira. "Aku ngeliat sendiri tadi siang kakak senyum...
676K 46K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
138K 9.2K 38
Adit, cowok pintar, kesayangan guru, si kutu buku, dan terkenal karena kepintarannya. Akan tetapi, menurut Sheila. Adit baginya seperti boneka nya ya...
512K 49.9K 48
Ardeo Mahendra. Wajah sempurna perpaduan Rio dan Tata. Cowok murah senyum yang terkesan genit dengan sejuta pesonanya. Remaja SMA yang suka sekali al...