REPEATED

By shaanis

2.1M 190K 43.9K

[ Sebagian cerita ini sudah diunpublished ] REPEATED • re·peat·ed /rəˈpēdəd/ Butuh lima tahun untuk benar-be... More

Hello there ...
Kagendra & Lyre
1. | Oke!
2. | Transaksional
3. | Memulai proses perpisahan
4. | Have you ever
5. | Berhati-hati
6. | 'Teman' baru
7. | What if ...
8. | Toples Bintang & Harapan
9. | Camping: Day I
10. | Camping: Day II
11. | Camping: The last day
12. | Detik kehidupan berubah
13. | Berita baik dan buruk
14. | Keluarga Kanantya
15. | As a parents
16. | Tolong, maaf, terima kasih
17. | Perhatian & Penantian
18. | Waktu yang terhenti
19. | Istri yang tidak dikenali
20. | Mama ...
21. | Commit with me
22. | ♪ Namanya kesayangan
23. | Unconditionally
24. | Menjatuhkan hati
25. | In pain
26. | Scared me
27. | Precious memory
28. | Family setting
29. | Tapi bohong
30. | I promise to you
32. | Keterangan Pribadi
33. | Keluarga kecil sempurna
34. | Another baby?
35. | Ingatan membawa kegugupan
36. | Putra kedua keluarga Kanantya
37. | Penting, enggak penting
50. | Happy ending

31. | Indikasi, manipulasi

35.7K 3.7K 1K
By shaanis

🌤️

Selamat pagi ...

🙈😂

.

Firstly ...
I am so sorry buat kejadian kemarin, enggak bermaksud prank update ... tetapi aku emang kzl udah ngasih alasan kenapa dimajuin update tetep diharepin ada update lagi buat nemenin weekend -_-"

so yeah, wish you all a very happy weekend.

.

3.766 kata untuk bab ini

Thank you so much.

🌟

31. | Indikasi, manipulasi

"Hai, Re ..."
Desire yang pertama menyapa sewaktu Kagendra membawa Lyre ke ruang duduk dengan kursi roda.

Lyre tersenyum pada rekan sesama artisnya itu, yang hampir sepuluh bulan menghabiskan waktu bersamanya untuk syuting serial. "Wow, kamu sama sekali enggak berubah."

Desire mengulas kekehan tawa. "Thanks to you, karena terus memotivasiku untuk perawatan, hobi smoothies, yoga atau pilates every weekend."

"Aku yang memotivasi?" Lyre agak bingung.

Kinar yang kemudian menyahut. "Karena beberapa kali waktu kalian ngemall, justru Dede yang dikira lebih tua dari kamu, Re ... hahaha."

"Kaka belum kasih kamu kaca apa gimana?" tanya Desire lalu menyodorkan kamera depan di ponselnya. "Bahkan dengan muka pucat dan kepala diperban, kamu masih kelewat flawless."

Lyre memperhatikan pantulan wajahnya di layar ponsel tersebut. Ia memang tidak terlihat buruk dan meski agak berbeda, tetapi di segala sisi wajahnya masih kencang sekaligus mulus. "Aku dari dulu sudah yakin, estetika wajah bakal jadi habit bagi sebagian besar perempuan." Lyre kemudian menoleh pada Kagendra yang duduk di sampingnya. "Aku jelas memanfaatkan uangmu dengan baik."

"Sure you are," balas Kagendra.

Desire dan Kinar saling pandang sebelum sama-sama tertawa. Ini kali pertama Lyre mengungkapkan hal semacam itu di hadapan mereka.

"Ng, apa aku mengatakan sesuatu yang kurang pantas?" tanya Lyre dengan agak kikuk. Bagaimana dia di hadapan keluarga Kagendra ini?

Desire menggeleng, menurunkan ponsel dan menyimpannya kembali di saku. "Enggak, cuma kamu yang dulu terkesan biasa aja punya anugrah wajah secantik itu."

"Aku sebenarnya lega wajahku begini, jadi enggak repot dandan ... cuma dari beberapa foto di ponsel Kage—"

Ekhem!
Kagendra berdeham pelan untuk mengingatkan istrinya. Lyre mengerjapkan mata dan tersadar. "Oh, maksudku ... dari beberapa foto di ponsel Mas Ndra, aku kayak all out banget berpenampilan."

"Oh iya, memang ... Mama yang ajari kamu, Re ..." ucap Kinar dan terkenang saat-saat pertama menemui Lyre. "Kamu itu cantik banget, tapi style berpakaian sekenanya. Bukan enggak cocok, tetapi setelah diajari padu padan yang tepat memang penampilan kamu semakin mempesona."

"Mama dulu seneng banget tiap new season, apalagi dari winter ke spring, langsung  semangat nyuruh kamu coba-coba selected item," ungkap Desire dan Kinar tertawa gembira.

Sama sekali tidak ada ingatan tentang keseruan yang diungkapkan itu. Lyre bahkan sudah berkonsentrasi dengan sangat serius.

Kagendra menyadari tindakan sang istri dan mengingatkan, "Re, enggak boleh memaksakan diri."

"Oh, oh, iya ... jangan, dr. Tian tadi bilang kamilah yang harus lebih bersabar dan pengertian terkait keadaan kamu sekarang," kata Kinar dan mendekati Lyre. "Kaka mungkin udah kasih tahu ya, tapi agar lebih meyakinkan, Mama adalah ibu untuk Lyre di keluarga Pradipandya."

Lyre mengangguk, mengulurkan tangan kanannya, menyalami Kinar dan mencium lembut ke punggung tangan. "Maaf ya, Ma ... kalau kedepannya Mama jadi harus banyak bersabar atas hal-hal yang Lyre lupakan."

Kinar geleng kepala, mengalihkan tangannya yang baru dilepas untuk mengusap pelan ke wajah Lyre. "Enggak ... Mama bersyukur sekali kamu selamat, terus bertahan dan kembali bersama kami. Terima kasih, Re ... terima kasih banyak karena tetap hidup."

"Mama ... mulai deh," sebut Desire ketika sang ibu langsung terisak-isak. Ia segera beranjak, merangkul ibunya kembali duduk. "Sorry ya, Re ... bakatku drama emang turunan Mama sebenarnya."

"Dede!" protes Kinar sembari mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka air mata.

Lyre ingin tersenyum namun benaknya lebih dulu dihinggapi keharuan. Ia teringat cerita Kagendra tentang kehilangan yang dialami keluarga Desire dan jelas itu memang masih menyisakan kesedihan, sehingga ucapan Kinar tadi terasa benar-benar tulus dalam mensyukuri kondisinya.

Kagendra memperhatikan ke pintu keluar dan bertanya, "Pada ke mana sih?"

"Papimu harus dicek dokter, Waffa yang antar terus Ravel ikut ... senang dia dipangku Opa naik kursi roda," kata Kinar sambil tersenyum.

"Papi emang kenapa?" tanya Lyre.

"Pemulihan pasca stroke, sempat lama juga komanya." Kinar kembali terkenang. "Sore hari setelah Papi tersadar, Mama baru dapat kabar kecelakaanmu, Re ... berita baik dan berita buruk terjadi di hari yang sama."

"Ma, nanti nangis lagi, ceritanya yang happy-happy aja," ungkap Desire lalu memperhatikan Lyre yang mulai mengulas senyum. "Re, coba deh tanya apa aja soal Kaka ... aku bakal jawab jujur."

"Ngapain harus nanya kamu, bisa nanya aku sendiri," sebut Kagendra, khawatir jika adik sepupunya iseng.

"Beda dong! Ayo, Re, jangan malu-malu," sebut Desire dengan nada riang.

Lyre terkekeh. "Uhm, one thing actually ..."

"Lyre, kamu bisa nanya ak—"

"Apa benar kalau aku posesif? Suka cemburu, terus galak sama Mas Ndra?" tanya Lyre tanpa ragu.

Kagendra langsung menatap Desire tajam, memastikan adiknya balas memandang sembari dirinya menyampaikan kode-kode untuk meyakinkan Lyre.

Desire tertawa pelan. "Nope! Justru sebaliknya."

"Dede!" protes Kagendra dengan sebal. "Kamu jangan iseng, ya?"

"Dih, siapa iseng? Orang emang kamu yang suka kesetanan kalau ada cowok nekat deketin Lyre ... kamu bahkan pernah ya, nyuruh Waffa ke Bali buat booking tattoo artist karena Lyre sekali doang keluar rumah enggak pakai cincin kawin. Kamu minta tattoo tulisan 'Kagendra' di jari manisnya Lyre."

"What?" sebut Lyre dan langsung menatap suaminya lekat.

Kagendra geleng kepala. "Mengada-ada, buktinya enggak ada tattoo begitu dan aku enggak—"

"Enggak ada karena dilarang sama Om Tio."

Kinar tertawa pelan memperhatikan Kagendra bersungut-sungut. "Kamu itu kenapa panik? Orang memang kamu yang selalu banyak aturan buat Lyre ... bahkan pernah nih ya, Re ... kita biasa setiap ada event perusahaan, barengan bikin dress dan seragam gitu nuansa busananya, kalau Mama pilihin kamu yang agak berani sedikit, ngambek lho Kaka ini."

"Benar tuh, pernah sampai telat sejam ke venue ... karena Kaka dadakan minta outer buat nutupin lengan kamu." Desire mengingatkan dan geleng-geleng kepala. "Lengan doang padahal, itu orang butiknya sampai stress nyari yang senada."

Kagendra memejamkan mata, menggelengkan kepala lalu menoleh untuk balas menatap istrinya. "I'm not really that freak ... waktu itu venue acaranya outdoor, aku enggak mau kamu masuk angin aja."

"Oh ya?" tanya Lyre, berusaha tidak tertawa.

"Serius, Re! I'm reasonable person." Kagendra kemudian menatap pintu yang berayun membuka. "Nah, Papi tuh ..."

Lyre tertawa pelan, memperhatikan bibir suaminya yang agak mencebik. Ia mengulurkan tangan untuk mencubit lembut pipi Kagendra. "Mirip banget, kayak Ravel versi gede."

Kagendra menahan tangan Lyre, menggenggamnya dan meralat pelan. "Ravel yang versi mininya aku."

Anak yang mereka bicarakan tampak senang duduk di pangkuan Arestio Pradipandya. "Mama ... Mama pakai kursi roda juga?"

"Iya, Mama udah boleh juga kalau mau lihat-lihat keluar ruang rawat," ucap Lyre kemudian beralih tatapan kepada sosok lelaki yang sekalipun butuh bantuan dalam bergerak mendekat namun, jelas masih sangat berwibawa. Kagendra mewarisi sepasang mata bersorot tegas dari ayahnya.

"Nak ..." panggil Arestio.

Lyre mengerjapkan matanya, perlahan ada gambaran tentang dirinya duduk berhadapan dengan Arestio Pradipandya. Mereka terlihat serius berbicara namun tidak terdengar apa yang tengah dibahas.

"Berikan kesempatan kepada putraku untuk menjadi ayah ..."

Lyre menyentuh sisi kanan keningnya yang mendadak nyeri. Rasanya seperti kilas adegan yang terus bergerak cepat sekaligus membingungkan.

"Kaka!!! Berani-beraninya ya kamu ... istri kepayahan hamil, malah keluyuran! Pulang sekarang juga!"

"Ngh!" sebut Lyre, suara bentakan itu seakan mengejutkan dan membuatnya khawatir.

"Re," panggil Kagendra, sadar ada yang tidak beres dan berlutut ke samping kursi roda sang istri. "Hei, look at me."

"Sekali lagi Papi tahu kamu bawa Ravel tanpa sepengetahuan Lyre, bikin Lyre nangis kejer cari-cari anaknya ... enggak usah pulang kamu!!!"

"Papi juga bawa aku tanpa sepengetahuan Mami! Papi bikin aku enggak punya Mami!"

Plak!!!

"Lyre bukan Mami kamu!!! Kamu juga bukan Papi, karena itu urus rumah tanggamu dengan benar!!! Sekali lagi, Papi lihat Lyre sekalut itu karena kamu sembarangan bawa pergi Ravel ... kamu yang keluar dari rumah ini!!!"

"Lyre ..." panggil Kagendra dengan cemas.

"Mama ..." Ravel ikut memanggil.

Waffa segera menurunkan Ravel dari pangkuan Arestio, membiarkan anak itu beralih ke sisi Kagendra, ikut memegangi tangan kanan Lyre.

"Izinkan kami tinggal sendiri dan percayakan Kagendra sekaligus Ravel kepada Lyre ... biar Lyre yang mengurus mereka sepenuhnya."

"Saat seusianya, Papi sudah mengamankan satu proyek prestisius dan—"

"Beri kami waktu setahun ... selama itu biarkan Kagendra mengatur rutinitasnya sendiri dan Papi harus menahan diri memanggilnya bodoh, tidak berguna, atau panggilan kasar lainnya."

"Kamu mengatur caraku mendidik—"

"Dia seorang ayah yang akan dihormati oleh anak saya. Karena itu, Papi harus menahan diri untuk tidak mencelanya."

"Waktumu setahun! Jika putraku tidak menjadi lebih baik ... tingkat kecerdasan dan kemandirianmu hanya dilebih-lebihkan oleh para pengawasku."

"Lyre ..."

"Mama ..."

Lyre memperhatikannya, dua raut wajah yang familiar karena kemiripannya, sama-sama memberinya padangan khawatir. Ia perlahan mengatur napas, helaan pendek dan teratur. Lyre tidak ingin ingatan barunya memperburuk suasana yang kini menjadi tegang. Ia harus bersabar dan tetap tenang hingga ingatannya utuh. "Aku agak pusing, Mas ..."

"Belum kuat kali ya duduk lama-lama," kata Desire lalu bertanya, "Aku panggilin dr. Tian ya?"

Kagendra mengangguk. "Please, De ..."

"Mama jangan sakit lagi," ucap Ravel sebelum merengut dan mulai terisak.

"Mas, tolong," ucap Lyre agar Kagendra mengangkat Ravel ke pangkuannya.

Kagendra melakukannya, memperhatikan anaknya segera memeluk sementara Lyre berusaha menenangkan dan mencium-cium lembut.

"Sayang ... Mama sakitnya tadi sebentar aja kok, kayak dicubit pelan begini, tapi di kepala sini." Lyre memberi tahu anaknya sembari mencontohkan jenis cubitannya pada lengan Ravel. "Coba Ravel rasain, sakitnya sebentar apa lama?"

Perlahan, Ravel menyudahi tangisnya, memperhatikan lengannya. "Sebentar aja sakitnya."

"Iya, sebentar aja, dan habis diperiksa dokter nanti baikan. Jadi, Ravel sedihnya juga sebentar aja, ya? Mama kangen sama senyumnya Ravel."

"Enggak mau Mama tidurnya lama lagi," sebut Ravel dan kembali menempelkan kepala di dada sang ibu, mendusel lembut.

"Iya, enggak lama-lama ya tidurnya," kata Lyre lalu memperhatikan sepasang mata Kagendra yang berkaca-kaca. Suaminya itu juga mengelus lembut punggung Ravel.

"Kalau belum enakan, seharusnya tetap berbaring saja di dalam. Kaka! Kamu itu harus paham kondisi istrimu," ucap Arestio dan seketika membuat ekspresi wajah anaknya menjadi kaku.

Lyre menelan ludah, sudah jelas suaminya menerima dikte terselubung dan itu sangat berpengaruh. Lyre memindahkan tangan kanannya ke atas tangan suaminya, kembali membawa tangan itu bergerak mengelusi punggung Ravel.

"Mas Ndra tadinya udah larang, Papi ... tapi Lyre yang mau keluar, karena bosan juga di dalam. Barusan tadi cuma sekilas aja pusingnya kok."

Kagendra mengangkat tatapan matanya, memperhatikan Lyre kemudian tersenyum ke arahnya.

"Aku kayaknya emang baiknya balik ke dalam, ngobrol-ngobrolnya dilanjutkan besok ya, Mas?"

"Oh, iya." Kagendra mengangguk.

"Aku salim Papi dulu, Mas ..." pinta Lyre.

Kagendra segera beranjak ke belakang kursi roda sang istri, mendorongnya mendekat pada Arestio yang mengulurkan tangan.

Lyre menjabat tangan itu, mendekatkan ke keningnya dan mengulas senyum ramah. "Mama bilang Papi sadar waktu Lyre kecelakaan ... kedepannya, semoga kita pulih bersamaan ya."

Arestio tersenyum dan mengangguk. "Apa saja yang kamu butuhkan agar perawatanmu nyaman, katakan saja ... Papi akan menyediakannya untukmu."

"Terima kasih, tetapi sekarang ini ... Lyre butuhnya Mas Ndra sama Ravel aja," ucap Lyre, perlahan menarik tangannya dan kembali mendekap Ravel saat memperhatikan Kinar yang was-was. "Ma, maaf ya, Lyre belum bisa lama-lama ngobrolnya."

"Oh, enggak apa-apa, jangan khawatir masih ada banyak hari esok ... Kaka cepetan bawa Lyre berbaring," ucap Kinar sembari mengangguk.

Waffa menatap Kagendra yang kemudian memutar kursi roda Lyre, membawanya berlalu dari ruang duduk. Ia memperhatikan ketika Lyre mengulurkan tangan ke belakang, menepuk tangan Kagendra pelan. Sahabatnya itu membalas dengan memberi kecupan lembut pada puncak kepala Lyre.

"She's back," gumam Waffa pelan.

"Kenapa, Fa?" tanya Desire yang beralih ke sisi sang tunangan.

Waffa memundurkan kepala, berbisik di telinga tunangannya. "Sesaat tadi, aku kayak lihat Lyre yang dulu, Bby."

Desire mengerjapkan mata lalu memperhatikan Arestio dan Kinar yang kini beralih membahas tempat tinggal sementara.

"Well, bagaimana pun Lyre tetaplah Lyre," ucap Desire lalu memandang pintu penghubung yang kembali tertutup. "Mereka juga, ketika sudah kumpul bertiga ... segalanya terasa baik-baik saja."

***

"Ciyee, yang pagi ini enggak tunggu Mama udah mandi, ganti baju, emhh ... wanginya kayak peri." Esa langsung iseng menggoda begitu memperhatikan penampilan adiknya. Lyre tampak segar, wangi, dan rapi dengan setelan pakaian yang lebih formal sekaligus feminim.

"Ssstttt..."

Esa tertawa. "Enakan dimandiin—"

"Mas Esa, dosa!"

"Apaan tiba-tiba dosa?"

Lyre memicingkan mata, melirik sang ibu yang antusias menjelaskan menu sarapan pada Ravel. "Aku bilangin Mama nih ya?"

"Ancamannya jelek," kata Esa sebelum mencubit pipi sang adik. "Gini dong, fighting ... jangan dikit-dikit nangis."

Lyre memastikan suaminya masih sibuk bertelepon di luar, anaknya juga fokus mendengar penjelasan tentang menu sarapan. "Mas Esa, boleh minta tolong?"

"Apa, Little Re?"

"Begitu sampai rumah, siapin komputer tablet baru, buat aku ngejurnal ulang. Komputer tablet itu harus Mas Esa yang simpan dengan kredensial log in yang hanya kita berdua tahu."

Esa mengerjapkan mata. "Kenapa, Re? Kamu 'kan punya, minta aja ke Kagen—"

"Enggak, aku mau ngejurnal ulang dari apa-apa yang kuketahui secara mandiri ... ada beberapa kilas ingatan yang muncul sejak semalam, termasuk soal Papinya Kagendra."

Suara adiknya semakin lirih bercerita dan itu membuat Esa sebaik mungkin pasang telinga, mendekatkan kepalanya ke arah Lyre dan bertanya lirih. "Apa ada hal aneh?"

"Aneh dan mencurigakan ... aku juga ada mimpi yang kayak bagian ingatanku, makanya aku mau rundown sendiri berdasar apa yang kuperoleh, bandingin sama cerita atau informasi dari orang lain nanti."

"Kenapa semalam kamu enggak cerita?"

"Suasana makan malamnya bagus, dan Ravel lengket banget ... Kagendra juga sampai aku tidur, betah nungguin." Lyre geleng kepala.

Esa ingat memang semalam keadaan sangat tenang, dua keluarga makan malam bersama di ruang duduk. Lukito Kanantya memang lebih banyak menikmati makanan dalam diam, namun sebelumnya menyempatkan bertukar kabar dengan cukup ramah dengan orang tua Kagendra.

Semuanya kecuali Kagendra dan Ravel memutuskan pulang tatkala Lyre selesai menerima kunjungan dokter dan diberitahu bahwa ini adalah hari terakhir observasi di rumah sakit. Nanti, Lyre akan menjalani scan kepala, sebelum dipastikan aman untuk dibawa pulang ke rumah.

"Atiana bilang mau melibatkan Sonya untuk—"

"Please don't! I can handle it myself."

"Kamu yakin?" tanya Esa, sebenarnya ikut khawatir. "Dalam kasusmu, bantuan psikolog akan—"

"Aku tahu keadaanku dinilai enggak stabil dan aku enggak mau itu jadi bahan gosip lanjutan kayak Mas Esa dulu ..." Lyre mantap memutuskan ini.

Esa sadar situasinya dulu memang runyam dan jelas menjadi trauma bagi adiknya. Sampai sekarang dirinya masih menerima label itu; pasien cacat fisik dan mental.

"Aku punya Mas Esa, aku punya Mama ... aku akan aman, iya 'kan?" Lyre memastikan keyakinannya.

Esa mengangguk, dirinya akan selalu mendukung langkah-langkah yang dipilih sang adik. Ia tersenyum, mengelus pipi Lyre lembut, "Yeap, you got my back as alwa—"

"Esh!" panggilan itu mengejutkan kakak-beradik yang seketika reflek menoleh Kagendra di pintu.

Esa geleng kepala, menurunkan tangannya dan menyahut, "Aku ngobrol sama adikku sendiri, Ndra!"

"Aku ada perlu," ucap Kagendra.

"Awas kalau enggak jadi lagi," gerutu Esa lalu beralih pergi.

Lyre agak tidak paham dengan sikap Kagendra itu. Namun, dirinya mengulas ringisan kecil memperhatikan sang suami memasang raut kesal tidak beralasan, itu lucu.

Suka tidak suka memang Kagendra terbukti luwes mengurusnya. Lelaki itu membantunya mandi untuk pertama kalinya pagi ini, dan tidak terlihat bingung harus melakukan apa. Kagendra tahu bahwa Lyre selalu mengakhirkan ritual cuci muka.

"Kamu flossing dulu, baru gosok gigi. Kamu biasanya luluran juga tapi enggak dibawa jadi langsung pakai sabun mandi ... setelah itu pakai ini cloth pads pembersih muka, baru cuci muka pakai sabun. Habis handukan, pakai body lotion. Ini balm buat ketiak. Kamu pindahin parfum ke botol roll on begini, pakainya di bawah telinga sama pergelangan tangan."

Dan semua produk dalam pouch mandi itu meyakinkan sebagai milik Lyre. Kagendra juga luwes saat mengurus Ravel. Anaknya tidak sulit dibangunkan, tidak terdengar bermain-main dengan air, bisa memilih mau memakai pakaian yang mana sampai menyisir rambut sendiri. Saat Kagendra beralih membereskan selimut, mengumpulkan pakaian kotor, Ravel mengikutinya secara alami, merapikan beragam mainan dan memasukkannya dalam tas bersama snack yang masih bisa dibawa pulang.

"Ravel sama Mama dulu ya, tunggu Oma Yaya datang. Papa harus telepon Om Fran sebentar."

Pagi yang benar-benar teratur dan itu melegakan Lyre. Artinya Kagendra tidak mengada-ada tentang komitmen mereka sebagai orang tua yang baik.

***

"Kenapa, Ndra?" tanya Esa begitu mengikuti Kagendra ke ruang duduk. Adik iparnya itu beralih membuka komputer tablet dan menyodorkannya.

"Lyre bilang soal dia bikin laporan keuangan dan aku cek dari semalam. Sebulan yang lalu ada settlement dari beberapa investasinya dan berakhir ke rekeningmu."

"Ah, itu." Esa menerima komputer tablet dari Kagendra dan memeriksa rincian transaksi keuangan adiknya, memang rapi, runtut dan setelah mencermati, Esa menyadari ada kejanggalan. Jumlahnya tidak sesuai dengan yang Lyre kirimkan kepadanya. Di dalam laporan ini hanya tertulis beberapa ribu dollar. Akun rekening yang digunakan juga berbeda.

"Esh?" tanya Kagendra.

"Ya? Oh, iya." Esa berpikir cepat untuk beralasan, karena ada sesuatu yang sengaja disembunyikan adiknya. Ia harus memastikan lebih dulu. "Aku sharing ke Lyre soal bikin bengkel robotic ... dia bilang itu ide bagus, enggak lama kirim uang. Kamu mau aku balikin uangnya?"

"Nope, uangnya Lyre selalu uangnya Lyre ... terserah dia mau ngapain, cuma dia selalu nulis keterangan untuk setiap transaksi, bahkan remeh temeh kayak jajan Ravel, kasih bonus pegawai, belanja buah. Tapi transaksi ke rekeningmu sama sekali enggak ada keterangannya." Kagendra kemudian mengalihkan ke fitur chat. "Dari chat kalian juga enggak ada omongan uang, just so usual."

Esa memperhatikan itu dan menelan ludah. Antara salut dan mau tidak mau mengakui ketelitian Kagendra. "You're creep, Man ..." ujarnya santai, berlagak menjauhkan tubuh.

"I just want to know," ucap Kagendra.

"Ya, tapi sebegininya ngecek ... sumpah, aku jadi merasa kayak nyolong atau—"

"No, Esh! Seriously bukan begitu maksudku, sejak awal Lyre udah bilang bahwa penting baginya memastikan hidupmu di Tokyo terjamin. Aku mendukungnya untuk itu, you're potential to start new life, create something or maybe inventing." Kagendra menatap ke layar komputer tabletnya. "Aku cuma mau tahu aja, semisal Lyre merencanakan sesuatu ... kamu pasti aliansi pertamanya."

Esa menatap Kagendra dan bertanya, "Memangnya apa yang terjadi?"

"Ya?"

"Apa yang terjadi sampai Lyre mungkin merencanakan sesuatu dan menjadikanku aliansi pertamanya? You're her husband, you must be her first one alliance."

Sial! Batin Kagendra, segera menggeleng untuk beralasan. "Aku cuma bilang semisal, Esh ... bukan berarti ada yang terjadi. And I'm just checking."

"Untuk disebut sekadar checking, you're too serious," ungkap Esa lalu mengulas senyum untuk mencairkan suasana. "Kayak lagi audit, Ndra..."

"Enggak ada transaksi yang lebih meyakinkan selain transaksi keuangan. Laporan ini runtut, informatif, cuma ya karena kebiasaan detail Lyre jadi kayak aneh aja, enggak pernah nulis apa-apa setiap traksaksi ke rekeningmu." Kagendra meringis sedikit. "Sorry, tapi untuk dianggap ngasih uang bulanan juga enggak seteratur itu, jumlahnya pun beda-beda."

"Kalau menurutmu lebih baik aku balikin, aku bisa transfer ke—"

Kagendra menggeleng. "Don't do that. Aku beneran nanya aja, Esh ... kalau emang untuk kebutuhanmu, it's fine."

Esa mengembalikan komputer tablet di tangannya, memperhatikan Kagendra kembali fokus memeriksa dan dirinya semakin menyadari pasti ada sesuatu dalam pernikahan adiknya.

Sejak dua tahun yang lalu, Esa membuat akun rekening baru untuk mengembalikan uang Lyre. Adiknya mau menerima namun menitipkan semua uang itu padanya. Mereka berinvestasi dan setiap periode tertentu, Lyre mengirimkan sejumlah uang untuk dideposito. Ditambah simpanan mata uang asing dan dua emas batangan seberat lima ratus gram yang Lyre serahkan tahun lalu. Esa menyimpan banyak uang Lyre, jutaan dolar.

Lyre tidak menuliskan itu di laporannya dan Kagendra tidak terlihat mengetahui hal itu juga. Ini sangat aneh! Pikir Esa dalam diam.

***

"Gimana, Ndra? Udah tanya Esa?" tanya Waffa saat Kagendra menyusulnya ke ruang khusus untuk merokok. Ia segera mematikan rokoknya, membuang sisa batangnya ke tembat sampah.

"Udah, emang dia ada cerita mau bikin bengkel robotic ... dan bulan lalu Esa sempat nanya ke agen untuk cari properti yang sesuai."

"Gue enggak mau ikut curiga tapi rasanya tetep curiga."

Kagendra mengangguk dan duduk di samping Waffa. "Lyre tuh mau ganti furnitur, ada rencana perawatan kristal, marmer atau bahkan lampu nih, dia bikin semacam pengajuan gitu ... dikirim ke Fran, nanti gue ngecek, nyuruh orang ngurus."

"Iya, makanya! Lo lihat laporannya ke Desire juga kayak apaan, titik-koma enggak ada yang salah tempat." Waffa nenunjukkan contohnya melalui ponsel.

Kagendra memperhatikan dan menyipitkan mata. "Gue sebenarnya enggak mau curiga kalau soal uang ... dia emang enggak pernah boros, lumayan bisa mikir juga tentang investasi, pilihan depositonya cukup untung."

"Iya, tahu. Tapi kita sama-sama belajar ya, Ndra ... kontrol keuangan yang baik merupakan dasar—"

"Penguatan sumber-sumber kekayaan." Kagendra melanjutkan dengan raut pemahaman.

"Dan penguatan itu diperlukan sebelum manuver atau perubahan besar dilakukan ... indikasi bahwa Lyre enggak mungkin diam aja begitu tahu bakal cerai dari lo."

Kagendra bersedekap, sulit menebak langkah sang istri jika berdasarkan apa-apa yang diketahuinya. Lyre yang dulu semakin terasa penuh teka-teki. "Dia bukan gold digger, enggak minta pembagian harta bersama, enggak komplain nominal tunjangan, enggak pernah boros dan rapi bikin catatan keuangan ..."

"Terlalu rapi untuk disebut manipulasi," ucap Waffa, mengakui.

"Kecuali dia punya penghasilan diluar yang dia dapatkan dari gue atau pekerjaannya ..."

"Ada yang lo curigai?"

Kagendra menggeleng. "Enggak ada dan enggak ada rekening selain yang Lyre pakai selama ini. Enggak mungkin juga pakai nama Ravel, karena harus persetujuan gue."

"Lo harus cek brankas rumah."

"I will, minggu depan lo pastikan gue ada kesempatan ke Jakarta."

"Sure." Waffa mengangguk-angguk.

"Papi nyuruh lo apa soal gue?" tanya Kagendra.

"Memastikan lo dapat dukungan untuk mengamankan pernikahan sama Lyre ... Om Tio emang langsung ngamuk pas tahu lo mau ceraiin Lyre."

"Pastinya," ungkap Kagendra dan menghela napas panjang. "Baginya, Lyre emang terlalu brilian untuk gue lepas begitu saja."

"Apalagi lo ada statement ngasih hak asuhnya Ravel, gue ikut digoblokin Om Tio selama setengah jam." Waffa berdecak-decak tidak senang. "Apa rencana lo?"

Kagendra geleng kepala. "Masih gue atur ... dia mulai bisa mengingat dan gue harus bisa defense. Ditambah sebulan ke depan harus tinggal di kandang singa, enggak langsung kena terkam aja udah untung."

Waffa seketika tergelak. "Itu singa dijauhi sama anak sulungnya, sementara anak bungsunya udah sejak awal jadi milik lo ... tambah little dino yang selalu bisa bikin orang lain auto senyum. Lo bakal aman, Ndra."

Ucapan Waffa membuatnya berpikir dalam diam. "Fa, emangnya lelaki itu harus berbakti yang bagaimana di keluarga istri?"

"Kita enggak bakal temenan kalau gue lebih paham dari lo soal itu, Ndra," ungkap Waffa sambil geleng kepala, kesamaan mutlak antara dirinya dan Kagendra adalah hubungan perkawinan orang tua yang berantakan.

"Lo enak, Mama enggak ribet."

"Emang mau ngeribetin apa lagi? Semua udah gue kasih Desire." Waffa kemudian menyeringai. "Harta, tahta, rupa, isi celana sampai spermanya ... all in."

"Brengsek!" maki Kagendra sebelum tertawa ketika meninju tidak serius ke lengan sahabatnya.

"Lo bakal baik-baik aja, selama Lyre juga baik-baik aja sama lo."

"I know."

Waffa kemudian menoleh Kagendra. "Jangan lupa, bikinin alasan ke Mama buat gue sama Desire—"

"Minggu depan, dua hari satu malam, Awanagiri. Dede pasti tahu harus alasan gimana begitu lo ajak," sela Kagendra lalu mengeluarkan kunci kartu dari sakunya, berwarna keperakan dan digrafir khusus dengan logo yang khas keluarga Pradipandya.

"Nice!" balas Waffa saat menerima kunci kartu tersebut.

Kagendra memperingatkan serius, "Jangan kebablasan."

Waffa tertawa. "Lo sendiri, hati-hati kalau mau main ... Tante Yaya bilang rumahnya renovasi terus kamarnya Esa sebelahan sama kamar Lyre, kamar orang tua di bawah persis."

"What?" sebut Kagendra, menolak percaya. "Lo bercanda, 'kan?"

"Gue dengar Tante Yaya ngobrol sama Mama ..." Waffa mengagguk-angguk prihatin terhadap sahabatnya ini. "Apa perlu gue kirimin stok bokep sebelum mandi?"

Kagendra berusaha bersabar memperhatikan Waffa yang kini membuat gesture kocokan dengan satu genggaman tangan. "Bangsat!"

[ to be continued ]

🌃

Kagendra pinter, tapi Lyre lebih pinter lagi~

ya, kali, mau dicerai suami kaya-raya tanpa membawa apa-apa, fufufu no no no ... Lyre tuh full amunisi mengamankan masa depan Ravel dan yes, wajib jaga-jaga semisal geblek+labilnya KagenBi kumat.

.

Q: Nungguin Esa sadar keanehan email Lyre!
A: Udah mulai dispill di sini yay, pokoknya yang kagak mau ngintip side story KK tuh jangan khawatir, asal menyimak versi wattpad dengan baik pasti paham juga.

Q: Pengin buruan KagenBi vs Papa Mertua, wkwowko
A: Next chapter settingnya udah di Kanantya's house, hahaha doain lancar yay ngehalunya, kesempatan nulisnya juga tersedia.

Q: Lyre bisa beda banget gini ya?
A: Ya, itulah efek nyata suatu penolakan, apalagi dilakukan dengan kasar, ditambah hinaan atau tuduhan yang menyudutkan. Kagendra will learn how different his life, semisal dulu enggak langsung tantrum, semisal mau ngasih kesempatan hatinya untuk mengenali sebelum Lyre konsisten menutup hati, eceileh~

Begitulah cinta ya, KagenBi.
Deritanya tiada akhir, termasuk penyesalannya selalu di akhir ... awkwkwkwkk 🐷

.

Food inspiration Papanda Boy 🦕

.
.
.

scroll lagi

⤵️

.
.
.

challenge: pasangan siapa yang lebih effort nunjukin kangen setelah dua minggu ditinggal kerja.

Lyre, always chill~
meanwhile Kagendra; 😡

Continue Reading

You'll Also Like

4.7M 557K 34
Setiap orang pasti pernah melakukan satu kesalahan besar. Kesalahan yang membuatnya menyesal bahkan sampai bertahun-tahun kemudian. Bagi Gadis, kesal...
1M 48.2K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...
575K 1K 5
Kumpulan Cerita Pendek, penuh gairah yang akan menemani kalian semua. 🔥🔥🔥
1M 2.7K 6
Kisah Perselingkuhan penuh gairah, dari berbagai latar belakang Publish ulang di wattpad!