REPEATED

By shaanis

2.1M 190K 43.9K

[ Sebagian cerita ini sudah diunpublished ] REPEATED • re·peat·ed /rəˈpēdəd/ Butuh lima tahun untuk benar-be... More

Hello there ...
Kagendra & Lyre
1. | Oke!
2. | Transaksional
3. | Memulai proses perpisahan
4. | Have you ever
5. | Berhati-hati
6. | 'Teman' baru
7. | What if ...
8. | Toples Bintang & Harapan
9. | Camping: Day I
10. | Camping: Day II
11. | Camping: The last day
12. | Detik kehidupan berubah
13. | Berita baik dan buruk
14. | Keluarga Kanantya
15. | As a parents
16. | Tolong, maaf, terima kasih
17. | Perhatian & Penantian
18. | Waktu yang terhenti
19. | Istri yang tidak dikenali
20. | Mama ...
21. | Commit with me
22. | ♪ Namanya kesayangan
23. | Unconditionally
24. | Menjatuhkan hati
25. | In pain
26. | Scared me
27. | Precious memory
28. | Family setting
29. | Tapi bohong
31. | Indikasi, manipulasi
32. | Keterangan Pribadi
33. | Keluarga kecil sempurna
34. | Another baby?
35. | Ingatan membawa kegugupan
36. | Putra kedua keluarga Kanantya
37. | Penting, enggak penting
50. | Happy ending

30. | I promise to you

38.7K 4.5K 1K
By shaanis

Hallo, Dino-bestie 🦕
Aku datang menemani kalian,
dengan suasana sumuk, 26° yang terasa seperti 34°, joss~

.

2.855 kata untuk Bab ini
tenang, KagenBi bikin adem kok, lagi mode waras dese. Syukurlah, dua-tiga bab ke depan rencana ceritanya memang cukup cemara bagi keluarga inieh ... Ravel perlu kenangan maniezz yha khan~

okidoki, selamat membaca
semoga kalian suka
jangan lupa vote & komentarnya
tetap baik dengan semuanya

thank you so much
with love, 🐷

🌟


30. | I promise to you

"Opa! Katanya masih kangen Vel ya?" tanya Ravel begitu berjalan mendekat.

Arestio Pradipandya segera tersenyum lebar dan membentangkan tangan. Diantara semua kemalangan yang terjadi dalam hidup sang putra, terjaganya keselamatan dan kesehatan sang cucu adalah hal yang paling melegakan. "Memang kangen sama cucu Opa."

"Om Waffa, tolong," pinta Ravel sembari mengulurkan kedua tangan.

Waffa tersenyum, mendekat untuk mengangkat anak sahabatnya itu ke pangkuan Arestio. "Mama minta apa sama Papa, Vel?"

"Mau pipis," jawab Ravel dan perlahan tertawa. "Mama enggak malu, soalnya kalau Papa sakit juga mandinya dibantu Mama ..."

"Kalau Ravel, malu enggak dibantu pipis?" tanya Soraya dengan senyum tertahan.

"Biar enggak malu, Vel bolehnya dibantu sama 10 orang aja kalau mau pipis." Ravel duduk di pangkuan Opanya dan mengacungkan sepuluh jemari. "Mama, Papa, Sus Emy, Opa, Oma Kikin, Tante Dede, Om Esa, Om Waffa, Om Fran, sama Simbok."

"Eh! Simbok itu?" tanya Soraya sembari menatap Kinar.

"Pengasuhnya Kaka waktu kecil ... ketika Papanya Dede meninggal, saya agak kalut jadi tinggalnya sama saya. Kalau Ravel dititipkan kadang diurus juga sama Simbok."

"Sambil dibikinin apem ya, Oma Kikin."

Kinar, Arestio dan Desire seketika tertawa bersama. Esa juga menatap geli, ingat cerita adiknya, "Lyre pernah cerita jajanan pasar di etalase toko kue mana pun enggak doyan, tapi kalau kue apem bikinan Simbok, Kagendra sama Ravel minimal makan dua."

"Kalau pas Kaka yang bawa Ravel ke rumah, tuh kepala dua-duanya langsung noleh ke dapur ... barengan lagi ngomongnya; Simbok bikin apem ya? Kalau pas bikin dikit, beneran rebutan sama orang rumah," cerita Desire membuat Waffa tertawa.

"Emang enak, apalagi pas anget-anget, habis diangkat dari cetakan ... makan pakai teh atau tisane. Aduh, harus balik nih, Bby." Waffa mendecap-decap.

Soraya menatap penasaran. "Apem tepung beras biasa 'kan?"

Kinar mengangguk. "Iya, tapi kalau Simbok pakai essence vanila, terus sebelum mateng penuh dikasih irisan nangka sama daun pandan, wangi banget. Resep keluarga Hadisoewirjo."

"Kaka itu bertahun-tahun sekolah di luar negeri, pulang ke rumah yang diminta pertama kali apem sama teh anget buatan Simbok." Arestio meringis sembari mendekap cucunya. "Bahkan kalau Simbok lagi sibuk ngurus Dede, pulangnya ke rumah Kinar."

"Oh, memang dekat ya?" tanya Soraya.

"Mirip Lyre sama Mbok Yam, Ma ..." ujar Esa dan membuat ibunya mengangguk.

"Sebelum mengasuh Kaka, memang Simbok itu pelayan keluarga Hadisoewirjo. Kaka itu keseringan ganti Babysitter, ganti Sus, Nanny enggak ada yang betah. Terus Mas Danu bilang, coba kasih Simbok, kali ini biarkan melakukan pengasuhan mandiri ... kita jangan ikut campur." Kinar terkenang dengan senyum tertahan. "Simbok itu mengasuh Kaka dari awal masuk SD, pengasuh pertama yang ketika Kaka menolak makan, enggak dibujuk, enggak dikejar atau dipaksa. Justru sekalian enggak dikasih makan ... mulanya saya sama Mas Tio juga enggak senang, kok begitu ya pola asuhnya ... tapi efeknya malah Kaka sendiri yang akhirnya minta, mau makan ini, mau makan itu."

Desire mencubit lembut pipi Ravel untuk mengalihkan perhatian. "Vel, coba tiruin gimana kalau Simbok tegur Papa waktu ngambil kue apem jatahnya Tante Dede?"

"Mas Kaka itu, sama adiknya ya ngalah!" ulang Ravel dengan nada suara dan mimik muka yang membuat semua orang tertawa.

Soraya menatap cucunya dan perlahan memelankan tawa. "Itu sebabnya, ya? Ravel dikasih tahu Mama soal mengalah?"

"Soalnya udah gede, mainnya sama banyak teman ... di sekolah ada mainan yang dipakainya sama-sama, jadinya harus gantian." Ravel mengulang ucapan sang Mama dengan lancar. "Kalau enggak mengalah, nanti jadinya rebutan, terus ada yang nangis."

"Pantesan cucu opa dapat diamond star, pinter banget begini," puji Arestio dan mencium kening Ravel penuh sayang.

"Opa udah lihat?"

"Iya, Ravel udah minta hadiah sama Papa?"

"Udah!"

"Berarti tinggal Opa nih yang belum ... coba bilang Ravel mau hadiah apa?"

Ravel menggeleng dan langsung memeluk Arestio. "Vel mau sama Opa aja ..."

Esa tersenyum simpul dan sejenak teralihkan karena ibunya tampak berkaca-kaca. Orang tuanya memang kehilangan banyak momen bersama cucu pertama.

Esa mengulurkan tangan dan menepuk bahu sang ibu untuk mengalihkan. "Ma ... coba Lyre dicek."

"Oh iya! Sebentar ya." Soraya segera beranjak.

Kinar memeriksa jam tangannya. "Mas Tio juga harus dicek ... Esa, dr. William ikut kami ke sini, tapi apa boleh pinjam ruangan periksa? Atau kami harus kembali ke hotel?"

"William Andrews?" Esa memastikan.

"Ya," jawab Kinar.

Esa segera mengangguk dan merogoh ponselnya untuk menelepon. "Atiana pasti bisa membantu, tunggu sebentar."

"Zaferino boy ..." panggil Arestio lalu memberi tahu ketika Waffa mendekat. "Kamu saja yang menemani Om periksa."

"Papanda boy temani juga!" sahut Ravel semangat.

Waffa terkekeh, sekilas mengulurkan tangan untuk mengusap kepala Ravel. "Ini kesenengan ikut naik kursi rodanya aja ..."

"Iya! Ayo!" pinta Ravel.

Arestio terkekeh, menahan bobot cucunya yang ceria dan bersemangat. "Pradipandya boy, kalau mau pergi bilang apa?"

Ravel mengangkat tangan kanannya sebelum berseru, "Let's go!"

***


Kagendra langsung menoleh ketika mendengar suara pintu terbuka. Soraya mengulas senyum simpul, "Lyre baik-baik saja, Ndra? Tenang sama kamu?"

"Iya, Ma dan sebelum bicara sama keluarga yang lain. Aku harus bicara sebentar sama Lyre, berdua aja." Kagendra memberi tahu sekalian.

"Mama akan bilang Atiana dulu."

"Ma, it's fine ... aku memang perlu bicara sama Kagendra." Lyre menyahuti dari dalam kamar mandi.

Soraya mendengar nada yakin dalam sahutan putrinya. Ia mendekat ke pintu untuk kembali bertanya, "Kalau gitu Mama tinggal pulang, enggak apa-apa? Mama harus siapin maemnya Ravel, Mas Esa juga udah harus lepas prostetiknya."

"Aku mau Magelangan dong, Ma ... tambahin rawit sama acar timun."

Permintaan antusias membuat Kagendra penasaran. "Apa Magelangan?"

"Nasi goreng campur mie, Lyre suka tambahin cabai rawit sama acar timun." Soraya memperhatikan Kagendra yang masih terlihat bingung. "Kamu mau coba juga?"

"No, mie dan nasi itu double carbo." Kagendra harus mengatur pola makan untuk mendapatkan otot perutnya lagi. "Aku samain Ravel aja."

"Ravel dibikinin apa, Ma?" tanya Lyre dari dalam kamar mandi.

"Sop timlo."

Kagendra kembali tidak yakin dengan penyebutan menu makanan itu. "Itu nama makanan enak 'kan, Ma?"

Soraya menahan tawa. "Memangnya selama ini makanan dari Mama pernah enggak enak?"

"Enak semua, tapi makin ke sini makin aneh namanya."

"Bukan aneh, tapi Mama variasi biar enggak terlalu international taste ... hidangan nusantara itu banyak yang simple dan tetap lezat."

"Ma, ada daftar bahan alergi yang harus diperhatikan, ya?" Kagendra memastikan.

"Iya, aman. Mama tempel besar-besar itu di kulkas." Soraya kembali mendekat ke pintu. "Re, Mama tinggal sebentar yaa."

"Iya, Mama ... bawain jambu depan rumah juga kalau ada. Aku kepengin."

"Mbak Anas siang tadi bilang bikin asinan jambu, kamu mau?" tawar Soraya begitu ingat.

"Boleh-boleh," sahut Lyre dengan riang.

Kagendra jadi teringat saat Lyre hamil dulu, ketika istrinya itu pertama kali menginvasi dapur di rumahnya.

"Bukan jambu yang ini, bangkok putih, Mbak ..."

"Kata orang supermarketnya hanya ada ini, Non ... ini asli juga kok dari Bangkok, tuh di kotaknya ada huruf-huruf anehnya."

"Bukan, Mbak ... saya maunya jambu lokal, namanya bangkok putih dan daging buahnya juga putih cocok buat bikin asinan."

"Saya enggak paham, Non ... di supermarket tadi adanya ini aja."

"Yahh ... yaudah ini dijus aja."

"Ndra?" panggil Soraya karena menantunya terdiam.

"Iya, Mama hati-hati ..." ujar Kagendra dan menyalami singkat. Setelah Soraya berlalu, dirinya segera geleng-geleng kepala, sangat aneh karena mendadak teringat momen remeh itu.

"Mas, aku udah," kata Lyre.

Kagendra membuka pintu dan memperhatikan istrinya mengulurkan lengan kanan. Ia segera membungkuk, memastikannya berpegangan sebelum menggendongnya ke tempat tidur.

"Kamu emang selalu wangi banget, ya?" tanya Lyre, mengendus-endus ke tubuh suaminya.

"Kamu sensitif waktu hamil, dikit-dikit eneg cium sesuatu ... kamu sering banget lagi diomelin, lagi diajak omong, lagi ditegur, tiba-tiba muntah." Kagendra geleng kepala dan menurunkan istrinya di atas tempat tidur. "Baru pas kamu ganti sabun sama parfum yang ini, lebih enakan."

"Berarti sejak itu belum ganti?"

"Aku pakai apa-apa yang kamu siapkan, karena kamu enggak ganti, ya wanginya ini terus."

"Seger banget e—" Lyre terkesiap dan menyipitkan mata, samar ada ingatan muncul.

"Re, udah turun belum panasnya Ravel?"

"Udah mulai turun, syukurlah."

"Yakin kamu?"

"Yakin, Ravelnya juga makin anteng kok, enggak apa-apa ... metode kangguru ini efektif, Mas. Aku pernah baca penelitiannya."

"Enggak bisa gantian ayah yang gendongnya? Cuma bisa ibu aja?"

"Bisa, aku ajarin Mas Ndra kalau Ravel udah lebih pulas ya."

"Lyre?" panggil Kagendra, seketika cemas karena istrinya tiba-tiba terdiam.

Lyre mengerjapkan mata dan menatap suaminya. "Aku barusan banget ingat kita jagain Ravel yang demam, terus mau ngajarin kamu gendong metode kangguru."

Kagendra mengerjapkan mata, itu lompatan ingatan yang tidak biasa. "Beneran efektif itu, setiap alergi dinginnya mau kambuh terus aku gendong depan pakai jaket, seringnya aman."

Lyre tersenyum lebar. "We take care of him really well."

"We're solid dan memang biasanya kamu yang lebih tahu soal metode-metode gitu, cara ngebiasain Ravel disiplin, berani berinteraksi, mainan edukatif, bonding sampai quality time. Aku seringnya tinggal ngikutin." Kagendra menarik kursi tunggu lebih dekat ke arah ranjang dan duduk. "Mengenai kejadian tadi, dr. Tian bilang aku ... bahaya kalau setiap ada ingatan yang kurang baik terus efeknya kamu histeris. Aku bisa ngerti karena ini kali pertama menghadapinya. I'm still a stranger for you, kamu curiga sama aku, enggak yakin, atau susah percaya."

"Aku kaget dapat ingatan itu, kamu beneran bikin takut dan maksa—"

"Aku memang pernah keterlaluan sama kamu, terutama di awal pernikahan. I admit it." Kagendra mengakui secara singkat dan memberi alasan paling masuk akal terkait tindakannya dulu, "Punya anak secara tiba-tiba bukan hal yang aku harapkan and sure, selama penyesuaian hidup bersama ada aja hal yang bikin kita berantem. Sekadar saling bersikap dingin sampai berdebat serius atau nekat maksain prinsip, kita berdua sama-sama pernah melakukannya."

Lyre merasa perlu memastikan. "Kamu beneran sempat benci sama bayi dalam kandunganku dulu?"

"Bukan benci, it just really strange ... aku kayak geli dan takut juga. Sesuatu tentang bayi atau kehamilan bukan hal familiar di sekitarku dan di circle pertemananku, aku duluan yang berkeluarga dan punya anak." Kagendra mengakui dengan jujur. "Masa-masa hamilmu memang bukan hal mudah untuk dilalui, but we make it better begitu Ravel lahir ... kita berusaha menjadi orang tua yang baik. We're really commit about it."

Lyre perlahan mengangguk, mencerna semua itu dan meringis. "That night really unforgetable ... mungkin itu sebabnya sampai nyata juga dikasih buktinya."

"Dan effortku enggak lima menit."

Lyre seketika tertawa, kembali iseng bercanda. "Apakah kenyataan itu menyakitimu begitu rupa, Mr. Pradipandya?"

"Itu bukan kenyataan, aku juga enggak kesakitan." Kagendra menegaskan sebelum kembali fokus pada tujuannya mengajak Lyre bicara. "Intinya, Re ... aku enggak tahu, ingatan macam apa yang kedepannya bakal muncul, tetapi sebelum kamu bereaksi menjauh atau menghindar ... at least kasih kesempatan aku untuk menjelaskan."

"Gimana caranya aku tahu kalau penjelasan kamu benar?"

Kagendra terdiam selama tiga detik mendengar pertanyaan itu. "Ya, nyatanya kita bisa bertahan selama ini. Apa pun masalahnya ... kita sudah melaluinya. Makanya, percaya aku untuk—"

"Ravel adalah titik terlemahku dan sebelum ingatan buruk itu muncul ... kamu lebih dulu menakuti aku dengan menggunakannya." Lyre berusaha tenang menjabarkan apa yang dirasakannya. "Aku enggak seharusnya memilih, antara kamu dan Ravel ... dengan keluargaku."

"But you have to, karena penolakan Papamu sungguhan terhadapku dan kita memang enggak pernah terhubung lagi sama mereka ... baru sejak kejadian kamu kecelakaan ini aja, Re." Kagendra kemudian menoleh ke pintu dan menghela napas panjang. "Dan menyoal urusan keluarga, Papi sama Mama datang ke sini."

"Opa dan Oma Kikin-nya Ravel?" tanya Lyre untuk memastikan.

"Kamu ingat?"

Lyre geleng kepala. "Ravel tadi bilang."

Kagendra segera mengeluarkan ponsel, menunjukkan foto keluarga terbaru dan perlahan bercerita, "Ini Papi, Arestio Pradipandya ... aku enggak punya Mami dan sosok ibu yang kupunya hanya Mama, yang seharusnya kupanggil Tante Kinar."

Lyre mengenali seraut wajah cantik yang Kagendra tunjuk. "Mamanya Desire."

"Iya, kamu juga ikut panggil Mama ... Papanya Dede meninggal karena kecelakaan waktu sailing, itu sebabnya sampai sekarang kita belum Yatch-holiday lagi. Mama bahkan histeris waktu aku selancar, so—"

"Kamu mahir olah raga air?"

"Yeap! Aku selalu melibatkan hotel-hotel kita di banyak event olahraga skala nasional atau internasional. Ditambah aku punya bisnis persewaan yatch dan private island resort di Thailand."

Lyre begitu saja terkenang rencana di masa sekolahnya. "Aku suka liburan solo ... dan staycation di private island itu wishlistku."

Kagendra tahu tentang itu. "Kamu sudah memenuhinya ... kita pernah liburan di private island, private dessert, bahkan private visit di area Jurassic World Disneyland."

"Private visit? Maksudnya quick ticket yang enggak harus antri itu?"

"No! Satu area itu dikosongin sampai Ravel sama kita puas main, aku enggak suka kalau naik wahana ada orang lain."

Lyre memperhatikan raut wajah tenang Kagendra, seolah hal yang dikatakannya merupakan hal biasa atau lumrah. "I really curious right now ... jatah bulananku berapa, ya?"

"Enam bulan terakhir ini, aku jarang pulang tapi minimal dua kali main sebe—"

"Bukan jatah itu, dasar mesum!"

Kagendra tertawa, sengaja untuk memastikan reaksi malu-malu istrinya. "Berdasarkan perjanjian pra nikah, satu priority card, satu credit card dan lima kali lipat penghasilan kamu."

"Kenapa lima kali lipat penghasilan?"

"Biar enggak ada alasan untuk ambisius dalam pekerjaan." Kagendra kembali menunduk pada ponselnya. "Kamu kerja bareng Desire buat isi waktu aja karena Ravel udah sekolah."

"Kamu kelihatan muram," ungkap Lyre pelan. "Apa kamu tipe suami yang enggak suka istrinya kerja?"

"Aku dukung pekerjaan kamu, selama Ravel dan aku enggak merasa kurang terhadap kehadiranmu di rumah." Kagendra tahu bahwa Lyre yang dulu bisa memahami tanpa dirinya mengutarakan suatu alasan. Namun, Lyre yang sekarang seakan mendorongnya lebih terbuka, karena sorot mata perempuan di hadapannya ini masih menunjukkan binar kebingungan. "I have serious issue tentang suasana rumah yang kosong atau sepi. Aku marah kalau Ravel pulang sekolah dan kamu belum di rumah. Aku mau anakku ditemani Mamanya setiap ada keperluan atau event di sekolahnya."

Lyre memperhatikan raut wajah suaminya, yang sebelumnya muram dan kini menjadi sendu. "Apa ka—"

"Soal orang tuaku," sela Kagendra cepat dan menggeser foto di layar ponselnya. Foto Arestio, Kagendra, dan Ravel ... tiga generasi Pradipandya yang terpotret apik dengan dominasi nuansa aristokrat. "Papi sayang banget sama Ravel dan kamu adalah menantu yang selalu dapat pujian darinya ... sementara ..."

Lyre menunggu karena suaminya mendadak terdiam. "Sementara?"

"Papi selalu keras sama aku ... ada kalanya aku memang mengacaukan sesuatu, entah dalam pekerjaan, atau pilihan sikap ketika kita ada di acara yang sama. Di beberapa momentum terburuk, kamulah yang bisa memperbaikinya."

Lyre mengerjapkan mata. "Apa yang terjadi kali ini?"

"Aku sudah memutuskan tinggal di Yogyakarta lebih lama demi kepastian kondisimu, tetapi Papi ingin lebih dari itu ... menurutnya lebih bagus jika kita tinggal bersama keluargamu."

Sesungguhnya Lyre amat lega mendengar itu, satu sisi dirinya tidak bisa mengabaikan raut gelisah Kagendra saat ini. "Kamu enggak mau melakukannya? Tinggal bersama keluargaku?"

Kagendra menggeleng. "Aku bisa cari rumah yang proper untuk kita, Re ... aku juga enggak masalah kalau Mama dan Esa mau datang, ikut nginep. Tapi kalau sepenuhnya tinggal bersama keluargamu, itu terasa sulit."

"Hubungan kamu sama Papa buruk banget?"

"Aku dianggap sebagai pecundang dan dinilai minus sebanyak-banyaknya."

Lyre sadar bahwa ayahnya memang sosok yang sulit dan kaku. Sejak masalah besar yang Esa alami, sikap kaku sang ayah semakin menjadi, ambisinya pun beralih menjadi beban yang semakin membuat Lyre tersiksa. "It wasn't easy for me too ... menghadapi Papa. Adakalanya, muncul kemarahan ingat yang lalu-lalu, tetapi selain itu, ada rasa rindu yang sulit kujelaskan."

"Lyre ..." ucap Kagendra.

Lyre mengulurkan tangan kanannya. Ini harus jadi kesempatan untuknya juga. "Please, hold my hand."

Kagendra melakukannya, menggenggam tangan Lyre. "Re, aku tahu kamu udah lama enggak ketemu, merasa kangen tetapi untuk—"

"Trust me! Jika aku memang bisa memperbaiki momentum terburuk dengan Papimu ... aku juga akan mencoba memperbaikinya dengan Papaku," ucap Lyre, menyela suaminya dan mengangkat genggaman tangan mereka. "We face this situation together, Mas Ndra."

Mas Ndra ...
Kagendra sejenak memejamkan matanya. Situasi ini sungguh berbeda, Lyre yang dulu pasti akan mengikuti keputusannya. Lyre yang dulu selalu memahami pilihannya.

"Aku juga bukan anak yang baik di mata Papa, Mas ... bahkan di mata Mama juga mungkin begitu. Ada hal-hal yang masih aku takutkan tentang mereka, tetapi kalau terus pergi dan menghindarinya ... this painful circle not gonna end."

Kagendra menatap sepasang mata istrinya yang berkaca-kaca. "Re ..."

"Kalau pada akhirnya bagi Papa tetap sesulit itu merestui, at least kita pernah mencoba ..." Lyre mengeratkan genggaman tangan mereka dan balas memandang suaminya lekat. "I'm still trying to understand my feeling towards you ... but I'm not gonna leave you alone. So—"

Kalimat Lyre tidak terselesaikan karena Kagendra sudah lebih dulu memeluknya, tidak terlalu erat atau rapat, namun Lyre bisa merasakan betapa hangat tubuh suaminya ini.

Lyre mengangkat tangan kanannya yang terlepas karena pelukan ini, meletakkannya ke punggung Kagendra dan mengelus lembut. "So, forgive me okay? Karena tadi siang bersikap ka—"

"It's not your fault ..." sela Kagendra lalu perlahan mengurai pelukannya, berusaha tidak menangis kala meminta, "Just promise me, whatever happened to us ... you're not gonna leave me alone."

"Happy father's day, K ... "

"Re ..."

Lyre memandang suaminya, pada sepasang mata gelap yang tampak khawatir. Ia mengingat sepasang mata itu menyipit karena tergelak dalam tawa, menggendong bayi Ravel yang kesenangan hingga kakinya menendangi heboh. Lyre ingat pagi itu, ketika dirinya mengangkat kamera dan membuat potret diam-diam.

"Happy father's day, K ... thank you for all the warmest hug and laugh you gift to my son."

"Lyre ..." panggil Kagendra dan mencoba beralih, meski lengannya seketika ditahan.

"I promise," sahut Lyre dan begitu suaminya kembali memperhatikannya segera memperjelas, "I promise to you, Kagendra."

Kagendra kembali tenang, menggenggam tangan kanan sang istri dan meralat, "Panggilnya, Mas Ndra, Re ..."

"Mas Ndra," ulang Lyre kemudian perlahan memundurkan kepala sewaktu wajah suaminya mendekat.

"Re ..." protes Kagendra.

"Mas Ndra mau apa?" tanya Lyre, menahan sudut-sudut bibirnya agar tidak terangkat. Kagendra terlihat lucu saat memprotesnya.

"Kamu tadi yang bilang to kiss you when—"

"Itu 'kan aku bercanda," sela Lyre.

Kagendra mengalihkan tangannya, memegangi tengkuk sang istri dan kembali mendekatkan wajah. "Kamu bercanda ... tapi aku serius."

Lyre tersenyum mendengarnya. Ia perlahan memejamkan mata, menikmati rasa manis perdamaian antara dirinya dan Kagendra.

[ to be continued ]

🌃

I promise you
this story will end with happiness for both main character 👌🏻

.

Q: Aku mencoba tidak oleng, tapi pas baca ulang justru makin terasa wounded-nya Kagenda. Sial!
A: Enggak semua orang itu mampu untuk tumbuh sekaligus sembuh bersama pasangannya, dan ya begitulah, KagenBi butuh lebih dari keberadaan / kasih sayangnya Lyre.

Q: Kak jangan nanya cwk atau cwk mulu, sama aja gajelas ini nasib adeknya Ravel 😭
A: Ya, gimana? Hubungan Papa-Mama Ravel juga enggak jelas begini :(

Q: Seru ada konten spoiler gitu kak.
A: nih ada lagi~

selamat berjuang KagenBi, pffttt
padahal sekamar juga dia yang repot sendiri. Nanneun going solo lo lo~

Continue Reading

You'll Also Like

232K 41.9K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
440K 40.5K 99
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
26.9K 3.4K 6
Bersahabat dan masih sama-sama sendiri hingga usia nyaris menyentuh kepala tiga, membuat orang tua Gaven dan Adel gemas sampai akhirnya mereka memutu...
75.1K 12.6K 35
Pengumuman mengejutkan di hari ulang tahun ayahnya membuat Jesslyn cukup tertarik. Selain keuntungan besar yang akan didapatnya, Jesslyn juga akan be...