REPEATED

By shaanis

2.1M 190K 43.9K

[ Sebagian cerita ini sudah diunpublished ] REPEATED • re·peat·ed /rəˈpēdəd/ Butuh lima tahun untuk benar-be... More

Hello there ...
Kagendra & Lyre
1. | Oke!
2. | Transaksional
3. | Memulai proses perpisahan
4. | Have you ever
5. | Berhati-hati
6. | 'Teman' baru
7. | What if ...
8. | Toples Bintang & Harapan
9. | Camping: Day I
10. | Camping: Day II
11. | Camping: The last day
12. | Detik kehidupan berubah
13. | Berita baik dan buruk
14. | Keluarga Kanantya
15. | As a parents
16. | Tolong, maaf, terima kasih
17. | Perhatian & Penantian
18. | Waktu yang terhenti
19. | Istri yang tidak dikenali
20. | Mama ...
21. | Commit with me
22. | ♪ Namanya kesayangan
23. | Unconditionally
24. | Menjatuhkan hati
26. | Scared me
27. | Precious memory
28. | Family setting
29. | Tapi bohong
30. | I promise to you
31. | Indikasi, manipulasi
32. | Keterangan Pribadi
33. | Keluarga kecil sempurna
34. | Another baby?
35. | Ingatan membawa kegugupan
36. | Putra kedua keluarga Kanantya
37. | Penting, enggak penting
50. | Happy ending

25. | In pain

38K 5K 1.2K
By shaanis

Aloha
Kamis maniess bersama KagenBi yang pait,
wakakaka so ironic

Finally 25 Bab
udah setengah bagian cerita tertuliskan. Kalian masih semangat? Atau justru males karena KagenBi denial melulu, fufufu

sabar ya Bestie~

.

3.923 kata
enggak tahu, makin ke sini makin susah dipotong / displit babnya -_-"

.

happy reading
hope you like it
just be happy
always choose kind

and

thank you.

🌟

25. | In pain


Sangatta Lukesh Abbiyu Kanantya membuka matanya, mengerjapkan beberapa kali hingga cukup sadar tengah berada di kamarnya. Ia pulang, kembali ke rumah yang delapan tahun lalu ditinggalkannya. Lyre, adiknya terluka akibat kecelakaan, itu sebabnya dia harus segera bangun dan memastikan keadaan.

"Kamu sudah bangun?"

Suara lembut itu membuat Esa menoleh ke pintu kamar mandi. Ibunya menua, dengan helai-helai kelabu yang semakin ketara pada rambutnya. Namun, selain itu, paras dan postur tubuhnya terlihat sama.

"Papa enggak kasih izin Mama ngecat rambut?" tanya Esa.

Soraya meringis. "Mama yang sengaja enggak cat. Mama udah accepting sama uban-uban ini."

"Accepting," ulang Esa dan menunggu sang ibu mendekat, duduk di pinggiran ranjangnya untuk memeluk.

Hanya keheningan yang membentang selama sekitar setengah menit. Esa tahu bahwa ibunya memang selalu berhati-hati terhadapnya. Ibunya selalu tahu bagaimana cara menjaga sisi emosionalnya yang sensitif.

"Terima kasih, Ma ... kamarku terasa nyaman," ungkap Esa, menyadari banyak perubahan yang dilakukan.

Soraya mengangguk. "Sekalian renovasinya, tahun lalu sempat gempa cukup besar sampai dinding belakang retak parah. Papa khawatir."

"Mama sehat, Ma?"

"Salah satu untungnya bersuamikan Papamu, kesehatan Mama terjamin ... bahkan terkadang Mama sudah merasa sembuh sebelum sadar sedang sakit."

Esa terkekeh. "Contoh majas hiperbola yang bagus, Ibu Yaya."

Soraya memang sengaja berkelakar, demi melihat senyum putranya. "Kamu sendiri sehat?"

"Masih cacat, tapi sehat."

"Esa ..."

Esa tertawa, menggerakkan setengah lengan kanannya yang buntung karena amputasi. "Come on, Ma, ini juga bentuk accepting."

"Ya, tapi ..."

"I'm fine ... jadi orang cacat itu dapat banyak keuntungan, aku selalu masuk daftar prioritas tempat duduk. Kalau naik pesawat juga, pramugarinya selalu memastikanku nyaman. Petugas bandara juga sigap mendampingiku sampai selesai proses imigrasi. Satpam juga, langsung membantuku bawa barang, enggak jarang menahan pintu lift untukku."

Soraya mengangguk dan memandang ke tas khusus di ujung ranjang anaknya. "Prostetik kamu terlihat canggih."

"Yap, itu tipe baru, robotic dengan deteksi sensor gerak yang lebih sempurna ... bisa buat nyubit." Esa mengedipkan mata. "Buat nyabut uban Mama juga bisa kayaknya."

Soraya tertawa. "Wow, Mama terkesan, ada cabut uban secanggih itu."

"Let's try after take a bath. Bauku bisa bikin Lyre jerit-jerit dan Ravel bakal gumoh."

"Soal itu, besok pagi saja jenguknya."

"Besok pagi?" Esa memperhatikan jam di nakasnya. "Hah, aku tidur sampai jam tujuh malam?"

"Iya, Mama sempat khawatir kamu enggak bangun-bangun." Soraya mengelus pipi anaknya. "Mama udah siapkan handuk di kamar mandi, pakai air hangat aja biar enakan badannya. Mama siapkan makan malam di bawah."

Esa menatap ragu. "Ng ... Papa?"

"Ke Surabaya, masih besok pagi pulangnya. Itu juga langsung ke rumah sakit."

Esa mengangguk lega, dia belum mau berhadapan dengan sang ayah. "Mama bikin makan malam apa?"

"Sop ayam, pakai perkedel jagung."

"Gimme ten minutes!" sebut Esa yang bergegas ke kamar mandi.

Soraya tertawa, menyebut peringatan yang kerap diucapkannya ketika anak-anaknya belajar mandiri. "Kalau belakang telinga masih ada busa sabunnya, Mama suruh mandi lagi."

Esa begitu saja tergelak. "Not gonna happen," katanya lalu menutup pintu kamar mandi.

Soraya beralih merapikan bantal dan selimut, setelah itu menyiapkan pakaian ganti. Ia akan berlalu pergi tatkala memperhatikan foto Esa kecil mendekap Lyre yang masih bayi.

Soraya mendekati foto tersebut, mengelus permukaan kacanya yang jernih. "Welcome home ..."

***

"Oma Yaya, terima kasih makan malamnya ... Vel sudah habiskan semuanya, ini bersih semua mangkuknya."

Soraya tersenyum tatkala Ravel menunjukkan mangkuk yang kosong. "Enak?"

"Iya, Vel suka jagung gorengnya ... terus ini pudingnya apa? Bukan coklat, ya?"

"Bukan, itu dari sari kurma."

"Kurma?"

Terdengar Desire memberi penjelasan tentang buah kurma dan Ravel menyimaknya dengan baik.

"Enggak doyan ya, De?" tanya Soraya.

"Doyan, Tante, cuma bingung soalnya belum pernah ... terima kasih banyak, sampai Pak Samad repot antar ke hotel."

Soraya mengangguk. "Orang dekat juga sama rumah sakit. Habis ini mau main apa?"

"Belajar, Oma Yaya ... soalnya tadi bobok sama Mama, terus main sama Tante Dede. Jadi, sekarang belajarnya, mau nyanyi ..."

Desire coba memancing. "The wheels on the bus go ..."

"Round and round! Round and round!" sahut Ravel sembari beralih berdiri dan membentuk bulatan dengan tangannya.

Soraya tertawa. "Ya sudah, semangat belajarnya, besok ketemu di rumah sakit ya?"

"Iya, Vel bilang selamat malam dulu," pinta Desire.

Ravel mendekat lagi, melambaikan tangan. "Selamat malam, Oma Yaya."

"Iya, malam Ravel." Soraya mengakhiri sambungan video call dan memeriksa chat masuk

KAGENDRA
Lyre tanya, besok Mama
ke RS jam berapa?

Soraya tersenyum karena bersamaan dengan chat itu, Kagendra melampirkan foto ransum makan malam Lyre yang bersih.

Soraya B.
Mama tanya Esa dulu ya

KAGENDRA
Lyre bilang kalau bisa
sebelum jam 7 ... dia enggak
mau saya bantu lap badan.

Soraya B.
Kamu yg sabar ya, Ndra.

KAGENDRA
Iya, Ma.


"Ruang makan kecil di sebelah sini lho, Mas Esa," ucap Anas, salah satu pengurus rumahnya.

Soraya segera meletakkan ponsel, berdiri memperhatikan anaknya masuk ke ruang makan, "Bingung ya?"

"Iya, kolam renangnya ditutup permanen, Ma?"

"Enggak, minggu lalu baru selesai renovasi juga ... terus belum sempat Mama hubungi agen buat isi airnya."

"Keadaan Lyre gimana, Ma? Katanya baru aja sadar?"

"Udah dari kemarin, memang ada masalah ... jadi baru tadi bisa dikatakan sadar penuh."

Esa segera duduk, harus tenang dan menyimak dengan benar. "Maksudnya masalah? Cederanya parah?"

"Lyre kehilangan ingatannya dalam lima tahun terakhir."

"What?" cetus Esa sampai sejenak kesulitan bereaksi.

"Sejak awal Atiana udah bilang risiko ini ... posisi retakan, volume pendarahan dan pembengkakan otaknya memang buruk."

"Atiana dokternya?" tanya Esa dan merogoh ponsel, meletakkan di meja lalu mencari-cari di daftar kontaknya.

Soraya mendengar putranya bertelepon, bertanya-tanya dengan serius, memastikan keadaan terbaru Lyre.

"Dia beneran enggak ingat apa-apa selama lima tahun terakhir, Esh! Awal lihat Kagendra aja dikira dia suami orang lain."

"Serius, Na?"

"Serius ... tapi aku yakin ini enggak permanen." Atiana berujar dengan lebih meyakinkan. "Bingung dan cemasnya Lyre segera terkontrol. Per hari ini udah ada beberapa kemajuan, aku memastikan saraf anggota geraknya aman. Enggak ada gejala gegar otak lanjutan, besok aku yakin udah bisa napas tanpa alat bantu."

"Can I see her latest CT-Scan? Can you sent-"

"Sorry, kalau kamu mau lihat minta ke Om Luki aja. Karena kalau aku, Kagendra udah peringatin soal ini, dia bilang kalau rekam medis Lyre bocor, dia bakal mengajukan tuntutan. He's so selective, Mamanya Desire aja enggak dikasih akses lihat."

"He's so possesive you mean?"

Atiana terkekeh. "Dia enggak mau ada perawat lelaki, cleaning service juga harus perempuan. Kami harus clean gadget, dan sejak hari pertama dipindah, perwakilan pengacara keluarganya udah langsung ngasih tahu beberapa poin privasi untuk diperhatikan."

Esa menatap ibunya. "Serius tuh, Ma?"

Soraya mengangguk. "Iya, Ravel sering main di luar, perawat diperingati untuk enggak ambil fotonya. Sebelum Papa turun tangan, Kagendra sempat ada permintaan untuk bodyguard segala ... untungnya enggak perlu begitu."

"Ampun deh! Ya sudah, Na, thanks ya."

"Yup, and anyway ... welcome back," ucap Atiana sebelum mengakhiri sambungan telepon.

Esa memasukkan ponselnya ke saku. "Lyre masuk rumah sakit dengan status pasien keluarga Papa, 'kan?"

"Awalnya begitu, tetapi paginya Kagendra menelepon petugas asuransi dan setelahnya sudah beralih ke status pasien umum, enggak mau pakai family discount juga. Papa enggak mau ambil pusing jadi membiarkan." Soraya mengambilkan nasi ke piring anaknya, setelah itu menuang sop ayam ke mangkuk terpisah. "Kagendra juga karakternya stay in private."

"Dia enggak luka sama sekali, Ma?"

"Enggak, menurut keterangan polisi, Lyre jelas sengaja kasih Ravel ke Kagendra ... karenanya petugas penyelamatan juga beralih prioritas mengeluarkan Kagendra dan Ravel." Soraya amat terkejut sewaktu melihat video amatir yang terekam. "Papa tadinya marah banget, kok bisa Kagendra enggak luka tapi Lyre separah itu."

"Mereka gimana, Ma? Pak Samad bilang, anyep, enggak tegur sapa."

"Iya, saling diam."

"Terus kalau Papa sama Ravel?"

Senyum Soraya terkembang. "Kalau sama Ravel mau interaksi, tapi ya diam-diam ketika enggak sama Kagendra."

"Lha? Kenapa?"

"Papa gengsi kalau ketahuan jatuh hati sama Ravel, itu anak pinter banget," sebut Soraya, diam-diam senang menyadari sikap sang suami yang semakin lembut pada Ravel.

Esa memandang senyum lebar sang ibu. "Sayangnya enggak mirip Lyre ya, Ma?"

"Oh, itu Lyre juga protes aja, kenapa anaknya mirip banget sama Kagendra."

Esa mengambil gelas yang baru diisi air oleh sang ibu. Ia meminum beberapa teguk. "Lyre pasti beneran amnesia."

"Maksudnya?"

"Karena Lyre yang aku tahu, justru lega anaknya mirip Kagendra ..."

Soraya mengerjapkan mata, kembali ke tempat duduknya dan bertanya. "Kagendra cerita kalian sempat liburan bareng, ya?"

"Iya, hampir tiap tahun. Dia punya hotel di Ginza terus setiap musim tangkapan ikan terbaik, bikin reservasi untuk makan nigiri sushi. Chef pribadinya terkenal banget."

"Makan nigiri sushi sampai ke Ginza?"

"Karena enggak cocok kalau sama buatan sini, udah coba ke restoran termahal di Jakarta tetap amis. Ravel juga gumoh, dua-duanya cuma bisa makan nigiri sushi buatan chef itu."

"Astaga."

"Mereka berdua kalau makan, ribetnya ampun ... Lyre sampai bolak-balik memastikan kalau menu seafood, reaksi alerginya cepet banget, langsung panas, gatel merah sebadan."

Soraya mengangguk. "Mama bikinin makannya Ravel ... ada daftarnya dari Kagendra, panduan snackingnya juga. Mama coba sekali pakai sayuran non organik, dilepeh sama Ravel, dia bilang pahit-pahit."

Esa tertawa. "Aku pernah beliin es krim, enggak murah padahal ... malamnya panas tinggi, rewel dan batuk. Ternyata bisanya es krim homemade yang blender sendiri bekuan smoothies gitu."

"Desire bilang Lyre memang bisa masak, bikin snack gitu-gitu."

"Lyre dari tahun ke tahun makin keibuan, makin kalem dan tenang." Esa geleng-geleng kepala setiap kali punya kesempatan menghabiskan waktu bersama sang adik.

"Kagendra baik juga sama kamu?"

Esa mengunyah suapan makanan pertamanya. "Baik yang jaga jarak dan seperlunya ... Om Tio juga begitu, tapi beliau lebih royal. Aku sering dikirim wagashi, kadang yubari-king, pernah juga hampers tahun baru ada ceknya sepuluh juta yen."

Soraya terkesiap. "Satu Milyar?"

"Aku balikin, Ma ... udah cukup dibantu koneksi sama bionic, aku jadi beta tester untuk produk prostetik arm mereka."

"Pak Arestio juga baru pemulihan pasca kena stroke."

"Pemulihan?" Esa mengerjapkan mata. "Emang udah sadar? Terakhir Lyre ngabarin masih koma."

"Udah, hampir dua minggu ini pemulihan ... kata Bu Kinar tadi, kejadiannya pas banget Lyre kecelakaan, Pak Tio mulai sadar. Udah bisa pindah kursi roda, besok atau lusa juga mau ke sini."

"Syukurlah, besok pagi aku akan telepon."

Soraya mengangguk dan setelah berpikir matang, akhirnya memberi tahu sang putra. "Esa, Mama tahu kamu enggak berencana tinggal permanen di sini ... tapi boleh Mama minta tolong?"

Esa meletakkan sendoknya. "Minta tolong apa, Ma?"

"Bu Kinar bilang mau memberi kesempatan untuk Lyre tinggal lebih lama di sini, tetapi Kagendra sulit untuk ditahan ... dengan Papa juga belum bisa disebut ada kemajuan. Jadi, kalau kamu mau tinggal juga, situasinya pasti akan lebih mudah."

"Papa juga harus berusaha menahan diri, Ma ..." Esa berusaha netral dalam perseteruan Kagendra dan ayahnya. Baginya lebih penting mengutamakan perasaan Lyre.

Soraya mengangguk. "Mama akan bicara dan bujuk Papa, karena itu kalau Esa mau bantu pasti ..."

Esa segera beralih dari duduknya, mendekati sang ibu yang tercekat dan mulai meneteskan air mata. "Mama ... shh ..."

"Maaf, seharusnya Mama enggak menggunakan air mata ... tapi, Mama juga kangen sekali sama kalian berdua," isak Soraya dan begitu saja tersedu-sedu.

"Iya, Ma ... Mama tenang ya." Esa segera memeluk, mengelus-elus bahu ibunya yang bergetar. Memang sudah terlalu lama dirinya dan Lyre pergi dari rumah ini. "Aku akan tinggal selama yang dibutuhkan ..."

***

"Kamu udah telepon, Mama?" tanya Lyre, dirinya sudah hampir tidak tahan.

Kagendra menghela napas, pagi hari yang tenang jadi memusingkan. "Ini masih setengah enam, Lyre ..."

"I wanna pee!"

"Aku bisa bantu pakai pispot."

"Kamu di ingatanku sekarang masih orang asing, belum bisa bantuin aku berkemih." Lyre mengendik ke kamar mandi. "Take me to the bathroom, please."

Kagendra tidak habis pikir, mengambil tabung infus yang terhubung dengan slang di tangan kiri istrinya. "Kamu nyusahin tahu."

"Sstt ..." Lyre menggeser tubuh dan mengulurkan tangan kanan, merangkulkannya ke belakang leher Kagendra sementara suaminya itu menyelipkan lengan.

Dengan satu gerakan mantap, Lyre terangkat dalam dekapan meyakinkan. Kagendra terkesiap merasai bobot yang tertahan dua lengannya, istrinya jelas kehilangan banyak berat badan.

"Buruan! Aku kebelet banget!"

"Iya!" kata Kagendra lalu membawanya ke kamar mandi, mendudukan ke kloset.

"Get out."

"Ini infusnya harus digantung lagi di-"

"Keluarrrrr ..." teriak Lyre.

"Stop yelling!" balas Kagendra, segera keluar dan menutup pintu kamar mandi. Berdiri menunggu dalam diam.

"There's something wrong," sebut Lyre tidak lama kemudian.

Kagendra menyentuh handel pintu. "Kenapa?"

"Jangan masuk!"

Kagendra seketika menahan pintu. "Kamu jangan bikin aku stress ya!"

"Tunggu di situ!" ucap Lyre tegas, menyelesaikan proses buang air, membersihkan diri dan merapikan gaun perawatannya.

Lyre menekan flush, menyabuni tangan kanan dan memastikan tidak ada bau-bau yang tertinggal, baru memanggil. "Okay, masuk."

Kagendra membuka pintu. "Kenapa tadi?"

"Ituku mulus banget."

"Ituku?" Kagendra membeo dengan tidak yakin.

Lyre menunduk ke selangkangannya yang sudah kembali tertutup bagian gaun. "My Vajay."

"Really? Kamu enggak mau dibantu pakai pispot tapi nanyain soal-"

"Is this your fetish?"

Kagendra geleng kepala. "I don't mind about pubic hair things. Ada atau enggak ada, enggak ada bedanya bagiku."

"This is so weird."

Kagendra kembali membopong Lyre, berjalan ke tempat tidur sambil mengingat-ingat. "Emang baru bulan lalu kamu perawatan itu, agak lama biasanya baru ada lagi."

"Aku perawatan? Bagian itu?"

"Kamu perawatan dari ujung rambut sampai ujung kaki."

Lyre bergidig. "Hell no!"

"Hell yeah ... kamu sama Dede bahkan sering perawatan rambut atau spa bareng. I like clean and smooth skin."

"You like barbie."

Kagendra menyeringai kecil. "I prefer Sexy Mama than a barbie."

"Dasar mesum!" tuduh Lyre dan segera bergeser menjauh begitu Kagendra mengembalikannya ke tempat tidur.

"So childish," balas Kagendra, mengembalikan infus ke tempat semula dan duduk di kursi tunggu.

"Kamu bisa tidur lagi kalau mau."

Kagendra menggeleng. "Enggak bisa, ritmeku udah kacau selama di sini ... aku harus kembali konsisten as a morning person."

"Aku padahal bukan morning person." Lyre menguap kecil dan kembali bersandar.

"Terutama waktu hamil, jam sebelas baru keluar kamar ... dan jam dua pagi masih ngemil." Kagendra menggeleng dan menunjukkan raut geli karena terkenang.

Lyre seketika penasaran, "Kamu ada foto-foto hamilku?"

Kagendra langsung kehilangan raut gelinya, berganti ekspresi serius dan kembali kaku. "Foto-foto waktu menikah kelihatan hamilnya."

"Ah iya, kita menikahnya kapan?"

"Waktu kehamilanmu jalan dua puluh lima minggu."

"What?" Lyre langsung mendelik kaget. "Perutku udah gede banget dong."

"Belum terlalu, tapi udah kelihatan hamil." Kagendra kemudian menyodorkan ponselnya, menunjukkan beberapa foto pernikahan yang terlihat cukup mesra.

Lyre mengerjapkan mata, memperhatikan senyumnya yang tampak datar. "Kenapa kita kayak terpaksa begini? Muka-muka orang stress."

"Emang masih syok juga."

Ada foto Lyre sendiri, dengan bathrobe berenda yang cantik, perut bulatnya terlihat dan ia tersenyum lembut. Ia mendadak menyentuh perutnya sendiri, "Ada foto-foto maternity yang kita berdua?"

Kagendra sebisa mungkin tidak gugup, berujar santai. "Enggak, dulu kita enggak sempat ngapa-ngapain ... walau ada beberapa dokumentasi pribadi."

Lyre menyipitkan mata. "Dokumentasi pribadi?"

"Kamu belum siap nontonnya, too explicit."

"I'm adult enough to see explicit things."

Kagendra mengangguk. "Yah, fine."

Lyre membiarkan Kagendra duduk di sampingnya, mengulirkan jari ke folder penyimpanan tersembunyi. Lelaki itu menginput kredensial log in, menyapukan jemari untuk membuka lapis pengamanan berikutnya.

Lyre melongo saat melihat puluhan thumbnail foto semi telanjangnya bersama Kagendra. Pipinya merona melihat beberapa foto berpelukan sekaligus ciuman mesra. "Insane ... yang bisa utuh sebadan-badan gini gimana ambilnya?"

"Kamu punya tripod, kamu suka foto."

"Aku emang suka foto. Tapi ini, astaga, ngapain sih? Ada video-video segala." Lyre merasa dirinya tidak waras.

Kagendra menahan tawa dan jujur bercerita, "Awal mulanya aku cuma bercandain kamu, kalau kangen main film, bisa main sama aku di kamar. Kamu emang enggak bisa ditantang dan kita mulai bikin. Lihat durasinya enggak ada yang lima menit!"

"So stupid!" sebut Lyre, enggan menjelajah lebih jauh dan menekan sudut layar. "Kok enggak ada untuk delete?"

"Enak aja mau delete." Kagendra menggeser layar dan menemukan salah satu foto yang sejak beberapa tahun lalu kerap dipandanginya. "This one, my favorite."

Itu bukan foto yang vulgar atau tidak layak tonton. Justru foto yang tampak damai, Lyre terlelap miring ke arah tubuh setengah telanjang Kagendra, perut bulatnya menempeli perut bertekstur maskulin lelaki itu.

"Ini baru otot perut yang ada dalam ingatanku, so damn hot," sebut Lyre dengan kedipan sebelah mata.

Kagendra mengangguk-angguk paham. "Itu pasti alasannya, kenapa kamu suka banget kalau tidur miring begini, nempel-nempel."

"Ini kamu di sebelah kiri juga."

"Maksudnya?"

"Aku miring ke kiri karena itu posisi tidur yang aman. Posisi tidur miring ke kiri itu melancarkan aliran darah menuju plasenta sehingga bayinya tetap mendapatkan asupan nutrisi yang cukup." Lyre menatap Kagendra dengan penasaran. "Waktu dalam kandungan, Ravel bayi yang bagaimana?"

"Oh, aku ada video kelakuan Ravel waktu masih di perutmu." Kagendra menggeser foto, ada potongan video selama setengah menit yang menunjukkan perut Lyre bergelombang, menonjol di sana-sini.

Napas Lyre seperti tercuri sesaat, takjub dengan video tersebut. "Astaga ... he's so active."

Kagendra dulu merekamnya bukan karena suka atau takjub, justru karena bingung, kenapa perut Lyre selalu begitu. Dia hanya berjaga-jaga agar tidak disalahkan jika sesuatu terjadi pada si bayi setelah mereka habis-habisan bercinta.

"Ravel selalu heboh setiap kita bermesraan. And then one day, he just really calm, kamu udah tiga puluh dua mingguan dan panik banget karena dia enggak juga bergerak. Jam tiga dini hari, aku bawa kamu ke rumah sakit dan setelah bicara sama dokter, dicek sana sini dia baik-baik saja. Terus dokternya bilang si bayi mungkin terbiasa sama ulah kita, makanya diam aja."

Sudut bibir Lyre berkedut. "Serius?"

"Itu salah satu momen memalukan dalam hidupku. Aku bahkan sempat berpikir ganti dokter aja, saking malunya."

Lyre seketika tertawa, memegangi perut dan begitu saja bersandar ke tubuh Kagendra di sampingnya.

Degub jantung Kagendra otomatis meningkat, ini salah satu dari sekian banyak keinginan pribadinya, terkait interaksi bersama sang istri yang diselingi tawa atau senda gurau. Kagendra bahkan sejenak menahan napas, samar-samar tercium wangi tubuh istrinya yang familiar.

"Kita pasti konyol banget," sebut Lyre dan geleng kepala. "Astaga ... sebel kenapa aku enggak ingat."

Kagendra terdiam, karena jika Lyre ingat, istrinya akan tahu bahwa begitu sampai rumah dia marah-marah.

"Kamu tuh bikin aku malu tahu!"

"Maaf, aku enggak bermaksud gitu ... beneran enggak tahu kalau bayinya bisa saja memang terbiasa sama-"

"Shut up! Ini menggelikan banget! Aku enggak mau temani kamu periksa lagi."

"Oi?" panggil Lyre sembari menolehkan kepala, sekitarnya terasa hening. "Kamu kenapa tiba-tiba diam aja?"

"It's fine, kamu enggak ingat, aku bisa cerita." Kagendra kemudian merangkul Lyre, mencium pipi istrinya lembut dan berulang, mencari ketenangan dengan tindakannya itu. "Nah, setelah lihat semua ini, enggak perlu tunggu Mama lagi, iya 'kan?"

"Ya?" tanya Lyre, agak ragu.

"Aku aja yang ngelap kamu."

"Enggak mau!" tolak Lyre dan menyerahkan ponsel di tangannya pada Kagendra. "Untuk sementara aku udah cukup tahu, tapi enggak mau macem-macem."

"Macem-macem apa? Enggak ada."

Lyre menyipitkan mata, menilai ekspresi suaminya. "Aku paham modus-modus playboy kayak kamu."

Kagendra meringis, mencondongkan kepala ke telinga istrinya. "Padahal aku enggak pernah modus," bisiknya lantas menambahi dengan suara rendah. "Aku selalu terang-terangan ketika menginginkan kamu."

Lyre tahu wajahnya mulai bersemu, namun dengan cepat ia mengangkat tangan, menghalangi wajah suaminya agar tidak terlalu dekat. "Just behave, Husband ... ini rumah sakit."

"Can't wait when you're home, Kinky Baby," balas Kagendra sengaja menciumi telapak tangan Lyre dan baru beralih karena suara ketukan pintu.

Lyre mengatur napas, terpaku memperhatikan telapak tangannya dan berharap rona merah di pipinya sudah cukup reda saat suster mulai memeriksa.

***

Kagendra menunggu di luar sembari memeriksa laporan pekerjaan kiriman dari Waffa dan Fran. Ia juga memastikan Desire mengirimkan foto Ravel pagi ini.

DEDE
Ka, siangan ya ke RS
Ravel ribut minta berenang

Kagendra Pradipandya
Ok, sejam aja ya
sarapan apa dia pagi ini?

DEDE
ini sopirnya Tante Yaya udh antar
ada Omelet sama nugget sayur
minumnya sari kacang hijau

Desire mengirimkan foto beberapa kotak makan yang sudah dibuka. Omeletnya dibuat bentuk beruang, sementara nugget sayur berbentuk pohon dan daun. Sari kacang hijaunya ditempatkan pada termos kecil dengan ornamen dinosaurus dan grafir nama Kharavela.

Desire mengirimkan foto lagi, kali ini Ravel siap dengan celana dan kacamata renang.

Kagendra Pradipandya
Oke, jagain anakku.

DEDE
sent you a voice note

"Papa, kirim foto Mama juga dong."

Kagendra menahan senyum dan membalas, "Mama baru ganti perban sama suster, nanti ya kalau udah selesai ... berenangnya hati-hati ya, jangan lupa pemanasan dulu dua kali delapan hitungan."

Butuh waktu sekitar dua menit sampai dibalas lagi, kali ini suara Ravel lebih antusias. "Iya, Papa. Tante Dede bisa jagain Vel ... Papa jagain Mama aja, ya."

Kagendra baru akan membalas lagi sewaktu mendengar suara pintu terbuka. Ia menoleh pada Lukito Kanantya yang berjalan masuk, membuatnya seketika beralih berdiri dan nyaris kikuk berhadapan.

"Lyre baru ganti perban dan-"

"Dan itu sebab lukanya diperiksa sekalian," lanjut Lukito dan begitu saja melanjutkan langkah.

Kagendra kembali menghalangi, seserius mungkin memberi tahu, "Jangan membicarakan apa pun terkait permasalahan kita dulu, Lyre harus dijaga dalam kondisi yang stabil."

"Kalau itu berarti harus berpura-pura menerima lelaki pecundang sepertimu sebagai menantu, aku tidak sudi," ucap Lukito dan sebelum Kagendra kembali bicara sudah menegaskan. "Di samping itu, urusan pribadi tidak ada hubungannya dengan pemeriksaanku kali ini, karenanya ... minggir sekarang juga!"

Bentakan itu seketika membuat Kagendra beralih, ada rasa takut dan khawatir yang teramat sangat, membuatnya nekat mengikuti langkah Lukito. Ia tidak mau jika Lyre dipengaruhi sesuatu dan mulai meragukannya.

"Ya! Ya!" seru Lyre sembari merapatkan bagian atas gaun pasiennya, kaget karena Kagendra menyusul ayahnya masuk.

Lukito melirik sekilas namun membiarkan, fokus bertanya pada suster tentang penanganan luka, setelahnya memeriksa dengan serius pada jahitan yang sepenuhnya mengering.

"Good, coba angkat lengan," ucap Lukito.

"Sakit," sebut Lyre meski berusaha dan meringis-ringis menahan sakitnya.

"Yang cedera bahumu, jadi sebisa mungkin lenganmu tetap dibiasakan bergerak supaya enggak ikut kaku." Lukito kemudian memeriksa luka di kaki, mendapati pembengkakan yang terkontrol dengan baik.

"Sakit, Dok!" seru Lyre karena kakinya tiba-tiba digoyangkan dan rasa nyeri merambat dari sana.

"Mulai ganti bebat kasa saja, tetap dikasih gel dingin pereda memar tiga jam sekali," ucap Lukito dan menatap pasiennya yang merengut. "Atiana bilang kamu mengeluhkan badan yang sakit semua, kamu memang harus menggerakkannya, supaya sendi-sendi enggak kaku. Pelan-pelan aja, tekuk luruskan, awalnya memang nyeri tetapi lama kelamaan akan lebih mudah."

"Iya, tahu," jawab Lyre kemudian mengulurkan tangan kanan.

Lukito menyambut tangan itu, memperhatikan sang putri beralih mencium punggung tangannya. Ia sejenak memalingkan wajah, segera menarik kembali tangannya. "Mama udah di jalan, sebentar lagi sampai."

"Iya." Lyre mengangguk.

"Saya bebat ulang kakinya ya," ujar suster saat Lukito sudah berjalan ke pintu.

Lyre mengangguk kemudian memperhatikan Kagendra yang tetap terdiam. "Mas, kamu enggak salim Papa?"

Kagendra saling pandang dengan Papa mertuanya yang begitu saja menanggapi, "Jangan pedulikan hal-hal selain proses pemulihan kondisimu."

Lyre menyipitkan mata, karena setelah kalimat tegas itu, sang ayah langsung beralih pergi dari ruangannya.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Kagendra saat detik berikutnya sang istri meringis, menahan nyeri.

"Nyeri banget," jawab Lyre namun segera memberi tatapan tajam. "Kamu keluar lagi sana, ini bahuku mau dibebat ulang."

"Cuma begitu juga aku-"

"Kagendra!"

"Fine, I turn around," kata Kagendra sembari membalik badan, memunggungi Lyre.

Suster menahan tawa, segera melakukan tugasnya dengan baik, sekalian membantu mengikat tali-tali gaun perawatan itu hingga rapat menutupi kembali.

"Sudah ya, Bu ... nanti setelah sabelum makan siang diperiksa lagi sama dr. Atiana."

"Iya, terima kasih, Sus."

Suster mengangguk formal, berlalu dari ruang rawat membawa trolley berisi perlengkapan untuk perawatan luka. Kagendra membalik tubuhnya dan mendekati ranjang sang istri.

"Kamu enggak-"

"Apa yang terjadi, antara kamu dan Papa?" Lyre lebih dulu menyela. Ia merasa ada satu hal yang janggal.

Kagendra geleng kepala. "Nothing, kami udah ngobrol di luar tadi."

"Oh ya? Papa kelihatan kesal."

"Capek mungkin, katanya dari Surabaya."

Lyre meringis kecil. "Papa emang orangnya sulit, kaku, dan susah menoleransi kesalahan ... aku sama Mas Esa jelas udah gagal memenuhi espektasinya."

Kagendra memperhatikan sorot mata Lyre yang sendu. Ia tahu tidak ada gunanya terus menutup-nutupi, karenanya menguatkan tekad dan perlahan memberi tahu, "Re, sebenarnya ... kita dulu menikah tanpa restu dari Papamu."

Lyre terdiam, namun tidak tampak terkejut atau bingung, justru kemudian mengangguk. "I know."

"You know?" sebut Kagendra kaget, bergegas mendekat dan duduk di pinggiran ranjang sang istri. "Apa maksud-"

"Enggak ada orang tuaku di foto pernikahan, kita juga enggak langsung menikah, kamu dan Mama kelihatan kaku, begitu juga kamu dan Papa barusan." Lyre mengungkapkan hal-hal yang disadarinya, hal-hal yang membuatnya merasakan jenis kesedihan juga rasa sakit setiap menatap sang ibu atau ayahnya barusan. "Kamu pasti berhati-hati untuk enggak langsung membicarakannya, mengingat kondisiku ..."

Kagendra menelan ludahnya, terutama karena linangan air mata yang berjatuhan di pipi sang istri. "Lyre ..."

"Just let me cry ..." ucap Lyre lalu memejamkan matanya. "Inilah kenapa, aku merasa begitu merindukan mereka, merasa ada yang janggal dan kurang tepat."

Kagendra menghalau rasa bersalah yang seketika memenuhi benaknya, mencoba tidak semakin larut dan segera mengulurkan tangan, menghapusi tetesan air mata istrinya. "Kamu memilih aku, Re ... dan itu adalah hal paling tepat untuk dilakukan."

Lyre membuka matanya, pandangannya terkabur karena tangis, namun detik demi detik kemudian dia mendapati Kagendra juga memberinya tatapan berkaca-kaca.

"So-" Kagendra tercekat, berharap bisa meralat segala luapan kemarahannya dulu dengan kalimat sederhana ini. "I can't make it, Re ... aku enggak bisa bawa orang tua kamu ke pernikahan kita. I'm so sorry."

I'm so sorry.
Lyre mengulangnya dalam hati, sebisa mungkin menahan tangisnya dan mengangkat tangan kanan, balas menyentuh pipi Kagendra. Ia seketika menyadari saat mereka berpandangan dalam hening, suaminya ini menderita, sama seperti dirinya.

[ to be continued ]

🌃

cek ombak dulu~
❤️ untuk Team Lyre
🐷 untuk Team KagenBi

khawatir aing makin banyak yang oleng sama Bapaknya Ravel

.

ya
tapi
emang
kasihan
sih

🥳

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 125K 22
Nara terpenjara dalam sangkar emas ciptaan Akira. Pria yang menikahinya lima tahun yang lalu ketika ia masih berusia dua puluh tiga tahun. Pernikahan...
358K 54.5K 39
Xaveer kira menikah dan bercerai adalah perkara mudah karena wanita yang ia nikahi bahkan bukan siapapun yang istimewa di hatinya. Namun ketika semua...
1M 122K 31
FLAWSOME "Your flaws are perfect for the heart that is meant to love you." -- Zhao Walker, adalah contoh pria langka masa kini. Bungsu keluarga Walke...
0 1.1K 5
Kumpulan Cerita Pendek, penuh gairah yang akan menemani kalian semua. 🔥🔥🔥