REPEATED

Bởi shaanis

2.1M 190K 43.9K

[ Sebagian cerita ini sudah diunpublished ] REPEATED • re·peat·ed /rəˈpēdəd/ Butuh lima tahun untuk benar-be... Xem Thêm

Hello there ...
Kagendra & Lyre
1. | Oke!
2. | Transaksional
3. | Memulai proses perpisahan
4. | Have you ever
5. | Berhati-hati
6. | 'Teman' baru
7. | What if ...
8. | Toples Bintang & Harapan
9. | Camping: Day I
10. | Camping: Day II
11. | Camping: The last day
12. | Detik kehidupan berubah
13. | Berita baik dan buruk
14. | Keluarga Kanantya
15. | As a parents
16. | Tolong, maaf, terima kasih
17. | Perhatian & Penantian
18. | Waktu yang terhenti
19. | Istri yang tidak dikenali
20. | Mama ...
21. | Commit with me
22. | ♪ Namanya kesayangan
23. | Unconditionally
25. | In pain
26. | Scared me
27. | Precious memory
28. | Family setting
29. | Tapi bohong
30. | I promise to you
31. | Indikasi, manipulasi
32. | Keterangan Pribadi
33. | Keluarga kecil sempurna
34. | Another baby?
35. | Ingatan membawa kegugupan
36. | Putra kedua keluarga Kanantya
37. | Penting, enggak penting
50. | Happy ending

24. | Menjatuhkan hati

41.3K 4.6K 1.3K
Bởi shaanis

Hallo, bestie-nya KagenBi
aku datang lagi, dengan bab baru cerita cinta Papa-Mama Ravel yang ada aja masalahnya~

.

3.892 kata
iya, kalian enggak salah lihat
tiga ribu delapan ratus sembilan puluh dua kata, aku cemungudh, kalian juga cemungudh ya untuk vote dan commentnya, heuheuheu

selamat membaca
semoga suka
don't forget to choose kind
and
thank you so much

🌟

24. | Menjatuhkan hati


Desire kembali ke ruang rawat Lyre, mengecek bahwa Ravel cukup pulas dan memperhatikan dari pintu, Kagendra begitu hati-hati membetulkan lengan Lyre mendekap sebuah bantal.

Selama hampir lima menit, Kagendra juga hanya terdiam memandangi Lyre yang tidur. Desire harus berdeham hingga kakak sepupunya itu mau beralih perhatian. "Waffa bilang, kamu mau ngomong sama aku."

Kagendra mengangguk. "Tunggu di ruang duduk."

"Okay," ucap Desire tanpa beralih, melihat Kagendra membungkuk dan mencium pipi Lyre lembut.

Kagendra menegakkan tubuh dan berbalik, agak kaget mendapati adik sepupunya masih memperhatikan, ditambah ada cengiran kekanakan yang sengaja diperlihatkan kepadanya. "Apaan?"

"Nothing, just sweet," komentar Desire singkat dan mendahului ke ruang duduk.

Kagendra menyusul dengan membawa komputer tablet Lyre. Duduk di samping Desire dan mengulurkan perangkat elektronik tersebut.

"Kenapa, Ka?" tanya Desire, menerima barang yang diulurkan dan segera memeriksa. "Enggak ada yang rusak kok."

"Memang enggak, tapi aku mau kamu salin data-data pekerjaan dan data-data pembelajarannya Ravel ke komputer tablet baru. Bikinin e-mail baru juga untuk Lyre."

Desire menyipitkan mata. "Kenapa?"

"Supaya kalau Lyre mulai cari-cari tahu nanti bisa fokus aja ke pekerjaan dan materi pembelajarannya Ravel."

Desire lebih dulu nenunduk pada perangkat elektronik di pangkuannya, memeriksa setiap folder, setiap unduhan dan data-data email terakhir Lyre. Ketara ada banyak sekali file yang sudah dihapus. "Kamu sebenarnya mau ngapain, Ka?"

"Membetulkan situasi di sana-sini, Waffa juga udah aku suruh bersihin jejak rencana perceraian itu. Semua komputer dan laptop di rumah mulai diberesin, tinggal yang di sini sama di kantor kamu."

"Say it to me first, that you love her."

"Jangan mulai." Kagendra memperingatkan.

Desire meletakkan komputer tablet itu ke meja dan bersedekap. "Aku enggak akan bantu sampai jelas tujuan kamu apa, sampai yakin soal perasaanmu ... Lyre udah terlalu sabar dan—"

"Lyre terlalu sabar?"

"Lyre terlalu sabar dan kamu terlalu mencurigakan ... so let's make this clear. Apa tujuan kamu?"

Kagendra menghela napas panjang. Adik sepupunya memang bukan tipe yang akan langsung dan suka rela menurut begitu saja. Ia memang harus mengaku, "Aku mau Lyre menjadi istri yang seharusnya dan pernikahan kami lebih baik dari yang sebelumnya."

"Kalau mau begitu, kamu yang lebih dulu berproses jadi suami yang seharusnya. Pernikahan bergerak ke arah yang baik atau buruk bergantung dari pemimpinnya."

Kagendra menyipitkan mata. "Menurutmu aku bukan suami yang seharusnya?"

"Aku tahu kamu mau bawa Lyre balik ke Jakarta dan untuk kondisi sekarang itu bukan pilihan yang bijak."

"Kehidupan kami di sana."

"Di sini juga seharusnya menjadi tempat aman bagi kehidupan kalian."

Kagendra ikut bersedekap. "Kamu tahu sendiri, kalau Lyre yang sengaja mengambil jarak dari orang tuanya di sini. Dia yang memang memilih untuk hidup bersamaku dibanding kembali pada—"

"Lyre sudah menjadi menantu yang baik di rumah kita sementara kamu bahkan enggan berusaha."

"Aku sudah mencoba dan mendapat penolakan."

Desire mengangguk-angguk. "Kalau pola tindakan Lyre setipe kamu gini, enggak bakal ada Ravel di keluarga kita."

"De—"

"Kenapa Ravel tumbuh sebaik ini? Kenapa dia merasa bahagia dalam keluarga kita? Kenapa dia bisa sayang banget sama kamu? Itu karena Lyre enggak nyerah, berapa kali pun kamu menolaknya dulu." Desire menatap Kagendra lekat. "Lyre enggak akan menjadi lebih baik, kecuali kamu juga begitu ... pernikahan kalian juga akan sama saja, kalau kamu tetap sepayah ini."

"Aku payah?" seru Kagendra dan mendelik.

"Waffa bilang aku harus sabar, untuk enggak langsung pukulin kamu ... dan kamu harus tahu, aku berusaha untuk sabar banget dari tadi." Desire melirik ke komputer tablet di meja. "Aku akan ikuti cara-cara kamu dan membantu menyelamatkan pernikahan kalian, tapi aku enggak setuju kalau caranya hanya bikin Lyre makin tertekan."

"Dia enggak akan tertekan, dia akan baik-baik saja, stabil sekaligus bahagia seperti yang seharusnya."

"You've to remember, her condition isn't permanent." Desire mengurai kedua lengannya dan kembali menjangkau komputer tablet milik Lyre, melihat layarnya menyala dan menampilkan wajah tertawa Ravel. "Kalau kelak ingatannya pulih dan kamu berhasil memperbaiki diri, memperbaiki pernikahan, memperbaiki hubungan sama keluarga Kanantya, saat itulah Lyre baru merasa bahagia."

"Aku akan memikirkannya, tetapi sementara kamu urus ini dulu," ucap Kagendra dengan raut wajah datar, yang terpenting mendapatkan kerja sama Desire dulu.

"I know your trick, Ka," sebut Desire dan tertawa geli. "Aku enggak akan mengurus apa-apa sampai yakin—"

"I love her, okay?" sela Kagendra cepat lalu memejamkan mata. Tidak mudah untuk mengakui ini, tetapi harus dilakukannya agar Desire mau membantunya. "Aku mulai sadar penuh sekitar setahun yang lalu dan mencoba menunjukkannya. Lyre yang tetap biasa aja, dia enggak bereaksi terhadap perhatianku, enggak merespon ketika aku berusaha lebih dekat ... dia tetap sama saja."

Desire mengerjapkan mata. "Terus kenapa ka—"

"Aku sengaja mengajukan perceraian bukan karena mau bercerai. I just want to know, seperti apa Lyre bakal merespon ... bagaimana dia bicara, seperti apa pernikahan yang dijalaninya selama ini, bagaimana dia melihatku sebagai suaminya." Kagendra membuka matanya lagi dan geleng kepala. "I know it's stupid, but—"

"That's really stupid," ungkap Desire.

Kagendra berdecak. "Just listen to me first."

"Kalau kamu mau tahu perasaannya Lyre seharusnya kamu nanya, bukan ngajak cerai, Kaka! You're so idiot!"

"Aku berusaha nanya, waktu anniversary pernikahan ke-empat ... it's romantic dinner dan aku nanya, what do you feels right now? Dia jawabnya datar banget; good, makanannya enak." Kagendra sekali lagi menghela napas panjang. "Lyre tuh ... ck! Dia jawab setiap aku nanya, dia nurut melakukan yang aku minta. Tapi kecuali urusan Ravel, kecuali kewajiban formal suami-istri, dia beneran dingin, seperlunya ... she keeps the distance."

Desire teringat obrolan bare minimum pasangan yang pernah Lyre ungkap. "Kamu beneran enggak pernah main cewek selama—"

"Godness!!! Sejak Lyre ngaku hamil, terus Papi bilang kami akan tinggal bersama, sejak itu enggak ada perempuan selain dia. Justru Lyre yang sukanya kayak nyodor-nyodorin, segala ngomong teman baru, kenalan baru. Dia yang kurang menghargai kesetiaanku!"

"Lyre setia banget tahu ... enggak sekali-dua kali ada relasi yang nekat kirim bunga, ngajak din—"

"Siapa orangnya?" tanya Kagendra galak.

Desire menelan ludah, sadar kakak sepupunya langsung dalam mode kekesalan maksimal. "Poinnya adalah, Lyre enggak pikir dua kali nolakin semua itu, Ka ... kalau ada telepon bukan urusan kerjaan juga dicuekin."

"Ya, emang harus gitu!"

"Ya, makanya, kalau emang hubungan kalian masih ada harapan, kamu yang bener juga memulai pendekatan lagi."

Kagendra tidak habis pikir. "Pendekatanku udah bener, responnya Lyre yang enggak bener ... makanya kamu turutin aja perintahku."

Desire berpikir dalam diam selama beberapa menit. Ia kembali menatap kakak sepupunya lekat tatkala menyadari satu hal. "Fine, I'm in ... dengan satu syarat, ketika ingatan Lyre pulih lalu dia menyatakan tetap ingin berpisah dari kamu ... saat itu keberpihakanku beralih padanya."

"What?" tanya Kagendra dan geleng kepala, tidak bisa menerimanya. "Kamu enggak bisa—"

"Kamu juga enggak bisa makin seenaknya atau semena-mena sama Lyre!" tandas Desire dan merendahkan suaranya. "She's always smart, you know? Smarter than you. Jadi, pasti ada alasannya kenapa dia tetap jaga jarak sama kamu, kenapa dia enggak easily fall in love with you."

Kagendra terdiam mendengarnya, sebenarnya ada satu-dua dugaan kenapa istrinya bersikeras tetap menjaga jarak. Kagendra ikut diam dan seperlunya karena tidak ingin mendengar konfirmasi nyata jika Lyre sungguh-sungguh tidak mencintainya.

"Seriously, Ka ... kali ini, lakukan dengan benar, atau kita yang beneran kehilangan Lyre." Desire menegaskan dan beranjak membawa komputer tabletnya pergi.

***

"Ravel ..." panggil Lyre dan perlahan membuka mata.

Kagendra meninggalkan laptopnya di meja kerja, beranjak mendekati ranjang pasien. "Hei, Ravel lagi makan siang sama Dede."

Lyre mengerjapkan mata, memperhatikan sekitar. "Jam berapa sekarang?"

"Setengah dua," jawab Kagendra lalu meraih remot dan mengatur posisi ranjang agar Lyre duduk tegak.

"Gue mau—"

"Aku mau," ralat Kagendra cepat.

Lyre menghela napas. "Aku mau minum."

Kagendra segera mengambilkan dan membantu hingga Lyre menandaskan isi gelasnya dalam beberapa tegukan.

"Jam berapa Ravel bangun?"

"Sejam yang lalu, dia jadi enggak belajar, kelewat snacking time, jam makan siangnya geser, dia jelas enggak akan tidur siang lagi ... nanti malam pasti tidur lebih awal lalu kebangun dini hari."

"Kamu sejenis bapak-bapak bawel."

"Kamu lebih bawel dari aku soal Ravel." Kagendra kemudian menatap serius. "Daily activity anak yang teratur akan mendukung keteraturan waktu istirahat orang tuanya juga, remember?"

"Fine, sorry ... aku enggak bermaksud menidurkan Ravel. Aku suka merasakan pelukannya." Lyre meringis kecil. "I'm already miss him right now ..."

"Dia harus makan dengan tenang dan ada Dede yang mengurusnya."

"Kenapa bukan kamu?"

Kagendra menunjuk laptopnya. "Aku tadi kerja."

"Oh! What do you do for living?"

"A lot of work ..." jawab Kagendra lalu duduk di kursi penunggu. "Walau hilang ingatan sebagai menantunya, seharusnya kamu tetap ingat soal siapa Arestio Pradipandya."

"Number seven of ten richest." Lyre memperhatikan Kagendra yang tampak biasa saja. "Eh! Apa sekarang urutannya udah berubah?"

"Urutannya enggak penting dan kita memang berusaha enggak show off."

"Kenapa? Ah, sure, penggelapan pajak."

Kagendra menyeringai. "Hard to believe, tetapi aku bekerja keras bukan untuk melakukan hal-hal kotor semacam itu ... jadi, enggak perlu khawatir, kita aman."

"Glad to hear that." Lyre kemudian ganti bertanya dengan antusias, "Terus soal aku, film apa yang sedang aku garap?"

"Enggak ada."

"Apa maksudnya enggak ada?" Lyre seketika waspada. "Apa yang aku lakukan dalam hidupku selama ini?"

"You just happily live with me."

"Explain!"

"Explain what? Kamu ibu rumah tangga sejahtera. Aku memenuhi semua kebutuhan hidupmu dan Ravel."

"Tanpa kamu, aku bisa memenuhi kebutuhan hidupku."

"Really? Saat menikah denganku, kamu punya beban cicilan dua apartemen ... mobilmu sejenis rongsokan menyedihkan. Saldo tabungan yang mengendap di rekeningmu enggak ada setengah dari uang jajanku." Kagendra melanjutkan dengan nada arogan. "Setelah menikah denganku, aku membereskan sisa kontrakmu yang enggak penting, melunasi semua cicilanmu, memberimu versi terbaru SUV paling aman dan ramah lingkungan. Saldo tabunganmu bisa digunakan untuk membeli sebuah gedung. Aku bahkan memastikan Mas Esa menerima setiap prostetik arm terbaru dari bionic."

Lyre terkesiap karena kakaknya disebut-sebut. "You know him."

"I know everything about you."

Lyre geleng kepala, ini tetap sulit dipercaya. "Tapi, aku bahkan meninggalkan orang tuaku dan hidup nyamanku di Jogja ... demi berakting. Aku memang yakin, pasti ambil cuti untuk Ravel tapi setelahnya pasti mencoba kembali. I love my job."

"Kamu lebih suka jadi istriku dan ibu anakku."

"Apa maksudnya, Ndra?"

"Mas Ndra!"

Lyre memejamkan mata sejenak. "I can't believe this ... I need to talk to my manager and—"

"Kamu enggak punya manajer, dan akulah orang terdekatmu selama lima tahun terakhir. Kalau kamu butuh konfimasi tentang suatu hal, just ask me." Kagendra menegaskan dengan raut wajah serius, sebisa mungkin setiap konfirmasi input ingatan Lyre harus didapatkan darinya.

"Mama ..." suara panggilan itu terdengar ceria.

Lyre langsung tersenyum dan balas memanggil, "Ravel."

"Mama udah bangun?" tanya Ravel sambil berlari memasuki ruang rawat, memberi cengiran lebar.

Kagendra menahan laju lari anaknya, dengan mudah mengangkat Ravel ke pangkuannya. "Kalau habis makan, biar enggak sakit perutnya belum boleh lari-lari dulu."

"Aku dengar suaranya Mama ..."

Lyre seketika gembira, segala rasa gelisah, bingung dan tidak dimengertinya seketika sirna. "Habis enggak maemnya?"

"Habis, udah janji soalnya."

Kagendra menunduk, mencium kepala anaknya. "Ravel juga janji nemenin Tante Dede belanja 'kan? Terus boboknya nanti malam di hotel lagi."

"Ng ... kenapa?"

"Soalnya Mama hari ini masih belum bisa temani main, masih diperiksa juga sama dokter, terus Papa kerjaannya banyak."

Lyre menahan napasnya sejenak, walau alasan Kagendra itu terdengar masuk akal, namun terasa sengaja diciptakan untuk memberinya jarak.

"Vel mau sama Mama," pinta Ravel.

"Iya, sekarang boleh sama Mama dulu," kata Kagendra dan memindahkan anaknya ke atas tempat tidur Lyre. "Sambil tunggu Mama makan siang juga."

Lyre seketika tersenyum lega saat Ravel kembali menempel di sisi kanan tubuhnya. Anaknya juga tersenyum lebar, tertawa karena pipinya dicium berulang.

"Vel maem apa tadi?" tanya Lyre.

"Sop matahari namanya ... Oma Yaya bikin. Aku habis sampai mangkuknya bersih."

Lyre tahu apa itu sop matahari. "Tahu enggak bentuk matahari di sopnya terbuat dari apa?"

"Tante Dede bilang itu telur kukus sama sayur dicincang makanya Vel habis semuanya."

"Dicincang?"

"Dipotongnya halus. Oma Yaya juga bikin wortelnya bintang-bintang, kalau tempe gorengnya bentuk bulan sabit. Jadinya tadi maem siangnya itu menu galaxy. Gelas susunya juga astronot, Mama."

Lyre seketika terkenang masa kecilnya, sang ibu yang hobi memasak memang kerap menggunakan makanan untuk memberi input pengetahuan. Di rumah, ada banyak sekali cetakan karakter, beserta piring-piring tematik yang bisa dipelajari.

Sejak Soraya tahu Ravel mudah dibuat penasaran, Kagendra memang mengamati menu makanan anaknya kerap disertai tema tertentu. Bahkan ketika membuatkan steak salmon, Soraya menyajikannya dengan piring bertema laut. Membentuk kentang gorengnya dengan potongan ala ganggang laut, sosis juga dibentuk kerang, sampai tropical jusnya berwarna biru. Bukan sintetis, tetapi warna alami dari bunga telang.

Ravel langsung senang bukan kepalang, setiap suap makanan masuk tanpa susah payah ke mulutnya. Kagendra bahkan bisa merasakan bobot anaknya mulai bertambah. Ini sungguh situasi yang melegakan.

"Mama maemnya apa?" tanya Ravel sewaktu suster datang mengantar ransum makanan.

"Mama maem sop matahari juga." Lyre hafal perlakuan sang ibu.

Kagendra mengamati isi troli makan siang istrinya dan familiar dengan tampilannya, memang mirip sekali dengan menu makan siang anaknya. "Memangnya boleh makanan dari luar?"

"Ini dari Bu Yaya, Pak."

"Iya, maksud saya seharusnya makanan istri saya diatur sama ahli gizi rumah sakit ini."

"Jangan khawatir, Pak ... Bu Yaya dulu bagian gizi di rumah sakit ini, kami malah terbantu kalau Bu Yaya yang siapkan makanan Bu Lyre."

What? Sebut Kagendra dalam hati dan mengamati istrinya yang menatap heran.

"Selamat makan, Bu," ucap Suster ramah.

"Terima kasih, Sus," balas Lyre, menunggu suster berlalu pergi baru bertanya pada Kagendra. "Why are you so surprise about my Mom?"

"Cause all I know, your Mom just an ordinary housewife with a little homemade jelly business."

"Itu bukan bisnis yang kecil, Mama sengaja membatasi kuantitas untuk menjaga kualitas produknya. Which means, My Mom isn't just an ordinary housewife." Lyre melirik meja makan yang harus digeser mendekat. "Set my lunch."

Kagendra menatap sang anak, bertanya lembut, "Vel, kalau minta tolong pakai bahasa Inggris harus tambahin kata apa?"

"Please ..." jawab Ravel.

Asem! Batin Lyre dan mengamati senyum mengejek Kagendra. "Please, Papa ..."

Ravel mendongak dan meralat, "Mama panggilnya Papa itu Mas-mas!"

Lyre pura-pura bercanda untuk menutupi kesalahannya. "Habisnya Papa makin kelihatan Bapak-bapak, enggak Mas-mas lagi."

Sialan! Kagendra menahan diri untuk tidak langsung memprotes. Menyempatkan untuk mengejeknya jelas jadi hobi baru sang istri.

Ravel tertawa, mengulangi ucapan ibunya. "Papa Bapak-bapak."

"Kalau Papa panggil Mama apa?" tanya Lyre penasaran.

Kagendra langsung berdiri kaku di tempatnya. Was-was memperhatikan anaknya mulai berpikir. "Ng, Vel—"

"Re, Lyre, Mamanya Vel, sama ..." Ravel agak menjeda kalimatnya karena tersenyum-senyum.

"Sama?" tanya Lyre penasaran. Kagendra juga menantikan.

"Sexy Mama," cetus Ravel gembira, membuat sang ayah langsung bengong, sementara ibunya melongo bingung.

Lyre berusaha memastikan apa yang didengarnya. "Sexy Mama?"

Ravel mengangguk dan bergeser agar tangannya leluasa menepuk-nepuk ke samping pantat Lyre. "Iya, panggilnya ... Hallo, Sexy Mama sambil tepuk-tepuk begini ... kata Sus Emy, Papa gitu karena sayang Mama."

"Sayang Mama?" ulang Lyre, segera menahan diri untuk tidak langsung mengomeli Kagendra detik ini juga.

Kagendra segera berpura-pura merogoh ponselnya. "Hallo, De? Udah siap? Oke ... ini Ravel ke situ," katanya lalu bergegas menggendong sang anak. "Pamit sama kiss Mama dulu, Vel."

"Mama, Vel ikut Tante Dede ya ... Mama cepet sembuhnya," ujar Ravel lalu mencium pipi kanan dan kiri ibunya.

Lyre sesaat menahan lengan anaknya, mencium telapak tangan Ravel dengan lembut. "Vel yang baik ya sama Tante Dede. I love you ..."

"Iya, Mama. I love you ..."

Lyre mencium hidung anaknya, mendengar suara gelak tawa pelan Ravel sebelum anak itu melambaikan tangan gembira. Lyre mendengar percakapan samar di luar ruang rawatnya, menunggu suara-suara itu mereda dan Kagendra mendekat ke arahnya lagi.

"It's just misunder—"

"Itu bukan kesalahpahaman." Lyre menyela dan memandang Kagendra lekat. "You're an asshole ..."

Brengsek! Batin Kagendra dan berusaha setenang mungkin menjelaskan. "Itu beneran panggilan sayang ... aku memang kadang panggil kamu gitu. Sexy Mama, Kinky Girl, Naughty Baby."

"Terus aku balas panggil kamu, Dickhead—"

"Lyre!" Kagendra segera mengingatkan, sampai mati tidak akan membiarkan istrinya memanggil dengan kata itu.

"You're an asshole bukan karena panggilannya ... kamu melakukan itu di depan anakku, sampai dia tahu soal tepukan pantat dan bahkan menanyakan itu ke susternya!" Lyre mendelik maksimal. "Itu namanya kurang ajar, Kagendra!"

"Itu bukan kurang ajar, sometimes kita emang nakal dan—"

"Aku enggak mungkin mau diajak nakal di depan Ravel." Lyre yakin dengan satu hal ini. Dia tumbuh dalam lingkungan kaku yang serius dalam mengedepankan nilai kesopanan.

"Aku juga enggak. Itu pasti enggak sengaja Ravel lihatnya ... seriously, kita sama-sama beradab di depan anak. Tapi jelas kecolongan soal itu."

"Ravel sampai ingat soal itu, pasti bukan sekali-dua kali aja."

"Ya, kita hampir lima tahun menikah, enggak sekali-dua kali emang aku nakalin kamu ... tapi serius, soal Sexy Mama itu kecolongan. I promise, I will explain to him, bahwa itu something spesial cuma antara kita aja." Kagendra beralih mengatur meja dan menempatkan makan siang istrinya. "Kamu harus segera makan, karena dokter bilang mau periksa."

"Untuk kali ini kamu lolos, tapi berikutnya terbukti ada indikasi—"

"Come on, Lyre ... anak yang tahu orang tuanya akur bahkan sesekali bermesraan itu memunculkan secure. Ravel adalah anak yang bahagia, dia enggak asing dengan gestur sayang dan ungkapan kasih. It's a good thing, right?" Kagendra menyela, ingat beberapa topik yang pernah Lyre bahas bersama suster anaknya.

Lyre menghela napas pendek. "Fine, terus ini Mama mana?"

"Pulang, ada hal penting katanya."

"Kenapa Desire enggak menemui aku dulu?"

Kagendra memang melarang. "Dia mau, tetapi dokter bilang ingatanmu harus diberi input secara perlahan. Jadi, dia tunggu giliran, ketika kamu sudah siap. Dede dan Waffa adalah orang yang sama-sama tahu tentang kita."

"Waffa?"

"Temanku yang juga merupakan tunangan Dede."

Lyre mengingat seseorang meski agak samar. "Ah, itu 'kah? Waffa Zarino, half arabian, yang pernah jadi model Zegna."

"It's Zaferino, sebenarnya sepertiga arabian karena Kakeknya yang orang Qatar. But yes, he is."

"Desire sering stalking media sosialnya dia."

Kagendra beralih mengambilkan air minum, membantu Lyre sampai menghabiskan setengah isi gelas baru mulai menyuapi.

"Kenapa Ravel harus ikut Desire? Aku pengin terus sama-sama dia."

"Aku enggak mau Ravel makin sadar kamu berbeda ... dengar sendiri tadi, baru soal panggilan aja kamu udah salah."

Lyre mengunyah makanannya perlahan. "Aku selalu konsisten panggil kamu Mas Ndra gitu?"

"Iya," jawab Kagendra. "Aku juga enggak kayak bapak-bapak. Kita memang semakin dewasa, bertambah matang namun tetap serasi ... kamu cantik, aku ganteng."

Sudut bibir Lyre terangkat. "Kenapa ego kamu kayak gampang banget disentil?"

"Ego-ku enggak gampang disentil, tetapi di sepanjang kehidupan pernikahan kita, kamu memang bersikap sopan, lembut, sekaligus menghormatiku. Kamu bahkan enggak pernah berkomentar mengenai performaku di ranjang. You just enjoy it."

Lyre menelan makanannya, mencoba tidak teringat meski setiap adegan erotis terlintas begitu saja dalam pikirannya. "Yah, dulu emang menyenangkan ... you let me feel the orgasm."

Kagendra menyipitkan mata, mereka belum pernah membahas ini di sepanjang pernikahan dan sekarang membuatnya penasaran. "Memangnya sebelum aku, kamu enggak merasakannya?"

"Ng, berbeda rasanya, toys just—"

"Toys?"

"Kita enggak pernah main pakai alat bantu?"

Kagendra menggeleng. "I like you in sexy-mini lingerie things, but no toys ... just my finger, tongue, sometimes teeth and—"

"Teeth? You bite me?"

"Hell yeah and you like it."

Lyre menyipitkan mata, raut bangga Kagendra itu terlalu meyakinkan. Namun, tidak ada ingatan apa pun dan dia memilih mengabaikannya, kembali menerima suapan makanan. Dia harus mengumpulkan tenaga dan secepat mungkin pulih.

"Aku memang enggak pernah nanya soal mantan pacarmu, tapi aku sempat cari tahu ... sebelum sama aku, cuma pernah terpegok kencan sama aktor senior yang sekarang udah pindah ke USA."

Lyre menyipitkan mata. "Siapa?"

"Adam Zach."

"Itu gosip banget! Adam tuh pacarnya Dina, Andina ... kami digosipkan waktu aku bantuin Adam pilih kado buat Dina!" Lyre seketika ganti penasaran. "Eh, apa kabarnya teman-temanku? Andina, Fayyana?"

"Baik, kamu bisa tanya detailnya ke Dede besok atau lusa ... jadi, soal mantanmu? Ada berapa sebelumku?"

"Ck! Enggak penting."

"I want to know ... sekalian memastikan ingatan dua puluh empat tahun kehidupanmu beneran utuh enggak."

Lyre berdecak. "Just two unhealthy relationship, yang pertama asisten dosen saat masih kuliah. Cool guy, smart, diligent student ... tapi baginya aku enggak lebih dari akses untuk bisa magang di rumah sakit Papa. Kami putus dua bulan sebelum aku mengundurkan diri dari kampus. Selanjutnya, I fall for the translator ketika salah satu filmku tembus Toronto Film Festival ... charming British boy, tetapi ternyata dia punya tunangan di London." Lyre meringis dengan rasa kecewa dan sakit hati yang terbesit dalam benaknya. "My first time was a mess, that's why I prefer play with toys. Aku kayaknya emang sial soal hubungan lawan jenis."

Kagendra sama sekali tidak menyangka, raut wajah Lyre juga tampak sendu seolah begitu menyesalinya. "Kamu enggak sial lagi, Re ... sekarang kamu bersamaku."

Mata Lyre seketika ganti memicing. "Bukannya aku justru paling sial karena sekarang bersamamu?"

"Enak aja! Aku sepenuhnya lajang ketika bersamamu, aku enggak memanfaatkanmu demi akses pekerjaan atau koneksi, dan urusan tempat tidur kita selalu sama-sama memuaskan."

"Yeah, fine ... but seriously, kamu beneran setia?"

"Hard to believe, but yeah, I'm a loyal husband. You're one and only for me."

Lyre menahan senyum. "Really hard to believe, terutama sekarang ini, the image of sugar daddy suits you."

"Aku daddy-nya anak kamu." Kagendra menegaskan sekalian. "Aku juga selamanya Mas Ndra-nya kamu."

Kali ini Lyre tersenyum lebar, menambahi tawa kecil saat berujar. "Oke deh, Mas Ndra ..."

"Hubunganku sebelum denganmu juga selalu berantakan ... karena apa yang mereka suka dariku hanya sebatas penampilan, nominal uang, atau akses belanja barang branded. Not gonna lie, seks memang bayaran termudahnya," ungkap Kagendra, ini kali pertamanya juga bercerita tentang hubungan masa lalunya. "Setelah bersamamu, baru aku tahu kalau sekadar pelukan bisa sangat menyenangkan. Saat mimpi buruk dan kamu berusaha menenangkan juga memberiku kenyamanan."

Lyre sempat terpaku selama beberapa detik. Ia jelas tidak mengenal Kagendra versi yang ini, yang terlihat begitu tulus sekaligus penuh perasaan.

"Most of all, the way you love my son so natural and total ... sometimes it makes me so jealous," aku Kagendra dengan ringisan pelan.

Lyre langsung tersenyum, gembira dan tampak lega. "Soal Ravel meski mukanya mirip banget sama kamu ... at least dia punya rambutku yang—"

"Nope, it's definitely my hair ..." Kagendra menyela cepat. "Kamu emang bersikukuh mempertahankan rambut panjangnya karena berpikir mirip denganmu ... tapi sebenarnya sama aja, rambut panjang atau pendek, Ravel itu duplikatku. Wait for this proof."

Lyre memperhatikan Kagendra mengeluarkan ponsel, mencari-cari di folder-folder penyimpanan, kemudian menunjukkan satu foto lawas.

Lyre menahan napas mengamatinya. Kagendra kecil dengan rambut ikal sebahu, menyengir di bagian ujung kapal dengan pancing mainan. Angin menerbangkan sebagian rambutnya yang serupa milik Ravel.

"See ..." sebut Kagendra.

"This is crazy ..." ucap Lyre, antara takjub dan tidak habis pikir. "Mama tadi sempat bilang soal test DNA, kita jelas enggak butuh."

Klang!
Kagendra begitu saja menjatuhkan sendoknya, menimbulkan bunyi berisik karena beradu dengan piring dan mencipratkan sisa kuah ke ujung meja.

"T ... tergelincir sendoknya," ucap Kagendra sewaktu Lyre ganti memperhatikannya.

Lyre mengangguk dan memberi tahu. "Aku sempat sedih karena Mama bicara begitu ... aku tahu hidupku setelah keluar dari rumah memang jadi lebih bebas. Tapi aku enggak senakal itu dan di tahun tersebut beneran aku fokus banget sama seriesku, cuma kamu lelaki yang berpotensi menghamiliku."

Napas Kagendra terasa mulai menyempit. Kenangan masa lalu seolah mulai membanjirinya dan itu bukan masa yang ingin diingatnya saat ini.

Mas Ndra ...

Kagendra terkesiap. "Did you just call me?"

"Apa?" tanya Lyre bingung.

"Barusan ngomong apa?" tanya Kagendra, mencoba tidak kalut atau terlihat takut.

Lyre mengerjapkan mata, Kagendra terlihat begitu berbeda. "Soal tes DNA dan—"

"Stop speaking about that! Ravel memang anakku."

Lyre mengangguk. "Yeah, sure ... I'm not blind. Kamu kenapa, sih? Mendadak aneh, and you're sweating."

Kagendra menahan tangan kanan sang istri yang terangkat ke arahnya, menggenggam tangan itu dan memandang Lyre lekat. "From now on, please just believe in me. I desperately trying to make our life happier."

Lyre balas memandang Kagendra, tidak mengerti kenapa suaminya ini bisa terlihat begitu berbeda. "Hei, are you alright?"

"I am alright, as long as you're with me." Kagendra kemudian mengecupi tangan kanan yang digenggamnya. "I can't breathe without you around me, Re."

Lyre sebenarnya geli dengan ungkapan kalimat picisan semacam itu. Namun mendengar Kagendra terus mengucapkannya, entah kenapa rasa senang merayapi benaknya.

Mungkin yang kali ini dirinya memang tidak salah dalam menjatuhkan hati, begitu pikir Lyre.

[ to be continued ]


🌃

Iya, Re, kamu enggak salah.
Aku yang salah, aku yang bikin kamu sama Kagendra enggak semudah itu bahagia ... jadi sabar ya~
WAKAKAKAKAKAKAKAKAA

.

Q: Ini adeknya Ravel gimana?
A: Masih bingung aku, mau bikin adeknya cwk atau cwk~

Q: Aku team yang pro mereka PisahTapiBukanCerai
A: ya boleh

Q: Yang enggak baca KK tetep paham kan sama masalahnya Kagendra vs Esa di sini nanti?
A: yang ada masalah itu Kagendra vs Pak Luki, posisi Esa semacam 'safety net' untuk Lyre. Jadi, selama Kagendra bertingkah benar ke Lyre enggak ada yang perlu dikhawatirkan.

.


Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

1M 122K 31
FLAWSOME "Your flaws are perfect for the heart that is meant to love you." -- Zhao Walker, adalah contoh pria langka masa kini. Bungsu keluarga Walke...
231K 41.8K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
2.7K 572 10
Ini semua tentang SABDA. Tak ada satupun hal menyenangkan tentang dirinya. Ia lelaki pemarah, penyendiri, menyebalkan dan juga misterius. Lalu, adaka...
989K 47.9K 37
"Jalang sepertimu tidak pantas menjadi istriku, apalagi sampai melahirkan keturunanku!" Bella hanya menganggap angin lalu ucapan suaminya, ia sudah...